Pages

Kamis, 30 Agustus 2012

ISRAIL VS PALESTINA MENURUT ALQURAN (Bagian Akhir)

Data Peristiwa
Pada tahun pertama Muhammad di Madinah, jaminan kebebasan yang sama dalam menganut kepercayaan, menyatakan pendapat dan menjalankan propaganda agama, beliau berikan kepada semua umat beragama. Beliau sadar betul, hanya dengan kebebasanlah yang akan menjamin dunia ini mencapai kebenaran dan kemajuannya dalam menuju kesatuan yang integral dan terhormat. Namun setelah berselang beberapa waktu, pihak Yahudi mulai merasa cemas karena ajaran-ajaran Muhammad serta teladan dan bimbingannya telah meninggalkan pengaruh yang mendalam ke dalam jiwa, sehingga tidak sedikit orang berdatangan menyatakan masuk Islam dan Muslimin makin bertambah kuat di Madinah. Diperparah ketika Abdullah bin Sallam, seorang pendeta Yahudi, menyatakan diri masuk Islam, sejak saat itu kaum Yahudi dan musyrik berkomplot terhadap Muhammad menolak kenabiannya. Polemik pun meledak antara Muslimin dengan kaum Yahudi yang ternyata lebih bengis dan licik daripada polemik dengan kaum Quraisy di Mekkah. Mereka menyerang Muhammad, risalah serta para sahabatnya dengan menggunakan intrik-intrik melalui para pendeta mereka, ilmu tentang sejarah dan peristiwa masa lampau mengenai para nabi dan rasul, mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan menimbulkan perselisihan di kalangan Muslimin. Mereka mendebat Muhammad seputar kenabiannya, Ibrahim dan millah-nya, kenabian Isa, penghapusan hukum (nasakh), perubahan kiblat dari Masjid al-Aqsha ke Ka’bah, kehalalan dan keharaman makanan dan keistimewaan Masjid al-Haram.
Tidak cukup dengan menimbulkan insiden antara Muhajirin dengan Anshar dan Aus dengan Khazraj dan tidak cukup pula dengan membujuk Muslimin supaya meninggalkan Islam dan kembali ke musyrikan tanpa mengajak mereka menganut Yahudi, pihak Yahudi itu mulai berusaha memperdaya Muhammad melalui pemuka-pemuka mereka. Dengan tujuan, Muslimin akan keluar meninggalkan Madinah sebagaimana mereka meninggalkan Mekkah. Mereka melakukannya secara diam-diam selain karena dikhawatirkan kepentingan perdagangan mereka akan kacau bila sampai berkobar perang saudara antara penduduk Madinah, mereka juga masih memelihara perjanjian perdamaian dengan Muslimin. Muslimin menyadari semuanya, Muhammad pun tidak hanya tinggal diam dan mulai bertindak tegas.
Ketika berita kemenangan Muslimin dalam perang Badr melawan kaum Quraisy datang, kaum musyrik dan Yahudi merasa terpukul sekali. Mereka berusaha meyakinkan diri mereka dan Muslimin kesalahan berita itu. Dampak perang Badr terlihat jelas dan erat kaitannya dengan kehidupan umat Islam di Madinah. Kaum Yahudi dan musyrik merasakan sekali bertambahnya kekuatan dan kewibawaan Muslimin, yang hampir menguasai seantero penduduk Madinah. Mereka mulai menggencarkan permusuhan terhadap Muslimin, malah kini bukan hanya termotivasi oleh faktor agama tetapi sudah merambah ke faktor politik. Sayangnya, Muhammad sudah mengetahui semua rahasia dan berita itu. Sehingga ancang-ancang langkah selanjutnya sudah pula dipikirkannya.

Paska pembunuhan Abu ‘Afak, Ashma’ binti Marwan dan Ka’b bin Asyraf, pihak Yahudi kian mencemaskan nasib mereka. Diperparah oleh tindakan memalukan seorang Yahudi terhadap seorang wanita Arab yang sedang berbelanja di pasar Bani Qaynuqa, yang harus merenggut nyawa seorang Yahudi dan Muslim. Perkara ini menjelma sumbu peledak pertikaian antara mereka, Muslimin pun mengepung kaum Yahudi Bani Qaynuqa selama lima belas hari berturut-turut, akhirnya mereka menyerah dan kudu meninggalkan Madinah (624 M). Pengusiran ini mempersurut kekuasaan Yahudi di sana, sebagian besar kaum Yahudi yang disebut-sebut dari Madinah ini, mereka tinggal jauh di Khaybar dan Wadi’il-Qura. Apalagi setelah Muhammad menghalalkan darah mereka sesudah kejadian itu, yaitu pada tahun kedua paska hijrah. Oleh karenanya, mereka berbicara lama dengan beliau yang kemudian diputuskan untuk mengadakan perjanjian bersama dan menghormati isinya.
Di sela-sela itu perang Uhud pecah antara Muslimin dan pihak Quraisy, di mana dalam perang itu Muslimin menderita kekalahan. Kekalahan ini turut mempengaruhi kancah perpolitikan di Madinah. Diperkeruh lagi oleh malapetaka yang menimpa Muslimin di Raji` dan Bi`ir Ma’una yang turut mengikis kewibawaan mereka di mata kaum Yahudi dan musyrik. Bani Qaynuqa telah dikepung dan diusir dari Madinah, kini giliran Bani Nadzir menerima perlakuan serupa karena telah melanggar isi perjanjian dengan Muslimin (625 M). Tindakan ini dilakukan Muslimin karena eksistensi mereka di sana akan memotivasi, menimbulkan bibit-bibit fitnah, mengajak golongan munafik untuk mengangkat kepala setiap melihat pihak Muslimin mendapat bencana dan mengancam timbulnya perang saudara bila ada musuh menyerang Muslimin. Suasana Madinah menjadi tenteram setelah Bani Nadhir meninggalkan kota itu. Yang penting dicatat di sini, sekretaris Muhammad paska hijrah hingga kejadian ini adalah orang Yahudi. Dengan tujuan, memudahkan pengiriman surat-surat dalam bahasa Ibrani dan Asiria.
Babakan selanjutnya, para pemuka Bani Nadhir berencana menghasut masyarakat Arab. Mereka minta bantuan kerjasama dari Quraisy dan Ghatafan. Setelah kesepakatan terajut, mereka bersatu-padu dengan 10.000 bala tentara (pasukan Ahzab) hendak memerangi Muslimin. Karena kekuatan musuh super jumbo, maka dengan usulan Salman al-Farisi Muslimin menggali parit di sekitar Madinah sebagai strategi perang. Musuh pun tidak bisa menembus parit itu, mereka hanya bertahan lama tidak jauh dari sana. Akhirnya mereka membujuk Bani Quraydzah supaya bersatu dan melanggar perjanjian mereka dengan Muslimin, karena dengan cara ini, mereka akan dapat menembus masuk Madinah. Muslimin mendengar perkara tersebut, dengan langkah cepat Muhammad mengutus delegasi kepada mereka. Adu mulut pun pecah antara delegasi Muslimin dengan Bani Quraydzah, mereka memilih berkhianat, bergabung dengan pasukan Ahzab dan membukakan jalan bagi mereka bahkan memberi bala bantuan dan makanan kepada sekutu barunya. Di sekitar parit, hanya gesekan kecil saja yang meletus antara pasukan Ahzab dan Muslimin. Kini Muhammad mulai mendedahkan strategi, selain mengutus delegasi ke Ghatafan dengan menjanjikan mereka sepertiga hasil buah-buahan Madinah asalkan mau pergi meninggalkan tempat itu, beliau juga mengutus Nu’aim bin Mas’ud untuk mengadudomba Bani Quraydzah dengan Qurays dan Ghatafan. Intrik-intrik Nu’aim berhasil memecahbelah persekutuan mereka. Pihak Quraisy tidak percaya Bani Quraidzah lagi, sedangkan Ghatafan selain berpikiran serupa dengan Quraisy, ia juga maju mundur karena terbuai oleh janji Muslimin. Pada suatu malam, kencangnya angin topan disertai hujan lebat dengan gemuruh petir dan halilintar, merusak kemah-kemah Quraisy yang akhirnya membuat mereka memutuskan untuk kembali ke Mekkah.
Karena ulahnya, Bani Quraydzah kudu menanggung akibatnya. Muslimin mengepung mereka selama dua puluh lima malam, selama pengepungan terjadi bentrokan kecil antara kedua belah pihak. Menyadari keterbatasannya, Bani Quraydzah mengutus orang kepada Muhammad dengan permintaan untuk mengirimkan Abu Lubaba dari Aus kepada mereka untuk dimintai pendapatnya. Muhammad menyetujuinya dan mereka pun berunding dengan keputusan mereka akan pergi ke Adhri`at, tetapi beliau menolaknya. Oleh karena itu, mereka minta bantuan kepada Aus yang akhirnya mampu merubah keputusan Nabi, beliau meminta seorang untuk menengahi persoalan tersebut. Bani Quraydzah memilih Sa’ad bin Mu’adz, mereka berunding dengan keputusan, mereka harus turun dari benteng, meletakkan senjata, bagi pelaku kejahatan perang dari mereka dijatuhi hukuman mati, harta benda dibagi, wanita dan anak-anak ditawan (627 M).
Muhammad masih khawatir sekiranya nanti Heraklius atau Kisra datang meminta bantuan Yahudi Khaybar yang merupakan koloni Isra`il yang terkuat dengan persenjataan terkuat pula, atau dendam lama dalam hati mereka itu akan bangkit kembali, atau juga mengingatkan mereka kepada nasib saudara seagama mereka, Bani Qaynuqa. Wajar sekali mereka akan mengadakan pembalasan bila saja mereka mendapatkan bala bantuan dari pihak Heraklius. Selain itu beberapa utusan mereka telah memperkuat pasukan Ahzab dalam perang Khandaq. Setelah kalahnya pasukan Ahzab, mereka juga berkomplot dengan Bani Ghatafan dan orang-orang Arab badui untuk memerangi Muslimin. Kalau memang demikian, kekuasaan mereka harus ditumpas habis secepatnya, sehingga mereka sama sekali tidak akan bisa lagi mengadakan perlawanan di negeri-negeri Arab. Beliau memerintahkan seribu tujuh ratus Muslimin menyerbu Yahudi Khaybar. Akan tetapi pihak Yahudi Khaybar memang sudah menantikan penyerangan ini, mereka pun bersiap-siap dan meminta bantuan Ghatafan. Sebelum perang meledak, Muslimin sudah menewaskan pemimpin-pemimpin Yahudi Khaybar. Kedua belah pihak sudah berhadap-hadapan di sekitar benteng Natat dan pertempuran mati-matian akhirnya meletus. Pihak Yahudi Kahybar terpaksa mundur dan mereka terkepung selama beberapa hari di dalam sebuah benteng. Muslimin berhasil menerobos benteng Qamush itu dan perang pun berkobar di antara mereka. Akhirnya benteng-benteng mereka satu demi satu jatuh ke tangan Muslimin. Sejak itulah Yahudi Khaybar mulai putus asa dan minta damai, permintaan ini dikabulkan. Muhammad memperlakukan mereka tidak sama seperti Yahudi Bani Qaynuqa dan Bani Nadhir karena dengan jatuhnya mereka, beliau merasa terjamin dari bahaya mereka dan yakin bahwa mereka tidak akan bisa melawan lagi. Selain itu di sana juga terdapat beberapa perkebunan, ladang dan kebun-kebun kurma yang masih memerlukan tenaga ahli untuk mengurusnya.
Setelah itu, Muhammad mengutus seorang ke Yahudi Fadak supaya mereka menerima seruannya dan menyerahkan harta benda mereka. Mengetahui kejadian di Khaybar, mereka merasa ketakutan dan persetujuan pun diadakan dengan menyerahkan separuh harta mereka tanpa pertempuran. Sesudah itu Muslimin hendak kembali ke Madinah melewati Wadi’l Qura. Tetapi kaum Yahudi di sana sudah menyiapkan diri hendak menyerang mereka, pertempuran pun pecah akan tetapi pihak Yahudi terpaksa menyerah dan minta damai. Sebaliknya Yahudi Tayma` bersedia membayar jizyah tanpa peperangan. Persetujuan antara Muslimin dengan Yahudi Bani Ghazia dan Bani ‘Aridz juga tercipta bahwa mereka akan memperoleh perlindungan (dzimmah) dan mereka dikenakan pajak. Dengan demikian semua kaum Yahudi tunduk kepada kekuasaan Muhammad.
Dengan ini, kekuatan dan kewibawaan Muslimin kian bertambah di Madinah. Orang-orang munafik tidak berani bersuara lagi. Semua masyarakat Arab sudah mulai berbicara tentang kekuatan dan kekuasaan Muslimin. Sedangkan Muslimin merasa lega setelah pihak Yahudi di sekitar Madinah dapat dibersihkan, mereka pun tidak punya apa-apa dan hanya bertahan selama enam bulan di sana. Mereka bersama Muslimin menyusun suatu masyarakat Arab dengan cara yang belum mereka kenal sebelumnya di bawah naungan Islam. Dalam waktu singkat, Islam telah membukakan jalan dalam meletakkan bibit kebudayaan, yang kemudian tersusun dari peradaban Persia, Romawi, Mesir, serta diwarnai dengan pola peradaban Islam.
Dari ulasan di atas dapat disimpulkan bahwa pertentangan antara Muslimin dengan kaum Yahudi di Madinah lebih dipicu oleh faktor politik ketimbang faktor teologis. Maka sudah sewajarnya, bila ayat-ayat al-Qur`an yang turun di Madinah lebih terwarnai dengan pembeberan kemunafikan Yahudi serta bahayanya, perdebatan dengan Ahli Kitab, menyingkap kriminalitas mereka dalam merubah kitab suci, pensyariatan perang dan lain sebagainya. Walaupun demikian, Muhammad acapkali tetap menghormati mereka serta keyakinannya, tidak pernah mengusik jalannya ritual-ritual keagamaan Yahudi. Inilah ilustrasi ajaran Islam sesungguhnya sebagai agama penebar kasih sayang dan anti segala tindak kekerasan dan kelaliman. Di sini pula kita dituntut untuk memahami ayat al-Qur`an dan Hadits versi Madinah dengan konteks kesejarahannya. Karena tidak sedikit dari keduanya yang berbau politis seirama dengan kancah politik di Madinah atau sekitar Jazirah Arabia. Jika ini tidak dilakukan, maka ketimpangan pemahaman rentan terjadi yang akan menimbulkan dampak serius bagi umat Islam.

Selain itu sebagian besar bangsa Yahudi telah meninggalkan wilayah Palestina, dan terputus kontak mereka dengan negeri ini selama 18 abad (sejak 135 M hinga abad 20), sedangkan penduduk pribumi asli Palestina asli—yang kemudian masuk Islam—belum pernah meninggalkan negeri ini selama 4500 tahun yang lalu hingga tiba waktu pendeportasian besar-besaran yang dilakukan para kriminal Zionis pada tahun 1948 M.
Satu hal lagi, sesungguhnya lebih dari 80% Yahudi di zaman ini tidak jelas hubungannya sama sekali dengan Bani Israel, baik keturunan maupun sejarah. Hal itu karena sebagian besar Yahudi kontemporer adalah bangsa Yahudi Khazar yang berasal dari kabilah Tatar, Turki kuno yang berdiam di wilayah Kokaz dataran tinggi Georgia (selatan Rusia). Mereka berkonversi dengan Yahudi pada abad 8 SM di bawah pimpinan rajanya Bolan.Tahun 740 M saat kerajaan mereka runtuh, tersebarlah mereka ke berbagai penjuru Rusia dan timur Eropa. Mereka kemudian disebut Yahudi Askhenazi. Golongan Yahudi ini adalah penganut sekte sesat Qabalisme. Golongan yang lain adalah Yahudi Sephardim, berasal dari kerajaan Yahuda yang berpegang pada Taurat Musa, saat ini mereka paling menderita akibat berkembangnya gerakan zionis. Mereka akhirnya terusir dari kampung halamannya di berbagai negara Arab. Ketika beremigrasi ke Israel pun mereka menjadi warga negara kelas dua dan mendapat perlakuan diskriminatif dari Yahudi Askhenazi yang menguasai politik dan ekonomi negara.

*500 – 600*
Nabi Muhammad Saw lahir di tahun 571 M. Bangsa Yahudi merembes ke semenanjung Arabia (di antaranya di Khaibar dan sekitar Madinah), kemudian berimigrasi dalam jumlah besar ke daerah tersebut ketika terjadi perang antara Romawi dengan Persia .


Silsilah Muhamad (Turunan Ibrahim dari jalur Ismail)
Muhammad saw. adalah putera Abdullah bin al-Muttalib bin Hasyim bin Abu Manaf bin Qusayy bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ayy bin Galib bin Fihr (terkenal dengan nama Quraisy) bin Malik bin an-Nadr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudar bin Nizar bin Ma’add bin ‘Adnan bn Udd (atau Udad) bin Muqawwam bin Nahur bin Tairah bin Ya’rub bin Yasyjub bin Nabit bin Ismail bin Ibrahim bin Tarikh (Azar) bin Nahur bin Sarug bin Rau bin Falikh bin Aibar/’Abir bin Syalikh bin Arfakhsadz bin Sam bin Nuh bin Lamik bin Matusyalakh bin Idris (Akhnukh) bin Yard/Yarid bin Mahlil/Mahlail bin Qainan bin Anusy/Yanisy bin Syits bin Adam


Muhamad Pergi Ke Suria Dalam Usia Duabelas Tahun
Anak itu lalu turut serta dalam rombongan kafilah, hingga sampai di Bushra di sebelah selatan Syam. Dalam buku-buku riwayat hidup Muhammad diceritakan, bahwa dalam perjalanan inilah ia bertemu dengan rahib Bahira, dan bahwa rahib itu telah melihat tanda-tanda kenabian padanya sesuai dengan petunjuk cerita-cerita Kristen. Sebagian sumber menceritakan, bahwa rahib itu menasehatkan keluarganya supaya jangan terlampau dalam memasuki daerah Syam, sebab dikuatirkan orang-orang Yahudi yang mengetahui tanda-tanda itu akan berbuat jahat terhadap dia.

Dalam perjalanan itulah sepasang mata Muhammad yang indah itu melihat luasnya padang pasir, menatap bintang-bintang yang berkilauan di langit yang jernih cemerlang. Dilaluinya daerah-daerah Madyan, Wadit'l-Qura serta peninggalan bangunan-bangunan Thamud. Didengarnya dengan telinganya yang tajam segala cerita orang-orang Arab dan penduduk pedalaman tentang bangunan-bangunan itu, tentang sejarahnya masa lampau. Dalam perjalanan ke daerah Syam ini ia berhenti di kebun-kebun yang lebat dengan buab-buahan yang sudah masak, yang akan membuat ia lupa akan kebun-kebun di Ta'if serta segala cerita orang tentang itu. Taman-taman yang dilihatnya dibandingkannya dengan dataran pasir yang gersang dan gunung-gunung tandus di sekeliling Mekah itu. Di Syam ini juga Muhammad mengetahui berita-berita tentang Kerajaan Rumawi dan agama Kristennya, didengarnya berita tentang Kitab Suci mereka serta oposisi Persia dari penyembah api terhadap mereka dan persiapannya menghadapi perang dengan Persia.

Sekalipun usianya baru dua belas tahun, tapi dia sudah mempunyai persiapan kebesaran jiwa, kecerdasan dan ketajaman otak, sudah mempunyai tinjauan yang begitu dalam dan ingatan yang cukup kuat serta segala sifat-sifat semacam itu yang diberikan alam kepadanya sebagai suatu persiapan akan menerima risalah (misi) maha besar yang sedang menantinya. Ia melihat ke sekeliling, dengan sikap menyelidiki, meneliti. Ia tidak puas terhadap segala yang didengar dan dilihatnya. Ia bertanya kepada diri sendiri: Di manakah kebenaran dari semua itu?

Tampaknya Abu Talib tidak banyak membawa harta dari perjalanannya itu. Ia tidak lagi mengadakan perjalanan demikian. Malah sudah merasa cukup dengan yang sudah diperolehnya itu. Ia menetap di Mekah mengasuh anak-anaknya yang banyak sekalipun dengan harta yang tidak seberapa. Muhammad juga tinggal dengan pamannya, menerima apa yang ada. Ia melakukan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh mereka yang seusia dia. Bila tiba bulan-bulan suci, kadang ia tinggal di Mekah dengan keluarga, kadang pergi bersama mereka ke pekan-pekan yang berdekatan dengan 'Ukaz, Majanna dan Dhu'l-Majaz, mendengarkan sajak-sajak yang dibawakan oleh penyair-penyair Mudhahhabat dan Mu'allaqat3. Pendengarannya terpesona oleh sajak-sajak yang fasih melukiskan lagu cinta dan puisi-puisi kebanggaan, melukiskan nenek moyang mereka, peperangan mereka, kemurahan hati dan jasa-jasa mereka. Didengarnya ahli-ahli pidato di antaranya orang-orang Yahudi dan Nasrani yang membenci paganisma Arab. Mereka bicara tentang Kitab-kitab Suci Isa dan Musa, dan mengajak kepada kebenaran menurut keyakinan mereka. Dinilainya semua itu dengan hati nuraninya, dilihatnya ini lebih baik daripada paganisma yang telah menghanyutkan keluarganya itu. Tetapi tidak sepenuhnya ia merasa lega.

Dengan demikian sejak muda-belia takdir telah mengantarkannya ke jurusan yang akan membawanya ke suatu saat bersejarah, saat mula pertama datangnya wahyu, tatkala Tuhan memerintahkan ia menyampaikan risalahNya itu. Yakni risalah kebenaran dan petunjuk bagi seluruh umat manusia.


Data
Sejak abad ke-7 mulailah terjadi kontak antara Islam dan Palestina. Pada masa ini kawasan yang disebut Syam (Suriah) termasuk di dalamnya Palestina. Kontak awal Palestina dengan Islam terjadi ketika Nabi Muhammad SAW mengadakan perjalanan ilahiah (isra), yaitu perjalanan Nabi SAW pada malam hari dari Mekah ke Yerusalem. Hal ini terdapat dalam surah al-Isra ayat 1 yang artinya: “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidilharam ke Masjidilaksa...” Yang dimaksud Masjidilaksa tersebut bukanlah dalam wujudnya seperti yang sekarang ada di Yerusalem, karena mesjid ini didirikan pada tahun 705 oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari Dinasti Umayyah. Sedangkan Masjidilaksa yang dimaksud adalah masjid yang pada masa Nabi SAW hanya merupakan haekal atau tempat yang mulia (Yerusalem) yang dibuat pada masa Nabi Sulaiman AS. Di tengah-tengah haekal itu terdapat sebuah batu besar berwarna hitam yang disebut shakra’. Dengan menghadap ke arah batu inilah Nabi SAW mengerjakan salat dua rakaat; kemudian dengan berlandaskan padanya beliau dinaikkan oleh Allah swt. untuk mikraj. Isra dan mikraj merupakan sebuah perjalanan yang dilakukan oleh Nabi SAW untuk menerima mandat-mandat ilahiah, termasuk di dalamnya perintah salat. Dalam perjalanan ini, Nabi SAW dibawa melihat kebesaran Allah swt.. Kemudian Nabi SAW diberitahu, bahwa di tempat inilah para rasul terdahulu menerima wahyu.
Setelah itu, sejak periode Mekah dan selama satu tahun di Madinah, Baitulmaqdis merupakan kiblat pertama umat Islam. Pengambilan tempat itu sebagai kiblat, selain perintah Allah swt., juga mengisyaratkan protes Nabi SAW atas penganiayaan orang-orang Quraisy Mekah terhadap kaum muslim, serta larangan melakukan ibadah di masjidil haram pada tahun-tahun pertama perkembangan Islam. Setelah satu tahun di Madinah, datanglah perintah Allah swt. kepada rasul-Nya untuk menghadap kiblat ke Ka’bah. Hal ini pun disebabkan adanya anggapan masyarakat Yahudi Madinah, bahwa agama Islam yang dibawa oleh Muhammad SAW sama dengan agama yang mereka anut. Oleh sebab itu, mereka enggan mengikuti agama baru itu.

500 - 600: Bangsa Yahudi merembes ke semenanjung Arabia (di antaranya di Khaibar dan sekitar Madinah), kemudian berimigrasi dalam jumlah besar ke daerah tersebut ketika terjadi perang antara Romawi dan Persia.
619: Nabi Muhammad saw melakukan perjalanan ruhani: Isra’ dari masjidil Haram ke masjidil Aqsha dan Mi’raj ke langit. Rasulullah menetapkan Yerusalem sebagai kota suci-3 ummat Islam, sholat di masjidil Aqsha dinilai 500 kali dibanding sholat di masjid yang lain selain masjidil Haram dan masjid Nabawi. Masjidil Aqsha juga menjadi kiblat ummat Islam sebelum dipindah ke ka’bah.
622: Hijrah nabi ke Madinah dan pendirian negara Islam (yang seterusnya disebut khilafah). Nabi mengadakan perjanjian dengan penduduk Yahudi di Madinah dan sekitarnya, yang dikenal dengan “Piagam Madinah”.
626: Pengkhianatan Yahudi dalam perang Ahzab (atau perang parit) dan berarti melanggar Piagam Madinah. Sesuai dengan aturan di Kitab Taurat mereka sendiri, mereka dibunuh atau diusir.

Palestina di bawah Daulah Islam
638: Di bawah Umar bin Khattab, seluruh Palestina dimerdekakan dari penjajah Romawi. Seterusnya seluruh penduduk Palestina, muslim maupun non muslim, hidup aman di bawah khilafah. Kebebasan beragama dijamin.
700 - 1000: Wilayah Islam meluas dari Asia Tengah, Afrika hingga Spanyol. Di dalamnya, bangsa Yahudi mendapat peluang ekonomi dan intelektual yang sama. Ada beberapa ilmuwan yang terkenal di dunia Islam yang sesungguhnya adalah orang Yahudi.
1076: Yerusalem dikepung tentara salib dari Eropa. Karena pengkhianatan kaum munafik (sekte Drusiah yang mengaku Islam tapi ajarannya sesat), pada 1099 tentara salib berhasil menguasai Yerusalem dan mengangkat seorang raja Kristen. Penjajahan ini berlangsung hingga 1187, sampai Salahuddin al Ayubi membebaskannya, setelah ummat Islam yang terlena sufisme yang sesat bisa dibangkitkan kembali.
Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. …(QS. 13:11)
1453: Setelah melalui proses reunifikasi dan revivitalisasi wilayah-wilayah khilafah yang tercerai berai setelah hancurnya Bagdad oleh tentara Mongol (1258), khilafah Utsmaniyah di bawah Muhammad Fatih menaklukkan Kontantinopel, dan mewujudkan nubuwwah Rasulullah. 700 tahun lebih kaum muslimin berlomba untuk menjadi mereka yang diramalkan Rasul dalam hadits berikut:
Hari kiamat tak akan tiba sebelum tanah Romawi di dekat al-A’maq atau Dabiq ditaklukkan. Sepasukan tentara terbaik di dunia akan datang … Maka mereka bertempur. Sepertiga dari mereka akan lari, dan Allah tak akan memaafkannya. Sepertiga lagi ditakdirkan gugur sebagai syuhada. Dan sepertiga lagi akan menang dan menjadi penakluk Konstantinopel. (HR Muslim, no. 6924)
1492: Andalusia sepenuhnya jatuh ke tangan Kristen Spanyol (reconquista). Karena cemas suatu saat ummat Islam bisa bangkit lagi, maka terjadi pembunuhan, pengusiran dan pengkristenan massal. Hal ini tak cuma diarahkan pada muslim namun juga pada Yahudi. Mereka lari ke wilayah khilafah Utsmaniyah, di antaranya ke Bosnia. Pada 1992 raja Juan Carlos dari Spanyol secara resmi meminta maaf kepada pemerintah Israel atas holocaust 500 tahun sebelumnya.
1500-1700: Kebangkitan pemikiran di Eropa, munculnya sekularisme (pemisahan gereja - negara), nasionalisme dan kapitalisme. Mulainya kemajuan teknologi modern di Eropa. Abad penjelajahan samudera dimulai. Mereka mencari jalur alternatif ke India dan Cina, tanpa melalui daerah-daerah Islam. Tapi berikutnya mereka didorong semangat kolonialisme / imperialisme.
1529: Tentara khilafah berusaha menghentikan arus kolonialisme / imperialisme serta membalas reconquista langsung ke jantung Eropa dengan mengepung Wina, namun gagal. Tahun 1683 kepungan ini diulang, dan gagal lagi. Kegagalan ini terutama karena tentara Islam terlalu yakin pada jumlah dan perlengkapannya.
… yaitu ketika kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfa’at kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dan bercerai-berai. (QS. 9:25)


Data pembanding
Satu

Setelah Roma mengusir Yahudi dari Palestina, Yerusalem dan sekitarnya menjadi lenyap. Akan tetapi, Yerusalem kembali menjadi pusat perhatian setelah Pemerintah Romawi Constantine memeluk agama Nasrani. Orang-orang Roma Kristen membangun gereja-gereja di Yerusalem, dan menjadikannya sebagai sebuah kota Nasrani. Palestina tetap menjadi daerah Romawi (Bizantium) hingga abad ketujuh, ketika negeri ini menjadi bagian Kerajaan Persia selama masa yang singkat. Akhirnya, Bizantium kembali menguasainya.

Tahun 637 menjadi titik balik penting dalam sejarah Palestina, karena setelah masa ini daerah ini berada di bawah kendali kaum Muslimin. Peristiwa ini mendatangkan perdamaian dan ketertiban bagi Palestina, yang selama berabad-abad telah menjadi tempat perang, pengasingan, penyerangan, dan pembantaian. Apalagi, setiap kali daerah ini berganti penguasa, seringkali menyaksikan kekejaman baru. Di bawah pemerintahan Muslim, penduduknya, tanpa melihat keyakinan mereka, hidup bersama dalam damai dan ketertiban.
Palestina ditaklukkan oleh Umar Bin Khattab, khalifah kedua. Ketika memasuki Yerusalem, toleransi, kebijaksanaan, dan kebaikan yang ditunjukkannya kepada penduduk daerah ini, tanpa membeda-bedakan agama mereka menandai awal dari sebuah zaman baru yang indah, umat Islam membawa peradaban, perdamaian, dan ketertiban bagi Yerusalem dan seluruh Palestina.

Perdamaian dan ketertiban ini terus berlanjut sepanjang orang-orang Islam memerintah di daerah ini. Akan tetapi, di akhir abad XI, kekuatan penakluk lain dari Eropa memasuki daerah ini dan merampas tanah beradab Yerusalem dengan tindakan tak berperikemanusiaan dan kekejaman yang belum pernah terlihat sebelumnya. Para penyerang ini adalah Tentara Perang Salib

Ketika orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Islam hidup bersama dalam kedamaian, sang Paus memutuskan untuk membangun sebuah kekuatan perang Salib. Mengikuti ajakan Paus Urbanius II pada 27 November 1095 di Dewan Clermont, lebih dari 100.000 orang Eropa bergerak ke Palestina untuk “memerdekakan” tanah suci dari orang Islam dan mencari kekayaan yang besar di Timur. Setelah perjalanan panjang dan melelahkan, dan banyak perampasan dan pembantaian di sepanjang perjalanannya, mereka mencapai Yerusalem pada tahun 1099. Kota ini jatuh setelah pengepungan hampir 5 minggu. Ketika Tentara Perang Salib masuk ke dalam, mereka melakukan pembantaian yang sadis. Seluruh orang-orang Islam dan Yahudi dibasmi dengan pedang.
Dalam dua hari, tentara Perang Salib membunuh sekitar 40.000 orang Islam dengan cara tak berperikemanusiaan seperti yang telah digambarkan.12 Perdamaian dan ketertiban di Palestina, yang telah berlangsung semenjak Umar, berakhir dengan pembantaian yang mengerikan.
Tentara Perang Salib menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota mereka, dan mendirikan Kerajaan Katolik yang terbentang dari Palestina hingga Antakiyah. Namun pemerintahan mereka berumur pendek, karena Salahuddin mengumpulkan seluruh kerajaan Islam di bawah benderanya dalam suatu perang suci dan mengalahkan tentara Perang Salib dalam pertempuran Hattin pada tahun 1187. Setelah pertempuran ini, dua pemimpin tentara Perang Salib, Reynald dari Chatillon dan Raja Guy, dibawa ke hadapan Salahuddin. Beliau menghukum mati Reynald dari Chatillon, yang telah begitu keji karena kekejamannya yang hebat yang ia lakukan kepada orang-orang Islam, namun membiarkan Raya Guy pergi, karena ia tidak melakukan kekejaman yang serupa. Palestina sekali lagi menyaksikan arti keadilan yang sebenarnya.
Tiga bulan setelah pertempuran Hattin, dan pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad SAW diperjalankan dari Mekah ke Yerusalem untuk perjalanan mikrajnya ke langit, Salahuddin memasuki Yerusalem dan membebaskannya dari 88 tahun pendudukan tentara Perang Salib. Sebaliknya dengan “pembebasan” tentara Perang Salib, Salahuddin tidak menyentuh seorang Nasrani pun di kota tersebut, sehingga menyingkirkan rasa takut mereka bahwa mereka semua akan dibantai. Ia hanya memerintahkan semua umat Nasrani Latin (Katolik) untuk meninggalkan Yerusalem. Umat Nasrani Ortodoks, yang bukan tentara Perang Salib, dibiarkan tinggal dan beribadah menurut yang mereka pilih.

Pada tahun 1514, Sultan Salim menaklukkan Yerusalem dan daerah-daerah sekitarnya dan sekitar 400 tahun pemerintahan Ottoman di Palestina pun dimulai. Seperti di negara-negara Ottoman lainnya, masa ini menyebabkan orang-orang Palestina menikmati perdamaian dan stabilitas meskipun kenyataannya pemeluk tiga keyakinan berbeda hidup berdampingan satu sama lain.
Kesultanan Ottoman diperintah dengan “sistem bangsa (millet),” yang gambaran dasarnya adalah bahwa orang-orang dengan keyakinan berbeda diizinkan hidup menurut keyakinan dan sistem hukumnya sendiri. Orang-orang Nasrani dan Yahudi, yang disebut Al-Qur'an sebagai Ahli Kitab, menemukan toleransi, keamanan, dan kebebasan di tanah Ottoman.
Alasan terpenting dari hal ini adalah bahwa, meskipun Kesultanan Ottoman adalah negara Islam yang diatur oleh orang-orang Islam, kesultanan tidak ingin memaksa rakyatnya untuk memeluk Islam. Sebaliknya kesultanan ingin memberikan kedamaian dan keamanan bagi orang-orang non-Muslim dan memerintah mereka dengan cara sedemikian sehingga mereka nyaman dalam aturan dan keadilan Islam.
Negara-negara besar lainnya pada saat yang sama mempunyai sistem pemerintahan yang lebih kejam, menindas, dan tidak toleran. Spanyol tidak membiarkan keberadaan orang-orang Islam dan Yahudi di tanah Spanyol, dua masyarakat yang mengalami penindasan hebat. Di banyak negara-negara Eropa lainnya, orang Yahudi ditindas hanya karena mereka adalah orang Yahudi (misalnya, mereka dipaksa untuk hidup di kampung khusus minoritas Yahudi (ghetto), dan kadangkala menjadi korban pembantaian massal (pogrom). Orang-orang Nasrani bahkan tidak dapat berdampingan satu sama lain: Pertikaian antara Protestan dan Katolik selama abad keenambelas dan ketujuhbelas menjadikan Eropa sebuah medan pertempuran berdarah. Perang Tiga Puluh Tahun (1618-1648) adalah salah satu akibat pertikaian ini. Akibat perang itu, Eropa Tengah menjadi sebuah ajang perang dan di Jerman saja, 5 juta orang (sepertiga jumlah penduduknya) lenyap.
Bertolak belakang dengan kekejaman ini, Kesultanan Ottoman dan negara-negara Islam membangun pemerintahan mereka berdasarkan perintah Al-Qur'an tentang pemerintahan yang toleran, adil, dan berprikemanusiaan. Alasan keadilan dan peradaban yang dipertunjukkan oleh Umar, Salahuddin, dan sultan-sultan Ottoman, serta banyak penguasa Islam, yang diterima oleh Dunia Barat saat ini, adalah karena keimanan mereka kepada perintah-perintah Al-Qur'an, yang beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Qur'an, 4:58)
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (Qur'an, 4:135)

Tanah Palestina adalah sebuah bukti pemerintahan Islam yang adil dan toleran, dan memberi pengaruh kepada banyak kepercayaan dan gagasan. Seperti telah disebutkan sebelumnya, pemerintahan Nabi Muhammad SAW, Umar, Salahuddin, dan sultan-sultan Ottoman adalah pemerintahan yang bahkan orang-orang non-Muslim pun sepakat dengannya. Masa pemerintahan yang adil ini berlanjut hingga abad kedua puluh, dengan berakhirnya pemerintahan Muslim pada tahun 1917, daerah tersebut jatuh ke dalam kekacauan, teror, pertumpahan darah, dan perang.
Yerusalem, pusat tiga agama, mengalami masa stabilitas terpanjang dalam sejarahnya di bawah Ottoman, ketika kedamaian, kekayaan, dan kesejahteraan berkuasa di sana dan di seluruh kesultanan. Umat Nasrani, Yahudi, dan Muslim, dengan berbagai golongannya, beribadah menurut yang mereka sukai, dihormati keyakinannya, dan mengikuti kebiasaan dan tradisi mereka sendiri. Ini dimungkinkan karena Ottoman memerintah dengan keyakinan bahwa membawa keteraturan, keadilan, kedamaian, kesejahteraan, dan toleransi kepada daerah mereka adalah sebuah kewajiban suci.
Banyak ahli sejarah dan ilmuwan politik telah memberi perhatian kepada kenyataan ini. Salah satu dari mereka adalah ahli Timur Tengah yang terkenal di seluruh dunia dari Columbia University, Profesor Edward Said. Berasal dari sebuah keluarga Nasrani di Yerusalem, ia melanjutkan penelitiannya di universitas-universitas Amerika, jauh dari tanah airnya. Dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Israel Ha’aretz, ia menganjurkan dibangkitkannya “sistem bangsa Ottoman” jika perdamaian permanen ingin dibangun di Timur Tengah. Dalam pernyataannya,
Sebuah minoritas Yahudi bisa bertahan dengan cara minoritas lainnya di dunia Arab bertahan… ini cukup berfungsi baik di bawah Kesultanan Ottoman, dengan sistem millet-nya. Sebuah sistem yang kelihatannya jauh lebih manusiawi dibandingkan sistem yang kita miliki sekarang.14
Memang, Palestina tidak pernah menyaksikan pemerintahan “manusiawi” lain begitu pemerintahan Ottoman berakhir. Antara dua perang dunia, Inggris menghancurkan orang-orang Arab dengan strategi “memecah dan menaklukkannya” dan serentak memperkuat Zionis, yang kemudian terbukti menentang, bahkan terhadap mereka sendiri. Zionisme memicu kemarahan orang-orang Arab, dan dari tahun 1930an, Palestina menjadi tempat pertentangan antara kedua kelompok ini. Zionis membentuk kelompok teroris untuk melawan orang-orag Palestina, dan segera setelahnya, mulai menyerang orang-orang Inggris pula. Begitu Inggris berlepas tangan dan menyerahkan kekuasaannya atas daerah ini pada 1947, pertentangan inim yang berubah menjadi perang dan pendudukan Israel serta pembantaian (yang terus berlanjut hingga hari ini) mulai bertambah parah.
Agar daerah ini dapat menikmati pemerintahan “manusiawi”nya kembali, orang-orang Yahudi harus meninggalkan Zionisme dan tujuannya tentang “Palestina yang secara khusus bagi orang-orang Yahudi,” dan menerima gagasan berbagi daerah dengan orang-orang Arab dengan syarat yang sama. Bangsa Arab, dengan demikian pula, harus menghilangkan tujuan yang tidak Islami seperti “melemparkan Israel ke laut” atau “memenggal kepala semua orang Yahudi,” dan menerima gagasan hidup bersama dengan mereka. Menurut Said, ini berarti mengembalikan lagi sistem Ottoman, yang merupakan satu-satunya pemecahan yang akan memungkinkan orang-orang di daerah ini hidup dalam perdamaian dan ketertiban. Sistem ini mungkin dapat menciptakan sebuah lingkungan perdamaian wilayah dan keamanan, seperti yang pernah terjadi di masa lalu.
Dalam bab terakhir, kita akan membahas dengan rinci pemecahan ini. Namun sebelum kita melakukannya, mari kita tinjau kembali masa lalu untuk meneliti kekacauan dan kekejaman yang menguasai Palestina setelah pemerintahan Muslim berakhir.

Dua
Hingga masa nabi Isa, kaum Yahudi ini masih percaya tentang kelahiran nabi akhir zaman yang diberitakan bernama Ahmad. Mereka terkejut bukan kepalang ketika mengetahui orang yang memiliki tanda-tanda kenabian yang tercantum pada kitab suci mereka (Taurat) justru lahir tidak dari keturunan mereka (seperti nabi-nabi sebelumnya). Tetapi justru dari bangsa Arab yang notabene keturunan Ismail yang mereka anggap keturunan yang hina.
Dengan kesombongannya, mereka tidak mau mengimani nabi tersebut (Muhammad). Lantas sejak saat itu mereka memusuhi segala sesuatu yang berhubungan dengan Islam. Mereka selalu berusaha menghancurkan Islam. Mulai dari masa-masa awal Islam berkembang di Mekkah, kemudian di Madinah, perang Ahzab, hingga peristiwa Al Hasyr. Mereka senantiasa mengkhianati semua perjanjian yang mereka buat dengan kaum Muslimin di bawah pimpinan Rasulullah. Bahkan bukan hanya saat itu saja. Perjanjian camp David abad 20 pun mereka langgar. Susah memang kalo sudah jadi “Natural Born Betrayer” (memodifikasi judul filmnya Oliver Stone dan Quentin
Dari sejarahnya, seharusnya Tanah Kanaan adalah milik kaum Muslimin. Kenapa? Karena yang dibawa oleh nabi Musa dahulu adalah umat yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Bukan kaum yang mendustakan nabinya. Oleh karenanya umat Islam berhak atas tanah tersebut. Maka ketika tanah ini dikuasai oleh imperium Romawi, oleh kekhalifahan Islam direbut kembali. Tetapi kemudian pada perang salib pertama, tentara Crusader menginvasi bumi Al Aqsha dengan membunuhi semua penduduknya. Dalam satu literatur disebutkan bahwa ketika itu tanah di depan Masjidil Aqsha digenangi darah umat Muslim yang dibantai.
Kemudian dua ratus tahun kemudian seorang keturunan kurdi yang bernama Shalahuddin Al Ayyubi memimpin sebuah pasukan besar untuk mengambil kembali tanah Kana’an ini. Ketika itu tentara crusader yang ada di bumi Al Aqsha keluar untuk menyambut pasukan Shalahuddin. Mereka semua musnah. Kemudian raja Al Aqsha ketika itu menyerahkan kunci Baytul Maqdis kepada Shalahuddin Al Ayyubi, tanpa terjadi pembunuhan besar-besaran terhadap penduduk kota tersebut seperti yang terjadi dua ratus tahun sebelumnya.
Kemudian tanah ini menjadi bagian dari Imperium Utsmani, di mana ketika itu Palestina merupakan bagian dari kerajaan Mamluk yang kemudian bergabung dengan Imperium Utsmani. Palestina berada di bawah kekuasaan Islam hingga abad ke dua puluh.
Pada perang dunia pertama, Imperium Utsmani ikut ambil bagian bersama Jerman. Pihak ini berseberangan dengan Inggris Raya. Seperti kita ketahui, Jerman dan sekutunya kalah pada perang dunia ini. Tanah Palestina pun berhasil dicaplok oleh Inggris dan sekutunya. Alhasil, sejak saat itu Palestina berpindah tangan.
Pada perang dunia kedua, terjadi sebuah peristiwa yang memilukan. Pembunuhan besar-besaran terhadap kaum Yahudi di Jerman oleh pasukan NAZI. Peristiwa ini sering disebut dengan istilah holocaust. Menurut data ketika itu, ada sekitar 6 juta orang yahudi yang dibunuh oleh pasukan NAZI.
Seperti kita ketahui pula, Jerman kembali kalah pada perang dunia ini. Jerman kalah total sehingga negaranya diduduki oleh kubu sekutu. Kemudian negara ini dibagi dua untuk dua kekuatan besar yang ada di dalam pasukan sekutu ketika itu: Barat dan Komunis. Terbagilah jerman menjadi barat dan timur. Kemudian keduanya bersatu, dan pada tahun 2006 sukses besar di piala dunia. (halah, kok ga nyambung sih. Padahal sayakan pendukung berat Perancis- makin gak nyambung!!!!)
Kembali ke kisah Palestina.
Ketika itu, kaum sekutu sepakat untuk menyelamatkan kaum Yahudi ke sebuah negara yang jaraknya 3000 kilometer lebih dari Jerman, yaitu ke Palestina. Sebuah tanah jajahan Inggris ketika itu.
Sejak itulah, kisah perseteruan Israel (Yahudi) – Palestina (Islam) tak pernah usai. Di satu sisi umat Islam mengakui Palestina sebagai tanahnya karena adanya Al Aqsha dan peristiwa hijrahnya nabi Musa. Di sisi lain, Yahudi mengklaim sebagai tanahnya karena yang di bawa oleh Musa dahulu adalah nenek moyangnya.
Tapi yang pasti adalah: Palestina adalah tanah yang merdeka selama berabad-abad yang kemudian dikuasai oleh Inggris. Kemudian Inggris membuat negara di tanah itu dan menempatkan orang-orang Yahudi di sana. Negara itu mereka beri nama Israel. Negara kaum penjilat dunia.
Di awal pendiriannya, mereka dekat sekali dengan Sovyet. Semua peralatan perang mereka dapat dari sana. Kemudian setelah keadaan tidak menguntungkan, mereka beralih ke barat. Sekarang mereka jadi anak emas AS. Makanya ga aneh kalo legenda Armageddon meramalkan kelak dunia akan bersatu melawan kaum Yahudi.
Kalau kata Pak Mahmud, ada satu hal yang aneh. Pada perang dunia kedua, korban sipil mencapai 22 juta orang. 6 juta di antaranya adalah Yahudi. Lantas, kenapa sekutu ketika itu sangat perhatian dengan jumlah korban yang hanya 27%nya saja. Lantas mana perhatiannya terhadap korban perang yang 16 juta lainnya. Sudah gitu, korban yahudi ini malah ditempatkan di negara merdeka yang sangat jauh dari tempat asalnya di Jerman. Harusnya, kalau mau logis, yang dihukum adalah Jerman. Bagi saja wilayah Jerman. Sebagian tetap menjadi Jerman, sebagian yang lain menjadi Israel. Tapi, kenyataannya, kenapa sekutu justru menghukum rakyat Palestina yang tidak ikut perang dengan menempatkan para penjilat di negaranya? Bahkan sampai mendirikan negara pula?

Dokumen Aelia
Nama Aelia tetap bertahan sampai ketika dia jatuh ke tangan kaum Muslim pada zaman Khalifah Umar. Sewaktu kota itu jatuh ke tangan oarang beriman, Yerusalem adalah kota suci tiga agama, Yahudi, Kristen, dan Islam. Karena pentingnya kota itu bagi kaum Muslim, patriak Sophronius, penguasa lamanya tidak menyerahkannya kepada umat Muslim kecuali jika pimpinan tertinggi mereka sendiri, yaitu Umar bin Khatab datang menerimanya secara pribadi.
Kemudian dibuatlah perjanjian yang memuat jaminan perlindungan bagi agama dan umat Kristen. Bunyi bagian pertama perjanjian amat bersejarah itu demikian, “Inilah yang diberikan oleh hamba Allah, Umar komandan kaum beriman, kepada penduduk Aelia tentang keamanan: dia memberi mereka keamanan untuk jiwa dan harta mereka, juga untuk gereja dan salib-salib mereka, untuk sakit dan yang sehat, dan untuk keseluruhan agamanya. Gereja-gereja mereka tidak akan diduduki atau dirusak, dan (bangunan) gereja-gereja itu sendiri ataupun sekelilingnya tidak akan dikurangi, begitu pula salib mereka dan bagian apa pun dari harta mereka. Mereka tidak akan dipaksa meninggalkan agama mereka, dan tidak seorang pun dari mereka akan diganggu. Juga tidak seorang Yahudi pun akan tinggal bersama mereka di Aelia……” (Muhammad Hamidullah, Majmu’at al-Watsa’iq al-Siyasiyyah, Beirut, Dar al-Irsyad, 1969, H 380).
Sementara itu, Islam juga membuka kota tersebut untuk kaum Yahudi. Atas permintaan Kristen yang tidak ingin bercampur, kaum Yahudi pun ditempatkan tersendiri menempati kaveling tertentu. Kaum Yahudi hidup bebas di zaman kekuasaan Islam selama berabad-abad. Mereka menjadi penduduk kosmopolit, artinya dengan penuh kebebasan berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain untuk berbagai keperluan, terutama berdagang. Dalam pelukan kekuasaan Islam mereka itu bahagia sekali, lebih-lebih jika dibandingkan dengan keadaan mereka dibawah kekuasaan Kristen Eropa.
Karena itu, sungguh ironis bahwa sejak 1948 mereka merebut dan menjajah sewenang-wenang tanah Palestina, yaitu bangsa yang sejak dahulu telah tinggal di situ. Itulah kezhaliman Yahudi, yaitu kezhaliman kaum yang tidak tau berterimakasih kepada bangsa Arab yang telah menyelamatkan dan melindungi mereka yang selama ratusan tahun terus menerus dihalangi dan ditindas, pertama oleh Romawi yang pagan, kemudian oleh Romawi yang Kristen.
Hukuman Allah tidak akan berubah, yaitu bahwa “yang salah pasti seleh (hancur),” maka dengan kezhalimannya itu bangsa Yahudi sebenarnya sedang menggali kuburnya sendiri. Ini sejalan dengan peringatan tersirat dari Allah kepada nabi Ibrahim: “Dan ingatlah ketika Ibrahim diuji oleh Tuhannya dengan berbagai perintah, kemudian dipenuhinya dengan sempurna. Lalu Tuhan bersabda: ‘Sesungguhnya Aku menjadikan engkau (Ibrahim) pemimpin umat manusia,’ Ibrahim menyahut: Dan juga dari keturunanku? Tuhan menjawab, Perjanjianku ini tidak berlaku untuk mereka yang zhalim.” (QS al-Baqarah:124).

Sejak awal pengembaraan ini sampai abad ke-19 orang Yahudi tidak banyak diperbincangkan. Hanya tercatat bahwa mereka terbuang dari suatu daerah ke daerah lain atau terusir dari satu negara ke negara lain. Umat Kristen selalu memusuhi mereka, sebaliknya umat Islam mengulurkan tangan kepada mereka.
Pada akhir abad ke-19 dan seterusnya, keadaan berbalik. Perang Dunia I dan Perang Dunia II mengubah nasib bangsa ini. Cita-cita zionisme ditunjang dengan semangat tinggi oleh seluruh peserta perang, kecuali Nazi Jerman. Dengan cara khusus, berangsur-angsur umat Yahudi bergelombang memasuki daerah Palestina. Komisi persetujuan Amerika-Inggris memberi rekomendasi terhadap satu rombongan besar kaum ini untuk memasuki Palestina. Sampai pertengahan abad ke-20, dalam tempo 30 tahun, mereka yang memasuki Palestina mencapai angka 1.400.000 jiwa.
Pada tahun 1947 pemenang Perang Dunia II menghadiahkan satu negara Israil untuk orang Yahudi di Palestina. Negara ini sampai sekarang merupakan duri dalam daging bagi dunia Arab. Akibatnya negara-negara Arab di satu pihak dan Israil di pihak lain merupakan dua kubu yang saling berhadapan. Peperangan dua kubu itu tidak ada putus-putusnya.
Pada tanggal 30 Oktober 1991, atas prakarsa Amerika Serikat dan Uni Soviet, diadakan Konferensi Perdamaian Timur Tengah di Madrid, Spanyol, yang dilanjutkan di Washington D.C., Amerika Serikat. Tetapi konferensi itu belum memperlihatkan hasil yang memuaskan.
Tulang punggung kekuatan Bani Israil pada abad modern adalah Gerakan Zionisme. Gerakan ini, dalam kongresnya yang pertama tahun 1897 di Basel, Swiss, yang dihadiri pada bankir dan industrialis Yahudi, melahirkan Basel Program yang terdiri dari empat pasal, yakni; (1) promosi menurut garis-garis yang layak untuk kolonisasi di Palestina oleh pekerja tani industri Yahudi; (2) mengorganisasi dan menyatukan seluruh Yahudi melalui lembaga-lembaga yang bersifat lokal maupun internasional sesuai dengan perundang-ungangan setiap negara; (3) memperkokoh dan memperkuat sentimen dan kesadaran akan nasionalitas Yahudi; dan (4) langkah-langkah persiapan ke arah penumbuhan pemerintahan merupakan keharusan dalam tujuan Zionisme.

C. Latar belakang berdirinya negara Israel
Bangsa Yahudi yang tinggal diperantauan, terutama di Eropa banyak dibutuhkan untuk menjadi kuli bangunan dan memajukan perekonomian, yang kesempatan itu menyebabkan mereka menjadi kelas menengah di Eropa, tetapi mereka tetap menjadi orang asing di Eropa, tahun 500 M, mereka diintimidasi di Spanyol, tahun 1300 M diusir dari Inggris, tahun 1400 M diusir dari Perancis, tahun 1500 M diusir dari Spanyol. Pada abad inilah Yahudi memperluas petualangannya sampai ke Eropa Timur, Rusia dan Amerika Selatan.
Selama satu abad, 1600 M sampai 1700 M, kaum Yahudi berhasil menguasai pasar dan perekonomian Eropa, dan bahkan mereka melibatkan diri dalam pendalaman ilmu pengetahuan modern.
Akhirnya mereka mulai melihat titik terang yang akan menyinari jalan ketika mereka hendak melangkah untuk kembali ke Palestina. Para ilmuwan mereka mulai berfikir merumuskan teori revolusi yang akan menghancurkan kehidupan manusia, dengan tujuan untuk mengacau dunia sehingga mempermudah jalan menuju Palestina.
Pada tanggal 1 mei 1776, tokoh Yahudi Nathan Bernbaum, mendirikan Zionisme Internasional, dua bulan sebelum kemerdekaan Amerika dideklarasikan. Yahuda Kalai (1798 – 1878), tokoh yang lain mempertegas perlunya negara Yahudi di Palestina. Izvi Hirsch (1795 – 1874), membuat studi agar diaspora Yahudi bisa mendirikan negara di Palestina. Moses Hess tokoh Yahudi membuat buku Roma dan Yerusalem. Theodore Herzl (1860 – 1904) membuat buku der Yudentaat (negara Yahudi) pada tahun 1896.
Untuk dunia Islam mereka tiupkan revolusi nasionalisme, melalui Lowrence of arabica, mereka berhasil memecahbelah negeri Arab untuk melepaskan diri dari khilafah Utsmaniyyah.
Meskipun Eropa dan Rusia sudah berhasil dikacaukan, penghalang utama cita-cita bangsa Yahudi adalah khilafah Ustmaniyah, yang menjadi penjaga setia tanah Palestina.
D. Sejarah berdirinya negara Israel
Berbagai langkah dan strategi dilancarkan oleh kaum Yahudi untuk menembus dinding khilafah Utsmaniyyah, agar mereka dapat memasuki Palestina.
Pertama, pada tahun 1892, sekelompok Yahudi Rusia mengajukan permohonan kepada sultan Abdul Hamid, untuk mendapatkan ijin tinggal di Palestina. Permohonan itu dijawab sultan dengan ucapan “Pemerintan Ustmaniyyah memberitahukan kepada segenap kaum Yahudi yang ingin hijrah ke Turki, bahwa mereka tidak akan diijinkan menetap di Palestina”, mendengar jawaban seperti itu kaum Yahudi terpukul berat, sehingga duta besar Amerika turut campur tangan.
Kedua, Theodor Hertzl, penulis Der Judenstaat (Negara Yahudi), founder negara Israel sekarang, pada tahun 1896 memberanikan diri menemuai sultan Abdul Hamid sambil meminta ijin mendirikan gedung di al Quds. Permohonan itu dijawab sultan “Sesungguhnya imperium Utsmani ini adalah milik rakyatnya. Mereka tidak akan menyetujui permintaan itu. Sebab itu simpanlah kekayaan kalian itu dalam kantong kalian sendiri”.
Melihat keteguhan sultan, mereka kemudian membuat strategi ketiga, yaitu melakukan konferensi Basel di Swiss, pada 29-31 agustus 1897 dalam rangka merumuskan strategi baru menghancurkan khilafah Ustmaniyyah.
Karena gencarnya aktivitas Yahudi Zionis akhirnya sultan pada tahu 1900 mengeluarkan keputusan pelarangan atas jamaah peziarah Yahudi di Palestina untuk tinggal disana lebih dari tiga bulan, paspor Yahudi harus diserahkan kepada petugas khilafah terkait. Dan pada tahun 1901 sultan mengeluarkan keputusan mengharamkan penjualan tanah kepada Yahudi di Palestina.
Pada tahun 1902, Hertzl untuk kesekian kalinya menghadap sultan Abdul Hamid untuk melakukan risywah. Diantara risywah yang disodorkan Hertzl kepada sultan adalah :
1. 150 juta poundsterling Inggris khusus untuk sultan.
2. Membayar semua hutang pemerintah Ustmaniyyah yang mencapai 33 juta poundsterling Inggris.
3. Membangun kapal induk untuk menjaga pemerintah, dengan biaya 120 juta Frank
4. Memberi pinjaman 5 juta poundsterling tanpa bunga.
5. Membangun Universitas Ustmaniyyah di Palestina.
Semuanya ditolak sultan, bahkan sultan tidak mau menemui Hertzl, diwakilkan kepada Tahsin Basya, perdana menterinya, sambil mengirim pesan “Nasehati mr. Hertzl agar dia tidak terlalu serius menanggapi masalah ini. Sesungguhnya saya tidak sanggup melepaskan kendati hanya satu jengkal tanah itu, Palestina, sebab bukan milik pribadiku. Tapi milik rakyat, rakyatku sudah berjuang memperolehnya sehingga mereka siram dengan darah. Silahkan Yahudi itu menyimpan kekayaan mereka yang milyaran itu. Bila pemerintahanku sudah tercabik-cabik, saat itu mereka baru bisa menduduki Palestina dengan gratis. Adapun jika saya masih hidup, maka tubuhku terpotong-potong adalah lebih ringan ketimbang Palestina terlepas dari pemerintahanku. Kasus ini tidak boleh terjadi. Karena saya tidak kuasa melihat tubuhku diotopsi sedang nadiku masih berdenyut”.
Berbagai cara kotor dilancarkan Yahudi untuk menghancurkan dunia Islam. Mereka mulai dengan menghancurkan Khilafah Utsmaniyah agar dapat menduduki Palestina. Mereka melakukan lobi denan Inggris, Perancis, Rusia dan Amerika.
1. Pada tanggal 1 mei 1776, tokoh Yahudi Nathan Bernbaum, mendirikan Zionisme Internasional, dua bulan sebelum kemerdekaan Amerika dideklarasikan.
2. Yahuda Kalai (1798 – 1878), tokoh yang lain mempertegas perlunya negara Yahudi di Palestina.
3. Izvi Hirsch (1795 – 1874), membuat studi agar diaspora Yahudi bisa mendirikan negara di Palestina.
4. Theodore Herzl (1860 – 1904) membuat buku der Yudentaat (negara Yahudi) pada tahun 1896.
5. 1897, Konferensi Basel , Swiss yang disponsori oleh Hertzl, merumuskan penghancuran Bani Ustmaniyah.
6. 1907, meningkatnya aktivitas Freemasonry untuk menjatuhkan Sultan Abdul Hamid dari kursi khilafah.
7. 1917, perjanjian Balfour untuk memberikan Palestina sebagai tanah air bagi Yahudi
8. 1927, meningkatnya pembangunan rumah dan gedung milik Yahudi di Palestina atas bantuan Inggris.
9. 1937, Yahudi di Palestina mulai membangun kekuatan terorisme bersenjata. Kemudian mereka mendapat bantuan senjata dan latihan militer dari sekutu ketika terlibat dalam PD II
10. Nopember 1947, dikeluarkanlah resolusi PBB tentang pembagian tanah Palestina anatara penduduk Palestina dengan Yahudi pendatang itu. Kemudian menyusul pembubaran Ikhwanul Muslimin dan pembunuhan terhadap Hasan al Banna yang banyak berperan membela Palestina.
11. 1956, Sinai dan Jalur Gaza dikuasai Israel setelah gerakan Islam di kawasan Arab dipukul.
12. 1967, semua kawasan Palestina jatuh ke tangan Yahudi, demikian juga dataran Tinggi golan dan Sinai. Terjadi setelah penggempuran terhadap Gerakan Islam dan hukuman gantung terhadap Sayyid Quthb.
13. 1977, serangan terhadap Libanon dan perjanjian Camp David yang disponsori Anwar Sadat.
14. 1988, surat rahasia Yasser Arafat untuk mengakui eksistensi Israel, berjanji hidup damai dengan Yahudi dan akan menumpas segala aktivitas rakyat Palestina yang melawan Israel.
15. 1993 Perjanjian Gaza Ariha mengenai pemerintahan sendiri interim bagi bangsa Palestina di wilayah-wilayah pendudukan Israel.
16. 1994 Kesepakatan yang memberikan otonomi pertama kepada Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza.
17. 1995 Kesepakatan perluasan otonomi Palestina ke sebagian besar Tepi Barat.
18. 1996 Pemilu pertama bangsa Palestina, Yasser Arafat terpilih menjadi Presiden
19. 1997 Kesepakatan perluasan otonomi Hebron dan Tepi Barat.
20. 1998 Kesepakatan transfer 13 persen wilayah Tepi Barat dari Israel ke Palestina dengan imbalan jaminan keamanan.
21. 1999 Kesepakatan Wye River II, di Mesir.
22. 2000 Pertama kali Paus ke Yerusalem dan membela perlunya tanah air bagi Palestina.
23. 2001 Ariel Sharon menggantikan Ehud Barak
24. 2002 Israel membunuh pemimpin brigade al Aqsho, Raed el-Karmi.

Sumber: Ust Amin Mukhtar

ISRAIL VS PALESTINA MENURUT ALQURAN (Bagian 3)

E.Fase Nabi Muhamad
Setelah Nabi Isa diangkat oleh Allah, era para nabi “jalur” Israil berakhir. Posisi kenabian kemudian beralih dari “jalur” Israil (Ya’qub) kepada “jalur” Ismail (Banu Ismail), yakni Muhammad saw. Masa peralihan ini memakan waktu yang cukup lama (577 tahun), yakni sejak tahun 33 M (ketika Palestina dalam kekuasaan bangsa Romawi) hingga tahun 610 M (permulaan kenabian Muhamad saw. di Gua Hiro). Masa ini oleh para ulama disebut masa fatroh.
Sejak abad ke-7 mulailah terjadi kontak antara Islam dan Palestina. Pada masa ini kawasan yang disebut Syam (Suriah) termasuk di dalamnya Palestina. Kontak awal Palestina dengan Islam terjadi ketika Nabi Muhammad saw. mengadakan perjalanan ilahiah (isra), yaitu perjalanan Nabi saw. pada malam hari dari Mekah ke Yerusalem. Hal ini terdapat dalam surah al-Isra ayat 1 yang artinya: “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa...” Yang dimaksud Masjidil Aqsa tersebut bukanlah dalam wujudnya seperti yang sekarang ada di Yerusalem, karena mesjid ini didirikan pada tahun 705 oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari Dinasti Umayyah. Sedangkan Masjidil Aqsa yang dimaksud adalah masjid yang pada masa Nabi saw. hanya merupakan haekal atau tempat yang mulia (Yerusalem) yang dibuat pada masa Nabi Sulaiman as. Di tengah-tengah haekal itu terdapat sebuah batu besar berwarna hitam yang disebut shakra’. Dengan menghadap ke arah batu inilah Nabi saw. mengerjakan salat dua rakaat; kemudian dengan berlandaskan padanya beliau dinaikkan oleh Allah swt. untuk mikraj.
Yahudi di Jazirah Arab
Pada tahun 500 – 600 M, Bangsa Yahudi merembes ke semenanjung Arabia, kemudian berimigrasi dalam jumlah besar ke daerah tersebut ketika terjadi perang antara Romawi dengan Persia. Pada umumnya mereka tinggal di Yaman dan Yatsrib. Mengenai awal mula kedatangan mereka ke Jazirah Arabia telah melahirkan perdebatan panjang di kalangan para ahli sejarah: pertama, pada zaman Dawud; kedua, pada zaman Raja Hazqiyal yang memerintah negeri Yahudza dari tahun 717 hingga 690 SM; ketiga, hijrah besar-besaran kaum Yahudi ke Jazirah Arabia terjadi pada abad pertama masehi setelah diusir oleh orang-orang Romawi pada tahun 70 M. Ajaran-ajaran Yahudi di sana telah banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani, begitu pula infiltrasi sebagian prinsip-prinsip undang-undang Romawi. Sependek wawasan penulis, sejarah perihal pergumulan Islam dengan Yahudi di Mekkah tidak sebanyak dan seseru di Yatsrib paska hijrahnya Muslimin ke sana.
Di Mekkah nasib mereka seperti umat Kristiani, jumlah mereka sedikit dan hanya terdiri dari budak. Barangkali penyebabnya adalah adanya peraturan kala itu yang tidak mengizinkan seorang pun dari Ahli Kitab memasuki Mekkah kecuali tenaga kerja yang tidak akan bicara tentang agama atau kitabnya atau sistem penduduk Mekkah yang merujuk pada sistem kabilah, maka tempat tinggal mereka pun jauh dari Ka’bah malah sudah berbatasan dengan sahara. Kala itu pembicaraan seputar akan datangnya seorang Nabi di tengah-tengah orang Arab waktu itu sudah cukup membuat heboh mereka. Saat bulan-bulan suci tepatnya di Ukadz, daerak dekat Mekkah, sebagaimana kaum pagan dan Kristen, kaum Yahudi bebas juga bebas menyerukan agama mereka. Besar kemungkinan, sebagian dari mereka tinggal atau pernah singgah di Mekkah dalam rangka perdagangan atau pekerjaan-pekerjaan lain dan juga menyaksikan perseteruan Islam versus paganisme.
Ketika Nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah ia telah menemukan orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas penting di sana. Maka sebagai penghargaan terhadap mereka, Nabi Muhammad saw menyusun Piagam Madinah yang mengatur hidup berdampingan antara umat Islam dan umat lain, termasuk umat Yahudi. Namun, kemudian umat Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut, sehingga Alquran mengutuk mereka secara terus-menerus sebagai orang yang mengkhianati janji dan mereka diusir dari Madinah. Tahun 636-1916 mereka berada di bawah kekuasaan Islam.
Kaum Yahudi di Yatsrib terdiri dari tiga suku besar, yaitu Bani Nadhir, Bani Qaynuqa dan Bani Quraydzah. Mereka menetap dan berkembang di sana beberapa abad lamanya sebelum kedatangan Islam. Adapun Islam sudah tersebar pula di sana sebelum Muhammad dan Muslimin hijrah ke kota itu. Sewaktu mereka tiba di sana, kaum Yahudi dan musyrik menyambut kedatangan mereka dengan baik. Pihak Yahudi berbuat demikian dengan dugaan mereka akan dapat membujuknya sekaligus merangkulnya ke pihak mereka, serta dapat pula diminta bantuannya membentuk sebuah Jazirah Arabia, dengan demikian mereka dapat membendung penyebaran Kristen. Selain mereka yakin lahan dakwah Muhammad tidak akan meliputi mereka, mereka juga saat itu masih terpecah-belah yang memaksa mereka tidak terburu-buru menyatakan permusuhannya terhadap Muslimin seraya menanti waktu yang tepat untuk itu. Bertolak dari pertimbangan serupa, kaum musyrik sisa-sisa suku Aus dan Khazraj berbuat serupa seperti kaum Yahudi. Di balik itu secara diam-diam, sebagian kaum Yahudi sudah berniat jahat terhadap dakwah Islam sejak awal mula kedatangan Muhammad di Yatsrib, beliau pun telah menyadarinya.
Di Yatsrib (kemudian dirubah menjadi Madinah), Muhammad memulai fase perpolitikan baru dengan tujuan meletakkan dasar kesatuan politik dan organisasi yang sebelumnya belum pernah dikenal di seluruh wilayah Hijaz, yaitu dengan cara mengadakan kesepakatan dengan pihak Yahudi atas landasan kebebasan dan persekutuan yang amat kuat. Beliau berbicara serta mendekati pemuka-pemuka mereka dan membentuk suatu ikatan persahabatan dengan pertimbangan, bahwa mereka adalah Ahli Kitab dan kaum monotheistis. Perjanjian ini berisi pengakuan atas kebebasan beragama, harta beda benda mereka dengan syarat-syarat timbal balik, kebebasan menyatakan pendapat, larangan berbuat kejahatan, bersama-sama memerangi orang yang melanggarnya serta memerangi pihak yang menyerang Madinah dan menanggung biaya peperangan itu atau lain sebagainya.
Secara umum dapat digambarkan bahwa pertentangan antara Muslimin dengan kaum Yahudi di Madinah dipicu faktor teologis yang sangat berpengaruh terhadap faktor politik. Maka sudah sewajarnya, bila ayat-ayat al-Qur`an yang turun di Madinah lebih terwarnai dengan pembeberan kemunafikan Yahudi serta bahayanya, perdebatan dengan Ahli Kitab, menyingkap kriminalitas mereka dalam merubah kitab suci, pensyariatan perang dan lain sebagainya. Walaupun demikian, Muhammad acapkali tetap menghormati mereka serta keyakinannya, tidak pernah mengusik jalannya ritual-ritual keagamaan Yahudi. Inilah ilustrasi ajaran Islam sesungguhnya sebagai agama penebar kasih sayang dan anti segala tindak kekerasan dan kelaliman, selama mereka tidak mengganggu Islam & kaum muslimin.
F.Fase Khulafa Rasyidun & Setelahnya
Setelah Muhammad saw. wafat (tahun 632), ekspansi ke luar Semenanjung Arabia dilakukan oleh para khalifahnya. Tanah Palestina ditaklukkan pada masa Abu Bakar as-Siddiq (632-634). Amr bin As, setelah menaklukkan Gaza (Mesir), secara berturut-turut menaklukkan Sabest (Samarra, Irak), Nablus, Ludd dan daerah-daerah sekitarnya, Yupna, Awamas, Bait Jibrin (Arab Saudi), Yafa dan Rafah. Abu Ubaidah di masa khalifah Umar bin Khattab (634-644) berhasil menaklukkan Elia (sebutan Yerusalem di masa itu).
Penaklukan tentara Islam atas Palestina yang begitu cepat disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah tekanan para penguasa Bizantium-Kristen terhadap bangsa Sami. Meskipun sama-sama beragama Kristen, namun mereka memandang bangsa Arab lebih dekat kepada mereka daripada bangsa Eropa. Hal ini memudahkan tentara Islam untuk memasuki negeri itu. Selain itu, kedatangan tentara Islam dengan membawa prinsip toleransi beragama telah mendorong penduduk Yerusalem untuk mengadakan perjanjian damai dengan pihak Islam. Perjanjian itu dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab sendiri dan patriarch (pimpinan) Yerusalem yang menyerahkan kunci kota itu kepadanya. Prinsip ini telah menarik banyak penduduk untuk memeluk agama Islam. Sejak itu, Palestina berada dalam kekuasaan Islam di bawah kegubernuran Mesir. Penduduknya menikmati keamanan dan ketentraman, bahkan di masa pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbas banyak di antara mereka yang berpengaruh di dalam urusan kenegaraan.
Ketika dunia Islam mengalami masa disintegrasi atau terpecah belah (1000-1250), Palestina pernah berkali-kali menjadi arena Perang Salib. Dengan jatuhnya Asia Kecil (Anatolia) ke tangan Dinasti Seljuk, umat Kristen Eropa yang akan melakukan ziarah ke Palestina terhalang perjalanannya. Untuk membuka kembali jalan itu Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen Eropa di tahun 1095 supaya mengadakan perang suci terhadap Islam. Perang Salib I terjadi antara tahun 1096 dan 1144. Perang Salib II antara tahun 1144 dan 1192. Perang Salib III antara tahun 1193 dan 1291. Namun, mereka tidak pernah berhasil merebut Palestina dari kekuasaan Islam.
Selama 400 tahun Palestina berada di bahwa kekuasaan Ottoman Turki. Hal ini dimulai pada tahun 1517 dalam rangka serangan Sultan Salim I terhadap Mamluk Mesir dan berakhir pada tahun 1917/1918, ketika Inggris merebut kawasan Bulan Sabit (Fertile Crescent ) dari pendudukan orang-orang Usmani. Periode antara abad ke-18 dan ke-20 merupakan masa perubahan-perubahan dramatis. Perubahan-perubahan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) Penetrasi (penerobosan) bangsa asing dan keterlibatan mereka dalam urusan-urusan negeri membuat Palestina menjadi arena persaingan di antara kekuatan-kekuatan Eropa; (2) pertambahan penduduk meledak dengan emigrasi Yahudi-Eropa secara besar-besaran sebagai akibat penindasan terhadap mereka di Eropa Timur; (3) menjadi pasar dunia akibat terjadinya perkembangan ekonomi dan meluasnya hubungan antar negara; (4) perubahan dalam peran pemerintahan dan struktur administrasi; (5) munculnya kekuatan-kekuatan sosial baru; dan (6) terbukanya jalan bagi pengaruh-pengaruh kultural Barat. Semua perubahan ini dan perkembangan kontemporer lainnya telah meninggalkan bekas bagi konflik yang tak kunjung selesai sampai dewasa ini.
Dalam pada itu, sejak serangan berbagai bangsa datang silih berganti terhadap Palestina, umat Yahudi meninggalkan negeri ini dan mengadakan diaspora ( penyebaran) di berbagai negeri, seperti di Maroko, Spayol, Rusia, dan Polandia. Watak keturunan terhadap bangsa lain, sifat individualitas serta anggapan bahwa mereka merupakan bangsa pilihan, menimbulkan kebencian terhadap bangsa ini. Akibatnya, mereka sering dikejar-kejar oleh penduduk asli setempat. Keadaan seperti ini menimbulkan kesadaran mereka untuk kembali ke tanah asal, Palestina. Kesadaran ini melahirkan sebuah gerakan yang disebut Zionisme. Pendirinya adalah Theodore Herzl yang pada tahun 1896 menerbitkan Der Judenstaat (The Jewish State = Negara Yahudi). Buku ini berisi seruan kepada bangsa Yahudi untuk membentuk sebuah negara Yahudi, yaitu Palestina.
Dalam Perang Dunia I (1914-1918) Turki berpihak pada Jerman dan Austria-Hongaria melawan Sekutu. Inggris yang berada di pihak Sekutu untuk merebut pengaruh bangsa Yahudi, melalui menteri luar negerinya, Arthur James Balfour, mengeluarkan sebuah deklarasi (2 November 1917) dikenal dengan “Deklarasi Balfour”. Deklarasi ini memberi dukungan bagi terbentuknya national home bangsa Yahudi di Palestina, tanpa mengganggu hak-hak bangsa non-Yahudi di daerah itu. Seusai perang dengan kekalahan di pihak Jerman, wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Ottoman, kecuali Anatolia (Asia Kecil), dibagi dalam daerah-daerah mandat. Palestina sendiri menjadi daerah mandat Inggris. Bangsa-bangsa Arab menolak deklarasi dan permandatan itu.
Ketika Naziisme lahir di Eropa, gelombang pengungsi Yahudi ke Palestina mekin besar dan dukungan terhadap negara Israel makin meluas. Pada tahun 1931, jumlah penduduk Palestina mencapai 1.035.821 jiwa dengan komposisi: 759.712 Muslim, 83.610 Yahudi, 91.398 Kristen, dan 10.101 jiwa dari kelompok-kelompok lain. Antara tahun 1936-1939 bangsa Arab Palestina memberontak terhadap kekuasaan Inggris. Usul pembagian Palestina ke dalam wilayah Arab dan Yahudi ditolaknya. Pada tahun 1939, Inggris membatasi permukiman Yahudi di Palestina dan mengakhiri semua imigrasi bangsa Yahudi dalam lima tahun. Pada tahun 1944, penduduk Palestina mencapai sekitar 1.764.000 jiwa dengan komposisi: 1.179.000 Arab, 554.000 Yahudi, 32.000 dari unsur lain. Selama perang dunia II (1939-1945) bangsa Arab dan Yahudi Palestina menghentikan perlawanan terhadap Inggris dan bergabung pada Sekutu. Pada akhir perang, Nazi membunuh sekitar enam juta Yahudi Eropa, tetapi keterangan ini dibantah oleh pihak Yahudi.
Inggris mengimbau PBB untuk menangani masalah Palestina. Pada 29 November 1947, Rekomendasi Komisi Istimewa PBB untuk Palestina membagi wilayah ini untuk menjadi negara Arab dan negara Yahudi. Sementara itu, Yerusalem berada di bawah pengawasan internasional. Keputusan sidang umum PBB ini diterima oleh bangsa Yahudi, tetapi ditolak oleh bangsa-bangsa Arab. Perang Arab-Israel pecah. Pada bulan Mei 1948, setelah Inggris mengundurkan diri dari Palestina, negara Israel diproklamasikan dengan ibu kota Yerusalem. Bangsa Arab Palestina dibantu bangsa-bangsa Arab lainnya menyerbu Israel. Gencetan senjata yang diprakarsai PBB terjadi pada tahun 1948 dan 1949 tanpa penandatanganan perjanjian damai.
Tahun 1949-1967 merupakan periode berkobarnya kesadaran nasionalisme Palestina. Berbagai organisasi revolusioner dengan berbagai ideologinya (seperti Nasserisme, Ba’sisme dan Marxisme) bermunculan. Di antaranya yang terpenting ialah PLO (Palestina Liberation Organization), didirikan pada konferensi puncak Arab tahun 1964, bertujuan mendirikan negara Palestina bagi bangsa Arab. Pada Juni 1967, perang Arab-Israel pecah kembali selama enam hari. Gencetan senjata mengakhiri perang itu, tetapi Israel menduduki seluruh Palestina dan daerah-daerah di luar Palestina yang didudukinya ketika gencetan senjata itu terjadi.
Perang Arab-Israel ke-4 pecah tahun 1973 dan berakhir dengan gencetan senjata pada tahun 1974. Bangsa Arab dan PLO terus-menerus melakukan serangan terhadap Israel. Sementara itu, dalam konflik ini arus pengungsi Palestina dan masalah perbatasan telah melibatkan negara-negara tetangga seperti; Mesir, Yordania, Suriah dan Libanon. Kunjungan presiden Mesir, Anwar Sadat ke Israel pada tahun 1977 dan pengakuannya di hadapan parlemen Israel atas hak hidup bangsa Israel tidak berhasil menyelesaikan krisis. Perundingan Camp David pada September 1978 yang mempertemukan Anwar Sadat, Menachem Begin (PM Israel), dan Jimmy Carter (presiden Amerika Serikat), baru sedikit menyelesaikan masalah Sinai. Status otonom daerah Tepi Barat dan Jalur Gaza masih menjadi masalah besar.
Invasi Israel terhadap Libanon tahun 1982 membuat hubungan Israel-Mesir menjadi buruk. Hubungan itu putus setelah serangan Israel terhadap Beirut dan pembantaian terhadap pengungsi di kamp Palestina oleh milisi Phalangi yang bersekutu dengan Israel. Tahun 1980-an masa depan Tepi Barat Yordan semakin membingungkan. Ada kemungkinan kawasan itu masuk wilayah Yordania, dianeksasi oleh Israel, menjadi negara Palestina yang terpisah di Tepi Barat dan Jalur Gaza, menjadi kesatuan bangsa Palestina yang diidentifikasikan dengan bangsa Yordania atau digabungkan dengan Israel. Tahun 1982 presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan, mengusulkan resolusi perdamaian yang didasarkan atas aturan bahwa penentuan nasih bangsa Palestina harus dicapai dalam hubungannya dengan Yordan. Peristiwa ini telah mengakibatkan rekonsiliasi (pertemuan kembali) antara Raja Husein dan pemimpin PLO, Yasser Arafat. Para penguasa Israel di Tepi Barat tidak mendapat simpati dari mayoritas penduduk. Kemudian sebuah penelitian yang diadakan oleh penguasa Israel pada awal musim panas 1986 menyimpulkan bahwa PLO akan memperoleh kemenangan yang menentukan jika pemilihan diadakan di Jalur Gaza.
Pada bulan Februari 1990, PLO memproklamasikan kemerdekaan bagi negara Palestina-Arab dan mendapat pengakuan dari sejumlah negara, termasuk Indonesia. Peristiwa ini bukan akhir dari krisis politik Timur Tengah. Kerusuhan dan penganiayaan oleh tentara Israel terhadap orang-orang Arab terus berlangsung. Perdamaian Palestina dan Israel serta Arab dan Israel diupayakan dengan mengadakan Konferensi Timur Tengah di Madrid (Oktober 1991) dan diteruskan di Washington DC. Israel tidak hadir pada waktunya dan negara sponsor pun (Amerika Serikat dan Uni Soviet) tidak dapat berbuat banyak. Prioritas tersebut mendapat makna lebih penting sekitar 30.000 warga Israel pendukung gerakan perdamaian berdemontrasi di Tel Aviv menuntut kompromi wilayah. Unjuk rasa yang dipimpin oleh gerakan perdamaian Peace Now (Damai Sekarang) itu mendesak PM Yitzhak Shamir memilih tangkai zaitun sebagai lambang perdamaian dan mengulurkan tangan bagi perdamaian. Hal ini mendapat tantangan dari kelompok yang menolak kompromi dan ingin terus menduduki wilayah Palestina dan Arab yang diduduki Israel sejak perang 1967.
Pada tanggal 13 September 1993 tercapai perdamaian Israel-Palestina di Washington DC. Penandatanganan perjanjian perdamaian yang dilakukan oleh PM Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat disaksikan oleh presiden AS Bill Clinton. Perjanjian tersebut antara lain berisi penyerahan pemerintahan atas wilayah Jericho dan Jalur Gaza kepada Palestina. Kelangsungan perjanjian tersebut masih perlu diuji lebih lanjut karena masih banyak persoalan yang mengganjal, seperti status jutaan pengungsi Palestina dan wilayah timur kota suci Yerusalem yang masih diduduki tentara zionis Israel.
Klaim-klaim Yahudi atas Palestina
Penjajahan Yahudi atas Palestina didasari klaim-klaim serta mitos-mitos relijius dan historis. Secara relijius mereka menganggap bahwa Allah telah menjadikan Palestina sebagai “Tanah yang dijanjikan”. Sedangkan relasi historis mereka dengan Palestina, adalah karena mereka pernah berkuasa, bermukim disana dan punya hubungan psikis dan spiritual dengan negeri ini.
Akan tetapi kaum muslimin tetap konsisten pada pendirian bahwa Yahudi tidak berhak sama sekali atas negeri ini. Alasannya adalah, pertama, dari sudut pandang agama, wilayah ini diberikan pada bangsa Yahudi di saat mereka menjunjung tinggi bendera tauhid dengan penuh konsisten di bawah kepemimpinan para rasul dan pemuka agama mereka. Adapun apabila mereka melenceng dari kebenaran dan berupaya mendistorsinya, bahkan membunuhi para Nabi serta membuat keonaran di muka bumi, hilanglah keabsahan relijius yang mereka klaimkan. Yang berhak atas negeri ini justru adalah kaum Muslimin, karena mereka adalah pewaris panji tauhid. Jadi, persoalannya tidak terkait dengan bangsa, keturunan, dan nasionalisme. Namun erat hubungannya dengan persoalan ikut tidaknya seseorang dengan ajaran tauhid. Allah memberitahu Ibrahim bahwa keimanan dan kepemimpinannya tidak dapat dipegang oleh mereka yang zalim dari keturunan dan anak cucunya. Karena, sekali lagi, persoalannya terkait dengan konsistensi terhadap manhaj dan ajaran Allah. Kalau persoalannya adalah masalah garis keturunan, maka Bani Israel tidak berhak mengklaim bahwa mereka adalah satu-satunya yang berhak atas kepemimpinan. Pasalnya, Ismail as dan keturunannya pun berhak atas janji yang diberikan pada Ibrahim.
Alasan kedua, menanggapi klaim dari sisi historis, maka sesungguhnya pemerintahan Bani Israel di Palestina sangatlah singkat yang tidak lebih dari 4 abad di sebagian wilayah Palestina dan bukan seluruhnya. Sedangkan pemerintahan Islam berlangsung disana selama 12 abad (636-1917 M) yang sempat dijeda oleh peperangan Salib untuk beberapa masa. Selain itu sebagian besar bangsa Yahudi telah meninggalkan wilayah Palestina, dan terputus kontak mereka dengan negeri ini selama 18 abad (sejak 135 M hinga abad 20), sedangkan penduduk pribumi asli Palestina asli—yang kemudian masuk Islam—belum pernah meninggalkan negeri ini selama 4500 tahun yang lalu hingga tiba waktu pendeportasian besar-besaran yang dilakukan para kriminal Zionis pada tahun 1948 M.
Satu hal lagi, sesungguhnya lebih dari 80% Yahudi di zaman ini tidak jelas hubungannya sama sekali dengan Bani Israel, baik keturunan maupun sejarah. Hal itu karena sebagian besar Yahudi kontemporer adalah bangsa Yahudi Khazar yang berasal dari kabilah Tatar, Turki kuno yang berdiam di wilayah Kokaz dataran tinggi Georgia (selatan Rusia). Mereka berkonversi dengan Yahudi pada abad 8 SM di bawah pimpinan rajanya Bolan.Tahun 740 M saat kerajaan mereka runtuh, tersebarlah mereka ke berbagai penjuru Rusia dan timur Eropa. Mereka kemudian disebut Yahudi Askhenazi. Golongan Yahudi ini adalah penganut sekte sesat Qabalisme. Golongan yang lain adalah Yahudi Sephardim, berasal dari kerajaan Yahuda yang berpegang pada Taurat Musa, saat ini mereka paling menderita akibat berkembangnya gerakan zionis. Mereka akhirnya terusir dari kampung halamannya di berbagai negara Arab. Ketika beremigrasi ke Israel pun mereka menjadi warga negara kelas dua dan mendapat perlakuan diskriminatif dari Yahudi Askhenazi yang menguasai politik dan ekonomi negara.

Sumber: Ust Amin Mukhtar

ISRAIL VS PALESTINA MENURUT ALQURAN (Bagian Ke-1)

Pengertian Israil
Pada mulanya Israil adalah sebutan atau gelar bagi Nabi Ya’qub as. Di dalam Alquran disebutkan:
كُلُّ الطَّعَامِ كَانَ حِلًّا لِبَنِي إِسْرَائِيلَ إِلَّا مَا حَرَّمَ إِسْرَائِيلُ عَلَى نَفْسِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ تُنَزَّلَ التَّوْرَاةُ قُلْ فَأْتُوا بِالتَّوْرَاةِ فَاتْلُوهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya'qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan. Katakanlah: "(Jika kamu mengatakan ada makanan yang diharamkan sebelum turun Taurat), maka bawalah Taurat itu, lalu bacalah dia jika kamu orang-orang yang benar." Q.s. Ali Imran: 93
Dalam hadis riwayat Ahmad (al-Munad 1:273 dan 278) Abu Dawud ath-Thayalisi (Musnad at-Thayalisi 1:356), Ibnu Sa’ad (at-Thabaqatul Kubra 1:175) diterangkan bahwa Rasulullah saw. bertanya kepada orang-orang Yahudi, “Apakah kalian mengetahui bahwa Isra’il adalah Ya’qub?” Mereka menjawab, “Allahumma, ya”. Maka Rasulullah saw. Bersabda, “Ya Allah saksikanlah!”
Ya’qub diberkati banyak anak, antara lain, Lawe (berketurunan Musa, Harun, Ilyas dan Ilyasa), Yahuza (berketurunan Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya, dan Isa), Yusuf dan Benyamin (berketurunan Yunus). Anak dan turunannya itu kemudian dikenal dengan sebutan Bani Israil (Putra keturunan Nabi Ya’qub). Lihat silsilah lengkapnya pada lampiran diagram.
Adapun perkembangan Israel menjadi nama negara akan diuraikan pada pembahasan selanjutnya.
Pengertian Palestina
Pada awalnya Palestina disebut negeri Kan’an, karena negeri itu telah ditempati oleh suku-suku Kan’an (turunan Kan’an bin Ham bin Nuh as) sejak 2500 SM. Mereka telah membangun kota-kota dan istana-istana. Tempat-tempat peribadatan yang dihiasi dengan berhala-berhala didirikan untuk menyembah alam, terutama Tuhan badai yang menciptakan manusia. Rumah-rumah mereka juga dibangun dengan bentuk yang indah dan unik. Dalam Alquran mereka disebut kaum Jabbarin (lihat, al-Maidah:22) karena gagah perkasa. Kan’an pada awalnya terhitung sebuah desa dalam kawasan negeri Syam. Negeri ini kemudian menjadi tempat turunnya sebagian nabi Allah swt. yang menyerukan umat manusia untuk mengesakan-Nya. Di antara mereka adalah Ibrahim AS. Sebagai nenek moyang bangsa Arab dan Israil.
Adapun Palestina mengandung arti negeri orang-orang Filistin (turunan Filistin bin Sam bin Irm bin Sam bin Nuh). Dalam Alkitab (Injil), Palestina disebut juga tanah Israel, tanah Tuhan, tanah suci, dan bangsa Ibrani. Negeri ini mempunyai sejarah yang panjang bagi agama-agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Batas-batas sekarang: di barat Laut Tengah, di timur Sungai Yordan dan Laut Mati, di utara Gunung Herman pada perbatasan Suriah-Libanon, dan di selatan Semenanjung Sinai. Letaknya di antara Mesir dan Asia Barat Daya menjadikannya pusat sengketa berbagai bangsa. Di dalamnya terdapat kota Yerusalem dengan segala sebutan, yakni Ursalem, Yepus, Kota Daud, Yudes, Ary’il, Aelia Capitolina (pada masa ini timbul sebutan Palestina untuk kawasan kota ini dan berbagai kota di sekitarnya), Baitulmakdis (Bait al-Maqdis) atau al-Quds asy-Syarif (suci dan mulia), dan sekarang pemerintah Israel menyebutnya Ursalem al-Quds (Yerusalem yang suci).
Sejarah Konflik Palestina
A.Fase Ibrahim As & Ishaq
Singkat cerita, ketika langkah dakwah Nabi Ibrahim dibatasi oleh Raja Namrud, Ibrahim meninggalkan tanah airnya, Babylonia (bagian selatan Mesopotamia, sekarang Irak) menuju Harran, suatu daerah di Jazirah. Di sini ia menemukan penduduk yang menyembah bintang. Penduduk di wilayah ini menolak dakwah Ibrahim as. Ibrahim yang waktu itu telah menikah dengan Sarah kemudian hijrah ke negeri Syam, termasuk di dalamnya Kan’an (Palestina), ditemani oleh Sarah dan Luth (anak saudaranya), pada tahun 2000 SM. Kisah hijrah ini diceritakan dalam Alquran surah Al-Anbiya:71
Karena tanah di negeri itu tandus, kemudian ia hijrah ke Mesir. Di tempat terakhir ini Nabi Ibrahim berniaga, bertani, dan berternak. Kemajuan usahanya membuat iri penduduk Mesir sehingga ia pun kembali ke Kan’an dengan membawa semua binatang ternak dan harta yang telah diperolehnya sebagai hasil usaha niaganya di Mesir. Setelah bertahun-tahun menikah, pasangan Ibrahim dan Sarah belum juga dikarunia anak. Untuk memperoleh keturunan, Sarah mengizinkan suaminya untuk menikahi Hajar, dayang/pembantu mereka yang diterimanya sebagai hadiah dari Raja Namrud. Dari perkawinan ini lahirlah Ismail.
Dengan kelahiran bayi Ismail, Sarah berangsur-angsur merasa cemburu sehingga ia meminta kepada suaminya agar memindahkan Hajar dengan anaknya ke suatu tempat yang jauh. Atas wahyu dari Allah, Ibrahim memenuhi kehendak istrinya itu. Ia kemudian memindahkan Hajar dengan bayinya ke tengah padang pasir di Mekah, dekat sebuah bangunan suci yang kemudian dikenal sebagi Ka’bah. Ia kemudian meninggalkan keduanya di tempat yang kering itu karena harus kembali ke Kan’an untuk menemui Sarah. Dalam perjalanan itu tidak henti-hentinya Ibrahim memanjatkan doa memohon keselamatan dan putra yang ditinggalkannya. Kisah ini diterangkan secara lengkap dalam hadis riwayat al-Bukhari, dan sepenggal kisahnya diungkap dalam Alquran antara lain surat Ibrahim ayat 37, ketika itu Nabi Ibrahim berdoa:
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ
Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.
Adapun tentang kelahiran dan kehidupan Nabi Ishaq Alquran tidak banyak memuat kisahnya kecuali dalam beberapa ayat, di antaranya surah Hud ayat 71
وَامْرَأَتُهُ قَائِمَةٌ فَضَحِكَتْ فَبَشَّرْنَاهَا بِإِسْحَاقَ وَمِنْ وَرَاءِ إِسْحَاقَ يَعْقُوبَ
Dan isterinya berdiri (dibalik tirai) lalu dia tersenyum, maka Kami sampaikan kepadanya berita gembira tentang (kelahiran) Ishak dan dari Ishak (akan lahir puteranya) Ya'qub.
Menurut beberapa riwayat, Ishaq dilahirkan di Kan’an (Palestina) ketika usia Sarah 90 tahun. Jarak kelahiran Ishaq dari Ismail sekitar 30 tahun (Lihat, al-Bad-u wat Tarikh, I:143)
Keterangan:
Nabi Ibrahim wafat dalam usia 175 tahun dan dimakamkan dikota al-Khalil (Hebron) di Palestina. Sewaktu Ibrahim as wafat ia meninggalkan putranya yang pertama (Ismail) di Hedzjaz dan putranya yang kedua (Ishaq) di Kan’an (Palestina). Ismail merupakan bapak bagi sejumlah besar suku bangsa Arab. Ia wafat pada usia 137 tahun, sedangkan Ishaq merupakan bapak bagi sejumlah besar suku bangsa Israil. Ia wafat pada usia 160/180 tahun.
Bagaimana kondisi Kan’an (Palestina) pasca Ibrahim dan Ishaq? Apakah waktu itu sudah terjadi konflik antar suku? Alquran tidak banyak membicarakannya, selain sifat-sifat umum keturunan Ibrahim dan Ishaq sebagaimana tercantum dalam surah Ash-Shaffaat ayat 113 sebagai berikut :
وَبَارَكْنَا عَلَيْهِ وَعَلَى إِسْحَاقَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِهِمَا مُحْسِنٌ وَظَالِمٌ لِنَفْسِهِ مُبِينٌ
Kami limpahkan keberkatan atasnya dan atas Ishaq. Dan di antara anak cucunya ada yang berbuat baik dan ada {pula} yang zalim terhadap dirinya dengan nyata."
B.Fase Ya’qub & Yusuf
Ishaq as mempunyai dua anak yakni Isu dan Ya’qub as. Karena perlakuan istimewa dari ayahnya, saudaranya merasa iri terhadapnya. Melihat kenyataan itu, ayahnya menasehatkan agar Ya’qub hijrah dari Kan’an (Palestina) ke negeri Faddan Aram, di sekitar Irak. Di sana telah bermukim seorang pamannya bernama Laban bin Batwil. Kemudian Nabi Ya’qub menikah dengan dua putri Laban. Dari kedua istrinya tersebut ia dikaruniai 12 orang anak, yaitu: Raubin, Syam’un, Lawi/Lawe, Yahuza (asal kata “Yahudi”), Yassakir, Zabulun, Yusuf as, Benyamin, Fad, Asyir, dan Naftah. Dari 12 putranya inilah kemudian keturunannya berkembang. Dalam waktu yang tidak terlalu lama orang-orang Israil sudah menjadi satu suku besar dan berpengaruh, mengembara ke berbagai daerah, dan akhirnya, melalui pantai timur Laut Tengah, mereka sampai ke Mesir, kemudian kembali ke Utara memasuki daerah Palestina.
Kedatangan Bani Israil ke Mesir didahului oleh kedatangan Yusuf as, salah seorang Bani Israil (generasi I), karena “nasib”. Diceritakan dalam Alquran, ia dibuang oleh saudara-saudaranya, kecuali Benyamin, ke dalam sumur tua (QS. Yusuf:10) karena mereka iri melihat kasih sayang orang tua yang berlebihan kepadanya. Lalu saudara-saudaranya menyampaikan berita kepada ayah mereka bahwa Yusuf as telah dimakan serigala. Dia kemudian ditemukan kafilah lalu dibawa ke Mesir dan akhirnya diambil oleh Fir’aun menjadi orang kepercayaannya.
Pada masa selanjutnya, Ya’qub as bersama Bani Israil pindah ke Mesir karena bahaya kelaparan menimpa tempat pemukiman mereka di Kan’an. Ketika itu, Yusuf telah menjadi penguasa Mesir. Pertemuan mereka dengan Yusuf as dikisahkan dalam surah Yusuf ayat 58 hingga 101.
Di Mesir inilah kelak keturunan Ya’qub atau Israil berkembang biak melalui anak-anak yang berjumlah 12 tersebut, sehingga terbentuk menjadi 12 suku Bani Israil.
Selama 100 tahun pertama di Mesir (semasa Nabi Yusuf), Bani Israil hidup dalam suasana aman dan makmur, namun setelah itu mereka hidup dalam kehinaan, sebagaimana akan diuraikan selanjutnya
Keterangan:
Nabi Ya’qub beserta Bani Israil tinggal di Mesir selama 17 tahun dan ia wafat di sana pada usia 147 tahun dan dimakamkan dikota al-Khalil (Hebron) di Palestina. Sedangkan Yusuf wafat setelah Nabi Ya’qub, pada usia 120 tahun (Lihat, Tarikh ar-Rusul wal Muluk, I:140). Sebelum wafat, Nabi Ya’qub telah berwasiat kepada Bani Israil, sebagaimana wasiat Nabi Ibrahim:
وَوَصَّى بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (132) أَمْ كُنْتُمْ شُهَدَاءَ إِذْ حَضَرَ يَعْقُوبَ الْمَوْتُ إِذْ قَالَ لِبَنِيهِ مَا تَعْبُدُونَ مِنْ بَعْدِي قَالُوا نَعْبُدُ إِلَهَكَ وَإِلَهَ آَبَائِكَ إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ إِلَهًا وَاحِدًا وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ (133)
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" Mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya". Q.s. Al-Baqarah:132-133
Bagaimana kondisi Kan’an (Palestina) ketika Ya’qub, Yusuf, dan Bani Israil di Mesir. Demikian pula pasca Ya’qub dan Yusuf wafat? Apakah waktu itu sudah terjadi konflik antar suku? Alquran tidak banyak membicarakannya. Alquran hanya menyatakan:
تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ وَلَا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ (134)
Itu adalah umat yang lalu; baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan. Q.s. Al-Baqarah:134
C.Fase Musa & Harun
Setelah Yusuf meninggal, Bani Israil kembali hidup sengsara karena diperlakukan oleh penguasa, yakni Fira’un Ramses II, sebagai budak dan pekerja keras, termasuk diantaranya sebagai pekerja paksa untuk membangun pyramid dan istana kerajaan. Tidak hanya itu penguasa Mesir mengeluarkan kebijakan untuk membunuh setiap anak laki-laki yang lahir dari Bani Israil, sedangkan anak perempuan dibiarkan hidup. Sejak saat itulah Bani Israil mengalami penindasan dan pembantaian dari Fir’aun selama beratus-ratus tahun. Kisah penyiksaan ini diungkap dalam Alquran, pada beberapa surat, antara lain al-Baqarah ayat 49 dan al-Qashash ayat 4.
Sesuai dengan kehendak Allah swt, kemudian Nabi Musa as lahir (turunan Bani Israil generasi ke-4, jalur Lawe bin Ya’qub. Lihat silsilah lengkapnya). Beliau diselamatkan Allah swt dari petaka Fir’aun, bahkan menjadi putra angkat sampai menginjak dewasa. Karena membunuh bangsa Mesir untuk membela salah seorang turunan Bani Israil, Nabi Musa as melarikan diri ke Madyan dan menikah dengan salah seorang puteri Nabi Syu’aib as. Setelah selama sepuluh tahun bersama keluarga besar Nabi Syu’aib as, Allah swt memerintahkannya kembali ke Mesir, sebagai seorang rasul yang diutus kepada Bani Israel.
Melihat kaumnya tertindas, atas perintah Allah, Nabi Musa as membawa kaumnya itu keluar dari Mesir. Pada tahun 1200 SM, bertolaklah rombongan kaum Bani Isra'il (12 suku sekitar 600.570/670.000 orang) di bawah pimpinan Nabi Musa meninggalkan Mesir menuju negeri Kan’an (Palestina). Kisah keluarnya Bani Israil dari Mesir itu diceritakan Alquran dalam surah Taha ayat 77 hingga 79
Sebelum sampai di Kan’an, Alquran menerangkan beberapa kejadian yang berkaitan dengan mereka
1. Mereka dikejar Fir’aun dan tentaranya (sekitar 1.200.000/1.500.000 orang) hingga terjebak antara lautan (bagian utara dari Laut Merah) di depan dan Fir’aun berserta tentaranya di belakang. Lalu Allah menyelamatkan mereka dengan menurunkan wahyu kepada Nabi Musa agar memukulkan tongkatnya ke laut, sehingga mereka dapat menyeberangi lautan itu dengan selamat, dan Allah menenggelamkan Fir’aun dan tentaranya. (Lihat, Asy-Syu'ara : 60-68; Yunus : 90-92; Tafsir al-Kasysyaf, V:14)
2. Dalam perjalanan, setelah selamat melintasi Laut Merah, mereka melihat sekelompok orang yang sedang menyembah berhala dengan tekunnya. Mereka berkata kepada Nabi Musa: "Hai Musa. buatlah untuk kami sebuah tuhan (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa tuhan (berhala)." Musa menjawab: "Sesungguh-nya kamu ini adalah kaum yang bodoh." (Lihat, al-A’raf:138) Di sini mulai tampak watak asli sebagian besar Bani Israil generasi itu, yaitu ingin menyembah tuhan selain Allah padahal Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka:
a. Membebaskan mereka dari perhambahan dan penindasan Fir’aun ketika di Mesir
b. Menyelamatkan mereka dari kejaran Fir’aun dan dapat menyeberangi laut Merah dengan aman
3. Watak asli sebagian dari mereka itu semakin tampak terlihat selama perjalanan tersebut,
a. Ketika kepanasan, mereka meminta Musa memohon kepada Allah agar menaungi mereka sehingga tidak kepanasan. Di gurun Sinai yang panas terik itu Allah menaungi mereka dengan awan.
b. Ketika bekal makanan dan minuman sudah menipis, kembali mereka meminta Musa untuk diberikan makanan dan minuman. Permintaan ini kembali dikabulkan Allah dengan menurunkan hidangan makanan "manna" (sejenis makanan yang manis sebagai madu) dan "salwa" (burung sebangsa puyuh).
c. Ketika kehabisan air untuk minum dan mandi, kembali mereka meminta Musa untuk diberikan air. Permintaan ini kembali dikabulkan Allah dengan mewahyukan kepada Musa agar memukul batu dengan tongkatnya. Lalu memancarlah dari batu yang dipukul itu dua belas mata air, untuk dua belas suku bangsa Isra'il yang mengikuti Nabi Musa, masing-masing suku mengetahui sendiri dari mata air mana mereka mengambil keperluan airnya. Berbagai tuntutan dan permintaan itu diceritakan dalam surat al-A’raf:160 dan al-Baqarah:61
d. Bani Isra'il pengikut Nabi Musa yang sangat manja itu, merasa masih belum cukup atas apa yang telah Allah berikan kepada mereka, mereka menuntut lagi dari Nabi Musa agar memohon kepada Allah supaya diturunkan bagi mereka tanaman yang tumbuh di tanah berupa sayur-mayur, seperti ketimun, bawang putih, kacang adas dan bawang merah karena mereka tidak puas dengan satu macam makanan. (Lihat, al-Baqarah:61)
e. Ketika Nabi Musa as bermunajat dengan Allah di Bukit Sina, sebagian kaumnya kembali sesat menyembah berhala dan membuat patung anak Sapi atas bujukan Samiri. Dalam peristiwa ini semakin jelas watak asli mereka, yaitu berkeras kepala dan selalu membangkang terhadap perintah Allah yang diwahyukan kepada Nabi Musa. Peristiwa itu dan sifat-sifat keras kepala mereka dijelaskan dalam Alquran surat Thaha:85-98; Al-A’raf:149-155; dan Al-Baqarah:55,56,63,64).
f. Ketika Allah mewahyukan kepada Nabi Musa untuk memimpin kaumnya pergi ke Palestin, tempat suci yang telah dijanjikan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menjadi tempat tinggal anak cucunya, mereka membangkang dan enggan melaksanankan perintah itu. Alasan penolakan mereka ialah karena mereka harus menghadapi suku Kana'an yang menurut anggapan mereka adalah orang-orang yang kuat dan perkasa yang tidak dapat dikalahkan dan diusir dengan adu kekuatan. Mereka tidak mempercayai janji Allah melalui Musa, bahwa dengan pertolongan-Nya mereka akan dapat mengusir suku Kan'aan dari kota Ariha untuk dijadikan tempat pemukiman mereka selama-lamanya. Berkata mereka tanpa malu, menunjuk sifat pengecutnya kepada Musa: "Hai Musa, kami tidak akan memasuki Ariha sebelum orang-orang suku Kan'aan itu keluar. Kami tidak berdaya menghadapi mereka dengan kekuatan fisik karena mereka telah terkenal sebagai orang-orang yang kuat dan perkasa. Pergilah engkau berserta Tuhanmu memerangi dan mengusir orang-orang suku Kan'aan itu dan tinggalkanlah kami di sini sambil menanti hasil perjuanganmu." (lihat, Qs. Al-Maidah:20-24)
Nabi Musa marah ketika melihat sikap kaumnya yang pengecut itu yang tidak mau berjuang dan memeras keringat untuk mendapat tempat pemukiman, tetapi ingin memperolehnya secara hadiah atau melalui mukjizat sebagaimana mereka telah mengalaminya dalam banyak peristiwa. Dan yang menyedihkan hati Musa ialah kata-kata ejekan mereka yang menandakan bahwa hati mereka masih belum bersih dari benih kufur dan syirik kepada Allah. Ketika Nabi Musa tidak sanggup lagi membujuk mereka untuk melaksanakan perintah Allah tersebut, maka Nabi Musa berdoa kepada Allah:
رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي فَافْرُقْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ
"Ya Tuhanku, aku tidak menguasai selain diriku dan diri saudaraku Harun, maka pisahkanlah kami dari orang-orang yang fasiq yang mengingkari nikmat dan kurnia-Mu." Q.s. Al-Maidah:25
Sebagai hukuman bagi Bani Israil yang menolak perintah Allah, Allah mengharamkan wilayah Palestina selama 40 tahun. Dan selama itu pula mereka berkeliaran di atas bumi tanpa memiliki tempat bermukim yang tetap (Lihat, Q.s. Al-Maidah:26). Mereka hidup dalam kebingungan sampai mereka musnah semuanya. Sedangkan mereka yang taat terhadap perintah itu dapat memasuki Palestina setelah 40 tahun “kutukan” itu berakhir. (Lihat, Tafsir at-Thabari, X:191). Usaha Nabi Musa as untuk membawa Bani Israil masuk ke Palestina tidak berhasil karena mereka tidak mengikuti petunjuk Nabi Musa as sampai ia wafat pada usia 120/150 tahun. Begitu juga saudaranya Harun as, yang wafat 3 tahun sebelum Nabi Musa. Sementara itu Bani Israil masih dalam kesesatan.
Keterangan:
Jumlah suku Bani Israil pada zaman Nabi Musa diterangkan dalam Alquran
وَقَطَّعْنَاهُمُ اثْنَتَيْ عَشْرَةَ أَسْبَاطًا أُمَمًا
“Dan mereka Kami bagi menjadi dua belas suku yang masing-masingnya berjumlah besar” Q.s. Al-A'raaf : 160
Imam at-Thabari menjelaskan bahwa Allah telah membagi dan menjadikan mereka beberapa suku, yakni 12 suku (Lihat, Tafsir at-Thabari, X:174).
Berdasarkan catatan sejarah, selama periode Nabi Yusuf di Mesir (sekitar 130 tahun sebelum lahir Nabi Musa), jumlah Bani Israel masih berkisar 72 jiwa, kemudian zaman Nabi Musa mereka sudah berkembang menjadi 12 suku dengan jumlah mencapai 600.570/670.000 jiwa (mereka yang beriman dan ikut keluar dari Mesir bersama Nabi Musa) dan masih ada 1.200.000 yang merupakan suku dzariyyah (mereka yang menetap di Mesir). Jadi total populasi mereka saat itu berjumlah 1.800.570/1.870.000 jiwa. Fakta angka tersebut menunjukkan sebuah perkembangan populasi yang sangat signifikan, padahal antara masa Nabi Yusuf dengan Nabi Musa hanya terpaut 400 tahun (4 abad). (Lihat, Tafsir al-Kasysyaf, V:14; at-Tafsirul Munir I hal. 418).
D.Fase Yusa bin Nun
Allah swt. telah memerintah Musa untuk mempersiapkan Bani Israil dan menjadikan mereka para pemimpin, sebagaimana firman-Nya: (artinya) "Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami angkat di antara mereka dua belas orang pemimpin …" (QS. al-Maidah: 12)
Tak seorang pun di kalangan Bani Israil yang dapat keluar dari keadaan tersesat selama 40 tahun itu kecuali dua orang, yaitu kedua laki-laki yang memberitahu masyarakat Bani Israil untuk memasuki desa yang dihuni oleh orang-orang Kan’an. Para mufasir berkata bahwa salah seorang di antara mereka berdua adalah Yusya' bin Nun (turunan Bani Israil generasi ke-4, jalur Nabi Yusuf bin Ya’qub. Lihat silsilah lengkapnya). Ia adalah seorang pemuda yang ikut bersama Musa dalam kisah perjalanan Musa bersama Khidir. Dan sekarang ia menjadi Nabi yang diutus untuk Bani Israil. Ia juga seorang pemimpin pasukan yang menuju ke bumi yang Allah swt. perintahkan mereka untuk memasukinya.
Atas wasiat Nabi Musa as, Yusa bin Nun melanjutkan pimpinan Bani Israil generasi berikutnya (anak-anak Bani Israil kaum Musa). Ia membawa mereka memasuki Palestina pada abad ke-13 SM melalui timur laut Sungai Yordan dan menyeberangi sungai itu memasuki kota Ariha dengan memerangi seluruh penduduknya (suku-suku Kan’an). Dengan peristiwa ini mulailah zaman pemerintahan Bani Israil atas bumi Palestina dan mereka berhasil membentuk suatu umat dari dua suku bangsa (Bani Israil dan Kan’an). Sementara negara-negara kuat seperti Mesir dan Mesopotamia tidak mencampuri urusan dalam negeri Palestina ketika itu.
Setelah memimpin Bani Israil di Palestina selama 27 tahun, Yusya bin Nun wafat pada 1130 SM dalam usia 126 tahun. (lihat, al-Kamil fit Tarikh, I:67; al-Maushu’ah al-Musayyarah fil Adyan wal Madzahib wal Ahzab al-Mu’ashirah, I:501)
Periode kepempinan Yusya bin Nun itu menandai babak baru terjadinya konflik antar suku bangsa di wilayah Palestina.
Keterangan:
Silsilah Yusa bin Nun:
Yusa bin Nun bin Ifrahim bin Yusuf bin Ya’qub (Israil) bin Ishaq bin Ibrahim
bin Tarikh (Azar) bin Nahur bin Sarug bin Rau bin Falikh bin Aibar/’Abir bin Syalikh bin Arfakhsadz bin Sam bin Nuh bin Lamik bin Matusyalakh bin Idris (Akhnukh) bin Yard/Yarid bin Mahlil/Mahlail bin Qainan bin Anusy/Yanisy bin Syits bin Adam
Jumlah suku Bani Israil yang dibawa masuk ke Palestina oleh Yusya bin Nun sebanyak 10.000 orang. Sedangkan suku Kan’an (penduduk Palestina) yang diperangi sebanyak 12.000 orang (al-Muntazham, I:94)

Sumber: Ust Amin Mukhtar