Pages

Selasa, 28 Agustus 2012

SIAPAKAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH? (BAGIAN V)

Dari berbagai keterangan terdahulu dapat diambil suatu kesimpulan historis kronologis bahwa pada awalnya Ahlul Haq dinamai Ahlus Sunnah. Penamaan ini sebagai manifestasi kesetiaan mereka mengikuti manhaj Alquran dan sunah dalam segala dimensinya, baik akidah, ibadah, maupun suluk (akhlak). Di samping itu sebagai antitesis atas gerakan inkar sunnah. Kemudian setelah munculnya Ahlul Ahwa` wal Bida', pada nama itu disematkan pula al-Jama'ah (Ahlus Sunnah wal Jama'ah).

Mereka dinamai pula Ahlul Hadits, Ashabul Hadits, atau Ahlul Atsar. Penamaan itu sebagai antitesis atas Ahlul Kalam yang menganggap bahwa akal harus didahulukan atas hadis Rasul dalam bidang akidah. Sedangkan penamaan as-Salaf as-Shalih untuk menunjuk suatu komunitas ideal pada sebuah masa terbaik yang pernah ada di muka bumi ini.

Berbagai nama itu telah dipergunakan sejak masa sahabat hingga puncak masa keemasan Islam (al-‘Ashr adz-Dzahabiy) pada abad ke-3 H/ke-9 M. Sedangkan istilah as-Salafiyyah dan as-Salafiy mulai diperkenalkan pada abad ke-4 H/ke-10 M, oleh sebagian dari Hanabilah (pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal). Popularitas berbagai nama itu tidak sama tergantung trend atau seiring dengan perkembangan tantangan yang dihadapi dalam sejarah perjalanannya. Misalnya nama Ahlus Sunnah wal Jam'aah menemukan momentum popularitasnya justru pada masa Khalifah al-Mutawakkil dari dinasti Abasiyyah (233-247 H/847-861 M), ketika terjadi pergulatan pemikiran yang tajam antara firqah-fiqah kalamiyah mengenai masalah-masalah ushuludin, khususnya Alquran makhluk, dan amalan bid'ah mendominasi masyarakat Islam. Waktu itu Ahlus Sunnah wal Jam'aah populer di tangan Imam Ahmad, Imam al-Asy'ari dan Imam al-Maturidi. Meskipun sempat mengalami reduksi dan transmisi dari istilah umum untuk semua kaum muslimin yang mengikuti tuntunan Nabi saw. dan para Sahabat, menjadi istilah khas, yaitu hanya dibatasi untuk mazhab tertentu dalam akidah, fikih dan siyâsah.

Klaim seperti ini bisa terjadi, karena masing-masing membangun klaim dengan pijakan dan paradigma yang berbeda. Satu pihak menganggap Ahlus Sunnah wal Jama'ah sebagai mazhab tertentu sehingga siapa saja yang tidak mengikuti mazhab tersebut dianggap bukan Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Pihak lain menganggap Ahlus Sunnah wal Jama'ah bukan sebagai mazhab tertentu, tetapi sebagai tuntunan Nabi saw. yang harus diikuti, sehingga siapa saja yang menyimpang dari tuntunan tersebut disebut Ahlul Bid‘ah, bukan Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Dengan kata lain, Ahlus Sunnah wal Jama'ah menurut Ahlul Hadits adalah istilah umum, bukan khusus untuk mazhab tertentu. Sebaliknya, menurut Ahlul Kalam, Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah istilah khas, yang merujuk pada mazhab tertentu.

Dalam teori usul fikih, istilah tersebut dapat dikategorikan sebagai haqîqah ‘urfiyyah (makna hakiki menurut konvensi). Ada yang khâshash, atau konvensi tertentu, seperti konvensi Ahli Kalam, sehingga istilah tersebut disebut haqîqah ‘urfiyyah khâshah ‘inda al-mutakallimîn. Namun, ada juga yang bersifat ‘âmmah, atau konvensi umum, sehingga bisa disebut haqîqah ‘urfiyyah ‘âmmah. Berdasarkan teori ini dapat disimpulkan, bahwa Ahlul Kalam menggunakan istilah tersebut dalam konteks haqîqah ‘urfiyyah khâshah, sementara Ahlul Hadits menggunakannya dalam konteks haqîqah ‘urfiyyah ‘âmmah.

Setelah mengalami kemajuan yang sangat pesat, bahkan mampu mendominasi alam pikiran dunia Islam. Popularitas nama Ahlus Sunnah wal Jama'ah mulai menurun ketika mengalami pencemaran dalam masalah aqidah akibat ulah sebagian asy'ariyyah dan maturidiyah (penganut kedua madzhab tersebut) dalam mengajarkan akidah yang diselubungi khurafat dan faham kesufian. Di samping itu, pada masa ini terjadi kemunduran dan degenerasi umat Islam. Dikatakan masa kemunduran karena umat Islam sangat mundur dalam berbagai bidang, baik keagamaan, politik, sosial, ekonomi, maupun moral. Sementara itu, masyarakat muslim banyak menjadi penyembah kuburan nabi, ulama, tokoh-tokoh tarekat, dan sufi untuk mengharapkan berkat anbia (para nabi) dan aulia (para wali). Mereka sudah meninggalkan Alquran dan sunnah Rasul, melakukan perbuatan syirik dan bid'ah di samping percaya pada khurafat dan takhayul.

Dalam situasi seperti itulah muncul ulama yang ingin membangun alam fikiran kaum muslimin dengan menyadarkan mereka agar kembali pada Alquran dan sunnah sebagaimana yang telah ditempuh Ahlus Sunnah wal jama'ah. Gerakan ini dicetuskan pada abad ke-8. H/ke-14 M oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qayyim. Beliau menganjurkan umat Islam agar mengikuti dan menerapkan ajaran salaf dalam kehidupan agamanya karena pola hidup ajaran salaf adalah pola hidup yang sudah terbentuk oleh Alquran dan sunnah Rasulullah saw.
Sifat gerakan ini tampak sekali dalam berbagai bidang kehidupan, baik berkaitan dengan akidah, ibadah, maupun mu'amalah. Ajaran yang paling menonjol dalam gerakan ini adalah: pintu ijtihad tetap terbuka sepanjang masa; taklid buta tanpa mengetahui sumbernya diharamkan; diperlukan kehati-hatian dalam berijtihad dan berfatwa; perdebatan teologis (kalamiah) seperti muktazilah, jahmiyyah, dan lainnya dihindarkan.

Dalam membangun gerakan ini beliau bukan saja berupaya menghidupkan kembali ajaran salaf, tapi juga lebih mempopulerkan nama as-Salafus Shaleh dan Thariqah Salafiyyah. Demikian besarnya penekanan dan perhatian beliau pada ajaran Salaf, sehingga tidak mengherankan jika dalam tulisan-tulisannya kita menemukan istilah itu diungkap ratusan kali. Misalnya kata salafiyyah dalam kitab Majmu' al-Fatawa disebut sebanyak 12 kali; al-Fatawa al-Kubra 2 kali; Darut Ta'arudh Bainal 'Aqli wan Naqli 8 kali; Iqtidha Shirathil Mustaqim 1 kali; Daqaiqiut Tafsir 2 kali; As-Shadafiyah 1 kali; Bayan Talbisil Jahmiyyah 1 kali. Sedangkan kata as-Salaf as-Shalih disebut sebanyak 31 kali yang tersebar di berbagai karya tersebut. Ungkapan yang melimpah seperti ini tidak kami temukan pada karya-karya ulama yang hidup sebelum Ibnu Taimiyyah. Karena itu tidak berlebihan kiranya bila diambil kesimpulan bahwa di tangan Ibnu Taimiyyah-lah istilah as-Salaf as-Shaleh dan Salafiyyah menemukan momentum popularitasnya.

Pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah menjadi embrio dari gerakan salafiyyah di zaman modern lewat tangan pembaharu salafiyyah di Jazirah Arab Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab (w. 1201 H/1787 M), yang muncul pada abad ke-12 H/ke-17 M, sekitar 3 abad setelah wafatnya Ibnu Taimiyah.

Pemikiran yang dicetuskan oleh Ibnu Abdul Wahhab untuk memperbaiki kedudukan umat Islam timbul sebagai reaksi terhadap paham tauhid yang terdapat di kalangan umat Islam waktu itu. Gerakan Ibn Abdul Wahhab didorong oleh keinginan untuk memurnikan ajaran Islam, khususnya di bidang tauhid, yang merupakan pokok ajaran Islam. Ia tidak berhasrat untuk mengubah ajaran Islam atau mengadakan penafsiran baru tentang wahyu, melainkan membawa misi pemberantasan unsur-unsur luar (bid’ah dan khurafat) yang masuk ke dalam ajaran Islam serta mengajak umat Islam untuk kembali kepada bentuk ajaran Islam yang murni. Yang di maksud dengan ajaran Islam yang murni itu ialah Islam yang dianut dan di praktikkan pada zaman Nabi Muhammad saw, para sahabat serta tabiin (sampai abad ke-3 H). Sejalan dengan misi yang di bawanya, pemikiran Ibnu Abdul Wahhab hampir seluruhnya bertemakan pemurnian tauhid.

Tidak ada komentar: