Ada yang berpendapat bahwa makmum yang masbuk dalam
menyempurnakan kekurangannya tidak boleh dilakukan secara berjamaah,
dengan alasan Nabi saw. tidak mencontohkannya. Adapun dalil yang
menunjukkan Rasulullah saw. masbuk bersama al-Mughirah bin Syu'bah, lalu
menyelesaikan/menyempurnakan kekurangan rakaatnya dengan cara berjamaah
ditolak dengan alasan bahwa salatnya itu sendiri-sendiri, tidak
berjamaah. Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir ‘Abdat, di dalam Buku Risalah
Bid'ah, hal. 190, menyatakan: Bid'ah ini tegas-tegas telah menyalahi
Sunnah: Nabi shallahu'alaihi wa sallam bersama Mughirah bin Syu'bah pernah menjadi masbuq di dalam peperangan Tabuk. Ketika Abdurrahman bin 'Auf yang menjadi imam shalat memberi salam (selesai shalat), kemudian Nabi shallahu'alaihi wa sallam
dan Mughirah menyempurnakan satu raka'at yang tertinggal
sendiri-sendiri tidak membikin jama'ah. (Hadits riwayat Muslim dan
lain-lain.)
Tanggapan Tentang Dalil
Didalam tulisan tersebut ada 3 hal yang harus dikritisi:
1.
Hemat kami dalam penunjukkan dalil tersebut terdapat "ketidakjujuran",
apakah yang dimuat dalam buku itu terjemah hadisnya atau fiqih penulis?
Dengan cara penunjukan seperti itu, pembaca akan menyangka bahwa hadis
tentang masbuk itu demikian adanya. Mengapa teks Arabnya tidak
ditampilkan? Padahal teks Arab itulah yang akan menjadi acuan dalam dua
hal: a. analisis tepat dan tidaknya penulis dalam memahami maksud hadis
tersebut, b. analisis benar dan tidaknya penulis dalam istibath ahkam
(penetapan kesimpulan hukum) bahwa "masbuk berjamaah itu bid'ah"
2.
Dalam terjemah itu ditulis kalimat: sendiri-sendiri tidak membikin
jama'ah. Dengan terjemah itu seolah-olah demikian adanya praktek
Rasulullah ketika masbuk. Padahal dalam teks Arabnya tidak ada
sedikitpun kalimat yang menunjukkan arti seperti itu. Andaikata penulis
secara jujur menyatakan bahwa kalimat itu adalah fiqih penulis bukan
terjemah dari teks hadis, tentu pembaca akan memaklumi latar belakang
mengapa beliau membid'ahkan amal seperti itu, yakni "karena cara
memahaminya seperti itu!"
3. Diakhir terjemah itu
disebutkan: "hadis riwayat Muslim dan lain-lain", tanpa menjelaskan
"Riwayat Muslim yang mana?", "siapa lain-lain yang dimaksud?" dan
"berapa orang?". Hal ini penting dianalisis mengingat: a. Riwayat Muslim
dan lain-lain itu menggunakan beberapa redaksi, b. Dengan cara
penyebutan mukharij (pencatat hadis) seperti itu akan dipahamkan oleh
pembaca seolah-olah kalimat sendiri-sendiri tidak membikin jama'ah
tersebut tercatat dalam riwayat Muslim dan lain-lain itu. Benarkah
demikian?
Untuk lebih jelasnya mari kita kaji secara cermat masalah ini dengan penuh kejujuran:
Perlu
diketahui bahwa peristiwa Nabi masbuk bersama al-Mughirah terjadi pada
perak Tabuk tahun 9 H (Lihat, al-Bidayah wan Nihayah, V:2). Selain itu,
hadis tentang peristiwa Nabi masbuk bersama al-Mughirah diriwayatkan
oleh lebih dari 25 mukharrij, melalui sekitar 60 orang, semuanya
menerima dari al-Mughirah bin Syu’bah, dengan bentuk pelaporan sebagai
berikut
1. Hanya dilaporkan peristiwa awalnya, antara lain
أَنَّهُ
كَانَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ
وَأَنَّهُ ذَهَبَ لِحَاجَةٍ لَهُ وَأَنَّ مُغِيرَةَ جَعَلَ يَصُبُّ
الْمَاءَ عَلَيْهِ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ
وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ وَمَسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ
Sesungguhnya
al-Mughirah bersama Nabi saw. dalam satu perjalanan, dan sesungguhnya
beliau pergi untuk qadha hajat (buang air), dan sesungguhnya Mughirah
mulai mencucurkan air kepadanya ketika beliau berwudhu, maka Nabi
mencuci wajah dan kedua tangannya, mengusap kepalanya, dan mengusap
kedua khufnya. H.r. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, 1997, hal. 44, No. 182, kitabul wudhu, bab ar-Rajulu yuwadhi-u shahibahu
2. Dilaporkan peristiwa akhirnya, antara lain dalam riwayat Ibnu Khuzaimah (Shahih Ibnu Khuzaimah, II:135, No. 1.064)
وقال
ثم ركبنا فأدركنا الناس قد تقدم عبد الرحمن بن عوف وقد صلى بهم ركعة وهو
في الثانية فذهبت أوذنه فنهاني فصلينا الركعة التي أدركنا وقضينا التي
سبقنا – إبن خزيمة 2: 135 –
3. Dilaporkan secara lengkap, antara lain dalam riwayat Muslim dengan redaksi
عَنِ
الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ تَخَلَّفَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله
عليه وسلم وَتَخَلَّفْتُ مَعَهُ فَلَمَّا قَضَى حَاجَتَهُ قَالَ أَمَعَكَ
مَاءٌ فَأَتَيْتُهُ بِمِطْهَرَةٍ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ وَوَجْهَهُ ثُمَّ
ذَهَبَ يَحْسِرُ عَنْ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ كُمُّ الْجُبَّةِ فَأَخْرَجَ
يَدَهُ مِنْ تَحْتِ الْجُبَّةِ وَأَلْقَى الْجُبَّةَ عَلَى مَنْكِبَيْهِ
وَغَسَلَ ذِرَاعَيْهِ وَمَسَحَ بِنَاصِيَتِهِ وَعَلَى الْعِمَامَةِ وَعَلَى
خُفَّيْهِ ثُمَّ رَكِبَ وَرَكِبْتُ فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَوْمِ
وَقَدْ قَامُوا فِي الصَّلاَةِ يُصَلِّي بِهِمْ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ
عَوْفٍ وَقَدْ رَكَعَ بِهِمْ رَكْعَةً فَلَمَّا أَحَسَّ بِالنَّبِيِّ صلى
الله عليه وسلم ذَهَبَ يَتَأَخَّرُ فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ فَصَلَّى بِهِمْ
فَلَمَّا سَلَّمَ قَامَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَقُمْتُ فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا – رواه مسلم -
Dari
Al-Mughirah bin Syu’bah, ia berkata, “Rasulullah saw. ketinggalan
rombongan demikian juga aku bersamanya. Ketika beliau telah
menyelasaikan hajatnya, beliau bersabda, "Apakah kamu membawa air?" Maka
aku mendatanginya dengan membawa air, lalu beliau mencuci kedua telapak
tangannya, dan wajahnya, lalu mulai membuka baju dari kedua lengannya,
tetapi sempit…jubahnya, maka beliau mengeluarkan sebelah tangannya dari
bawah jubah, dan menempatkan jubahnya di atas kedua pundaknya, lalu
beliau mencuci lengannya dan mengusap imamah serta kedua khufnya.
Kemudian beliau menaiki kendaraannya dan aku pun berkendaraan
bersamanya. Maka kami sampai kepada kaum (rombongan itu), ternyata
mereka telah melaksanakan salat dan Abdurrahman bin Auf yang mengimami
mereka, mereka telah salat satu rakaat. Tatkala Abdurrahman bin Auf
merasa bahwa Nabi datang, ia berusaha untuk mundur, tetapi Nabi
berisyarat agar Abdurrahman bin Auf tetap pada tempatnya mengimami
mereka. Tatkala Abdurrahman bin Auf (bersama jama’ah) melakukan salam
(selesai dari salatnya), Nabi saw. berdiri dan aku pun berdiri, lalu
kami melaksanakan rakaat salat yang ketinggalan itu. “ H.r. Muslim I : 230, No. 274, babul mashi 'alan nashiyah wal 'imamah
Dalam riwayat Muslim melalui jalur lainnya, menggunakan redaksi
أَنَّهُ
غَزَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبُوكَ
...– صحيح مسلم 1: 317 كتاب الصلاة باب تقديم الجماعة من يصلي بهم إذا
تأخر الإمام ولم يخافوا مفسدة بالتقديم
Dalam riwayat Ahmad (al-Musnad, XXX:77, No. 17.145) dengan redaksi
تَخَلَّفْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ ...
Dalam riwayat Ibnu Asakir (Tarikh Ibnu Asakir, XXVI:229) dijelaskan
...وأنا معه في غزوة تبوك قبل الفجر ...
Beberapa hal yang perlu dikritisi:
1.
Seandainya kalimat sendiri-sendiri tidak membikin jama'ah itu
benar-benar tercatat dalam riwayat Muslim, dari kalimat mana bisa
diterjemahkan demikian? Sebab dalam riwayat tersebut menggunakan dhomir
(kata ganti) nahnu (mutakallim ma'al ghair), yakni kalimat
فَرَكَعْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سَبَقَتْنَا
lalu kami melaksanakan rakaat salat yang ketinggalan itu.
Penggunaan
dhamir nahnu secara makna asal (hakiki) menunjukkan bahwa orang pertama
dan ketiga (yang dibicarakan) melakukan suatu perbuatan secara
bersama-sama. Berarti melakukan rakaat salat yang ketinggalan itu dengan
berjamaah. Apabila tidak diartikan demikian harus menunjukkan
qarinah (keterangan pendukung). Sebagai perbandingan kita lihat
penggunaan dhamir yang sama pada kalimat sebelumnya dalam riwayat Muslim
فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَوْمِ
Maka kami sampai kepada kaum itu (rombongan)
Atau menggunakan kalimat ma'ahu (bersamanya)
فَأَقْبَلْتُ مَعَهُ حَتَّى نَجِدُ النَّاسَ
Maka aku berangkat bersama beliau, hingga menemui/mendapati orang-orang
Kalimat-kalimat
tersebut akan akan diartikan apa? Seandainya konsisten dengan fiqihnya,
maka kalimat tersebut harus diartikan: "kami sampai kepada kaum itu
sendiri-sendiri" Cara mengartikan seperti ini jelas menyalahi kaidah,
sebab apa fungsi kalimat "kami" bila berangkatnya itu sendiri-sendiri?
Karena itu, untuk mengartikan demikian (sendiri-sendiri) harus
menunjukkan qarinah, sebagai perbandingan
4117 عن حسن بن عقبة قال
كنا مع الضحاك فقال إن كان منكم من يتقدم فليؤذن وليصل قال فأبوا فصلينا
وحدانا – مصنف ابن أبي شيبة 1: 358 -
Yang jadi pertanyaan: adakah qarinah yang dapat memalingkan makna bersama-sama kepada sendiri-sendiri seperti kata wuhdanan
tersebut? Sangat disayangkan pada buku tersebut: a. tidak ditunjukkan
qarinahnya, b. kalimat sebelumnya juga tidak dimuat, padahal dengan
kalimat-kalimat tersebut semakin memperkuat dilalah (petunjuk)
berjamaahnya Rasul dengan al-Mughirah.
2. Demikian pula seandainya
kalimat itu benar-benar tercatat dalam riwayat imam lainnya, dari
kalimat mana bisa diterjemahkan demikian? Sebab dalam riwayat-riwayat
tersebut menggunakan dhomir yang sama (nahnu), antara lain: dalam
riwayat Ahmad (al-Musnad, XXX:59-60, No. 18.134); at-Thabrani
(al-Mu'jamul Kabir, XX:428, No. 1.037); Ibnu Khuzaimah (Shahih Ibnu
Khuzaimah, II:135, No. 1.064)menggunakan redaksi
فَصَلَّيْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي أَدْرَكْنَا وَقَضَيْنَا الرَّكْعَةَ الَّتِي سُبِقْنَا
Dalam riwayat Ibnu Abdil Barr (at-Tamhid, XI:160) dengan redaksi
فصلينا الركعة التي أدركنا وقضينا الركعة التي سبقتنا
Dalam riwayat at-Thabrani (al-Mu'jamul Ausath, II:102, No. 1.389) dengan redaksi
فصلينا معه ركعة وقضينا الركعة التي فاتتنا
Dalam riwayat Ibnu Hiban (Shahih Ibnu Hiban, IV:178, No. 1.347) dengan redaksi
قام النبي صلى الله عليه وسلم و المغيرة فأكملا ما سبقهما – 4: 178 -
Sedangkan
dalam riwayat al-Baihaqi (as-Sunanul Kubra, III:92, No. 4.922,
as-Sunanus Sughra, I:99, No. 124) sebelum kalimat itu ditegaskan
... فلما سلم قام النبي صلى الله عليه وسلم وقمت معه فركعنا الركعة التي سبقنا – البيهقي في الكبرى 3: 92 –
...فلما سلم قام النبي صلى الله عليه وسلم وقمت معه فركعنا الركعة التي سبقتنا – البيهقي في الصغرى 1: 99
Kalimat qaman nabiyyu wa qumtu ma'ahu
di atas akan akan diartikan apa? Seandainya konsisten dengan fiqihnya,
maka kalimat tersebut harus diartikan: "Nabi berdiri dan aku pun berdiri
bersama beliau sendiri-sendiri" Cara mengartikan seperti ini jelas amat
rancu, sebab fungsi kalimat "ma'ahu" itu menunjukkan bersama-sama bukan
sendiri-sendiri? Apakah ada qarinah yang dapat memalingkan kalimat ma'ahu
menjadi bermakna masing-masing? Sangat disayangkan pada buku tersebut
hadis yang menggunakan kalimat ma'ahu sengaja tidak dicantumkan, ataukah
belum ditemukan?
Sebagai perbandingan kita lihat penggunaan
dhamir yang sama pada kalimat sebelumnya dalam riwayat Ahmad (al-Musnad,
XXX:59-60, No. 18.134) dengan redaksi
وَرَكِبْنَا فَأَدْرَكْنَا النَّاسَ
Dalam riwayat al-Baihaqi (as-Sunanul Kubra, III:92, No. 4.922, as-Sunanus Sughra, I:99, No. 124) dengan redaksi
ثم ركب وركبت فانتهينا إلى القوم
Dalam riwayat Ibnu Hiban (Shahih Ibnu Hiban, IV:178, No. 1.347) dengan redaksi
1347 ... ثم ركب وركبت معه فانتهى إلى الناس
Dalam riwayat Ibnu Asakir (Tarikh Ibnu Asakir, XXVI:229) dengan dua redaksi
ثم أقبل فأقبلت معه حتى نجد الناس
فأقبلنا نسير حتى نجد الناس في الصلاة
قد قدموا عبد الرحمن بن عوف فصلى بهم حين كان وقت الصلاة ووجدنا عبد الرحمن بن عوف قد ركع بهم ركعة من صلاة الفجر
Kalimat diatas, baik rakibnaa ataupun rakibtu ma'ahu
akan kita artikan apa? Kalimat-kalimat inilah yang sebenarnya tidak
boleh diabaikan dalam memahami makna hadis-hadis tersebut, karena akan
menjadi dilalah (petunjuk) bahwa sejak keberangkatan menuju rombongan
Abdurrahman bin Auf, Rasulullah itu tidak sendiri-sendiri, tetapi
bersama-sama dengan al-Mughirah, demikian pula ketika melaksanakan
rakaat salat yang ketinggalan itu Rasulullah berjama'ah dengan
al-Mughirah
Dari berbagai keterangan di atas kami berkesimpulan
1. Masbuk berjamaah itu sesuai dengan sunah Rasul
2.
Penambahan kalimat sendiri-sendiri tidak membikin jama'ah pada hadis
tentang masbuknya Rasul dan al-Mugirah merupakan perbuatan bid'ah.
Sumber: Ust Amin Mukhtar
1 komentar:
assalamualaikum wr wb,, dari pemapara di makalah ini serta kesimpulan yang ustadz ambil untuk masalah ini, izinkanlah saya meminta penjelasan lebih akan hukum masbuq berjama'ah ini. sunah kah? atau dianjurkan atau harus? mengingat di pesantren banyak ustdaz dan santri yg memaksakan diri untuk berjamaah saat masbuq sampai berjalan beberapa langkah, tengok kanan kiri dan hal lainnya yg menafikan kekhusyuan sholat.
kedua berikanlah saya yang awam ini penjelasan berdasarkan dalil yg shohih kaifiyah masbuq berjama'ah ini! siapa yg berhaq jadi imam dgn dalil? cara mengatur shaf? dll
jazakumullohu khoirol jaz
Posting Komentar