Pages

Kamis, 21 Januari 2010

Biografi Ibn Qayim

Beliau adalah Imam, ‘Allamah, Muhaqqiq, Hafizh, Ushuli, Faqih, Ahli Nahwu, berotak cemerlang, bertinta emas dan banyak karyanya; Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Huraiz az-Zar’i, kemudian ad-Dimasyqi. Dikenal dengan ibnul Qayyim al-Jauziyyah nisbat kepada sebuah madrasah yang dibentuk oleh Muhyiddin Abu al-Mahasin Yusuf bin Abdil Rahman bin Ali al-Jauzi yang wafat pada tahun 656 H, sebab ayah Ibnul Qayyim adalah tonggak (QAYYIM) bagi madrasah itu. Ibnul Qayyim dilahirkan di tengah keluarga berilmu dan terhormat pada tanggal 7 Shaffar 691 H. Di kampung Zara’ dari perkampungan Hauran, sebelah tenggara Dimasyq (Damaskus) sejauh 55 mil.

Pertumbuhan Dan Thalabul Ilminya

Bukanlah hal yang aneh jikalau Ibnul Qayyim tumbuh menjadi seorang yang dalam dan luas pengetahuan serta wawasannya, sebab beliau dibentuk pada zaman ketika ilmu sedang jaya dan para ulama pun masih hidup. Sesungguhnya beliau telah mendengar hadits dari asy-Syihab an-Nablisiy, al-Qadli Taqiyuddin bin Sulaiman, Abu Bakr bin Abdid Da’im, Isa al-Muth’im, Isma’il bin Maktum dan lain-lain.


Beliau belajar ilmu faraidl dari bapaknya karena beliau sangat menonjol dalam ilmu itu. Belajar bahasa Arab dari Ibnu Abi al-Fath al-Baththiy dengan membaca kitab-kitab: (al-Mulakhkhas li Abil Balqa’ kemudian kitab al-Jurjaniyah, kemudian Alfiyah Ibnu Malik, juga sebagian besar Kitab al-kafiyah was Syafiyah dan sebagian at-Tas-hil). Di samping itu belajar dari syaikh Majduddin at-Tunisi satu bagian dari kitab al-Muqarrib li Ibni Ushfur.

Belajar ilmu Ushul dari Syaikh Shafiyuddin al-Hindi, Ilmu Fiqih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Isma’il bin Muhammad al-Harraniy.

Beliau amat cakap dalam hal ilmu melampaui teman-temannya, masyhur di segenap penjuru dunia dan amat dalam pengetahuannya tentang madzhab-madzhab Salaf.

Pada akhirnya beliau benar-benar bermulazamah secara total (berguru secara intensif) kepada Ibnu Taimiyah sesudah kembalinya Ibnu Taimiyah dari Mesir tahun 712 H hingga wafatnya tahun 728 H.
Pada masa itu, Ibnul Qayyim sedang pada awal masa-masa mudanya. Oleh karenanya beliau sempat betul-betul mereguk sumber mata ilmunya yang luas. Beliau dengarkan pendapat-pendapat Ibnu Taimiyah yang penuh kematangan dan tepat. Oleh karena itulah Ibnul Qayyim amat mencintainya, sampai-sampai beliau mengambil kebanyakan ijtihad-ijtihadnya dan memberikan pembelaan atasnya. Ibnul Qayyim yang menyebarluaskan ilmu Ibnu Taimiyah dengan cara menyusun karya-karyanya yang bagus dan dapat diterima.

Ibnul Qayyim pernah dipenjara, dihina dan diarak berkeliling bersama Ibnu Taimiyah sambil didera dengan cambuk di atas seekor onta. Setelah Ibnu Taimiyah wafat, Ibnul Qayyim pun dilepaskan dari penjara.

Sebagai hasil dari mulazamahnya (bergurunya secara intensif) kepada Ibnu Taimiyah, beliau dapat mengambil banyak faedah besar, diantaranya yang penting ialah berdakwah mengajak orang supaya kembali kepada kitabullah Ta’ala dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahihah, berpegang kepada keduanya, memahami keduanya sesuai dengan apa yang telah difahami oleh as-Salafus ash-Shalih, membuang apa-apa yang berselisih dengan keduanya, serta memperbaharui segala petunjuk ad-Din yang pernah dipalajarinya secara benar dan membersihkannya dari segenap bid’ah yang diada-adakan oleh kaum Ahlul Bid’ah berupa manhaj-manhaj kotor sebagai cetusan dari hawa-hawa nafsu mereka yang sudah mulai berkembang sejak abad-abad sebelumnya, yakni: Abad kemunduran, abad jumud dan taqlid buta.

Beliau peringatkan kaum muslimin dari adanya khurafat kaum sufi, logika kaum filosof dan zuhud model orang-orang hindu ke dalam fiqrah Islamiyah.

Ibnul Qayyim rahimahullah telah berjuang untuk mencari ilmu serta bermulazamah bersama para Ulama supaya dapat memperoleh ilmu mereka dan supaya bisa menguasai berbagai bidang ilmu Islam.

Penguasaannya terhadap Ilmu Tafsir tiada bandingnya, pemahamannya terhadap USHULUDDIN mencapai puncaknya dan pengetahuannya mengenai HADITS, makna hadits, pemahaman serta ISTINBATH-ISTINBATH rumitnya, sulit ditemukan tandingannya.

Begitu pula, pengetahuan beliau rahimahullah tentang ilmu SULUK dan ilmu KALAM-nya Ahli tasawwuf, isyarat-isyarat mereka serta detail-detail mereka. Beliau memang amat menguasai terhadap berbagai bidang ilmu ini.

Semuanya itu menunjukkan bahwa beliau rahimahullah amat teguh berpegang pada prinsip, yakni bahwa “Baiknya” perkara kaum Muslimin tidak akan pernah terwujud jika tidak kembali kepada madzhab as-Salafus ash-Shalih yang telah mereguk ushuluddin dan syari’ah dari sumbernya yang jernih yaitu Kitabullah al-‘Aziz serta sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam asy-syarifah.

Oleh karena itu beliau berpegang pada (prinsip) ijtihad serta menjauhi taqlid. Beliau ambil istinbath hukum berdasarkan petunjuk al-Qur’anul Karim, Sunnah Nabawiyah syarifah, fatwa-fatwa shahih para shahabat serta apa-apa yang telah disepakati oleh ahlu ats tsiqah (ulama terpercaya) dan A’immatul Fiqhi (para imam fiqih).

Dengan kemerdekaan fikrah dan gaya bahasa yang logis, beliau tetapkan bahwa setiap apa yang dibawa oleh Syari’ah Islam, pasti sejalan dengan akal dan bertujuan bagi kebaikan serta kebahagiaan manusia di dunia maupun di akhirat.

Beliau rahimahullah benar-benar menyibukkan diri dengan ilmu dan telah benar-benar mahir dalam berbagai disiplin ilmu, namun demikian beliau tetap terus banyak mencari ilmu, siang maupun malam dan terus banyak berdo’a.

Sasarannya

Sesungguhnya Hadaf (sasaran) dari Ulama Faqih ini adalah hadaf yang agung. Beliau telah susun semua buku-bukunya pada abad ke-tujuh Hijriyah, suatu masa dimana kegiatan musuh-musuh Islam dan orang-orang dengki begitu gencarnya. Kegiatan yang telah dimulai sejak abad ketiga Hijriyah ketika jengkal demi jengkal dunia mulai dikuasai Isalam, ketika panji-panji Islam telah berkibar di semua sudut bumi dan ketika berbagai bangsa telah banyak masuk Islam; sebahagiannya karena iman, tetapi sebahagiannya lagi terdiri dari orang-orang dengki yang menyimpan dendam kesumat dan bertujuan menghancurkan (dari dalam pent.) dinul Hanif (agama lurus). Orang-orang semacam ini sengaja melancarkan syubhat (pengkaburan)-nya terhadap hadits-hadits Nabawiyah Syarif dan terhadap ayat-ayat al-Qur’anul Karim.

Mereka banyak membuat penafsiran, ta’wil-ta’wil, tahrif, serta pemutarbalikan makna dengan maksud menyebarluaskan kekaburan, bid’ah dan khurafat di tengah kaum Mu’minin.

Maka adalah satu keharusan bagi para A’immatul Fiqhi serta para ulama yang memiliki semangat pembelaan terhadap ad-Din, untuk bertekad memerangi musuh-musuh Islam beserta gang-nya dari kalangan kaum pendengki, dengan cara meluruskan penafsiran secara shahih terhadap ketentuan-ketentuan hukum syari’ah, dengan berpegang kepada Kitabullah wa sunnatur Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk pengamalan dari Firman Allah Ta’ala:
“Dan Kami turunkan Al Qur’an kepadamu, agar kamu menerangkan kepada Umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.” (an-Nahl:44).

Juga firman Allah Ta’ala,
“Dan apa-apa yang dibawa Ar Rasul kepadamu maka ambillah ia, dan apa-apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (al-Hasyr:7).

Murid-Muridnya

Ibnul Qayyim benar-benar telah menyediakan dirinya untuk mengajar, memberi fatwa, berdakwah dan melayani dialog. Karena itulah banyak manusia-manusia pilihan dari kalangan para pemerhati yang menempatkan ilmu sebagai puncak perhatiannya, telah benar-benar menjadi murid beliau. Mereka itu adalah para Ulama terbaik yang telah terbukti keutamaannya, di antaranya ialah: anak beliau sendiri bernama Syarafuddin Abdullah, anaknya yang lain bernama Ibrahim, kemudian Ibnu Katsir ad-Dimasyqiy penyusun kitab al-Bidayah wan Nihayah, al-Imam al-Hafizh Abdurrahman bin Rajab al-Hambali al-Baghdadi penyusun kitab Thabaqat al-Hanabilah, Ibnu Abdil Hadi al-Maqdisi, Syamsuddin Muhammad bin Abdil Qadir an-Nablisiy, Ibnu Abdirrahman an-Nablisiy, Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz adz-Dzhahabi at-Turkumaniy asy-Syafi’i, Ali bin Abdil Kafi bin Ali bin Taman As Subky, Taqiyussssddin Abu ath-Thahir al-Fairuz asy-Syafi’i dan lain-lain.

Aqidah Dan Manhajnya

Adalah Aqidah Ibnul Qayyim begitu jernih, tanpa ternodai oleh sedikit kotoran apapun, itulah sebabnya, ketika beliau hendak membuktikan kebenaran wujudnya Allah Ta’ala, beliau ikuti manhaj al-Qur’anul Karim sebagai manhaj fitrah, manhaj perasaan yang salim dan sebagai cara pandang yang benar. Beliau –rahimahullah- sama sekali tidak mau mempergunakan teori-teori kaum filosof.

Ibnul Qayiim rahimahullah mengatakan, “Perhatikanlah keadaan alam seluruhnya –baik alam bawah maupun- alam atas dengan segala bagian-bagaiannya, niscaya anda akan temui semua itu memberikan kesaksian tentang adanya Sang Pembuat, Sang Pencipta dan Sang Pemiliknya. Mengingkari adanya Pencipta yang telah diakui oleh akal dan fitrah berarti mengingkari ilmu, tiada beda antara keduanya. Bahwa telah dimaklumi; adanya Rabb Ta’ala lebih gamblang bagi akal dan fitrah dibandingkan dengan adanya siang hari. Maka barangsiapa yang akal serta fitrahnya tidak mampu melihat hal demikian, berarti akal dan fitrahnya perlu dipertanyakan.”

Hadirnya Imam Ibnul Qayyim benar-benar tepat ketika zaman sedang dilanda krisis internal berupa kegoncangan dan kekacauan (pemikiran Umat Islam–Pent.) di samping adanya kekacauan dari luar yang mengancam hancurnya Daulah Islamiyah. Maka wajarlah jika anda lihat Ibnul Qayyim waktu itu memerintahkan untuk membuang perpecahan sejauh-jauhnya dan menyerukan agar umat berpegang kepada Kitabullah Ta’ala serta Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Manhaj serta hadaf Ibnul Qayyim rahimahullah ialah kembali kepada sumber-sumber dinul Islam yang suci dan murni, tidak terkotori oleh ra’yu-ra’yu (pendapat-pendapat) Ahlul Ahwa’ wal bida’ (Ahli Bid’ah) serta helah-helah (tipu daya) orang-orang yang suka mempermainkan agama.

Oleh sebab itulah beliau rahimahullah mengajak kembali kepada madzhab salaf; orang-orang yang telah mengaji langsung dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Merekalah sesungguhnya yang dikatakan sebagai ulama waratsatun nabi (pewaris nabi) shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam pada itu, tidaklah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewariskan dinar atau dirham, tetapi beliau mewariskan ilmu. Berkenaan dengan inilah, Sa’id meriwayatkan dari Qatadah tentang firman Allah Ta’ala,
“Dan orang-orang yang diberi ilmu (itu) melihat bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb mu itulah yang haq.” (Saba’:6).

Qotadah mengatakan, “Mereka (orang-orang yang diberi ilmu) itu ialah para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Di samping itu, Ibnul Qayyim juga mengumandangkan bathilnya madzhab taqlid.
Kendatipun beliau adalah pengikut madzhab Hanbali, namun beliau sering keluar dari pendapatnya kaum Hanabilah, dengan mencetuskan pendapat baru setelah melakukan kajian tentang perbandingan madzhab-madzhab yang masyhur.

Mengenai pernyataan beberapa orang bahwa Ibnul Qayyim telah dikuasai taqlid terhadap imam madzhab yang empat, maka kita memberi jawaban sebagai berikut, Sesungguhnya Ibnul Qayyim rahimahullah amat terlalu jauh dari sikap taqlid. Betapa sering beliau menyelisihi madzhab Hanabilah dalam banyak hal, sebaliknya betapa sering beliau bersepakat dengan berbagai pendapat dari madzhab-madzhab yang bermacam-macam dalam berbagai persoalan lainnya.

Memang, prinsip beliau adalah ijtihad dan membuang sikap taqlid. Beliau rahimahullah senantiasa berjalan bersama al-Haq di mana pun berada, ittijah (cara pandang)-nya dalam hal tasyari’ adalah al-Qur’an, sunnah serta amalan-amalan para sahabat, dibarengi dengan ketetapannya dalam berpendapat manakala melakukan suatu penelitian dan manakala sedang berargumentasi.

Di antara da’wahnya yang paling menonjol adalah da’wah menuju keterbukaan berfikir. Sedangkan manhajnya dalam masalah fiqih ialah mengangkat kedudukan nash-nash yang memberi petunjuk atas adanya sesuatu peristiwa, namun peristiwa itu sendiri sebelumnya belum pernah terjadi.

Adapun cara pengambilan istinbath hukum, beliau berpegang kepada al-Kitab, as-Sunnah, Ijma’ Fatwa-fatwa shahabat, Qiyas, Istish-habul Ashli (menyandarkan persoalan cabang pada yang asli), al-Mashalih al-Mursalah, Saddu adz-Dzari’ah (tindak preventif) dan al-‘Urf (kebiasaan yang telah diakui baik).

Ujian Yang Dihadapi

Adalah wajar jika orang ‘Alim ini, seorang yang berada di luar garis taqlid turun temurun dan menjadi penentang segenap bid’ah yang telah mengakar, mengalami tantangan seperti banyak dihadapi oleh orang-orang semisalnya, menghadapi suara-suara sumbang terhadap pendapat-pendapat barunya.

Orang-orang pun terbagi menjadi dua kubu: Kubu yang fanatik kepadanya dan kubu lainnya kontra.

Oleh karena itu, beliau rahimahullah menghadapi berbagai jenis siksaan. Beliau seringkali mengalami gangguan. Pernah dipenjara bersama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah secara terpisah-pisah di penjara al-Qal’ah dan baru dibebaskan setelah Ibnu Taimiyah wafat.

Hal itu disebabkan karena beliau menentang adanya anjuran agar orang pergi berziarah ke kuburan para wali. Akibatnya beliau disekap, dihinakan dan diarak berkeliling di atas seekor onta sambil didera dengan cambuk.

Pada saat di penjara, beliau menyibukkan diri dengan membaca al-Qur’an, tadabbur dan tafakkur. Sebagai hasilnya, Allah membukakan banyak kebaikan dan ilmu pengetahuan baginya. Di samping ujian di atas, ada pula tantangan yang dihadapi dari para qadhi karena beliau berfatwa tentang bolehnya perlombaan pacuan kuda asalkan tanpa taruhan. Sungguhpun demikian Ibnul Qayyim rahimahullah tetap konsisten (teguh) menghadapi semua tantangan itu dan akhirnya menang. Hal demikian disebabkan karena kekuatan iman, tekad serta kesabaran beliau. Semoga Allah melimpahkan pahala atasnya, mengampuninya dan mengampuni kedua orang tuanya serta segenap kaum muslimin.

Sirah (Riwayat Hidup) Dan Pujian Ulama Terhadap Beliau

Sungguh Ibnul Qayyim rahimahullah teramat mendapatkan kasih sayang dari guru-guru maupun muridnya. Beliau adalah orang yang teramat dekat dengan hati manusia, amat dikenal, sangat cinta pada kebaikan dan senang pada nasehat. Siapa pun yang mengenalnya tentu ia akan mengenangnya sepanjang masa dan akan menyatakan kata-kata pujian bagi beliau. Para Ulama pun telah memberikan kesaksian akan keilmuan, kewara’an, ketinggian martabat serta keluasan wawasannya.

Ibnu Hajar pernah berkata mengenai pribadi beliau, “Dia adalah seorang yang berjiwa pemberani, luas pengetahuannya, faham akan perbedaan pendapat dan madzhab-madzhab salaf.”

Di sisi lain, Ibnu Katsir mengatakan, “Beliau seorang yang bacaan Al-Qur’an serta akhlaqnya bagus, banyak kasih sayangnya, tidak iri, dengki, menyakiti atau mencaci seseorang. Cara shalatnya panjang sekali, beliau panjangkan ruku’ serta sujudnya hingga banyak di antara para sahabatnya yang terkadang mencelanya, namun beliau rahimahullah tetap tidak bergeming.”

Ibnu Katsir berkata lagi, “Beliau rahimahullah lebih didominasi oleh kebaikan dan akhlaq shalihah. Jika telah usai shalat Shubuh, beliau masih akan tetap duduk di tempatnya untuk dzikrullah hingga sinar matahari pagi makin meninggi. Beliau pernah mengatakan, ‘Inilah acara rutin pagi buatku, jika aku tidak mengerjakannya nicaya kekuatanku akan runtuh.’ Beliau juga pernah mengatakan, ‘Dengan kesabaran dan perasaan tanpa beban, maka akan didapat kedudukan imamah dalam hal din (agama).’”

Ibnu Rajab pernah menukil dari adz-Dzahabi dalam kitabnya al-Mukhtashar, bahwa adz-Dzahabi mengatakan, “Beliau mendalami masalah hadits dan matan-matannya serta melakukan penelitian terhadap rijalul hadits (para perawi hadits). Beliau juga sibuk mendalami masalah fiqih dengan ketetapan-ketetapannya yang baik, mendalami nahwu dan masalah-masalah Ushul.”

(Dan masih banyak lagi pujian ulama terhadap Ibnul Qayyim yang termuat dalam naskah asli berbahasa Arab, yang terjemahannya kini ada di hadapan pembaca, namun dalam hal pujian ulama terhadap beliau ini hanya diterjemahkan secukupnya saja, pent).

Tsaqafahnya

Ibnul Qayyim rahimahullah merupakan seorang peneliti ulung yang ‘Alim dan bersungguh-sungguh. Beliau mengambil semua ilmu dan mengunyah segala tsaqafah yang sedang jaya-jayanya pada masa itu di negeri Syam dan Mesir.

Beliau telah menyusun kitab-kitab fiqih, kitab-kitab ushul, serta kitab-kitab sirah dan tarikh. Jumlah tulisan-tulisannya tiada terhitung banyaknya, dan diatas semua itu, keseluruhan kitab-kitabnya memiliki bobot ilmiah yang tinggi. Oleh karenanyalah Ibnul Qayyim pantas disebut kamus segala pengetahuan ilmiah yang agung.

Karya-Karyanya

Beliau rahimahullah memang benar-benar merupakan kamus berjalan, terkenal sebagai orang yang mempunyai prinsip dan beliau ingin agar prinsipnya itu dapat tersebarluaskan. Beliau bekerja keras demi pembelaannya terhadap Islam dan kaum muslimin. Buku-buku karangannya banyak sekali, baik yang berukuran besar maupun berukuran kecil. Beliau telah menulis banyak hal dengan tulisan tangannya yang indah. Beliau mampu menguasai kitab-kitab salaf maupun khalaf, sementara orang lain hanya mampun menguasai sepersepuluhnya. Beliau teramat senang mengumpulkan berbagai kitab. Oleh sebab itu Imam ibnul Qayyim terhitung sebagai orang yang telah mewariskan banyak kitab-kitab berbobot dalam pelbagai cabang ilmu bagi perpustakaan-perpustakaan Islam dengan gaya bahasanya yang khas; ilmiah lagi meyakinkan dan sekaligus mengandung kedalaman pemikirannya dilengkapi dengan gaya bahasa nan menarik.

Beberapa Karya Besar Beliau

1. Tahdzib Sunan Abi Daud,
2. I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin,
3. Ighatsatul Lahfan fi Hukmi Thalaqil Ghadlban,
4. Ighatsatul Lahfan fi Masha`id asy-Syaithan,
5. Bada I’ul Fawa’id,
6. Amtsalul Qur’an,
7. Buthlanul Kimiya’ min Arba’ina wajhan,
8. Bayan ad-Dalil ’ala istighna’il Musabaqah ‘an at-Tahlil,
9. At-Tibyan fi Aqsamil Qur’an,
10. At-Tahrir fi maa yahillu wa yahrum minal haris,
11. Safrul Hijratain wa babus Sa’adatain,
12. Madarijus Salikin baina manazil Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in,
13. Aqdu Muhkamil Ahya’ baina al-Kalimit Thayyib wal Amais Shalih al-Marfu’ ila Rabbis Sama’
14. Syarhu Asma’il Kitabil Aziz,
15. Zaadul Ma’ad fi Hadyi Kairul Ibad,
16. Zaadul Musafirin ila Manazil as-Su’ada’ fi Hadyi Khatamil Anbiya’
17. Jala’ul Afham fi dzkris shalati ‘ala khairil Am,.
18. Ash-Shawa’iqul Mursalah ‘Alal Jahmiyah wal Mu’aththilah,
19. Asy-Syafiyatul Kafiyah fil Intishar lil firqatin Najiyah,
20. Naqdul Manqul wal Muhakkil Mumayyiz bainal Mardud wal Maqbul,
21. Hadi al-Arwah ila biladil Arrah,
22. Nuz-hatul Musytaqin wa raudlatul Muhibbin,
23. al-Jawabul Kafi Li man sa`ala ’anid Dawa`is Syafi,
24. Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud,
25. Miftah daris Sa’adah,
26. Ijtima’ul Juyusy al-Islamiyah ‘ala Ghazwi Jahmiyyah wal Mu’aththilah,
27. Raf’ul Yadain fish Shalah,
28. Nikahul Muharram,
29. Kitab tafdlil Makkah ‘Ala al-Madinah,
30. Fadl-lul Ilmi,
31. ‘Uddatus Shabirin wa Dzakhiratus Syakirin,
32. al-Kaba’ir,
33. Hukmu Tarikis Shalah,
34. Al-Kalimut Thayyib,
35. Al-Fathul Muqaddas,
36. At-Tuhfatul Makkiyyah,
37. Syarhul Asma il Husna,
38. Al-Masa`il ath-Tharablusiyyah,
39. Ash-Shirath al-Mustaqim fi Ahkami Ahlil Jahim,
40. Al-Farqu bainal Khullah wal Mahabbah wa Munadhorotul Khalil li qaumihi,
41. Ath-Thuruqul Hikamiyyah, dan masih banyak lagi kitab-kitab serta karya-karya besar beliau yang digemari oleh berbagai pihak.

Wafatnya

Asy-Syaikh al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub az-Zar’i yang terkenal dengan julukan Ibnu Qayyim al-Jauziyah, wafat pada malam Kamis, tanggal 13 Rajab tahun 751 Hijriyah pada saat adzan ‘Isya’. Beliau dishalatkan keesokan harinya sesudah shalat Zhuhur di Masjid Jami’ Besar Dimasyq (al-Jami’ al-Umawi), kemudian dishalatkan pula di masjid Jami’ al-Jirah. Beliau dikuburkan di sebelah kuburan ibunya di tanah pekuburan al-Babus Shaghir. Kuburannya dikenal hingga hari ini.

Jenazahnya banyak dihadiri orang. Disaksikan oleh para Qadhi dan orang-orang shalih dari kalangan tertentu maupun awam. Orang-orang berjubel saling berebut memikul kerandanya. Saat wafat, beliau rahimahullah berumur genap enam puluh tahun.

Semoga Allah senantiasa memberikan keluasan rahmat-Nya kepada beliau.

Maraji’ (Rujukan)

1. Al-Bidayah wan Nihayah libni Katsir,
2. Muqaddimah Zaadil Ma’ad fi Hadyi Khairil Ibad, Tahqiq: Syu’ab wa Abdul Qadir al-Arna`uth,
3. Muqaddimah I’lamil Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘alamin; Thaha Abdur Ra’uf Sa’d,
4. Al-Badrut Thali’ Bi Mahasini ma Ba’dal Qarnis Sabi’ karya Imam asy-Syaukani,
5. Syadzaratudz dzahab karya Ibn Imad,
6. Ad-Durar al-Kaminah karya Ibn Hajar al-‘Asqalani,
7. Dzail Thabaqat al-Hanabilah karya Ibn Rajab Al Hanbali,
8. Al Wafi bil Wafiyat li Ash Shafadi,
9. Bughyatul Wu’at karya Suyuthi,
10. Jala’ul ‘Ainain fi Muhakamah al-Ahmadin karya al-Alusi,
11. An-Nujum Az-Zahirah karya Ibn Ta’zi Bardiy.

Diterjemahkan dari:
Majalah al-Mujahid no. 12 Th. I, Rabi’uts Tsani 1410 H. Hal 30-33, tulisan Hudzaifah Muhammad al-Missri
Catatan:
Pada sub judul: Pujian Ulama, dan wafatnya; tidak diterjemahkan semua. Diterjemahkan oleh Ahmaz Faiz Asifuddin.

(Sumber: Majalah as-Sunnah, 06/I/1414-1993 dengan sedikit perubahan)

Senin, 18 Januari 2010

Fikih Musibah

Betapa banyak kejadian dan musibah yang kita alami dalam kehidupan di dunia ini. Sayangnya, sangat sedikit di antara kita yang mau mengambil i'tibar (pelajaran). Terkadang kejadian dan musibah itu tiba-tiba datangnya, tanpa diduga. Sehingga hal ini sering kali membuat manusia bertekuk lutut dan tidak berdaya, bahkan sebagian manusia berani melakukan hal-hal yang menyimpang jauh dari kebenaran dalam menghadapinya.
Hanya orang-orang mukmin yang ternyata tetap bersabar dalam menghadapi musibah, ujian, dan cobaan, karena mereka selalu melekatkan kehidupannya dengan iman, dan berpegang teguh pada salah satu rukunnya --yaitu iman kepada qadha dan qadar-Nya. Semua yang menimpa mereka terasa sebagai sesuatu yang ringan, sementara lisan mereka --jika menghadapi musibah-- senantiasa mengucapkan: "sesungguhnya kita berasal dari Allah dan kepada-Nyalah kita kembali".


Begitulah kehidupan dunia yang selalu silih berganti. Kadangkadang manusia tertawa dan merasa lapang dada, tetapi dalam sekejap keadaan dapat berubah sebaliknya. Oleh karenanya tidak ada sikap yang lebih baik kecuali berlaku sabar dan berserah diri kepada-Nya, sebagaimana firman Allah SWT berikut:
وَبَشِّرْ الصَّابِرِينَ # الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
"... Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar; (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapLan 'Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'un.'" (al-Baqarah: 155-156)
Dalam konteks fiqih, berbagai musibah dan kejadian itu tidak sedikit memunculkan persoalan baru dalam kaitannya dengan fiqih, misalnya karena terjadi bencana alam yang merengut banyak korban kematian, maka muncul beberapa persoalan, antara lain:
a. Bagaimana Pemeliharaan Mayit Korban Bencana
b. Berapa lama masa iddah istri korban bencana, yang tidak diketahui rimbanya, apakah sudah wafat atau belum.
c. jika di antara mereka ada yang mempunyai keturunan, tentu berpengaruh pula terhadap status kewarisannya

Barangkali inilah berbagai persoalan hukum fiqih yang terkait dengan bencana dalam kehidupan ini. Namun karena keterbatasan media, maka yang disoroti secara khusus dalam makalah adalah pemeliharaan mayit korban bencana itu. Sedangkan perkara lainnya akan disampaikan secara lisan, itupun seandainya waktu memungkinkan.

Islam memandang alam dengan sangat serius. Sebagian besar Alquran membahas alam, baik langung maupun tak langsung. Hakikat alam ditentukan oleh 5 prinsip:

1. Profanitas
Bagi Islam alam adalah fana. Dalam dirinya alam itu baik, namun dng rujukan pada apa yang dapat dilakukan manusia terhadap alam, atau bagaimana manusia bersikap alam, maka alam dapat bersikap baik dan jahat.

2. Keterciptaan
Alam dalam Islam adalah makhluk Allah, yang diciptakan dari ketiadaan dengan perintah Allah semata. Langit, bumi, serta semua yang ada didalamya akan mengalami kemusnahan di bawah semua relativitas ruang dan waktu (Q.s. 11:7)

3. Keteraturan
Islam memandang alam sebagai bidang yang teratur. Peristiwa yang terjadi sebagai hasil dari sebabnya. Pada gilirannya, kejadiannya merupakan sebab dari peristiwa lain. Peristiwa serupa menunjuk pada sebab yang sama, dan sebab yang sama menunjuk pada konsekuensi yang sama (Q.s. 65:3; 36:12)
Alam merupakan suatu sistem sebab dan akibat yang lengkap dan integral yang tidak bercacat, tak berjurang, yang dibentuk dengan sempurna oleh penciptanya. (Q.s. 67:3-4)
Kesempurnaan ini akan menyifati alam selama alam ini ada; karena ciptaan Allah akan selalu sama. Alasannya adalah bahwa pola-pola Allah itu bersifat abadi (Q.s. 48:23). Allah tak mengubah cara-Nya karena Dia tidak berubah.

4. Bertujuan
Tiap objek yang membentuk alam ada tujuan yang harus dan akan dipenuhi. Allah menciptakan segala sesuatu dan memberinya kadar, ukuran, takdir, dan peran (Q.s. 25:2; 87:3)
Islam menyatakan manusia sebagai tujuan dari semua rantai finalistik alam. Ini membentuk antar ketergantungan ekologis manusia dengan semua yang ada di alam.

5. Ketundukan
Allam ditundukan Allah terhadap manusia karena ada tujuan yang dilekatkan oleh Allah pada tiap objek akhirnya membawa pada kebaikan bagi manusia, yakni manusia dapat memanfaatkannya untuk mendapatkan kebahagiaan. Ini juga berarti bahwa Allah menjadikan alam dapat dibentuk, dapat menerima kemampuan kausal manusia. Allah menjadikan Alam dapat menjaga benang-benang kausalnya terbuka untuk penentuan lebih lanjut oleh manusia, sehingga berhasil atau tidak berhasil dalam mewujudkan tujuan yang diinginkan dari suatu tindakan manusia. Inilah yang diungkap oleh Alquran melalui gagasan taskhir.



Sejarah Gempa Jazirah
Tradisi Arab hidup dengan kenangan bencana dengan hancurnya bendungan besar di Ma’rib, Kerajaan Saba di Arabia Barat daya pada abad V masehi, yang menyebabkan kehancuran besar dan malapetaka bagi penduduknya.

Pengertian Ushul Fiqh

Pengertian ushul fiqh dapat dilihat dari dua aspek: Pertama, sebagai rangkaian dari dua kata, yaitu ushul dan fiqh. Kedua, sebagai nama satu bidang/disiplin ilmu di antara ilmu-ilmu syariah. Menurut aslinya kalimat tersebut bukanlah nama bagi satu disiplin ilmu tertentu, tetapi masing-masing mempunyai pengertian sendiri-sendiri.
Aspek Pertama
Dilihat dari ilmu nahwu (tata bahasa Arab), rangkaian kata ushul dan fiqh tersebut dinamakan tarkib idhafi, yakni rangkaian mudhaf (ushul) dan mudhaf ilaih (al-fiqh), sehingga dari rangkaian dua kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh.
Dalam menjelaskan definisi ushul fiqh secara tarkib para ulama ushul berbeda metode. Metode pertama, mendahulukan definisi fiqih, baik secara bahasa maupun istilah, selanjutnya definisi ushul, baik secara bahasa maupun istilah, Metode kedua, mendahulukan definisi ushul, baik secara bahasa maupun istilah, selanjutnya definisi fiqih, baik secara bahasa maupun istilah. Cara pertama ditempuh oleh mayoritas ahli ushul fiqih, antara lain Imam al-Haramain (Abdul Malik bin Abdullah al-Juwaini) dalam al-Burhan fi Ushulil Fiqh (I:85), Saefuddin al-Amidi dalam al-Ihkam fi Ushulil Ahkam (I;5), Abu Ya’la (Muhamad bin al-Husen al-Farra) dalam al-Uddah fi Ushulil Fiqh (I:67), Abul Husen al-Bishri dalam al-Mu’tamad fi Ushulil Fiqh (I:8), dan Ibnu Qudamah dalam Raudhatun Nazhir wa Jannatul Manazhir fi Ushulil Fiqh (I:58). Cara mereka diikuti pula oleh ahli ushul fiqih kontemporer antara lain, Prof. Dr. Abu Zahrah dalam Ushul Fiqh (hal.7-8). Cara pertama dilakukan atas pertimbangan makna tarkib idhafi, yakni rangkaian mudhaf (ushul) dan mudhaf ilaih (al-fiqh). Karena mudhaf (ushul) itu tidak akan diketahui maksudnya sebelum diketahui maksud mudhaf ilaih (al-fiqh). Sehubungan dengan itu, Ibnu Qudamah berkata:
وَاعْلَمْ أَنَّكَ لاَتَعْلَمُ مَعْنَى (أُصُوْلُ الْفِقْهِ) قَبْلَ مَعْرِفَةِ مَعْنَى (الفِقْهُ)
Ketahuilah bahwa Anda tidak akan mengetahui makna ushul fiqh sebelum mengetahui makna fiqh. (Raudhatun Nazhir, I:58)
Sedangkan cara kedua ditempuh oleh sebagian ahli ushul fiqih, antara lain Abu Ishaq as-Syirazi dalam Syarh al-Luma’ fi Ushulil Fiqh (I:157), Fakhrur Razi dalam al-Mahshul fi Ilmi Ushulil Fiqhi (I:91), Shadrus Syari’ah fit Tanqih (I:18), Ali as-Syaukani dalam Irsyadul Fuhul fi Ilmil Ushul (hal. 3). Cara mereka diikuti pula oleh ahli ushul fiqih kontemporer, antara lain Prof.Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam Ushul Fiqh al-Islami (I:16), Prof.Dr. Abdul Kariem Zaidan dalam Al-Wajiz fi Ushul Fiqh (hal. 7-8). Dalam buku ini, kami mengikuti cara kedua, yakni mendahulukan definisi ushul, baik secara bahasa maupun istilah, selanjutnya definisi fiqih, baik secara bahasa maupun istilah.
A. Pengertian Ushul
Kata ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl, secara bahasa mengandung beberapa arti, antara lain
(a)
مَا بُنِيَ عَلَيْهِ غَيْرُهُ
Artinya: “Sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain”
Seperti, perkataan: (a) Ashl al-jidari (asal dinding) maksudnya asasuhu (pondasinya), (b) Ashl as-syajarah (asal pohon) maksudnya tharfuha ats-tsabit fil ardhi (akar)
Berdasarkan pengertian di atas, maka ushul fiqh secara bahasa berarti asas fiqih (dasar-dasar bagi fiqh).
(b)
مَا يَسْتَنِدُ وُجُوْدُ ذلِكَ الشَّيْئِ إِلَيْهِ
Artinya: “Sesuatu yang wujud sesuatu lainnya bersandar kepadanya”
(c)
المُحْتَاجُ إِلَيْهِ
Artinya: “Yang diperlukan kepadanya”
(d)
مَا مِنْهُ الشَّيْئُ
Artinya: “Sesuatu yang darinya sesuatu yang lain”
(e)
مَا يَتَفَرَّعُ عَنْهُ غَيْرُهُ
Artinya: “Sesuatu yang darinya bercabang yang lain”
Menurut Dr. Abdul Karim bin Ali, makna yang rajih (yang kuat) adalah makna pertama (Tahqiq ‘ala Raudhatut Nazhir, I:61) . Dan makna ini merupakan pilihan Abul Husen al-Bishri dalam al-Mu’tamad fi Ushulil Fiqh (I:9), yang diikuti oleh mayoritas ahli ushul fiqh, antara lain Abul Khatab al-Hanbali (Mahfuzh bin Ahmad) dalam at-Tamhid fi Ushulil Fiqh (I:5), ‘Adhdudin al-Aiji dalam Syarh Mukhtashar Ibnil Hajib (I:25), Ali as-Syaukani dalam Irsyadul Fuhul (hal. 3)
Adapun menurut istilah, ashl mengandung beberapa pengertian:
[a] ad-dalil, seperti dalam ungkapan:
أَصْلُ وُجُوْبِ الزكاة اَلْكتِاَبُ أَيْ دليل وُجُوْبِهَا اْلكِتَابُ. قَالَ اللهُ تَعَالَى : …وأتوا الزكاة
"Ashl bagi diwajibkan zakat adalah al-Kitab, artinya dalil diwajibkannya itu adalah Alquran, yaitu Allah Ta'ala berfirman: "...dan tunaikanlah zakat!."
[b] al-qaidah al-kulliyah, yaitu aturan atau ketentuan umum, seperti dalam ungkapan sebagai berikut :
إِبَاحَةُ الْمَيْتَةِ لِلْمُضْطَرِّ خِلاَفُ اْلأَصْلِ أَيْ مُخَالِفٌ لِلْقَاعِدَةِ اْلكُلِّيَّةِ وَهِيَ : كُلُّ مَيْتَةٌ حَرَامٌ. قَالَ اللهُ تَعَالَى :إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ
"Dibolehkannya makan bangkai karena terpaksa adalah menyalahi ashl, artinya menyalahi ketentuan atau aturan umum, yaitu setiap bangkai adalah haram; Allah Ta'ala berfirman : "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai... ".
[c] ar-Rajih (yang kuat), seperti dalam ungkapan
الْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ الْحَقِيقَةُ
"Ashl dalam pembicaraan adalah makna hakiki. Maksudnya makna yang rajih (kuat) menurut pendengar adalah makna hakiki bukan majazi (kiasan)
[d] al-mustashab, seperti dalam ungkapan
الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ
"Mustashab itu adalah ketetapan hukum sesuatu sebagaimana hukum yang ada sebelumnya. Maksudnya makna yang rajih (kuat) menurut pendengar adalah makna hakiki bukan majazi (kiasan)
Yang lebih tepat pengertian kata ushul secara istilah (dalam kata Ushul Fiqh) adalah ad-dalil. Makna ini merupakan pilihan mayoritas ahli ushul fiqih, antara lain Imam al-Haramain (Abdul Malik bin Abdullah al-Juwaini) dalam al-Burhan fi Ushulil Fiqh (I:85), Saefuddin al-Amidi dalam al-Ihkam fi Ushulil Ahkam (I;7), Abu Ishaq as-Syirazi dalam Syarh al-Luma’ fi Ushulil Fiqh (I:163), Ibnu Qudamah dalam Raudhatun Nazhir wa Jannatul Manazhir fi Ushulil Fiqh (I:60-61), al-Ghazali dalam al-Mustashfa min Ilmil Ushul (I:5), Ibnu Hajib dalam Mukhtashar Ibnil Hajib (I:18), Ibnu Subki (Tajuddin Abdul Wahhab) dalam Jam’ul Jawami’ fi Ushulil Fiqh (I:32), Badruddin az-Zarkasyi dalam al-Bahrul Muhith fi Ushulil Fiqh (I:17), Abdul Ala al-Anshari dalam Fawatihur Rahumut Syarh Muslim at-Tsubut fi Ushulil Fiqh (I:8), al-Futuhi al-Hanbali dalam Syarh al-Kaukab al-Munir fi Ushulil Fiqh (I:39). Dalam hal ini Ali as-Syaukani menyatakan:
وَالأَوْفَقُ بِالْمَقَامِ الدَّلِيْلُ
“Yang paling sesuai dalam konteks ini adalah ad-dalil) (Irsyadul Fuhul fi Ilmil Ushul, hal. 3). Demikian pula Prof.Dr. Wahbah az-Zuhaili menyatakan:
وَإِنِّي أَرَى أَنَّ اسْتِعْمَالَهَا بِمَعْنَى الدَّلِيْلِ هُوَ الأَنْسَبُ عِنْدَ إِضَافَتِهَا إِلَى كَلِمَةِ فِقْهٍ لأَنَّهُ أَدَلُّ عَلَى الْمَقْصُوْدِ وَأَوْضَحُ فِي بَيَانِ الْمُرَادِ
“Saya berpendapat bahwa penggunaan kata ushul dengan makna dalil adalah lebih sesuai ketika diidhafatkan (disandarkan) kepada kalimat fiqh, karena lebih menuntun kepada tujuan dan lebih jelas dalam menjelaskan maksud” (Ushul Fiqh al-Islami I:17)
Meskipun demikian, ada sebagian ahli ushul fiqh yang tidak berpegang kepada makna istilah (dalil), tetapi tetap menggunakan makna bahasa (dasar).
Dengan demikian, bila pendapat mayoritas ushul fiqih yang dijadikan acuan maka ushul fiqh secara istilah (dalam konteks tarkib idhafi) berarti dalil-dalil bagi fiqh. Namun bila mengacu kepada pendapat sebagian ahli ushul fiqih (berpegang kepada makna bahasa), maka ushul fiqih secara istilah berarti dasar-dasar bagi fiqh.
Dari pengertian ushul secara istilah di atas kita mendapatkan beberapa definisi ushul fiqih versi mayoritas, antara lain sebagai berikut:
(a) Versi Ibnu Qudamah
اُصُوْلُ الفِقْهِ أَدِلَّتُهُ الدَالَّةُ عَلَيْهِ مِنْ حَيْثُ الْجُمْلَةُ لاَ مِنْ حَيْثُ التَّفْصِيْلُ
“Ushul fiqh itu adalah dalil-dalil fiqh yang menunjukkan kepadanya secara garis besar, tidak secara terperinci”(Lihat, Raudhatun Nazhir, I:60-61)
Definisi di atas merupakan ringkasan dari definisi Imam al-Ghazali
إِنَّ اُصُوْلَ الْفِقْه عِبَارَةٌ عَن أَدِلَّةِ هذِهِ الاَْحْكَاَمِ وَعَنْ مَعْرِفَةِ وُجُوْهِ دِلاَلَتِهَا عَلَىَ الاَْحْكَامِ مِنْ حَيْثُ الْجُمْلَةُ لاَ مِنْ حَيْثُ التَّفْصِيْلُ
“Sesungguhnya ushul fiqh itu keterangan tentang dalil-dalil hukum ini dan pengetahuan akan aspek-aspek penunjukkannya terhadap hukum-hukum, secara garis besar tidak secara terperinci”(Lihat, al-Mustashfa, I:5)
Definisi versi al-Ghazali di atas mirip dengan versi Ibnu Burhan dalam sebagai berikut:
اُصُوْلُ الْفِقْهِ عِبَارَةٌ عَنْ جُمَلِ أَدِلَّةِ الاَْحْكَامِ
“Ushul fiqh itu keterangan tentang dalil-dalil hukum secara garis besar”(Lihat, al-Wushul ilal Ushul, I:51)
Kemiripan tersebut tidaklah mengherankan, karena Ibnu Burhan adalah murid al-Ghazali, dan Ibnu Qudamah telah meringkas kitab al-Mustashfa-nya al-Ghazali, melalui cara ini keduanya (Ibnu Burhan dan Ibnu Qudamah) bertemu.
(b) Versi Abu Ishaq as-Syirazi
دَلاَئِلُ الْفِقْهِ الاِجْمَالِيَةُ
“Ushul fiqh itu dalil-dalil fiqh secara garis besar”(Lihat, al-Wushul ilal Ushul, I:51)
(c) Versi Imam al-Haramain
أَنَّ اُصُوْلَ الْفِقْهِ هِيَ أَدِلَّتُهُ وَأَدِلَّةُ الْفِقْهِ هِيَ الاَدِلَّةُ السَّمْعِيَّةُ وَأَقْسَامُهَا نَصُّ الْكِتَابِ وَ نَصُّ السُنَّةِ الْمُتَوَاتِرَةِ وَالاِْجْمَاعُ
“Sesungguhnya ushul fiqh itu adalah dalil-dalil fiqh. Dan dalil-dalil fiqh itu adalah dalil-dalil pendengaran (diterima secara riwayat), dan klasifikasinya: nash Alquran, sunah mutawatir, dan ijma”(Lihat, al-Burhan, I:85)
Dari berbagai difinisi di atas, khususnya Abu Ishaq as-Sirazi, Syekh Abdul Hamid Hakim membuat definisi sebagai berikut:
أُصُوْلُ الْفِقْهِ دَلِيْلُ الْفِقْهِ عَلَى سَبِيْلِ الإِجْمَالِ كَقَوْلِهِمْ مُطْلَقُ الأَمْرِ لِلْوُجُوْبِ وَ مُطْلَقُ النَّهْيِ لِلتَّحْرِيْمِ وَ مُطْلَقُ الإِجْمَاعِ وَ مُطْلَقُ الْقِيَاسِ حُجَجٌ
Ushul Fiqh itu adalah dalil fiqh secara ijmal (garis besar), seperti ucapan mereka: keumuman perintah itu menunjukan wajib, keumuman larangan itu menunjukan haram, keumuman ijma dan qiyas itu adalah hujjah (as-Sulam, hal. 5)
Kesimpulan
Dilihat dari aspek tarkib idhafi, ushul fiqh adalah dalil-dalil fiqh, bukan ilmu atau pengetahuan tentang dalil-dalil itu. Hal ini berbeda dengan pengertian ushul fiqh dilihat dari aspek ilmiah.

Oleh: Ibnu Mukhtar

Minggu, 17 Januari 2010

Antara Tradisi Ilmu Islam dan Barat

Pendahuluan

Tidak ada satu peradaban yang bangkit tanpa didahului oleh bangkitnya tradisi ilmu, baik itu peradaban kuno maupun peradaban modern. Mengapa tradisi ilmu?, sebab manusia memiliki kemampuan untuk berfikir dan rasa ingin mengetahui akan sesuatu di luar dirinya. Setiap manusia akan dihadapkan pada pertanyaan filosofis yang menyangkut eksistensi dan realitas alam semesta termasuk diri manusia itu sendiri sebagai bagian dari kosmologis. Pertanyaan itu adalah dari mana manusia berasal?, untuk apa manusia diciptakan?, dan akan kemana manusia mengakhiri hidupnya?. Ketiga pertanyaan inilah kemudian memunculkan aliran-aliran filsafat besar dunia yang mana satu dengan yang lainnya berusaha memberikan jawaban tentang Hakekat Manusia, Alam Semesta dan Tuhan.

Dalam Islam ' Mengetahui tidak mustahil '. Dengan kata lain mengetahui menjadi mungkin. Karena itu, untuk mengetahui jawaban dari ketiga pertanyaan itu menjadi sesuatu yang tidak mustahil. Setiap manusia normal, dengan segala potensi yang ada padanya, sesungguhnya dan pada hakekatnya dapat mengetahui (’ilm) dan mengenal (ma’rifah). Tidak seperti yang diklaim oleh kaum sophis (as sufasta’iyah), relativis (al ’indiyah), skeptis (al ’inadiyah), dan agnostis (al laadriyah), bahwa manusia tidak mampu mencapai suatu kebenaran yang hakiki. Dalam hal ini Imam An Nasafi menjelaskan bahwa ’Haqaiqul asyyak tsabitah wal ’ilmu biha mutahaqqiqah khilafan lissufastha’iyah’ Maksudnya, hakikat (quiditas/esensi) segala sesuatu itu tetap (dan oleh karena itu bisa ditangkap), tidak berubah (segalanya bisa diketahui dengan jelas), lihat (Hamid Fahmy Zarkasyi,hal.27).

Tradisi Ilmu Islam

Adalah Muhammad bin Abdillah dilahirkan di kawasan padang pasir, tandus dan gersang, jauh dari peradaban kala itu: Persia dan Romawi. Pada usia 40 tahun Muhammad diangkat menjadi Nabi sekaligus Rasul. Tugas baru yang diembankan kepadanya dari Tuhannya itu bukanlah tugas yang ringan, namun sebuah tugas yang amat sangat berat. Tugas itu adalah menyampaikan risalah tauhid kepada seluruh ummat manusia di penjuru dunia.

Dalam waktu ± 23 tahun, setelah mengalami berbagai macam rintangan dan cobaan sepanjang dakwah risalah, Nabi Muhammad telah mampu membangun suatu tatanan kehidupan di mana siapa saja yang berteduh di bawahnya akan merasakan kesejukannya. Hal itu ditandai dengan lahirnya sebuah kota yaitu Madinah Al Munawwarah, kota yang tercerahkan. Kemudian Kota tersebut bermetamorfosis, menjelma menjadi suatu negara (state) atau peradaban (civilization).

Menurut Ibnu Khaldun, wujud suatu peradaban merupakan produk dari akumulasi tiga elemen penting antara lain 1) kemampuan manusia untuk berfikir yang menghasilkan sains dan teknologi, 2) kemampuan berorganisasi dalam bentuk kekuatan politik dan militer, dan 3) kesanggupan berjuang untuk hidup. Ketiga elemen tersebut telah mewujud di Madinah kala itu. Berdasarkan teori Ibnul Khaldun tersebut Madinah sudah bisa dikatan sebagai sebuah peradaban. Dari Madinah-lah kebangkitan Peradaban Islam berawal dan berkembang. (Makalah Hamid Fahmy Zarkasyi.hal 7)

Peradaban Islam di mulai dengan tradisi ilmu atau tafaqquh fid din secara terus menerus. Mulai dari turunnya wahyu kepada Nabi Muhammad Saw. proses interaksi dan ideasi antar individu dan masyarakat senantiasa didasarkan pada wahyu. Ini bukti bahwa ilmu tidak hanya dalam pikiran semata akan tetapi mewujud dalam sebuah aktifitas, baik berupa amal infiradi maupun amal jama’i. Dari sinilah lahir komunitas ilmiah yang mana oleh sebagian ahli sejarah disebut Ahlus Suffah.

Di lembaga pendidikan pertama inilah kandungan wahyu dan hadist-hadist Nabi dikaji dalam kegiatan belajar mengajar yang efektif. Meski materinya masih sederhana tapi karena obyek kajiannya tetap berpusat pada wahyu, yang betul-betul luas dan kompleks. Materi kajiannya tidak dapat disamakan dengan materi diskusi spekulatif di Ionia, yang menurut orang Barat merupakan tempat kelahiran tradisi intelektual Yunani dan bahkan kebudayaan Barat (the cradle of western civilization).

Hasil dari kegiatan ini memunculkan alumni-alumni yang menjadi pakar dalam hadist Nabi, seperti Abu Hurairah, Abu Dhar Al Ghifari, Salman Al Farisy, Abdullah ibn Mas’ud dan lain-lain. Ribuan hadist telah berhasil direkam oleh anggota sekolah ini. Kegiatan pengkajian wahyu dan hadist kemudian dilanjutkan oleh generasi berikutnya dalam bentuk lain.

Tidak lebih dari dua abad lamanya, telah muncul ilmuan-ilmuan terkenal dalam berbagai bidang studi keagamaan, seperti Qadi Surayh (w.80 H/699 M), Muhammad ibn al Hanafiyah (w.81 H/700 M), Umar ibn Abdul Aziz (w.102 H/720 M), Wahb ibn Munabih (w. 110,114 H/719,723 M), Hasan al Basri (w.110 H/728 M), Ja’far al Shadiq (w. 148/765), Abu Hanifah (w.150/767), Malik ibn Anas (179/796), Abu Yusuf (w.182/799), al Syafi’i (w.204/819), dan lain-lain.

Islam adalah sebuah peradaban yang memadukan aspek dunia dan aspek akhirat, aspek jiwa dan aspek raga. Ia bukan peradaban yang memuja materi, tetapi bukan pula peradaban yang meninggalkan materi. Pada titik inilah, tradisi ilmu dalam Islam berbeda dengan tradisi ilmu pada masyarakat Barat yang berusaha membuang agama dalam kehidupan mereka. Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmuan yang dzalim dan jahat harus dikeluarkan dari daftar ulama. Dia masuk kategori fasik dan ucapannya pantas diragukan kebenarannya. Sebab ilmu harus menyatu dengan amal. Inilah yang ditunjukkan oleh sahabat-sahabat Nabi seperti Abu Bakar, Umar, ’Utsman, Ali (radhiyallahu ’anhum) dan lain-lain.

Tradisi keilmuan tersebut kemudian berlanjut dari generasi ke generasi, dari abad ke abad dan mengalami puncak perkembangan dan keemasannya antara abad ke-7 M sampai pada abad ke-12 M. Pada saat itu telah lahir intelektual-intelektual muslim di bidang sains dan teknologi, seperti Al Khawarizmi, ’Bapak Matematika’ Muslim (w. 780 M) yang namanya dikenal di dunia Barat dengan Algorizm, Ibnu Sina ’Bapak Kedokteran Muslim’ yang dikenal dengan sebutan Aviecena. Ibnu Sina sebelum meninggal telah menulis kitab sejumlah kurang lebih 276 karya. Karyanya yang sangat monumental al Qonun fi al Tibb telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin di Toledo, Spanyol pada abad ke-12. Buku ini juga telah dijadikan rujukan utama di universitas-universitas Eropa sampai abad ke-17. (Diktat Matakuliah Adnin Armas)

Tradisi Ilmu Barat

Banyak ilmuwan merumuskan bahwa agama merupakan unsur pokok dalam suatu peradaban. Agama, kata mereka, adalah faktor terpenting yang menentukan karakteristik suatu peradaban. Sebab itu, Bernard Lewis, menyebut peradaban Barat dengan sebutan”Christian Civilization”, dengan unsur utama agama Kristen. Samuel P. Huntington juga menulis bahwa agama adalah unsur utama karakter peradaban. Menurut Christopher Dawson, semua agama besar dunia menjadi elemen utama dari peradaban besar. (Samuel P. Huntington.Clash of Civilization and the Remaking of World Order. hal.47)

Abad pertengahan dimulai sejak abad II Masehi, yaitu sejak Kaisar Konstantin Agung masuk Kristen dan menyatakannya sebagai agama resmi Imperium Romawi. Sejak masa ini, Eropa berada di bawah tekanan dan penindasan yang dilakukan oleh penguasa gereja dan negara. Sejak masa ini pula, kebebasan dikekang dan akal dibelenggu sehingga ilmu pengetahuan tidak memperoleh kemajuan.(Abu Ali Hasan an Nadwy.hal.239)

Keadaan Eropa pada abad pertengahan sungguh dalam kondisi yang terbelakang. Dr. Muhammad Sayyid Al Wakil menukil perkataan seorang penulis Amerika yang menggambarkan keadaan Eropa pada masa itu, ”Jika matahari telah terbenam, seluruh kota besar Eropa terlihat gelap gulita. Di sisi lain, Cordova terang benderang disinari lampu-lampu umum. Eropa sangat kumuh, sementara di kota Cordova telah dibangun seribu WC umum. Eropa sangat kotor, sementara penduduk Cordova sangat concern dengan kebersihan. Eropa tenggelam dalam lumpur, sementara jalan-jalan Cordova telah mulus. Atap istana-istana Eropa sudah pada bocor, sementara istana-istana Cordova dihiasi dengan perhiasan yang mewah. Para tokoh Eropa tidak bisa menulis namanya sendiri, sementara anak-anak Cordova sudah mulai masuk sekolah.( Muhammad Sayyid al Wakil.hal.321)

Setelah adanya sentuhan dengan Dunia Islam melalui konflik-konflik bersenjata, seperti dalam Perang Salib, maupun melalui cara-cara damai seperti di Andalusia, Eropa mulai tertarik dengan Islam. Pada Perang Salib orang-orang Kristen mendapati hal-hal yang baru di Levant dan teknik-teknik yang tidak dikenal di Barat. Oleh karena itu, ketika terjadi gencatan senjata, mereka memanfaatkan kesempatan untuk mempelajari teknik-teknik baru di bidang pertanian, industri dan kerajinan, serta melakukan hubungan perdagangan dengan orang-orang Muslim.( Haidar Bammate. hal.44-45)

Persentuhan Eropa dengan Peradaban Islam telah memberikan pengaruh luar biasa terhadapa kehidupan mereka. Pengaruh terpenting yang diambil Eropa dari pergaulannya dengan ummat Islam adalah semangat untuk hidup yang dibentangkan oleh peradaban dan ilmu Islam. Keterpengaruhan Eropa pada peradaban Islam itu bersifat menyeluruh. Hampir tidak ada satu sisi pun dari berbagai sisi kehidupan Eropa yang tidak terpengaruh oleh peradaban Islam. ( Muhammad Qutb.hal.251)

Hamid Fahmi Zarkasyi menjelaskan dalam bukunya bahwa hakekat dari peradaban Barat Modern adalah periode sejarah peradaban Barat yang persisnya terjadi saat kebangkitan masyarakat Barat dari abad kegelapan kepada periode pencerahan, abad industri dan abad ilmu pengetahuan. Periode ini didahului oleh zaman yang disebut dengan Zaman Penterjemahan (Translation Age) khususnya penterjemahan karya-karya Muslim dalam bidang sains (1050-1150) dari bahasa Arab ke dalam bahasa Latin. Sebab itu, Eugene Myers dengan tegas menyimpulkan bahwa salah satu faktor terpenting kebangkitan Barat adalah penterjemahan karya-karya cendekiawan Muslim.( Hamid Fahmi Zarkasyi.hal.5)

Pada abad XV muncul gerakan renaissance, yaitu gerakan pencerahan atau diartikan sebagai gerakan kelahiran kembali (rebirth) sebagai manusia yang serba baru. Pada abad pertengahan ini Barat telah berhasil keluar dari Abad Kegelapan (Dark Ages) dan mengembangkan suatu pandangan hidup baru (new worldview) yang mengantarkan mereka kepada abad pencerahan. Gerakan ini pada akhirnya menghancurkan otoritas gereja. Setelah adanya perjanjian Westphalia Agreement pada tahun 1648 maka kekuasan dan otoritas paus dalam hal ini gereja jatuh. Sehingga akhirnya kekuasaan diserahkan kepada negara masing-masing. Maka lahirlah Nation State yang pada perjalanannya menjadi awal dari pemisahan negara dan agama yang kemudian melahirkan sekularisme.(Hamid Fahmy Zarkasyi.hal.4)

Dari sinilah kemudian ilmu yang berkembang di Barat menjadi jauh dari nilai-nilai agama. Mereka mengatakan bahwa ilmu bebas nilai (free value). Ilmu bersifat universal yang tidak ada kaitannya dengan persoalan trancendent. Ilmu bisa dimiliki oleh siapa saja, di mana saja dan untuk apa saja, meskipun bertentangan dengan nilai agama atau norma. Oleh karena itu, ilmu di Barat jauh dari moralitas. Ilmu di Barat hanya berorientasi pada aspek fisik dan menafikan metafisik. Sebab sumber ilmu di Barat bertumpu pada panca indera dan akal (rasio) semata.

Sebab itulah epistemologi Barat berangkat dari praduga-praduga, atau prasangka-prasangka, atau usaha-usaha skeptis tanpa didasarkan pada wahyu. Yang mengakibatkan lahirnya sains-sains yang hampa akan nilai-nilai spiritual dan akhirnya seperti yang disimpulkan oleh Al Attas epistemologi Barat tidak dapat mencapai kebenaran, apalagi hakekat kebenaran itu sendiri. Yang kemudian memunculkan ilmuwan-ilmuwan yang skeptis dan atheis seperti Rene Descartes (1596 – 1650), David Hume (1711 - 1776), Immanuel Kant (1724 - 1804), dan lain-lain. Menurut Kant, metafisika adalah hanya ilusi transenden belaka (a transcendental illussion).(Adnin Armas.hal. vii-viii)

Kesimpulan

Secara historis, peradaban Islam dibangun di atas ilmu yang berbasiskan wahyu. Ilmu di dalam Islam berdimensi Iman. Ilmu dalam pikiran menguatkan keyakinan yang menghujam di dalam hati. Tidak cukup berhenti pada pikiran dan hati saja, tapi haruslah diwujudkan dalam bentuk perbuatan (amal). Sementara ilmu di Barat berangkat dari ’meragukan segala sesuatu’(skeptic), bahkan merelatifkan segala sesuatunya ’All is relative’. Jadi ilmu di Barat tidaklah menghasilkan sebuah kepastian apalagi sebuah keyakinan. Sebab, di Barat ilmu hanya sebatas pada pengalaman inderawi (visible) dan dapat dijangkau oleh akal manusia (rasional), diluar itu bukan dikatakan ilmu pengetahuan. Hal ini juga menunjukkan bahwa ilmu tidak bebas nilai (free value), bahkan syarat dengan nilai karena ilmu adalah by product dari suatu pandangan hidup suatu peradaban atau bangsa.Wallahu A’lam bis Shawab.



Daftar Bacaan

1. Zarkasyi, Hamid Fahmi, Liberalisasi Pemikiran Islam.(Gerakan bersama Missionaris, Orientalis dan Kolonialis),Center for Islamic and Occidental Studies (CIOS).Ponorogo,2008.

2. Al Wakil, Muhammad Sayyid. Wajah Dunia Islam Dari Dinasti Bani Umayah Hingga Imperialisme Modern. Jakarta : Pustaka Al Kautsar. 1988.

3. Agraha Suhandi.. Sejarah Pemikiran Modern; Tonggak Perkembangan Ilmu Pengetahuan. Bandung : Fakultas Sastra Unpad. 2002

4. An Nadwi, Abul Hasan Ali. 1988. Islam Membangun Peradaban Dunia. Jakarta : Pustaka Jaya dan Penerbit Djambatan.

5. Samuel P. Huntington, Clash of Civilization and the Remaking of World Order, (New York : Touchtone Books,1996).

6. Bernard Lewis, Islam and the West, (New York : Oxford Univeristy Press,1993)

7. Franz Rosental ‘The Muqaddimah : an Introduction to History’, editor N.J. Dawood. (London, Routledge & Kegan Paul, 1978)

8. Armas, Adnin, Krisis Epistemologi Dan Islamisasi Ilmu.Gontor Darus Salam: CIOS, 2007.

9. Al Qardhawi, Yusuf. Distorsi Sejarah Islam. Jakarta : Pustaka Al Kautsar,2005.

10. Bammate, Haidar. Kontribusi Intelektual Muslim Terhadap Peradaban Dunia. Jakarta : Darul Falah. 2000.

11. Jurnal Islamia, Thn II No 5 April - Juni 2005

Oleh : Ahmad Furqon Muntashir

Sumber: http://www.inpasonline.com/index.php?option=com_content&view=article&id=155:antara-tradisi-ilmu-islam-dan-barat-sebuah-tinjauan-historis&catid=31:pendidikan-islam&Itemid=96