Pages

Kamis, 30 Agustus 2012

ISRAIL VS PALESTINA MENURUT ALQURAN (Bagian 3)

E.Fase Nabi Muhamad
Setelah Nabi Isa diangkat oleh Allah, era para nabi “jalur” Israil berakhir. Posisi kenabian kemudian beralih dari “jalur” Israil (Ya’qub) kepada “jalur” Ismail (Banu Ismail), yakni Muhammad saw. Masa peralihan ini memakan waktu yang cukup lama (577 tahun), yakni sejak tahun 33 M (ketika Palestina dalam kekuasaan bangsa Romawi) hingga tahun 610 M (permulaan kenabian Muhamad saw. di Gua Hiro). Masa ini oleh para ulama disebut masa fatroh.
Sejak abad ke-7 mulailah terjadi kontak antara Islam dan Palestina. Pada masa ini kawasan yang disebut Syam (Suriah) termasuk di dalamnya Palestina. Kontak awal Palestina dengan Islam terjadi ketika Nabi Muhammad saw. mengadakan perjalanan ilahiah (isra), yaitu perjalanan Nabi saw. pada malam hari dari Mekah ke Yerusalem. Hal ini terdapat dalam surah al-Isra ayat 1 yang artinya: “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsa...” Yang dimaksud Masjidil Aqsa tersebut bukanlah dalam wujudnya seperti yang sekarang ada di Yerusalem, karena mesjid ini didirikan pada tahun 705 oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari Dinasti Umayyah. Sedangkan Masjidil Aqsa yang dimaksud adalah masjid yang pada masa Nabi saw. hanya merupakan haekal atau tempat yang mulia (Yerusalem) yang dibuat pada masa Nabi Sulaiman as. Di tengah-tengah haekal itu terdapat sebuah batu besar berwarna hitam yang disebut shakra’. Dengan menghadap ke arah batu inilah Nabi saw. mengerjakan salat dua rakaat; kemudian dengan berlandaskan padanya beliau dinaikkan oleh Allah swt. untuk mikraj.
Yahudi di Jazirah Arab
Pada tahun 500 – 600 M, Bangsa Yahudi merembes ke semenanjung Arabia, kemudian berimigrasi dalam jumlah besar ke daerah tersebut ketika terjadi perang antara Romawi dengan Persia. Pada umumnya mereka tinggal di Yaman dan Yatsrib. Mengenai awal mula kedatangan mereka ke Jazirah Arabia telah melahirkan perdebatan panjang di kalangan para ahli sejarah: pertama, pada zaman Dawud; kedua, pada zaman Raja Hazqiyal yang memerintah negeri Yahudza dari tahun 717 hingga 690 SM; ketiga, hijrah besar-besaran kaum Yahudi ke Jazirah Arabia terjadi pada abad pertama masehi setelah diusir oleh orang-orang Romawi pada tahun 70 M. Ajaran-ajaran Yahudi di sana telah banyak dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani, begitu pula infiltrasi sebagian prinsip-prinsip undang-undang Romawi. Sependek wawasan penulis, sejarah perihal pergumulan Islam dengan Yahudi di Mekkah tidak sebanyak dan seseru di Yatsrib paska hijrahnya Muslimin ke sana.
Di Mekkah nasib mereka seperti umat Kristiani, jumlah mereka sedikit dan hanya terdiri dari budak. Barangkali penyebabnya adalah adanya peraturan kala itu yang tidak mengizinkan seorang pun dari Ahli Kitab memasuki Mekkah kecuali tenaga kerja yang tidak akan bicara tentang agama atau kitabnya atau sistem penduduk Mekkah yang merujuk pada sistem kabilah, maka tempat tinggal mereka pun jauh dari Ka’bah malah sudah berbatasan dengan sahara. Kala itu pembicaraan seputar akan datangnya seorang Nabi di tengah-tengah orang Arab waktu itu sudah cukup membuat heboh mereka. Saat bulan-bulan suci tepatnya di Ukadz, daerak dekat Mekkah, sebagaimana kaum pagan dan Kristen, kaum Yahudi bebas juga bebas menyerukan agama mereka. Besar kemungkinan, sebagian dari mereka tinggal atau pernah singgah di Mekkah dalam rangka perdagangan atau pekerjaan-pekerjaan lain dan juga menyaksikan perseteruan Islam versus paganisme.
Ketika Nabi Muhammad saw hijrah ke Madinah ia telah menemukan orang-orang Yahudi sebagai suatu komunitas penting di sana. Maka sebagai penghargaan terhadap mereka, Nabi Muhammad saw menyusun Piagam Madinah yang mengatur hidup berdampingan antara umat Islam dan umat lain, termasuk umat Yahudi. Namun, kemudian umat Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut, sehingga Alquran mengutuk mereka secara terus-menerus sebagai orang yang mengkhianati janji dan mereka diusir dari Madinah. Tahun 636-1916 mereka berada di bawah kekuasaan Islam.
Kaum Yahudi di Yatsrib terdiri dari tiga suku besar, yaitu Bani Nadhir, Bani Qaynuqa dan Bani Quraydzah. Mereka menetap dan berkembang di sana beberapa abad lamanya sebelum kedatangan Islam. Adapun Islam sudah tersebar pula di sana sebelum Muhammad dan Muslimin hijrah ke kota itu. Sewaktu mereka tiba di sana, kaum Yahudi dan musyrik menyambut kedatangan mereka dengan baik. Pihak Yahudi berbuat demikian dengan dugaan mereka akan dapat membujuknya sekaligus merangkulnya ke pihak mereka, serta dapat pula diminta bantuannya membentuk sebuah Jazirah Arabia, dengan demikian mereka dapat membendung penyebaran Kristen. Selain mereka yakin lahan dakwah Muhammad tidak akan meliputi mereka, mereka juga saat itu masih terpecah-belah yang memaksa mereka tidak terburu-buru menyatakan permusuhannya terhadap Muslimin seraya menanti waktu yang tepat untuk itu. Bertolak dari pertimbangan serupa, kaum musyrik sisa-sisa suku Aus dan Khazraj berbuat serupa seperti kaum Yahudi. Di balik itu secara diam-diam, sebagian kaum Yahudi sudah berniat jahat terhadap dakwah Islam sejak awal mula kedatangan Muhammad di Yatsrib, beliau pun telah menyadarinya.
Di Yatsrib (kemudian dirubah menjadi Madinah), Muhammad memulai fase perpolitikan baru dengan tujuan meletakkan dasar kesatuan politik dan organisasi yang sebelumnya belum pernah dikenal di seluruh wilayah Hijaz, yaitu dengan cara mengadakan kesepakatan dengan pihak Yahudi atas landasan kebebasan dan persekutuan yang amat kuat. Beliau berbicara serta mendekati pemuka-pemuka mereka dan membentuk suatu ikatan persahabatan dengan pertimbangan, bahwa mereka adalah Ahli Kitab dan kaum monotheistis. Perjanjian ini berisi pengakuan atas kebebasan beragama, harta beda benda mereka dengan syarat-syarat timbal balik, kebebasan menyatakan pendapat, larangan berbuat kejahatan, bersama-sama memerangi orang yang melanggarnya serta memerangi pihak yang menyerang Madinah dan menanggung biaya peperangan itu atau lain sebagainya.
Secara umum dapat digambarkan bahwa pertentangan antara Muslimin dengan kaum Yahudi di Madinah dipicu faktor teologis yang sangat berpengaruh terhadap faktor politik. Maka sudah sewajarnya, bila ayat-ayat al-Qur`an yang turun di Madinah lebih terwarnai dengan pembeberan kemunafikan Yahudi serta bahayanya, perdebatan dengan Ahli Kitab, menyingkap kriminalitas mereka dalam merubah kitab suci, pensyariatan perang dan lain sebagainya. Walaupun demikian, Muhammad acapkali tetap menghormati mereka serta keyakinannya, tidak pernah mengusik jalannya ritual-ritual keagamaan Yahudi. Inilah ilustrasi ajaran Islam sesungguhnya sebagai agama penebar kasih sayang dan anti segala tindak kekerasan dan kelaliman, selama mereka tidak mengganggu Islam & kaum muslimin.
F.Fase Khulafa Rasyidun & Setelahnya
Setelah Muhammad saw. wafat (tahun 632), ekspansi ke luar Semenanjung Arabia dilakukan oleh para khalifahnya. Tanah Palestina ditaklukkan pada masa Abu Bakar as-Siddiq (632-634). Amr bin As, setelah menaklukkan Gaza (Mesir), secara berturut-turut menaklukkan Sabest (Samarra, Irak), Nablus, Ludd dan daerah-daerah sekitarnya, Yupna, Awamas, Bait Jibrin (Arab Saudi), Yafa dan Rafah. Abu Ubaidah di masa khalifah Umar bin Khattab (634-644) berhasil menaklukkan Elia (sebutan Yerusalem di masa itu).
Penaklukan tentara Islam atas Palestina yang begitu cepat disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satunya adalah tekanan para penguasa Bizantium-Kristen terhadap bangsa Sami. Meskipun sama-sama beragama Kristen, namun mereka memandang bangsa Arab lebih dekat kepada mereka daripada bangsa Eropa. Hal ini memudahkan tentara Islam untuk memasuki negeri itu. Selain itu, kedatangan tentara Islam dengan membawa prinsip toleransi beragama telah mendorong penduduk Yerusalem untuk mengadakan perjanjian damai dengan pihak Islam. Perjanjian itu dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab sendiri dan patriarch (pimpinan) Yerusalem yang menyerahkan kunci kota itu kepadanya. Prinsip ini telah menarik banyak penduduk untuk memeluk agama Islam. Sejak itu, Palestina berada dalam kekuasaan Islam di bawah kegubernuran Mesir. Penduduknya menikmati keamanan dan ketentraman, bahkan di masa pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbas banyak di antara mereka yang berpengaruh di dalam urusan kenegaraan.
Ketika dunia Islam mengalami masa disintegrasi atau terpecah belah (1000-1250), Palestina pernah berkali-kali menjadi arena Perang Salib. Dengan jatuhnya Asia Kecil (Anatolia) ke tangan Dinasti Seljuk, umat Kristen Eropa yang akan melakukan ziarah ke Palestina terhalang perjalanannya. Untuk membuka kembali jalan itu Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen Eropa di tahun 1095 supaya mengadakan perang suci terhadap Islam. Perang Salib I terjadi antara tahun 1096 dan 1144. Perang Salib II antara tahun 1144 dan 1192. Perang Salib III antara tahun 1193 dan 1291. Namun, mereka tidak pernah berhasil merebut Palestina dari kekuasaan Islam.
Selama 400 tahun Palestina berada di bahwa kekuasaan Ottoman Turki. Hal ini dimulai pada tahun 1517 dalam rangka serangan Sultan Salim I terhadap Mamluk Mesir dan berakhir pada tahun 1917/1918, ketika Inggris merebut kawasan Bulan Sabit (Fertile Crescent ) dari pendudukan orang-orang Usmani. Periode antara abad ke-18 dan ke-20 merupakan masa perubahan-perubahan dramatis. Perubahan-perubahan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) Penetrasi (penerobosan) bangsa asing dan keterlibatan mereka dalam urusan-urusan negeri membuat Palestina menjadi arena persaingan di antara kekuatan-kekuatan Eropa; (2) pertambahan penduduk meledak dengan emigrasi Yahudi-Eropa secara besar-besaran sebagai akibat penindasan terhadap mereka di Eropa Timur; (3) menjadi pasar dunia akibat terjadinya perkembangan ekonomi dan meluasnya hubungan antar negara; (4) perubahan dalam peran pemerintahan dan struktur administrasi; (5) munculnya kekuatan-kekuatan sosial baru; dan (6) terbukanya jalan bagi pengaruh-pengaruh kultural Barat. Semua perubahan ini dan perkembangan kontemporer lainnya telah meninggalkan bekas bagi konflik yang tak kunjung selesai sampai dewasa ini.
Dalam pada itu, sejak serangan berbagai bangsa datang silih berganti terhadap Palestina, umat Yahudi meninggalkan negeri ini dan mengadakan diaspora ( penyebaran) di berbagai negeri, seperti di Maroko, Spayol, Rusia, dan Polandia. Watak keturunan terhadap bangsa lain, sifat individualitas serta anggapan bahwa mereka merupakan bangsa pilihan, menimbulkan kebencian terhadap bangsa ini. Akibatnya, mereka sering dikejar-kejar oleh penduduk asli setempat. Keadaan seperti ini menimbulkan kesadaran mereka untuk kembali ke tanah asal, Palestina. Kesadaran ini melahirkan sebuah gerakan yang disebut Zionisme. Pendirinya adalah Theodore Herzl yang pada tahun 1896 menerbitkan Der Judenstaat (The Jewish State = Negara Yahudi). Buku ini berisi seruan kepada bangsa Yahudi untuk membentuk sebuah negara Yahudi, yaitu Palestina.
Dalam Perang Dunia I (1914-1918) Turki berpihak pada Jerman dan Austria-Hongaria melawan Sekutu. Inggris yang berada di pihak Sekutu untuk merebut pengaruh bangsa Yahudi, melalui menteri luar negerinya, Arthur James Balfour, mengeluarkan sebuah deklarasi (2 November 1917) dikenal dengan “Deklarasi Balfour”. Deklarasi ini memberi dukungan bagi terbentuknya national home bangsa Yahudi di Palestina, tanpa mengganggu hak-hak bangsa non-Yahudi di daerah itu. Seusai perang dengan kekalahan di pihak Jerman, wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Ottoman, kecuali Anatolia (Asia Kecil), dibagi dalam daerah-daerah mandat. Palestina sendiri menjadi daerah mandat Inggris. Bangsa-bangsa Arab menolak deklarasi dan permandatan itu.
Ketika Naziisme lahir di Eropa, gelombang pengungsi Yahudi ke Palestina mekin besar dan dukungan terhadap negara Israel makin meluas. Pada tahun 1931, jumlah penduduk Palestina mencapai 1.035.821 jiwa dengan komposisi: 759.712 Muslim, 83.610 Yahudi, 91.398 Kristen, dan 10.101 jiwa dari kelompok-kelompok lain. Antara tahun 1936-1939 bangsa Arab Palestina memberontak terhadap kekuasaan Inggris. Usul pembagian Palestina ke dalam wilayah Arab dan Yahudi ditolaknya. Pada tahun 1939, Inggris membatasi permukiman Yahudi di Palestina dan mengakhiri semua imigrasi bangsa Yahudi dalam lima tahun. Pada tahun 1944, penduduk Palestina mencapai sekitar 1.764.000 jiwa dengan komposisi: 1.179.000 Arab, 554.000 Yahudi, 32.000 dari unsur lain. Selama perang dunia II (1939-1945) bangsa Arab dan Yahudi Palestina menghentikan perlawanan terhadap Inggris dan bergabung pada Sekutu. Pada akhir perang, Nazi membunuh sekitar enam juta Yahudi Eropa, tetapi keterangan ini dibantah oleh pihak Yahudi.
Inggris mengimbau PBB untuk menangani masalah Palestina. Pada 29 November 1947, Rekomendasi Komisi Istimewa PBB untuk Palestina membagi wilayah ini untuk menjadi negara Arab dan negara Yahudi. Sementara itu, Yerusalem berada di bawah pengawasan internasional. Keputusan sidang umum PBB ini diterima oleh bangsa Yahudi, tetapi ditolak oleh bangsa-bangsa Arab. Perang Arab-Israel pecah. Pada bulan Mei 1948, setelah Inggris mengundurkan diri dari Palestina, negara Israel diproklamasikan dengan ibu kota Yerusalem. Bangsa Arab Palestina dibantu bangsa-bangsa Arab lainnya menyerbu Israel. Gencetan senjata yang diprakarsai PBB terjadi pada tahun 1948 dan 1949 tanpa penandatanganan perjanjian damai.
Tahun 1949-1967 merupakan periode berkobarnya kesadaran nasionalisme Palestina. Berbagai organisasi revolusioner dengan berbagai ideologinya (seperti Nasserisme, Ba’sisme dan Marxisme) bermunculan. Di antaranya yang terpenting ialah PLO (Palestina Liberation Organization), didirikan pada konferensi puncak Arab tahun 1964, bertujuan mendirikan negara Palestina bagi bangsa Arab. Pada Juni 1967, perang Arab-Israel pecah kembali selama enam hari. Gencetan senjata mengakhiri perang itu, tetapi Israel menduduki seluruh Palestina dan daerah-daerah di luar Palestina yang didudukinya ketika gencetan senjata itu terjadi.
Perang Arab-Israel ke-4 pecah tahun 1973 dan berakhir dengan gencetan senjata pada tahun 1974. Bangsa Arab dan PLO terus-menerus melakukan serangan terhadap Israel. Sementara itu, dalam konflik ini arus pengungsi Palestina dan masalah perbatasan telah melibatkan negara-negara tetangga seperti; Mesir, Yordania, Suriah dan Libanon. Kunjungan presiden Mesir, Anwar Sadat ke Israel pada tahun 1977 dan pengakuannya di hadapan parlemen Israel atas hak hidup bangsa Israel tidak berhasil menyelesaikan krisis. Perundingan Camp David pada September 1978 yang mempertemukan Anwar Sadat, Menachem Begin (PM Israel), dan Jimmy Carter (presiden Amerika Serikat), baru sedikit menyelesaikan masalah Sinai. Status otonom daerah Tepi Barat dan Jalur Gaza masih menjadi masalah besar.
Invasi Israel terhadap Libanon tahun 1982 membuat hubungan Israel-Mesir menjadi buruk. Hubungan itu putus setelah serangan Israel terhadap Beirut dan pembantaian terhadap pengungsi di kamp Palestina oleh milisi Phalangi yang bersekutu dengan Israel. Tahun 1980-an masa depan Tepi Barat Yordan semakin membingungkan. Ada kemungkinan kawasan itu masuk wilayah Yordania, dianeksasi oleh Israel, menjadi negara Palestina yang terpisah di Tepi Barat dan Jalur Gaza, menjadi kesatuan bangsa Palestina yang diidentifikasikan dengan bangsa Yordania atau digabungkan dengan Israel. Tahun 1982 presiden Amerika Serikat, Ronald Reagan, mengusulkan resolusi perdamaian yang didasarkan atas aturan bahwa penentuan nasih bangsa Palestina harus dicapai dalam hubungannya dengan Yordan. Peristiwa ini telah mengakibatkan rekonsiliasi (pertemuan kembali) antara Raja Husein dan pemimpin PLO, Yasser Arafat. Para penguasa Israel di Tepi Barat tidak mendapat simpati dari mayoritas penduduk. Kemudian sebuah penelitian yang diadakan oleh penguasa Israel pada awal musim panas 1986 menyimpulkan bahwa PLO akan memperoleh kemenangan yang menentukan jika pemilihan diadakan di Jalur Gaza.
Pada bulan Februari 1990, PLO memproklamasikan kemerdekaan bagi negara Palestina-Arab dan mendapat pengakuan dari sejumlah negara, termasuk Indonesia. Peristiwa ini bukan akhir dari krisis politik Timur Tengah. Kerusuhan dan penganiayaan oleh tentara Israel terhadap orang-orang Arab terus berlangsung. Perdamaian Palestina dan Israel serta Arab dan Israel diupayakan dengan mengadakan Konferensi Timur Tengah di Madrid (Oktober 1991) dan diteruskan di Washington DC. Israel tidak hadir pada waktunya dan negara sponsor pun (Amerika Serikat dan Uni Soviet) tidak dapat berbuat banyak. Prioritas tersebut mendapat makna lebih penting sekitar 30.000 warga Israel pendukung gerakan perdamaian berdemontrasi di Tel Aviv menuntut kompromi wilayah. Unjuk rasa yang dipimpin oleh gerakan perdamaian Peace Now (Damai Sekarang) itu mendesak PM Yitzhak Shamir memilih tangkai zaitun sebagai lambang perdamaian dan mengulurkan tangan bagi perdamaian. Hal ini mendapat tantangan dari kelompok yang menolak kompromi dan ingin terus menduduki wilayah Palestina dan Arab yang diduduki Israel sejak perang 1967.
Pada tanggal 13 September 1993 tercapai perdamaian Israel-Palestina di Washington DC. Penandatanganan perjanjian perdamaian yang dilakukan oleh PM Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat disaksikan oleh presiden AS Bill Clinton. Perjanjian tersebut antara lain berisi penyerahan pemerintahan atas wilayah Jericho dan Jalur Gaza kepada Palestina. Kelangsungan perjanjian tersebut masih perlu diuji lebih lanjut karena masih banyak persoalan yang mengganjal, seperti status jutaan pengungsi Palestina dan wilayah timur kota suci Yerusalem yang masih diduduki tentara zionis Israel.
Klaim-klaim Yahudi atas Palestina
Penjajahan Yahudi atas Palestina didasari klaim-klaim serta mitos-mitos relijius dan historis. Secara relijius mereka menganggap bahwa Allah telah menjadikan Palestina sebagai “Tanah yang dijanjikan”. Sedangkan relasi historis mereka dengan Palestina, adalah karena mereka pernah berkuasa, bermukim disana dan punya hubungan psikis dan spiritual dengan negeri ini.
Akan tetapi kaum muslimin tetap konsisten pada pendirian bahwa Yahudi tidak berhak sama sekali atas negeri ini. Alasannya adalah, pertama, dari sudut pandang agama, wilayah ini diberikan pada bangsa Yahudi di saat mereka menjunjung tinggi bendera tauhid dengan penuh konsisten di bawah kepemimpinan para rasul dan pemuka agama mereka. Adapun apabila mereka melenceng dari kebenaran dan berupaya mendistorsinya, bahkan membunuhi para Nabi serta membuat keonaran di muka bumi, hilanglah keabsahan relijius yang mereka klaimkan. Yang berhak atas negeri ini justru adalah kaum Muslimin, karena mereka adalah pewaris panji tauhid. Jadi, persoalannya tidak terkait dengan bangsa, keturunan, dan nasionalisme. Namun erat hubungannya dengan persoalan ikut tidaknya seseorang dengan ajaran tauhid. Allah memberitahu Ibrahim bahwa keimanan dan kepemimpinannya tidak dapat dipegang oleh mereka yang zalim dari keturunan dan anak cucunya. Karena, sekali lagi, persoalannya terkait dengan konsistensi terhadap manhaj dan ajaran Allah. Kalau persoalannya adalah masalah garis keturunan, maka Bani Israel tidak berhak mengklaim bahwa mereka adalah satu-satunya yang berhak atas kepemimpinan. Pasalnya, Ismail as dan keturunannya pun berhak atas janji yang diberikan pada Ibrahim.
Alasan kedua, menanggapi klaim dari sisi historis, maka sesungguhnya pemerintahan Bani Israel di Palestina sangatlah singkat yang tidak lebih dari 4 abad di sebagian wilayah Palestina dan bukan seluruhnya. Sedangkan pemerintahan Islam berlangsung disana selama 12 abad (636-1917 M) yang sempat dijeda oleh peperangan Salib untuk beberapa masa. Selain itu sebagian besar bangsa Yahudi telah meninggalkan wilayah Palestina, dan terputus kontak mereka dengan negeri ini selama 18 abad (sejak 135 M hinga abad 20), sedangkan penduduk pribumi asli Palestina asli—yang kemudian masuk Islam—belum pernah meninggalkan negeri ini selama 4500 tahun yang lalu hingga tiba waktu pendeportasian besar-besaran yang dilakukan para kriminal Zionis pada tahun 1948 M.
Satu hal lagi, sesungguhnya lebih dari 80% Yahudi di zaman ini tidak jelas hubungannya sama sekali dengan Bani Israel, baik keturunan maupun sejarah. Hal itu karena sebagian besar Yahudi kontemporer adalah bangsa Yahudi Khazar yang berasal dari kabilah Tatar, Turki kuno yang berdiam di wilayah Kokaz dataran tinggi Georgia (selatan Rusia). Mereka berkonversi dengan Yahudi pada abad 8 SM di bawah pimpinan rajanya Bolan.Tahun 740 M saat kerajaan mereka runtuh, tersebarlah mereka ke berbagai penjuru Rusia dan timur Eropa. Mereka kemudian disebut Yahudi Askhenazi. Golongan Yahudi ini adalah penganut sekte sesat Qabalisme. Golongan yang lain adalah Yahudi Sephardim, berasal dari kerajaan Yahuda yang berpegang pada Taurat Musa, saat ini mereka paling menderita akibat berkembangnya gerakan zionis. Mereka akhirnya terusir dari kampung halamannya di berbagai negara Arab. Ketika beremigrasi ke Israel pun mereka menjadi warga negara kelas dua dan mendapat perlakuan diskriminatif dari Yahudi Askhenazi yang menguasai politik dan ekonomi negara.

Sumber: Ust Amin Mukhtar

Tidak ada komentar: