Pages

Kamis, 23 September 2010

BATAS AKHIR WAKTU SALAT ISYA

Oleh: Ibn Mukhtar
(Bahan diskusi}

Dalam beberapa kamus bahasa disebutkan:
اللَّيْلُ مِنْ غُرُوْبِ الشَّمْسِ إِلَى دُخُوْلِ وَقْتِ الْفَجْرِ
“Malam adalah dari tenggelamnya matahari sampai terbitnya fajar shadiq” (Lihat, at-Ta’arif, I:630).
Adapun dalam istilah syar’i, secara zahir malam itu berakhir dengan terbitnya fajar. Allah berfirman:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ
dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, Q.s. Al-Baqarah:187
Ayat ini menunjukan bahwa al-lail adalah waktu antara terbenam matahari hingga terbit fajar.
Berdasarkan definisi di atas kita akan mengetahui bahwa nishful lail (tengah malam) atau tsulutsul lail (sepertiga malam) itu diukur dari tenggelamnya matahari sampai terbitnya fajar.
Istilah Miqdar Lail Sebagai Waktu Isya
A. Mujmal tanpa Miqdar tertentu
قَالَتْ عَائِشَةُ: أَعْتَمَ رَسُولُ اَللَّهِ ذَاتَ لَيْلَةٍ حَتَّى ذَهَبَ عَامَّةُ اَللَّيْلِ وَحَتَّى نَامَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ ثُمَّ خَرَجَ فَصَلَّى, فَقَالَ: إِنَّهُ لَوَقْتُهَا لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي رَوَاهُ مُسْلِمٌ
(Terjemah A. Hasan) Telah berkata Aisyah r.a. ‘Nabi s.a.w. pernah mundurkan (sembahyangnya) pada satu malam, hingga lewat sebagian besar dari (waktu) malam, dan hingga orang-orang masjid tidur, kemudian ia keluar, lalu ia sembahyang, dan ia bersabda : “Kalau tidak aku takut memberatkan umatku, sesungguhnya inilah waktunya”. Diriwayatkan oleh Muslim. (Pengajaran shalat, A.Hassan, 168)

Sebagai catatan bahwa para ulama berbeda pendapat dalam memaknai ‘ammatul lail, antara katsirun minal lail dan aktsaru minal lail. Dalam hal ini tampak jelas bahwa A.Hasan cenderung memaknainya dengan aktsaru minal lail.
B. Tsulutsul Lail atau Nishful Lail
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Nabi saw. bersabda:
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ أَنْ يُؤَخِّرُوا الْعِشَاءَ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ أَوْ نِصْفِهِ
“Seandainya tidak memberatkan atas umatku niscaya aku akan memerintahkan mereka untuk mengakhirkan shalat isya sampai sepertiga atau pertengahan malam.” H.r. At-Tirmidzi No. 167
Dalam riwayat Ahmad, Ibnu Adi, ad-Darimi, an-Nasai dengan redaksi:
وَلأَخَّرْتُ عِشَاءَ الآخِرَةِ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ الأَوَّلِ
“Pasti aku mengakhirkan shalat isya akhir sampai sepertiga malam yang pertama.”
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ وَهُوَ الْأَنْصَارِيُّ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ: قُمْ، فَصَلِّهْ ، فَصَلَّى الظُّهْرَ حِينَ زَالَتْ الشَّمْسُ، ثُمَّ جَاءَهُ الْعَصْرَ ، فَقَالَ: قُمْ فَصَلِّهْ، فَصَلَّى الْعَصْرَ حِينَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ ، أَوْ قَالَ: صَارَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ، ثُمَّ جَاءَهُ الْمَغْرِبَ، فَقَالَ قُمْ فَصَلِّهْ فَصَلَّى حِينَ وَجَبَتْ الشَّمْسُ، ثُمَّ جَاءَهُ الْعِشَاءَ فَقَالَ: قُمْ فَصَلِّهْ، فَصَلَّى حِينَ غَابَ الشَّفَقُ ، ثُمَّ جَاءَهُ الْفَجْرَ فَقَالَ: قُمْ فَصَلِّهْ فَصَلَّى حِينَ بَرَقَ الْفَجْرُ، أَوْ قَالَ: حِينَ سَطَعَ الْفَجْرُ، ثُمَّ جَاءَهُ مِنْ الْغَدِ لِلظُّهْرِ، فَقَالَ: قُمْ فَصَلِّهْ، فَصَلَّى الظُّهْرَ حِينَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ، ثُمَّ جَاءَهُ لِلْعَصْرِ فَقَالَ: قُمْ فَصَلِّهْ، فَصَلَّى الْعَصْرَ حِينَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَيْهِ ، ثُمَّ جَاءَهُ لِلْمَغْرِبِ الْمَغْرِبَ وَقْتًا وَاحِدًا لَمْ يَزُلْ عَنْهُ، ثُمَّ جَاءَ لِلْعِشَاءِ الْعِشَاءَ حِينَ ذَهَبَ نِصْفُ اللَّيْلِ، أَوْ قَالَ: ثُلُثُ اللَّيْلِ، فَصَلَّى الْعِشَاءَ، ثُمَّ جَاءَهُ لِلْفَجْرِ حِينَ أَسْفَرَ جِدًّا، فَقَالَ: قُمْ فَصَلِّهْ، فَصَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ قَالَ: مَا بَيْنَ هَذَيْنِ وَقْتٌ
Dari Jabir bin Abdullah Al Anshori bahwa Rasulullah saw. didatangi Jibril, maka dia berkata, “Berdirilah dan shalatlah”. Maka dia mengerjakan shalat dzuhur ketika matahari tergelincir. Kemudian Ia datang lagi waktu ashar, maka dia (Jibril) berkata, “Berdirilah dan shalatlah”. Maka dia melaksanakan shalat ashar ketika bayangan segala sesuatu sama dengannya, atau dia berkata: ketika bayangannya (Rasulullah saw.) sama dengan dirinya. Kemudian Ia datang lagi maghrib, maka dia berkata, “Berdirilah dan shalatlah”. Maka dia melaksanakan shalat ketika matahari telah terbenam. Kemudian datang lagi isya’, maka dia berkata, “Berdirilah dan shalatlah”. Maka dia melaksanakan shalat Isya’ ketika mega merah telah terbenam. Kemudian datang lagi shubuh, maka dia berkata, “Berdirilah dan shalatlah”. Maka dia melaksanakah shalat subuh ketika fajar sudah terbit. Kemudian Ia datang lagi keesokan hari untuk shalat dzuhur, maka dia berkata, “Berdirilah dan shalatlah”. Maka dia melaksanakah shalat dzuhur ketika bayangan segala sesuatu sama dengannya. Kemudian Ia datang lagi waktu ashar, maka dia berkata, “Berdirilah dan shalatlah”. Maka dia melaksanakan shalat ashar ketika bayangan segala sesuatu dua kali lipat darinya. Kemudian Ia datang lagi waktu maghrib di mana waktu maghrib itu hanya memiliki satu waktu yang senantiasa dibiasakan padanya. Kemudian Ia datang lagi waktu isya’, yaitu dimana telah berlalu separuh malam atau dia berkata: “sepertiga malam”, kemudian dia melaksanakan shalat Isya’. Kemudian Ia datang lagi waktu shubuh ketika fajar telah terang benderang, maka dia berkata, “Berdirilah dan shalatlah”. Maka dia melaksanakan shalat shubuh. Kemudian Jibril berkata, “Antara dua ini adalah waktu”. H.r. Ahmad, al-Musnad III:330 No. 14578 dan An-Nasa’I, Sunan an-Nasai II:325 No. 510.
Dalam riwayat an-Nasai disebutkan:
ثمَّ جَاءَهُ لِلْعِشَاءِ حِيْنَ ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الأَوَّلُ فَقَالَ : قُم فَصَلِّ ، فَصَلَّى الْعِشَاءَ ، ثمَّ جَاءَهُ لِلصُّبْحِ حِيْنَ أََسْفَرَ جدًّا
“...Kemudian Jibril datang kepadanya untuk salat Isya, yaitu dimana telah berlalu sepertiga malam pertama. Maka dia berkata, ‘Berdirilah dan shalatlah’. Maka dia melaksanakan shalat Isya’. Kemudian Jibril datang kepadanya untuk shalat shubuh ketika fajar telah terang benderang..”
Dalam riwayat as-Syafi’i, Abu Daud, at-Tirmidzi, ad-Daraquthni, al-Baihaqi, dan al-Hakim dari Ibnu Abas dengan redaksi:
وَصَلَّى بِي الْعِشَاءَ حِيْنَ ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ ، وَصَلَّى بِي الْفَجْرَ حِيْنَ أَسْفَرَ
“Dan ia (Jibril) salat Isya bersamaku ketika telah berlalu sepertiga malam. Dan ia shalat shubuh bersamaku ketika fajar telah terang benderang”
C. Nishful Lail atau Intishaful Lail
عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ عَمْرِوٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ نَبِيَّ اَللَّهِ قَالَ : وَقْتُ اَلظُّهْرِ إِذَا زَالَتْ اَلشَّمْسُ, وَكَانَ ظِلُّ اَلرَّجُلِِِِِِِِِِِ كَطُولِِِِِِِِِِِِِِِِهِ مَا لَمْ يَحْضُرْ اَلْعَصْرُ, وَوَقْتُ اَلْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ اَلشَّمْسُ, وَوَقْتُ صَلَاةِ اَلْمَغْرِبِِِِِ مَا لَمْ يَغِبْ اَلشَّفَقُ, وَوَقْتُ صَلَاةِ اَلْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اَللَّيْلِ اَلْأَوْسَط وَوَقْتُ صَلَاةِ اَلصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ اَلْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعْ اَلشَّمْسُ رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Dari Abdullah bin ‘Amr bahwasanya Nabi saw. telah bersabda, “Waktu dhuhur, apabila matahari tergelincir (ke sebelah barat) sampai bayang-bayang seseorang sepanjang (badan)nya, selama belum datang waktu ashar; dan waktu ashar selama matahari belum kuning; dan waktu shalat magrib, selama belum hilang tanda merah; dan waktu shalat isya hingga tengah malam yang pertengahan; dan waktu shalat shubuh, dari terbit fajar, selama belum terbit matahari. H.r. Muslim
Masih dalam riwayat Muslim dengan redaksi:
سُئِلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ وَقْتِ الصَّلَوَاتِ، فَقَالَ وَقْتُ صَلاَةِ الْفَجْرِ مَا لَمْ يَطْلُعْ قَرْنُ الشَّمْسِ الْأَوَّلِ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ عَنْ بَطْنِ السَّمَاءِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَيَسْقُطْ قَرْنُهَا الْأَوَّلُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ مَا لَمْ يَسْقُطِ الشَّفَقُ، وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ الْلَيْلِ
Rasulullah saw. ditanya tentang waktu shalat (yang lima), beliau pun menjawab, “Waktu shalat fajar adalah selama belum terbit sisi matahari yang awal. Waktu shalat zhuhur apabila matahari telah tergelincir dari perut (bagian tengah) langit selama belum datang waktu Ashar. Waktu shalat ashar selama matahari belum menguning dan sebelum jatuh (tenggelam) sisinya yang awal. Waktu shalat maghrib adalah bila matahari telah tenggelam selama belum jatuh syafaq. Dan waktu shalat isya adalah sampai tengah malam.” H.r. Muslim
Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda:
إِنَّ لِلصَّلاَةِ أَوَّلاً وَآخِرًا، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الظُّهْرِ حِيْنَ تَزُوْلُ الشَّمْسُ وَآخِرُ وَقْتِهَا حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتُ الْعَصْرِ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الْعَصْرِ حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتُهَا وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَصْفَرُّ الشَّمْسُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْمَغْرِبِ حِيْنَ تَغْرُبُ الشَّمْسُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ حِيْنَ يَغِيْبُ الْأُفُقُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ يَنْتَصِفُ اللَيْلُ، وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ الْفَجْرِ حِيْنَ يَطْلُعُ الْفَجْرُ وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ
“Sesungguhnya shalat itu memiliki awal dan akhir waktu. Awal waktu shalat zhuhur adalah saat matahari tergelincir dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu ashar. Awal waktu shalat ashar adalah ketika masuk waktunya dan akhir waktunya saat matahari menguning. Awal waktu shalat maghrib adalah ketika matahari tenggelam dan akhir waktunya ketika tenggelam ufuk. Awal waktu shalat isya adalah saat ufuk tenggelam dan akhir waktunya adalah pertengahan malam. Awal waktu shalat fajar adalah ketika terbit fajar dan akhir waktunya saat matahari terbit.” H.r. At-Tirmidzi

Dari Anas bin Malik, ia berkata:
أَخَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلاَةَ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ ثُمَّ صَلَّى، ثُمَّ قَالَ قَدْ صَلَّى النَّاسُ وَنَامُوْا، أَمَّا إِنَّكُمْ فِي صَلاَةٍ مَا انْتَظَرْتُمُوْهَا
Nabi saw. mengakhirkan shalat isya sampai pertengahan malam kemudian beliau shalat, lalu berkata, “Sungguh manusia telah shalat dan mereka telah tidur, adapun kalian terhitung dalam keadaan shalat selama kalian menanti waktu pelaksanaan shalat.” H.r. Al-Bukhari dan Muslim

Catatan:
(1) Miqdar ½ atau 1/3 itu akan digunakan dalam rentang waktu dari Maghrib sampai subuh atau dari Isya sampai subuh? Karena ½ dari keduanya akan menghasilkan ukuran waktu yang berbeda. Demikian pula 1/3. Belum lagi jika dikonversi kepada satuan waktu (jam).
(2) Apakah semua miqdar al-lail di atas akan digunakan sebagai petunjuk miqat zamani lis shihhah (ketentuan waktu sahnya salat Isya) atau lit tafdhil (ketentuan waktu salat Isya yang utama)? Dalam hal ini Imam an-Nawawi berkata:
قَوْلُهُ فَإِنَّهُ وَقْتٌ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ مَعْنَاهُ وَقْتٌ لِأَدَائِهَا إِخْتِيَارًا وَأَمَّا وَقْتُ الْجَوَازِ فَيَمْتَدُّ إِلَى طُلُوْعِ الْفَجْرِ
“Perkataannya (Nabi): ‘Sesunggunya itu adalah waktu hingga tengah malam’ maknanya adalah waktu untuk pelaksanaannya yang terpilih (utama). Adapun waktu al-jawaz maka panjang hingga terbit fajar” Tuhfatul Ahwadzi, I:429
Dengan perkataan lain bahwa melaksanakan shalat Isya’ di tengah atau sepertiga awal malam itu adalah waktu yang utama, itu jika tidak memberatkan umat Rasulullah saw. Karena waktu ini memberatkan, maka kebiasaan Rasulullah saw. adalah melaksanakan shalat Isya’ di awal waktu, seperti shalat-shalat yang lain atau kalau mengakhirkan, maka tidak selalu di tengah malam, seperti diisyaratkan hadis Aisyah: “pada suatu malam” bahwa itu bukan kebiasaannya.
Tafsir Miqdar al-Lail Secara Astronomis
Untuk mengetahui Miqdar al-Lail waktu Isya yang digunakan dalam hadis-hadis di atas kita dapat menggunakan hitungan sederhana dengan standar ½ dan 1/3. Artinya hitunglah bilangan jam malam, dari terbenam matahari hingga masuk fajar, lalu dibagi standar itu.
Jika yang dijadikan standar ½ maka bilangan jam malam itu dibagi 2. Sebagai contoh: bila waktu terbenam jam 18 dan waktu fajar jam 4, maka jumlah jam malam itu 10 jam. Kalau menggunakan standar ½ berarti 10:2=5 (5 jam). Berdasarkan contoh ini maka yang dimaksud dengan an-nishful awal (½ pertama) adalah dimulai dari jam 18.00 hingga 23.00. Sedangkan yang dimaksud dengan an-nishfus Tsani (½ kedua) adalah dimulai dari jam 23.00 hingga 04.00 pagi.
Jika yang dijadikan standar 1/3 maka bilangan jam malam itu dibagi 3. Sebagai contoh: Jumlah jam malam itu sama dengan di atas 10 jam. Kalau menggunakan satandar 1/3 berarti 10:3=3.33 (3.15 jam lebih). Berdasarkan contoh ini maka yang dimaksud dengan at-tsuluts al-awal (1/3 awal) adalah mulai dari jam 18.00 hingga 21.15 (18+3.15). at-tsuluts ats-tsani (1/3 kedua) adalah mulai jam 21.15 hingga 24.30 (21.15+3.15). at-tsuluts ats-tsalits (1/3 ketiga) adalah mulai jam 24.30 hingga 03.45 (24.30+3.15) atau dibulatkan menjadi 04.00. Jadi, jam berapakah Nabi mengakhirkan waktu salat Isya?
Dalam hadis yang menggunakan miqdar 1/3 terdapat qayyid (pembatas) al-awwal (1/3 pertama). Jadi sabda Nabi:
وَلأَخَّرْتُ عِشَاءَ الآخِرَةِ إِلَى ثُلُثِ اللَّيْلِ الأَوَّلِ
“Pasti aku mengakhirkan shalat Isya sampai sepertiga malam yang pertama.”
Dapat menunjukkan jam 21.15
Sedangkan dalam hadis yang menggunakan miqdar ½ tidak terdapat qayyid al-awwal (½ pertama) atau al-akhir (½ kedua), namun terdapat qayyid al-awsath. Bila yang dimaksud al-awsath itu al-awwal, seperti yang diterangkan as-Shan’ani (Subulus Salam, I:106), maka sabda Nabi:
وَوَقْتُ صَلَاةِ اَلْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اَللَّيْلِ اَلْأَوْسَط
“Dan waktu salat Isya itu sampai tengah malam pertama”

Bisa menunjukkan jam 23.00.
Namun bila yang dimaksud al-awsath itu al-akhir, maka bisa menunjukkan jam 23.00 hingga 04.00 atau menjelang subuh.
Sedangkan untuk hadis dengan miqdar mujmal
ذَهَبَ عَامَّةُ اَللَّيْلِ
Bila dimaknai aktsar dapat digunakan pendekatan prosentase. Jika kita gunakan standar ½ berarti ammatul lail itu telah lewat an-nishful awwal (½ pertama) dan masuk pada an-nisful akhir (½ akhir), yakni antara jam 23.00 hingga 04.00 pagi. Namun jika kita gunakan standar 1/3 berarti ammatul lail itu telah lewat at-tsuluts tsani (1/3 kedua) dan masuk pada at-tsuluts at-tsalits (1/3 akhir) yakni antara jam 24.30 hingga 03.45.

Andaikata kita menggunakan konversi min. (1/2 akhir) 55 % telah lewat waktu Isya. Artinya 55 % dari 10 jam = 5.5 jam. Waktu magrib jam 18 + 5.30 = 23.30. Bila menggunakan max. 85 % artinya 85 % dari 10 jam = 8.5 jam. Waktu magrib jam 18 + 8.30 = 02.30. Berdasarkan perhitungan ini, maka hadis:
أَعْتَمَ رَسُولُ اَللَّهِ ذَاتَ لَيْلَةٍ حَتَّى ذَهَبَ عَامَّةُ اَللَّيْلِ
Menunjukkan bahwa Nabi pernah salat Isya setelah lewat pukul 02.30 (lihat tabel 1 & 2)

Bagaimana menurut fiqih anda?

Tabel 1. Konversi Miqdar an-Nishful Akhir

PROSENTASE 10 JAM JAM
55 % 5.5 jam 18+5.30 = 23.30
60 % 6 jam 18+6 = 24.00
65 % 6.5 jam 18+6.30 = 24.30
70 % 7 jam 18+7 = 01.00
75 % 7.5 jam 18+7.30 = 01.30
80 % 8 jam 18+8 = 02.00
85 % 8.5 jam 18+8.30 = 02.30

Tabel 2. Konversi Miqdar al-Tsuluts al-Akhir

PROSENTASE 10 JAM JAM
65 % 6.5 jam 18+6.30 = 24.30
70 % 7 jam 18+7 = 01.00
75 % 7.5 jam 18+7.30 = 01.30
80 % 8 jam 18+8 = 02.00
85 % 8.5 jam 18+8.30 = 02.30

klik page Ibnu Muchtar di Fb [disini]

Senin, 20 September 2010

REAKTUALISASI SYARIAT ISLAM: ANTARA FIQIH, IJTIHAD, DAN MADZHAB (Bagian ke-1)

A. Pengertian Fiqih
Kata fiqh secara bahasa berarti paham. Dalam pengertian pemahaman yang mendalam yang menghendaki pengerahan potensi akal. Lihat, al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, hal. 8
Sedangkan secara istilah ulama fiqh mengemukakan beberapa definisi fiqh sesuai dengan perkembangan arti fiqh itu sendiri. Misalnya, Imam Abu Hanifah mendefinisikan fiqh sebagai pengetahuan seseorang tentang hak dan kewajibannya. Lihat, Mirah al-Ushul, I:44; al-Taudhih li Matn al-Tanqih, hal. 10. Definisi ini meliputi semua aspek kehidupan, yaitu aqidah, syariat dan akhlak. Fiqh di zamannya dan di zaman sebelumnya masih dipahami secara luas, mencakup bidang ibadah, muamalah dan akhlak
Dalam perkembangan selanjutnya, sesuai dengan pembidangan ilmu yang semakin tegas, ulama fiqih mendefinisikan fiqih sebagai
مَجْمُوْعَةُ الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبَةِ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
“Sekumpulan hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan yang diambil dari dalil-dalil syara yang terperinci". Lihat, Syarh Jam’ al-Jawami’, I:32; Syarh al-‘Adhd li Mukhtashar Ibn al-Hajib, I:18; Syarh al-Isnawi, I:24; Mirah al-Ushul, I:55; al-Madkhal ila Madzhab Ahmad, hal. 58.
Sedangkan ulama ushul fiqh mendefinisikan fiqh sebagai
العِلْمُ بِالأَحْكَامِ الشَّرْعِيَّةِ الْعَمَلِيَّةِ الْمُكْتَسَبُ مِنْ أَدِلَّتِهَا التَّفْصِيْلِيَّةِ
"Ilmu tentang hukum-hukum syara' mengenai perbuatan yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terperinci." Lihat, Minhaj al-Ushul li al-Baidhawi, hal. 22; al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam li al-Amidi, I:7; Irsyad al-Fuhul li al-Syaukani, hal. 3.
Definisi tersebut sebenarnya mengadopsi rumusan dikemukakan oleh Imam as-Syafi’i (Lihat, Ushul al-Fiqh al-Islami, I:19), dan merupakan definisi fiqh yang populer hingga sekarang.

Dari definisi para ahli ushul fiqih di atas terlihat bahwa fikih itu berarti aktifitas (melakukan) ijtihad, karena hukum-hukum tersebut diistinbathkan dari dalil-dalil syara yang terperinci, baik melalui nash maupun melalui dilalah (indikasi) nash. Semua itu tidak dapat dilakukan kecuali melalui ijtihad.
Sedangkan dari definisi ahli fikih terlihat bahwa fikih itu produk ijtihad, yaitu merupakan hukum-hukum hasil ijtihad.
B. Syarah Ta’rif Versi Ulama Ushul
1. Pada ta’rif di atas, kata ilmu ditaqyid (dibatasi) dengan kata bi al-ahkam. Ini untuk menunjukkan bahwa ilmu fikih berbeda dengan ilmu
(a) tentang zat, seperti kimia dan fisika (ilmu tentang zat dan energi, spt panas, cahaya, dan bunyi).
(b) Tentang sifat, baik ajsam (jasad, fisik), seperti
[1] Fisiologi/ilmu fa’al, yakni ilmu tentang gejala-gejala hidup pada alat tubuh manusia, antara lain alat pernapasan, peredaraan darah.
[2] Anatomi/ilmu urai tubuh, yakni ilmu tentang susunan tubuh dan hubungan-hubungan alat tubuh.
[3] Biologi/ilmu hayat, yakni ilmu tentang keadaan dan sifat makhluk hidup.
(c) tentang a’radh (jiwa), seperti psikologi/ilmu jiwa, yakni ilmu tentang segala sesuatu mengenai jiwa manusia.
2. Pada ta’rif di atas, kata al-ahkam ditaqyid (dibatasi) dengan kata al-syar’iyyah. Ini untuk menunjukkan bahwa ilmu fikih berbeda dengan ilmu
(a) ‘aqli seperti hisab, yakni aritmatika/ilmu hitung; hindasah/ilmu ukur, yakni geometri; mantiq/ilmu logika.
(b) Hissi (indrawi), seperti seni musik.
3. Pada ta’rif di atas, kata al-ahkam ditaqyid (dibatasi) dengan kata al-‘amaliyyah. Ini untuk menunjukkan bahwa ilmu fikih berbeda dengan ilmu aqaid/ushuluddin. Dan dengan kata ini tidak berarti bahwa semua hukum fikih itu mengenai perbuatan. Karena ada sebagian hukum yang berkaitan dengan akidah, seperti ma’ni’ul irtsi (penghalang jadi ahli warits) karena ikhtilaf al- din (berbeda agama). Dengan demikian kata ‘amaliyah pada definis ini maksudnya li al-ghalib (pada umumnya atau sebagian besar) hukum fikih itu mengenai perbuatan.
4. Pada ta’rif di atas, kata al-‘ilm disifati dengan kata al-muktasab. Ini untuk menunjukkan bahwa ilmu fikih berbeda dengan ilmu Allah, ilmu malaikat, ilmu Rasul yang diperoleh bukan melalui ijtihad, tetapi berdasarkan wahyu atau yang disebut dengan tauqifi, seperti kewajiban salat yang lima waktu, dsb. Semua pengetahuan tentang itu tidak disebut fikih, karena diketahui tanpa melalui iktisab.
5. Yang dimaksud dengan al-adillah al-tafshiliyyah (dalil-dalil secara terperinci), ialah satu persatu dalil yang menunjuk kepada suatu hukum tertentu, seperti firman Allah
…وأقيموا الصلاة
".....dirikanlah shalat...." Q.s. An-Nisaa: 77
menunjukkan kepada kewajiban shalat.
Atau seperti sabda Rasulullah saw.
إِنَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ
"Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar." H.r. Al-Bukhari dan Muslim , dari Jabir bin Abdullah
Hadis tersebut menunjukkan kepada keharaman jual beli khamar.
C. Sejarah Perkembangan Fiqh
Terdapat perbedaan periodisasi fiqh di kalangan ulama fiqh kontemporer, diantaranya Muhammad Khudari Bek (ahli fiqh dari Mesir) membagi periodisasi fiqh menjadi enam periode. Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa tujuh periode. Periodisasi menurut az-Zarqa adalah sebagai berikut:
1. Periode risalah.
Periode ini dimulai sejak kerasulan Muhamad saw. sampai wafatnya Nabi saw. (11 H./632 M.). Pada periode ini kekuasaan penentuan hukum sepenuhnya berada di tangan Rasulullah saw. Sumber hukum ketika itu adalah Alquran dan sunnah Nabi saw.. Pengertian fiqh pada masa itu identik dengan syarat, karena penentuan hukum terhadap suatu masalah seluruhnya terpulang kepada Rasulullah saw.. Periode awal ini juga dapat dibagi menjadi periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode Makkah, risalah Nabi saw. lebih banyak tertuju pada masalah aqidah. Ayat hukum yang turun pada periode ini tidak banyak jumlahnya, dan itu pun masih dalam rangkaian mewujudkan revolusi aqidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah swt. semata. Pada periode Madinah, ayat-ayat tentang hukum turun secara bertahap. Pada masa ini seluruh persoalan hukum diturunkan Allah swt., baik yang menyangkut masalah ibadah maupun muamalah. Oleh karenanya, periode Madinah ini disebut juga oleh ulama fiqh sebagai periode revolusi sosial dan politik.
2. Periode al-Khulafaur Rasyidun.
Periode ini dimulai sejak wafatnya Nabi Muhamad saw. sampai Mu'awiyah bin Abu Sufyan memegang tampuk pemerintahan Islam pada tahun 41 H./661 M. Sumber fiqh pada periode ini, disamping Alquran dan sunnah Nabi saw., juga ditandai dengan munculnya berbagai ijtihad para sahabat. Ijtihad ini dilakukan ketika persoalan yang akan ditentukan hukumnya tidak dijumpai secara jelas dalam nash. Pada masa ini, khususnya setelah Umar bin al-Khattab menjadi khalifah (13 H./634 M.), ijtihad sudah merupakan upaya yang luas dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang muncul di tengah masyarakat. Persoalan hukum pada periode ini sudah semakin kompleks dengan semakin banyaknya pemeluk Islam dari berbagai etnis dengan budaya masing-masing. Pada periode ini, untuk pertama kali para fuqaha berbenturan dengan budaya, moral, etika dan nilai-nilai kemanusiaan dalam suatu masyarakat majemuk. Hal ini terjadi karena daerah-daerah yang ditaklukkan Islam sudah sangat luas dan masing-masing memiliki budaya, tradisi, situasi dan komdisi yang menantang para fuqaha dari kalangan sahabat untuk memberikan hukum dalam persoalan-persoalan baru tersebut. Dalam menyelesaikan persoalan-persoalan baru itu, para sahabat pertama kali merujuk pada Alquran. Jika hukum yang dicari tidak dijumpai dalam Alquran, mereka mencari jawabannya dalam sunnah Nabi saw.. Namun jika dalam sunnah Rasulullah saw. tidak dijumpai pula jawabannya, mereka melakukan ijtihad.
3. Periode awal pertumbuhan fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-1 sampai awal abad ke-2 H. Periode ketiga ini merupakan titik awal pertumbuhan fiqh sebagai salah satu disiplin ilmu dalam Islam. Dengan bertebarannya para sahabat ke berbagai daerah semenjak masa al-Khulafaur Rasyidun (terutama sejak Usman bin Affan menduduki jabatan Khalifah, 33 H./644 M.), munculnya berbagai fatwa dan ijtihad hukum yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat daerah tersebut.Di irak, Ibnu Mas'ud muncul sebagai fuqaha yang menjawab berbagai persoalan hukum yang dihadapinya di sana. Dalam hal ini sistem sosial masyarakat Irak jauh berbeda dengan masyarakat Hedzjaz atau Hijaz (Makkah dan Madinah). Saat itu, di irak telah terjadi pembauran etnik Arab dengan etnik Persia, sementara masyarakat di Hedzjaz lebih bersifat homogen. Dalam menghadapi berbagai masalah hukum, Ibnu Mas'ud mengikuti pola yang telah di tempuh umar bin al-Khattab, yaitu lebih berorientasi pada kepentingan dan kemaslahatan umat tanpa terlalu terikat dengan makna harfiah teks-teks suci. Sikap ini diambil umar bin al-Khattab dan Ibnu Mas'ud karena situasi dan kondisi masyarakat ketika itu tidak sama dengan saat teks suci diturunkan. Atas dasar ini, penggunaan nalar (analisis) dalam berijtihad lebih dominan. Dari perkembangan ini muncul madrasah atau aliran ra'yu (akal) (Ahlulhadis dan Ahlurra'yi). Sementara itu, di Madinah yang masyarakatnya lebih homogen, Zaid bin Sabit (11 SH./611 M.-45 H./ 665 M.) dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab (Ibnu Umar) bertindak menjawab berbagai persoalan hukum yang muncul di daerah itu. Sedangkan di Makkah, yang bertindak menjawab berbagai persoalan hukum adalah Abdullah bin Abbas (Ibnu Abbas) dan sahabat lainnya. Pola dalam menjawab persoalan hukum oleh para fuqaha Madinah dan Makkah sama, yaitu berpegang kuat pada Alquran dan hadis Nabi saw.. Hal ini dimungkinkan karena di kedua kota inilah wahyu dan sunnah Rasulullah saw. diturunkan, sehingga para sahabat yang berada di dua kota ini memiliki banyak hadis. Oleh karenanya, pola fuqaha Makkah dan Madinah dalam menangani berbagai persoalan hukum jauh berbeda dengan pola yang digunakan fuqaha di Irak. Cara-cara yang ditempuh para sahabat di Makkah dan Madinah menjadi cikal bakal bagi munculnya alirah ahlulhadis. Ibnu Mas'ud mempunyai murid-murid di Irak sebagai pengembang pola dan sistem penyelesaian masalah hukum yang dihadapi di daerah itu, antara lain Ibrahim an-Nakha'i (w. 76 H.), Alqamah bin Qais an-Nakha'i (w. 62 H.), dan Syuraih bin Haris al-Kindi (w. 78 H.) di Kufah; al-Hasan al-Basri dan Amr bin Salamah di Basra; Yazid bin Abi Habib dan Bakir bin Abdillah di Mesir; dan Makhul di Suriah. Murid-murid Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar bin al-Khattab juga bermunculan di Madinah, diantaranya Sa'id bin Musayyab (15-94 H.). Sedangkan murid-murid Abdullah bin Abbas diantaranya Atha bin Abi Rabah (27-114 H.), Ikrimah bin Abi Jahal, dan Amr bin Dinar (w. 126 H.) di Makkah serta Tawus, Hisyam bin Yusuf, dan Abdul Razak bin Hammam di Yaman. Murid-murid para sahabat tersebut, yang disebut sebagai generasi thabi'in, bertindak sebagai rujukan dalam menangani berbagai persoalan hukum di zaman dan daerah masing-masing. Akibatnya terbentuk mazhab-mazhab fiqh mengikuti nama para thabi'in tersebut, diantaranya fiqh al-Auza'i, fiqh an-Nakha'i, fiqh Alqamah bin Qais, dan fiqh Sufyan as-Tsauri.
4. Periode keemasan.
Periode ini dimulai dari awal abad ke-2 sampai pada pertengahan abad ke-4 H. Dalam periode sejarah peradaban Islam, periode ini termasuk dalam periode Kemajuan Islam Pertama (700-1000). Seperti periode sebelumnya, ciri khas yang menonjol pada periode ini adalah semangat ijtihad yang tinggi dikalangan ulama, sehingga berbagai pemikiran tentang ilmu pengetahuan berkembang. Perkembangan pemikiran ini tidak saja dalam bidang ilmu agama, tetapi juga dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan umum lainnya. Dinasti Abbasiyah (132 H./750 M.-656 H./1258 M.) yang naik ke panggung pemerintahan menggantikan Dinasti Umayyah memiliki tradisi keilmuan yang kuat, sehingga perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap berbagai bidang ilmu sangat besar. Para penguasa awal Dinasti Abbasiyah sangat mendorong fuqaha untuk melakukan ijtihad dalam mencari formulasi fiqh guna menghadapi persoalan sosial yang semakin kompleks. Perhatian para penguasa Abbasiyah terhadap fiqh misalnya dapat dilihat ketika Khalifah Harun ar-Rasyid (memerintah 786-809) meminta Imam Malik untuk mengajar kedua anaknya, al-Amin dan al-Ma'mun. Disamping itu, Khalifah Harun ar-Rasyid juga meminta kepada Imam Abu Yusuf untuk menyusun buku yang mengatur masalah administrasi, keuangan, ketatanegaraan dan pertanahan. Imam Abu Yusuf memenuhi permintaan khalifah ini dengan menyusun buku yang berjudul al-Kharaj. Ketika Abu Ja'far al-Mansur (memerintah 754-775 ) menjadi khalifah, ia juga meminta Imam Malik untuk menulis sebuah kitab fiqh yang akan dijadikan pegangan resmi pemerintah dan lembaga peradilan. Atas dasar inilah Imam Malik menyusun bukunya yang berjudul al-Muwaththa' (Yang Disepakati).Pada awal periode keemasan ini, pertentangan antara ahlulhadis dan ahlurra 'yi sangat tajam, sehingga menimbulkan semangat berijtihad bagi masing-masing aliran. Semangat para fuqaha melakukan ijtihad dalam periode ini juga mengawali munculnya mazhab-mazhab fiqh, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Upaya ijtihad tidak hanya dilakukan untuk keperluan praktis masa itu, tetapi juga membahas persoalan-persoalan yang mungkin akan terjadi yang dikenal dengan istilah fiqh taqdiri (fiqh hipotetis). Pertentangan kedua aliran ini baru mereda setelah murid-murid kelompok ahlurra'yi berupaya membatasi, mensistematisasi, dan menyusun kaidah ra'yu yang dapat digunakan untuk meng-istinbat-kan hukum. Atas dasar upaya ini, maka aliran ahlulhadis dapat menerima pengertian ra'yu yang dimaksudkan ahlurra'yi, sekaligus menerima ra'yu sebagai salah satu cara dalam meng-istinbat-kan hukum. Upaya pendekatan lainnya untuk meredakan ketegangan tersebut juga dilakukan oleh ulama masing-masing mazhab. Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah, mendatangi Imam Malik di Hedzjaz untuk mempelajari kitab al-Muwaththa' yang merupakan salah satu kitab ahlulhadis. Sementara itu, Imam asy-Syafi'i mendatangi Imam asy-Syaibani di Irak. Disamping itu, Imam Abu Yusuf juga berupaya mencari hadis yang dapat mendukung fiqh ahlurra'yi. Atas dasar ini, banyak ditemukan literatur fiqh kedua aliran yang didasarkan atas hadis dan ra'yu. Periode keemasan ini juga ditandai dengan dimulainya penyusunan kitab fiqh dan usul fiqh. Diantara kitab fiqh yang paling awal disusun pada periode ini adalah al-Muwaththa' oleh Imam Malik, al-Umm oleh Imam asy-Syafi'i, dan Zahir ar-Riwayah dan an-Nawadir oleh Imam asy-Syaibani. Kitab usul fiqh pertama yang muncul pada periode ini adalah ar-Risalah oleh Imam asy-Syafi'i. Teori usul fiqh dalam masing-masing mazhab pun bermunculan, seperti teori kias, istihsan, dan al-maslahah al-mursalah.
5. Periode tahrir, takhrij dan tarjih dalam mazhab fiqh.
Periode ini dimulai dari pertengahan abad ke-4 sampai pertengahan abad ke-7 H. Yang dimaksudkan dengan tahrir, takhrij, dan tarjih adalah upaya yang dilakukan ulama masing-masing mazhab dalam mengomentari, memperjelas dan mengulas pendapat para imam mereka. Periode ini ditandai dengan melemahnya semangat ijtihad dikalangan ulama fiqh. Ulama fiqh lebih banyak berpegang pada hasil ijtihad yang telah dilakukan oleh imam mazhab mereka masing-masing, sehingga mujtahid mustaqill (mujtahid mandiri) tidak ada lagi. Sekalipun ada ulama fiqh yang berijtihad, maka ijtihadnya tidak terlepas dari prinsip mazhab yang mereka anut. Artinya ulama fiqh tersebut hanya berstatus sebagai mujtahid fi al-mazhab (mujtahid yang melakukan ijtihad berdasarkan prinsip yang ada dalam mazhabnya). Akibat dari tidak adanya ulama fiqh yang berani melakukan ijtihad secara mandiri, muncullah sikap at-ta'assub al-mazhabi (sikap fanatik buta terhadap satu mazhab) sehingga setiap ulama berusaha untuk mempertahankan mazhab imamnya. Mustafa Ahmad az-Zarqa mengatakan bahwa dalam periode ini untuk pertama kali muncul pernyataan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Menurutnya, paling tidak ada tiga faktor yang mendorong munculnya pernyataan tersebut. Dorongan para penguasa kepada para hakim (qadi) untuk menyelesaikan perkara di pengadilan dengan merujuk pada salah satu mazhab fiqh yang disetujui khalifah saja. Munculnya sikap at-taassub al-mazhabi yang berakibat pada sikap kejumudan (kebekuan berpikir) dan taqlid (mengikuti pendapat imam tanpa analisis) di kalangan murid imam mazhab. Munculnya gerakan pembukuan pendapat masing-masing mazhab yang memudahkan orang untuk memilih pendapat mazhabnya dan menjadikan buku itu sebagai rujukan bagi masing-masing mazhab, sehinga aktivitas ijtihad terhenti. Ulama mazhab tidak perlu lagi melakukan ijtihad, sebagaimana yang dilakukan oleh para imam mereka, tetapi mencukupkan diri dalam menjawab berbagai persoalan dengan merujuk pada kitab mazhab masing-masing. Dari sini muncul sikap taqlid pada mazhab tertentu yang diyakini sebagai yang benar, dan lebih jauh muncul pula pernyataan haram melakukan talfiq. Persaingan antar pengikut mazhab semakin tajam, sehingga subjektivitas mazhab lebih menonjol dibandingkan sikap ilmiah dalam menyelesaikan suatu persoalan. Sikap ini amat jauh berbeda dengan sikap yang ditunjukkan oleh masing-masing imam mazhab, karena sebagaimana yang tercatat dalam sejarah para imam mazhab tidak menginginkan seorang pun mentaqlidkan mereka. Sekalipun ada upaya ijtihad yang dilakukan ketika itu, namun lebih banyak berbentuk tarjih (menguatkan) pendapat yang ada dalam mazhab masing-masing. Akibat lain dari perkembangan ini adalah semakin banyak buku yang bersifat sebagai komentar, penjelasan dan ulasan terhadap buku yang ditulis sebelumnya dalam masing-masing mazhab.
6. Periode kemunduran fiqh.
Masa ini dimulai pada pertengahan abad ke-7 H. sampai munculnya Majalah al-Ahkam al- 'Adliyyah (Hukum Perdata Kerajaan Turki Usmani) pada 26 Sya'ban l293. Perkembangan fiqh pada periode ini merupakan lanjutan dari perkembangan fiqh yang semakin menurun pada periode sebelumnya. Periode ini dalam sejarah perkembangan fiqh dikenal juga dengan periode taqlid secara membabi buta.Pada masa ini, ulama fiqh lebih banyak memberikan penjelasan terhadap kandungan kitab fiqh yang telah disusun dalam mazhab masing-masing. Penjelasan yang dibuat bisa berbentuk mukhtasar (ringkasan) dari buku-buku yang muktabar (terpandang) dalam mazhab atau hasyiah dan takrir (memperluas dan mempertegas pengertian lafal yang di kandung buku mazhab), tanpa menguraikan tujuan ilmiah dari kerja hasyiah dan takrir tersebut. Setiap ulama berusaha untuk menyebarluaskan tulisan yang ada dalam mazhab mereka. Hal ini berakibat pada semakin lemahnya kreativitas ilmiah secara mandiri untuk mengantisipasi perkembangan dan tuntutan zaman. Tujuan satu-satunya yang bisa ditangkap dari gerakan hasyiah dan takrir adalah untuk mempermudah pemahaman terhadap berbagai persoalan yang dimuat kitab-kitab mazhab. Mustafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa ada tiga ciri perkembangan fiqh yang menonjol pada periode ini. Munculnya upaya pembukuan terhadap berbagai fatwa, sehingga banyak bermunculan buku yang memuat fatwa ulama yang berstatus sebagai pemberi fatwa resmi (mufti) dalam berbagai mazhab. Kitab-kitab fatwa yang disusun ini disistematisasikan sesuai dengan pembagian dalam kitab-kitab fiqh. Kitab-kitab fatwa ini mencerminkan perkembangan fiqh ketika itu, yaitu menjawab persoalan yang diajukan kepada ulama fiqh tertentu yang sering kali merujuk pada kitab-kitab mazhab ulama fiqh tersebut. Muncul beberapa produk fiqh sesuai dengan keinginan penguasa Turki Usmani, seperti diberlakukannya istilah at-Taqaddum (kedaluwarsa) di pengadilan. Disamping itu, fungsi ulil amri (penguasa) dalam menetapkan hukum (fiqh) mulai diakui, baik dalam menetapkan hukum Islam dan penerapannya maupun menentukan pilihan terhadap pendapat tertentu. Sekalipun ketetapan ini lemah, namun karena sesuai dengan tuntutan kemaslahatan zaman, muncul ketentuan dikalangan ulama fiqh bahwa ketetapan pihak penguasa dalam masalah ijtihad wajib dihormati dan diterapkan. Contohnya, pihak penguasa melarang berlakunya suatu bentuk transaksi. Meskipun pada dasarnya bentuk transaksi itu dibolehkan syara', tetapi atas dasar pertimbangan kemaslahatan tertentu maka transaksi tersebut dilarang, atau paling tidak untuk melaksanakan transaksi tersebut diperlukan pendapat dari pihak pemerintah. Misalnya, seseorang yang berutang tidak dibolehkan mewakafkan hartanya yang berjumlah sama dengan utangnya tersebut, karena hal itu merupakan indikator atas sikapnya yang tidak mau melunasi utang tersebut. Fatwa ini dikemukakan oleh Maula Abi as-Su 'ud (qadi Istanbul pada masa kepemimpinan Sultan Sulaiman al-Qanuni [1520-1566] dan Salim [1566-1574] dan selanjutnya menjabat mufti Kerajaan Turki Usmani). Di akhir periode ini muncul gerakan kodifikasi hukum (fiqh) Islam sebagai mazhab resmi pemerintah. Hal ini ditandai dengan prakarsa pihak pemerintah Turki Usmani, seperti Majalah al-Ahkam al-'Adliyyah yang merupakan kodifikasi hukum perdata yang berlaku di seluruh Kerajaan Turki Usmani berdasarkan fiqh Mazhab Hanafi.
7. Periode pengkodifikasian fiqh.
Periode ini di mulai sejak munculnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah sampai sekarang. Upaya pengkodifikasian fiqh pada masa ini semakin berkembang luas, sehingga berbagai negara Islam memiliki kodifikasi hukum tertentu dan dalam mazhab tertentu pula, misalnya dalam bidang pertanahan, perdagangan dan hukum keluarga. Kontak yang semakin intensif antara negara muslim dan Barat mengakibatkan pengaruh hukum Barat sedikit demi sedikit masuk ke dalam hukum yang berlaku di negara muslim. Disamping itu, bermunculan pula ulama fiqh yang menghendaki terlepasnya pemikiran ulama fiqh dari keterikatan mazhab tertentu dan mencanangkan gerakan ijtihad digairahkan kembali. Mustafa Ahmad az-Zarqa mengemukakan bahwa ada tiga ciri yang mewarnai perkembangan fiqh pada periode ini. Munculnya upaya pengkodifikasian fiqh sesuai dengan tuntutan situasi dan zaman. Hal ini ditandai dengan disusunnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah di Kerajaan Turki Usmani yang memuat persoalan-persoalan muamalah (hukum perdata). Latar belakang yang melandasi pemikiran pemerintah Turki Usmani untuk menyusun Majalah al-Ahkam al-Adliyyah yang didasarkan Mazhab Hanafi (mazhab resmi pemerintah) ini adalah terdapatnya beberapa pendapat dalam Mazhab Hanafi sehingga menyulitkan penegak hukum untuk memilih hukum yang akan diterapkan dalam kasus yang mereka hadapi. Atas dasar ini, pemerintah Turki Usmani meminta ulama untuk mengkodifikasikan fiqh dalam Mazhab Hanafi tersebut dan memilih pendapat yang paling sesuai dengan perkembangan zaman ketika itu. Upaya pengkodifikasian fiqh semakin luas, bukan saja di wilayah yurisdiksi Kerajaan Turki Usmani, tetapi juga di wilayah-wilayah yang tidak tunduk pada yurisdiksi Turki Usmani, seperti Suriah, Palestina dan Irak. Pengkodifikasian hukum tersebut tidak terbatas pada hukum perdata saja, tetapi juga hukum pidana dan hukum administrasi negara. Persoalan yang dimuat dalam hukum perdata tersebut menyangkut persoalan ekonomi/perdagangan, pemilikan tanah, dan persoalan yang berkaitan dengan hukum acara. Meluasnya pengkodifikasian hukum di bidang perekonomian dan perdagangan disebabkan karena meluasnya hubungan ekonomi dan perdagangan di dalam dan luar negeri. Untuk itu, penguasaan terhadap hak milik yang ada di dalam negeri juga diatur, seperti pengadministrasian tanah-tanah rakyat dengan menetapkan berbagai peraturan yang menyangkut pemilikan tanah, serta penyusunan perundang-undangan yang berkaitan dengan tata cara berperkara di pengadilan. Akibat yang ditimbulkan oleh pengkodifikasian hukum perdata di bidang perekonomian dan perdagangan ini adalah semakin jumudnya fiqh di tangan para fuqaha Hanafi yang datang belakangan (muta'akhkhirin) serta terhentinya upaya pembaruan hukum dan bahkan upaya pen-tarjih-an hukum. Munculnya upaya pengkodifikasian berbagai hukum fiqh yang tidak terikat sama sekali dengan mazhab fiqh tertentu. Hal ini didasarkan atas kesadaran ulama fiqh bahwa sesuatu yang terdapat dalam suatu mazhab belum tentu dapat mengayomi permasalahan yang dihadapi ketika itu. Karenanya, diperlukan pendapat lain yang lebih sesuai dan mungkin dijumpai pada mazhab lain. Atas dasar pemikiran ini, pemerintah Kerajaan Turki Usmani mengkodifikasikan hukum keluarga yang disebut dengan al-Ahwal asy-Syakhsiyyah pada 1333 H. Materi hukum yang dimuat dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah tidak saja bersumber dari Mazhab Hanafi, tetapi juga dari mazhab fiqh lainnya, seperti Mazhab Maliki, Syafi 'i, Hanbali, bahkan juga dari pendapat mazhab yang sudah punah, seperti Mazhab Abi Laila dan Mazhab Sufyan as-Tsauri. Langkah yang ditempuh Kerajaan Turki Usmani ini pun diikuti oleh negara-negara Islam yang tidak tunduk di bawah yurisdiksi Kerajaan Turki Usmani. Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya di zaman modern, ulama fiqh mempunyai kecenderungan kuat untuk melihat berbagai pendapat dari berbagai mazhab fiqh sebagai satu kesatuan yang tidak dipisahkan. Dengan demikian, ketegangan antar pengikut mazhab mulai mereda, khususnya setelah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah mencanangkan bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Suara vokal Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah ini kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1115 H./1703 M.-1201 H./1787 M.; pendiri aliran Wahabi di Semenanjung Arabia) dan Muhammad bin Ali asy-Syaukani. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziah, bermazhab merupakan perbuatan bid'ah yang harus dihindari, dan tidak satu orang pun dari imam yang empat (Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam asy-Syafi 'i dan Imam Ahmad bin Hanbali membolehkannya). Sejak saat itu, kajian fiqh tidak lagi terikat pada salah satu mazhab, tetapi telah mengambil bentuk kajian komparatif dari berbagai mazhab, yang dikenal dengan istilah fiqh muqaran.
Sekalipun studi komparatif telah dijumpai sejak zaman klasik seperti yang dijumpai dalam kitab fiqh al-Umm karya Imam asy-Syafi'i, al-Mabsut karya as-Sarakhsi, al-Furuq karya Imam al-Qarafi (w. 684 H./1285 M.), dan al-Mugni karya Ibnu Qudamah (tokoh fiqh Hanbali) -sifat perbandingan yang mereka kemukakan tidak utuh dan tidak komprehensif, bahkan tidak seimbang sama sekali. Di zaman modern, fiqh muqaran dibahas ulama fiqh secara komprehensif dan utuh, dengan mengemukakan inti perbedaan, pendapat, dan argumentasi (baik dari nash maupun rasio), serta kelebihan dan kelemahan masing-masing mazhab, sehingga pembaca (khususnya masyarakat awam) dengan mudah dapat memilih pendapat yang akan diambil.
Pada zaman modern, suara yang menginginkan kebangkitan fiqh kembali semakin vokal, khususnya setelah ulama fiqh dan ulama bidang ilmu lainnya menyadari ketertinggalan dunia Islam dari dunia Barat. Bahkan banyak diantara sarjana muslim yang melakukan studi komparatif antara fiqh Islam dan hukum produk Barat.
Konsekuensi dari gerakan kebangkitan fiqh ini adalah bahwa setiap orang tidak terikat dengan pendapat mazhab tertentu. Dengan sendirinya, konsep talfiq yang diharamkan ulama mazhab menjadi sirna. Keinginan untuk memperbarui fiqh lebih vokal ditemukan pada zaman sekarang, sehingga untuk memperoleh hukum yang lebih sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modem ulama menyerukan bahwa ijtihad semestinya langsung merujuk pada sumber asli ajaran Islam (Alquran dan sunnah Nabi saw..), seperti yang di lakukan para sahabat dan para thabi'in di zaman mereka serta menggalakkan ijtihad jama'i (ijtihad secara kolektif dengan melibatkan berbagai ahli dalam berbagai disiplin ilmu yang terkait dengan persoalan yang dibahas). Kajian fiqh di zaman ini tidak hanya terpaku pada mazhab yang empat saja, melainkan juga pada mazhab-mazhab yang telah punah, seperti Mazhab al-Auza'i, as-Tsauri, an-Nakha'i, dan az-Zahiri

Oleh: Ibnu Muchtar

STATUS HUKUM LAGU & MUSIK

Oleh: Ibnu Muchtar

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum lagu/musik menurut Islam. Sebagian mereka mengharamkan, sedangkan sebagian lain menghalalkannya. Perbedaan di antara mereka bermuara pada perbedaan penafsiran nas-nas yang mendasari masing-masing pendapat.
Tulisan ini akan menyajikan dalil-dalil & argumentasi dari kedua belah pihak, untuk selanjutnya dianalisa dan dipilih yang arjah (lebih kuat).

Kelompok Pertama: Nyanyian & Musik Haram
Di antara ulama mutaqaddimin yang mengharamkan nyanyian & musik adalah Abu Yusuf. Sedangkan di antara ulama zaman ini adalah Syekh Abdurrahman As Sa’di, Syekh Al Albani, Syekh bin Baz, Syekh al-Utsaimin, Syekh Al Fauzan, Syekh Muqbil bin Hadi.

Dalil-dalil & Argumentasi
Lagu termasuk perkataan yang tidak berguna. Allah swt. berfirman:
وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَها هُزُواً أُولئِكَ لَهُمْ عَذابٌ مُهِينٌ
“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan”. Q.s. Luqman: 6
Ibnu Mas'ud dalam menafsirkan ayat ini berkata: "Demi Allah yang tiada tuhan selainNya, yang dimaksudkan adalah lagu".
Kata Syekh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin, “Penafsiran seorang sahabat merupakan hujjah dan penafsirannya berada di tingkat ketiga dalam tafsir, karena pada dasarnya tafsir itu ada tiga. Penafsiran Al-Qur'an dengan ayat Al-Qur'an, Penafsiran Al-Qur'an dengan hadis dan ketiga Penafsiran Al-Qur'an dengan penjelasan sahabat. Bahkan sebagian ulama menyebutkan bahwa penafsiran sahabat mempunyai hukum rafa' (dinisbatkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam). Namun yang benar adalah bahwa penafsiran sahabat tidak mempunyai hukum rafa', tetapi memang merupakan pendapat yang paling dekat dengan kebenaran”
Mendengarkan musik dan lagu akan menjerumuskan kepada suatu yang diperingatkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadisnya. Dalam Shahih Al Bukhari disebutkan hadis Abu ‘Amir atau Abu Malik Al Asy’ari, dia mendengar Nabi saw. bersabda:
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِيْ أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
“Akan ada dari umatku kaum yang menghalalkan zina dan sutera, khamr dan alat musik.”
Kata Syekh al-Albani, “Dalam hadis tersebut alat-alat musik dikaitkan dengan khamr dari sisi keharamannya. Karena khamr mengotori jasad dan akal pikiran dan nyanyian mengotori ruh (jiwa) sehingga mabuklah seseorang karenanya. Apabila telah tergabung dalam diri seseorang kotoran jasad, akal pikiran, dan jiwa maka tercipta sebuah kejahatan yang besar yang menakutkan”
Kata Syekh Muhamamd bin Shalih Al-Utsaimin, “Maksudnya, menghalalkan zina, khamr, sutera padahal ia adalah lelaki yang tidak boleh menggunakan sutera, dan menghalalkan alat-alat musik. [Hadis riwayat al-Bukhari dari hadis Abu Malik Al-Asy'ari atau Abu Amir Al-Asy'ari]” [Disalin dari Al-Fatawa Al-Jami'ah Lil Mar'atil Muslimah]
Menjelaskan hadis tersebut, Ibnul Qayyim berkata: “Dari sisi pendalilan dari hadis ini bahwa alat musik ini adalah alat-alat yang melalaikan semuanya, tidak ada perselisihan di antara ahli bahasa tentang hal itu. Andaikata nyanyian itu halal maka Rasulullah saw. tidak akan mencela orang yang menghalalkannya dan tidak pula menyamakannya dengan orang yang menghalalkan khamr. Al Harru mempunyai makna penghalalan kemaluan yang sebenarnya diharamkan. Sedangkan al khazzu adalah sejenis sutera yang tidak dipakai oleh para shahabat (karena al khazzu ada dua macam, yang terbuat dari sutera dan dari bulu domba). Hadis ini telah diriwayatkan dengan dua bentuk.” (Lihat, Ighaatsatul Lahfan I:291)
Allah swt. berfirman :
وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqan : 72)
Kata Syekh al-Albani, “Sebagaimana yang ditafsirkan oleh Muhammad bin Al Hanafiyah, Mujahid, dan Ibnul Qayyim rahimahullah, makna az-zuur dalam ayat ini adalah nyanyian”
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ وَتَضْحَكُونَ وَلا تَبْكُونَ وَأَنْتُمْ سَامِدُونَ
“Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini dan kamu mentertawakan dan tidak menangis sedang kamu melengahkan(nya).” (QS. An Najm : 59-61)
Kata Syekh al-Albani, “Ibnu Abbas menjelaskan bahwa as samuud adalah nyanyian, dari bahasa Himyar (nama satu kabilah di Arab). Dikatakan samada lana, berarti menyanyi untuk kami. Dalam Ash Shihhah disebutkan bahwa as samuud adalah al lahwu (nyanyian) dan as samiid adalah al lahiy (orang yang bernyanyi). Dikatakan pada Luqainah asmidiina berarti lalaikanlah kami dengan nyanyian. Ibnul Jauzi menyebutkan arti as samuud itu ada 5, yaitu al lahwu (lalai), al i’raadh (berpaling), al ghinaa’ (nyanyian), al ghiflah (lupa), dan al asyir wal bathr (sombong). (Zaadul Muyassar VIII:86). Aku berkata, siapa yang mencermati masalah ini maka ia akan mendapatkannya dalam nyanyian karena bisa memalingkan kita dari Allah serta menimbulkan kelalaian, kesombongan, dan takabur”
Berdasarkan keterangan di atas jelas bahwa Alquran mengharamkan musik sehingga yang melakukannya akan mendapat azab yang menghinakan.
Kelompok ini memperkuat argumentasi mereka dengan mengemukakan hadis-hadis Nabi yang menunjukkan pengharaman secara jelas (sharih) terhadap berbagai macam alat hiburan dan musik. (lihat, analisa pada akhir pembahasan).

Kelompok Kedua: Nyanyian & Musik Mubah
Di antara ulama mutaqaddimin yang menghalalkan nyanyian adalah Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Zubair, Al-Mughirah bin Syu’bah, Usamah bin Zaid, Imran bin Hushain, Muawiyah bin Abi Sufyan, Atha bin Abi Ribah, Abu Bakar Al-Khallal, Abu Bakar Abdul Aziz, Al-Gazali, dan Ibnu Hazm. Sedangkan di antara ulama zaman ini adalah Syekh Muhamad al-Ghazali & Syekh Yusuf al-Qardhawi.
Meskipun demikian mereka menetapkan bahwa kehalalan itu akan berubah menjadi haram li amrin kharij (faktor lain), antara lain:
1. jika berisi syair-syair kotor, jorok dan cabul.
2. jika disertai kemungkaran, seperti sambil minum khomr, berjudi dll.
3. jika menimbulkan fitnah seperti menyebabkan timbul cinta birahi pada wanita atau sebaliknya.
4. jika menyebabkan lalai dan meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan shalat atau menunda-nundanya.

Dalil-dalil & Argumentasi
Pertama, Tafsir Surat Luqman:6
Kata Lahwa al-Hadits tidak dapat diartikan dengan nyanyian. Seandainya kata tersebut memang diartikan “nyanyian”, maka yang dikecam oleh Allah taala melalui ayat tersebut adalah kata-kata dimaksud digunakan sebagai alat untuk menyesatkan manusia. Jadi, bukan terletak pada nyanyian atau bukan nyanyian.
Ibnu Hazm mengatakan: “Apabila Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud menafsirkan kata lahwa al-hadits dengan makna nyanyian, maka sesungguhnya teks ayat itu sendiri-dalam hal ini li yudilla ’an sabilillah (untuk menyesatkan dari jalan Allah) telah menentang penafsiran tersebut”.
Sebab, kata Ibnu Hazm, lahwa al-hadits yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah lahwa al-hadits yang jika dilakukan akan mengakibatkan kekafiran bagi pelakunya. Misalnya, seorang membeli mushaf dengan tujuan untuk menyesatkan orang lain dan memperolok-olok serta mempermainkannya, maka tentu yang bersangkutan akan tergolong orang-orang yang kafir dan Lahwa Al-Hadis semacam inilah yang dikecam oleh ayat tersebut. Adapun Lahwa Al-Hadis yang tidak bermaksud menyesatkan orang lain dan memperolok-olok, tetapi untuk menghibur diri tentu tidak dikecam oleh ayat tersebut. Artinya, ayat itu tidak ditujukan kepada orang-orang yang menghibur diri tanpa bermaksud menyesatkan manusia lainnya dari ajaran Allah taala. Adapun orang yang tidak melalaikan kewajiban agamanya sekalipun dia sibuk menyanyi, orang dimaksud tetap sebagai orang yang baik (muhsin).
Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla (IX:10) telah membantah mereka yang menggunakan surat Lukman ayat 6 ini sebagai dasar pengharaman musik. Beliau berkata, “Nash ayat tersebut membatalkan argumentasi–argumentasi mereka sendiri, karena dalam ayat tersebut “Dan diantara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan” Ini menunjukkan bahwa yang melakukannya adalah orang kafir, tanpa ikhtilaf jika menjadikan jalan Allah sebagai olok-olokan. Inilah yang dicela oleh Allah . Sedangkan orang yang menggunakan perkataan yang sia-sia untuk tujuan hiburan atau menenangkan dirinya bukan untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tidaklah dicela. Maka terbantahlah pendapat mereka dengan perkataan mereka sendiri. Bahkan jika seseorang melalaikan shalat dengan sengaja dikarenakan bacaan Al Quran atau membaca hadis atau dengan obrolan dan lagu sama saja termasuk kefasikan dan dosa kepada Allah. Tetapi siapa yang tidak melalaikan kewajiban sebagaimana yang kami sebutkan maka tetap merupakan kebaikan”
Dilihat dari konteks turunnya, surat Luqman:6 sebenarnya ditujukan buat orang-orang kafir. Ini dapat dilihat dari kelanjutan ayat tersebut Luqman:7. Pada Luqman:6 disebutkan: “Dan diantara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan”. QS Luqman:6. Selanjutnya pada Luqman:7 disebutkan: “Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia tidak mendengarnya. Seakan-akan ada penghalang di kedua telinganya, maka berikan kabar gembira padanya dengan azab yang pedih”.
Jelas sekali bahwa yang berpaling dengan menyombongkan diri ketika dibacakan ayat-ayat Allah adalah orang kafir.
Ibnu Jarir At Thabary menegaskan dari riwayat Ibnu Wahab yang berkata “Ibnu Zaid mengatakan bahwa (Luqman:6) “Dan diantara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna” maksudnya adalah orang-orang kafir. (Lihat, Tafsir Ath Thabary, I:41 tafsir surah Luqman)
Pendapat ini juga dikemukakan Ibnu Athiyyah yang mengatakan bahwa yang rajih atau lebih kuat adalah ayat yang diturunkan tentang lahwul hadis ini untuk orang-orang kafir, karenanya ungkapan tersebut sangat keras yaitu “untuk menyesatkan dari jalan Allah tanpa pengetahuan dengan menggunakannya sebagai olok-olokan” dan disertai dengan ancaman siksaan yang sangat hina (Lihat, Tafsir Ibnu Athiyyah, XI: 484)
Kesimpulan surat Luqman ayat 6 adalah lebih tepat ditujukan untuk orang-orang kafir yang ingin menyesatkan manusia dari jalan Allah dengan perkataan yang tidak berguna. Jadi Ayat ini tidak benar dijadikan dasar pengharaman musik dan lagu.

Kedua, Tafsir Surat An-Najm, ayat 59-61
Kata Samidun diartikan sebagai “dalam keadaan menyanyi-nyanyi”, tidak disepakati oleh ulama tafsir, karana kata tersebut sekalipun digunakan oleh suku Humyar (suku bangsa Arab) dalam arti menyanyi, tetapi di dalam kamus-kamus bahasa Arab seperti Mu’jam Al-Maqayis Fi Al-Lugah dijelaskan bahwa akar kata Samidun adalah samada yang maknanya berkisar pada “berjalan bersungguh-sungguh tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan”, atau secara majaz (kiasan) dapat diartikan “serius” atau “tidak mengindahkan selain apa yang dihadapinya”.
Dengan demikian, kata samidun, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Katsir, dalam ayat tersebut dapat diartikan “orang yang lengah” (Ghafilun).
Adapun hadis Abu Amir atau Abu Malik Al-Asyjari: (artinya) “Sesungguhnya akan terdapat dalam umatku orang-orang yang menghalalkan zina, sutera, khamar, judi, dan musik; semua yang memabukkan hukumnya haram.” (Riwayat Al-Bukhari)
Matan (teks hadis) tersebut menjelaskan bahawa azab diturunkan karena mereka menghalalkan zina, minuman keras, menghalalkan sutera dan membolehkan tampilnya biduanita di depan forum yang bercampur laki-laki dan perempuan serta menghalalkan penggunaan alat musik di luar batas-batas yang dibenarkan agama. Jadi bukan semata-mata nyanyian yang mengakibatkan turunnya azab tersebut.
Berkata Al-Fakihani: “Aku tidak ketahui dalam kitab Allah dan tidak pula dalam Sunnah satu hadis sahih yang jelas dalam pengharaman alat hiburan. Sesungguhnya semuanya hanya bersifat umum dan bukan dalil Qat`iy”
Dr Wahbah Az-Zuhaili berpendapat: “Sesungguhnya lagu-lagu patriotik atau yang mendorong pada kebaikan atau jihad (perjuangan), tiada halangan (haram) baginya dengan syarat tiada percampuran bebas dan menutup aurat wanita kecuali muka dan tapak tangan. Adapun lagu-lagu yang mendorong pada kejahatan, tidak syak akan pengharamannya, hatta di kalangan mereka yang mengharuskan nyanyian, khususnya kemunkaran di radio dan tv yang banyak terdapat di zaman kita hari ini.
Kelompok ini memperkuat argumentasi mereka dengan mengemukakan hadis-hadis Nabi yang menunjukkan kebolehan secara jelas (sharih) terhadap lagu & musik, antara lain

Hadis Pertama
Diriwayatkan oleh Buraidah
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ جَاءَتْ جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ سَالِمًا أَنْ أَضْرِبَ بَيْنَ يَدَيْكَ بِالدُّفِّ وَأَتَغَنَّى فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِي وَإِلَّا فَلَا فَجَعَلَتْ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَأَلْقَتْ الدُّفَّ تَحْتَ اسْتِهَا ثُمَّ قَعَدَتْ عَلَيْهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَخَافُ مِنْكَ يَا عُمَرُ إِنِّي كُنْتُ جَالِسًا وَهِيَ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ فَلَمَّا دَخَلْتَ أَنْتَ يَا عُمَرُ أَلْقَتْ الدُّفَّ
Rasulullah saw. hendak menuju perperangan, ketika kembali dari perperangan seorang Jariyyah hitam datang menghampiri Rasulullah saw. seraya berkata ”wahai Rasulullah saw. sesungguhnya aku telah bernadzar apabila Engkau kembali dengan selamat aku akan menabuh Duff dan bernyanyi di hadapanmu, Rasulullah SAW bersabda ”apabila kau telah bernadzar maka tabuhlah sekarang karena apabila tidak maka engkau telah melanggar nadzarmu”. Kemudian Jariyyah tersebut menabuh Duff (dan bernyanyi), kemudian Abu Bakar ra masuk ke rumah Rasulullah saw. dan Jariyyah itu masih menabuh Duff dan bernyanyi, kemudian ketika Ali ra masuk dia masih menabuhnya dan ketika Utsman ra masuk dia juga tetap menabuh, ketika Umar ra masuk ia langsung melemparkan/menyembunyikan Duff itu di bawah bokongnya, kemudian Jariyyah itu duduk. Lalu Rasulullah saw. bersabda ”wahai Umar sungguh setan pasti akan takut kepadamu, sungguh ketika Aku duduk dia menabuh Duff, ketika Abu Bakar masuk dia juga masih demikian, Ketika Ali masuk juga demikian, ketika Utsman masuk dia juga tetap menabuhnya, akan tetapi ketika engkau masuk wahai Umar ia lemparkan/sembunyikan Duff itu”. (H.r. At-Tirmidzi, No. 3690. At-Tirmidzi mengatakan hadis ini hasan shahih gharib, hadis ini juga dinyatakan shahih oleh Syekh Al Albani dalam Shahih Sunan Tirmidzi. Juga diriwayatkan dalam Musnad Ahmad bab Buraidah no 22989 dengan sanad yang kuat, dan diriwayatkan dalam Shahih Ibnu Hibban hadis no 6892).
Hadis ini adalah bukti kuat dibolehkannya menabuh Duff (sejenis alat musik tabuh) dan bernyanyi. Tidak boleh bernadzar dalam hal yang diharamkan atau dalam bermaksiat kepada Allah, hal ini sudah sangat jelas. Izin Rasulullah saw. melalui kata-kata tunaikanlah nadzarmu menjadi bukti kuat kebolehan menabuh duff dan bernyanyi. Sedangkan sikap Umar ra itu adalah kecenderungannya yang tidak suka mendengarkan duff dan nyanyian. Adalah aneh sekali jika menganggap sikap Umar ra sebagai menunjukkan haramnya menabuh musik dan bernyanyi karena kalau memang haram tidak mungkin dari awal Rasulullah SAW membiarkannya termasuk Abu Bakar ra, Ali ra dan Usman ra. Adalah lucu sekali berpendapat Umar ra tahu itu haram sedangkan Rasulullah SAW tidak, yang seperti ini jelas tidak benar. Oleh karena itu sikap Umar ra tidak lain adalah kecenderungan pribadinya.

Hadis Kedua
عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ قَالَتْ دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم غَدَاةَ بُنِيَ عَلَيَّ فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي وَجُوَيْرِيَاتٌ يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ يَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِهِنَّ يَوْمَ بَدْرٍ حَتَّى قَالَتْ جَارِيَةٌ وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لَا تَقُولِي هَكَذَا وَقُولِي مَا كُنْتِ تَقُولِينَ
Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz, ia berkata ”Rasulullah saw. datang, pagi-pagi ketika pernikahan saya. Kemudian Beliau duduk dikursiku seperti halnya kau duduk sekarang ini di depanku, kemudian aku menyuruh para Jariyah memainkan Duff, dengan menyanyikan lagu-lagu balada orang tua kami yang syahid pada perang Badr, mereka terus bernyanyi dengan syair yang mereka kuasai, sampai salah seorang dari mereka mengucapkan syair yang berbunyi…”Diantara kita telah hadir seorang Nabi yang mengetahui hari depan”…Maka Nabi saw. bersabda ”Adapun syair ini janganlah kamu nyanyikan”.(H.r. Al-Bukhari, Shahih Bukhari Kitab Nikah Bab Dharbal Duff Al Nikah Wa Al Walimah no 5147, juga diriwayatkan Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hibban no 5878).
Hadis ini juga mengisyaratkan bolehnya memainkan Duff dan bernyanyi, hal ini berdasarkan taqrir atau diamnya Nabi saat Jariyyah tersebut memainkan duff dan bernyanyi. ِAl-Bukhari telah meriwayatkan hadis ini dalam Bab Dharbal Duff Al Nikah Wa Al Walimah (Memukul Tambur Selama Pernikahan). Perkataan Nabi saw. ”Adapun syair ini janganlah kamu nyanyikan” merujuk kepada syair yang berbunyi..”Diantara kita telah hadir seorang Nabi yang mengetahui hari depan”, Nabi melarang kata-kata dalam syair ini karena hanya Allah swt. semata yang mengetahui hari depan.

Hadis Ketiga
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
Dari Aisyah ra, ia berkata, “Suatu hari Abu Bakar ra masuk ke rumah Rasul saw. disana ada dua jariyah Anshar yang sedang bernyanyi dengan “nyanyian Anshar”, Kata Aisyah, “(mereka sudah biasa bernyanyi, namun) keduanya bukan biduanita” Abu Bakar (melarang keduanya) berkata, “Apakah (dibiarkan) seruling setan di rumah Rasul” peristiwa itu pada hari Ied. Rasulullah saw. Bersabda, ”Wahai Abu Bakar, sesungguhnya tiap kaum punya hari ied, dan ini adalah hari ied kita. Dalam riwayat lain: Wahai Abu Bakar, biarkanlah mereka bernyanyi karena hari ini adalah hari Id (hari raya)”. (H.r. Al-Bukhari & Muslim, Shahih Bukhari dan Shahih Muslim sebagaimana disampaikan Syekh Al Albani, Ghayatul Maram Takhrij Al Halal Wal Haram Fil Islam hadis ke 399; Al-Maktab Al-Islami Al Ula, hal. 227).
Hadis ini juga menjadi dasar bolehnya bernyanyi dan memainkan gendang atau rebana. Hal ini tampak jelas dari kata-kata Nabi saw. ”Biarkanlah”. Tidak mungkin Nabi saw. membiarkan yang haram. Sedangkan anggapan sebagian orang bahwa yang dibolehkan hanya pada hari raya sedangkan selain hari raya itu dilarang adalah anggapan yang tidak benar. Pertama sudah jelas dalam dua hadis sebelumnya nyanyian dibolehkan ketika nadzar dan pernikahan, bukankah itu artinya selain hari raya? Kedua, dalam hari raya tidak dibolehkan melakukan sesuatu yang haram. Bagaimana mungkin sesutu yang haram menjadi halal karena hari raya. Oleh karena itu tidak beralasan menyatakan nyanyian itu haram.

Hadis Keempat
Diriwayatkan dari Aisyah ra yang berkata ”dikamarku ada Jariyyah Anshar kemudian aku menikahkannya maka Rasulullah SAW masuk pada hari pernikahannya itu Beliau SAW sama sekali tidak mendengar nyanyian ataupun lahwu(permainan) kemudian Beliau SAW bersabda ”wahai Aisyah apakah engkau tidak memberikan nyanyian untuknya?”. Kemudian Beliau SAW bersabda lagi ”bukankah di kampung ini kampungnya orang Anshar yang mereka itu sangat menyukai nyanyian” (H.r. Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hibban no 5875 semua perawinya tsiqat).
Dalam riwayat Ahmad, al-Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah r.a. Katanya: "Aku pernah mengawinkan seorang wanita dengan seorang laki-laki dari kalangan Anshar. Maka Nabi s.a.w. bersabda:
يَا عَائِشَةُ مَا كَانَ مَعَكُمْ مِنْ لَهْو فَإِنَّ الأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ
"Hai 'Aisyah, tidak adakah padamu hiburan (nyanyian) karena sesungguhnya orang-orang Anshar senang dengan hiburan (nyanyian)."
Dalam riwayat Ahmad terdapat kalimat
لَوْ بَعَثْتُمْ مَعَهَا مَنْ يُغَنِّيهِمْ وَ يَقُولُ: أَتَيْنَاكُمْ أَتَيْنَاكُمْ فَحَيُّونَا نُحَيِّيكُمْ فَإِنَّ الأَنْصَارَ قَوْمٌ فِيهِمْ غَزَلٌ
"Bagaimana kalau diikuti pengantin itu oleh (orang-orang) wanita untuk bernyanyi sambil berkata dengan senada: "Kami datang kepadamu. Hormatilah kami dan kami pun menghormati kamu. Sebab kaum Anshar senang menyanyikan (lagu) tentang wanita."
Begitu pula dalam hadis ini yang berkesan adanya anjuran nyanyian atau hiburan dalam pernikahan. Hal ini setidaknya membuktikan nyanyian itu tidak haram karena Nabi saw. telah mengizinkannya dalam pernikahan.

Hadis kelima
عَنْ عَامِرِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى قُرَظَةَ بْنِ كَعْبٍ وَأَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ فِي عُرْسٍ وَإِذَا جَوَارٍ يُغَنِّينَ فَقُلْتُ أَنْتُمَا صَاحِبَا رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَمِنْ أَهْلِ بَدْرٍ يُفْعَلُ هَذَا عِنْدَكُمْ فَقَالَ اجْلِسْ إِنْ شِئْتَ فَاسْمَعْ مَعَنَا وَإِنْ شِئْتَ اذْهَبْ قَدْ رُخِّصَ لَنَا فِي اللَّهْوِ عِنْدَ الْعُرْسِ
Dari Amir bin Saad, dia berkata, ”Aku masuk ke rumah Qardhah bin Ka’ab dan Abi Mas’ud pada pernikahan, ternyata diantara mereka ada beberapa Jariyah yang sedang bernyanyi, kemudian aku bertanya ”Kalian itu sahabat Nabi saw. Dan di antara ahli Badar, mengapa hal ini dilakukan dihadapan kalian?” Dia (salah seorang di antara keduanya) menjawab ”Duduklah, jika engkau suka dengarkanlah bersama kami, akan tetapi jika tidak pergilah sungguh kami telah diberikan keringanan untuk bersuka ria selama walimah pernikahan” (H.r. An-Nasai, Sunan An Nasa’i Bab Al Lahwu Wa Al Ghina ’Inda Al ’Arus hadis No 3168, dinyatakan hasan oleh Syekh Al Albani dalam Shahih An Nasa’i).
Hadis ini juga menjadi dasar dibolehkannya nyanyian karena para sahabat ra sendiri juga mendengarkan nyanyian. Ketika ditanya kenapa mendengarkan nyanyian padahal mereka sahabat Rasulullah saw., maka mereka menjawab bahwa Rasulullah saw. telah memberikan keringanan dalam hal ini atau telah dibolehkan oleh Rasulullah saw. yaitu ketika walimah pernikahan.

Hadis keenam
Anas bin Malik berkata: "Sesungguhnya Nabi saw. melewati beberapa tempat di Madinah. Tiba-tiba beliau berjumpa dengan beberapa jariah yang sedang memukul rebana sambil menyanyikan: "Kami jariah bani Najjar. Alangkah bahagianya bertetangga dengan Nabi." Mendengar dendang mereka, Nabi saw. bersabda:
اللهُ يَعْلَمُ إِنِّي لأُحِبُّكُمْ
"Allah mengetahui bahwa aku benar-benar sayang kepada kalian." H.r. An-Nasai
Keenam hadis tersebut menunjukkan dibolehkannya nyanyian dan menabuh alat musik seperti duff atau rebana. Jadi bagaimana mungkin alat musik itu haram. Adalah tidak benar menyatakan kebolehan itu bersifat khusus dan selain itu haram. Artinya hanya dibolehkan karena bernadzar, pernikahan dan hari raya. Pendapat ini jelas rancu karena: “apakah karena bernadzar, pernikahan dan hari raya maka yang haram menjadi halal”. Ini jelas tidak benar, justru hadis tersebut dipahami sebagai keumuman pembolehannya. Situasi-situasi yang berlainan yaitu ketika menunaikan nadzar, ketika ada pernikahan dan ketika hari raya jelas lebih menunjukkan keumuman dibolehkannya nyanyian. Dibolehkannya sudah pasti tidak menunjukkan haram.
Imam Asy-Syaukani berkata: Ulama Madinah dan lainnya, seperti ulama Zhahiri dan jama’ah ahlu Sufi memberikan kemudahan pada nyanyian walaupun dengan gitar dan biola”. Juga diriwayatkan oleh Abu Manshur Al-Bagdadi As-Syafi’i dalam kitabnya bahwa Abdullah bin Ja’far menganggap bahwa nyanyi tidak apa-apa, bahkan membolehkan budak-budak wanita untuk menyanyi dan beliau sendiri mendengarkan alunan suaranya. Dan hal itu terjadi di masa khilafah Amirul Mukminin Ali ra. Begitu juga Abu Manshur meriwayatkan hal serupa pada Qodhi Syuraikh, Said bin Al Musayyib, Atho bin abi Ribah, Az-Zuhri dan Asy-Sya’bi.
Imam Al-Haramain dalam kitabnya, An-Nihayah, dan Ibnu Abi Ad-Dunya yang menukil dari Al-Itsbaat Al-Muarikhiin, bahwa Abdullah bin Zubair memiliki budak-budak wanita dan gitar. Dan Ibnu Umar pernah ke rumahnya ternyata disampingnya ada gitar , Ibnu Umar berkata: ”Apa ini wahai sahabat Rasulullah saw?” kemudian Ibnu Zubair mengambilkan untuknya, Ibnu Umar merenungi kemudian berkata:” Ini mizan Syami (alat musik) dari Syam?”. Berkata Ibnu Zubair:” Dengan ini akal seseorang bisa seimbang”.
Dan diriwayatkan dari Ar-Rowayani dari Al-Qofaal bahwa madzhab Malik bin Anas membolehkan nyanyian dengan alat musik.
Demikianlah pendapat ulama tentang mendengarkan alat musik. Dan jika diteliti dengan cermat, maka ulama muta’akhirin yang mengharamkan alat musik karena mereka mengambil sikap waro’ (hati-hati). Mereka melihat kerusakan yang timbul dimasanya. Sedangkan ulama salaf dari kalangan sahabat dan tabi’in menghalalkan alat musik karena mereka melihat memang tidak ada dalil baik dari Alquran maupun hadis yang jelas mengharamkannya, sehingga dikembalikan pada hukum asalnya yaitu mubah.

Pendapat Kami
Setelah mengkaji berbagai dalil dan argumentasi yang dikemukakan kedua belah pihak, kami cenderung kepada kelompok yang menyatakan bahwa lagu & musik itu hukumnya mubah selama terbebas dari faktor-faktor yang telah disebutkan di atas. Dengan pertimbangan sebagai berikut:

Pertama, Surat luqman, ayat 6.
Hemat kami, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abas, dan Ibnu Umar, tidak bermaksud membatasi kata-kata Lahwa al-Hadits itu hanya dengan nyanyian. Namun nyanyian termasuk ke dalam Lahwa al-Hadits yang dikecam oleh Allah melalui ayat tersebut jika digunakan sebagai alat untuk menyesatkan manusia. Karena mereka pun paham bahwa yang menjadi illatut tahrim (sebab pengharaman) Lahwa al-Hadits dalam ayat ini disebutkan pada kalimat selanjutnya:
(1) li yudhilla ‘an sabilillah (untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah)
(2) wa yattakhidzaha huzuwan (menjadikan jalan Allah itu olok-olokan)
Jadi inti persoalan bukan terletak pada nyanyian atau bukan nyanyian.
Sehubungan dengan ayat itu Imam al-Bukhari beristinbath
بَاب كُلُّ لَهْوٍ بَاطِلٌ إِذَا شَغَلَهُ عَنْ طَاعَةِ اللَّهِ
Bab Setiap Lahw adalah bathil apabila telah menyibukkannya dari ketaatan kepada Allah. Selanjutnya al-Bukhari membuat contoh perkataan yang termasuk Lahwa al-Hadits bathil. Siapa yang mengucapkan kepada temannya: Ta’al uqaamirka (kemarilah aku akan berjudi dengan temanmu). (Lihat, Shahih al-Bukhari, Kitabul Isti’dzan, hal. 1334)

Kedua, Hadis Shahih Sanadnya Tetapi Matannya Tidak Jelas Mengharamkan Musik
1. Hadis al-Bukhari
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِيْ أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
Imam al-Bukhari menempatkan hadis ini dalam
بَابُ مَا جَاءَ فِيْمَنْ يَسْتَحِلُّ الْخَمْرَ وَيُسَمِّيْهِ بِغَيْرِ اسْمِهِ
Bab keterangan tentang Orang Yang Menghalalkan Khamr dan Menamainya Bukan dengan Namanya
Imam al-Bukhari tidak sedikitpun menyebutkan tentang pengharaman musik dan lagu. Andaikata hadis ini hendak dihubungkan dengan masalah musik & lagu, maka dilalah (petunjuk) yang paling tepat digunakan adalah musik dan lagu haram jika diiringi dengan perbuatan maksiat (misalnya tarian seronok) apalagi disertai dengan minuman khamr. Dilalah ini diperoleh melalui perbandingan dengan riwayat al-Bukhari pula dari sahabat yang sama (Abi Malik Al-Asy'ari)
لَيَشْرَبَنَّ أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا تَغْدُو عَلَيْهِمِ الْقِيَانُ وَ تَرُوحُ عَلَيْهِمِ الْمَعَازِفُ
"Segolongan dari umatku akan minum khamr dan mereka menamainya bukan dengan namanya, mereka akan didatangi oleh para penyanyi wanita keliling beserta pemain musik dengan alat-alat instrumentalnya." H.r. al-Bukhari dalam at-Tarikhul Kabir, juga riwayat Imam Ahmad dan Ibnu Abi Syaibah (Lihat, Fathul Bari, X:55)
Dalam riwayat Abu Daud & Ibnu Majah disebutkan
لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يُعْزَفُ عَلى رُؤُوسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَ الْمُغَنِّيَاتِ يَخْسِفُ اللهُ بِهِمُ الأَرْضَ وَ يَجْعَلُ مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَ الْخَنَازِيرَ
"Sekelompok dari umatku akan minum khamr dan menyebutnya dengan nama (baru) selain nama khamr. Para pemusik bersama penyanyi wanita akan melakukan pertunjukan di hadapan mereka. Kemudian mereka akan dilenyapkan ke dalam tanah dan dijadikan sebagian dari mereka dalam bentuk kera dan babi."
Nash hadis tersebut di atas telah menjelaskan bentuk permainan alat musik dan nyanyian yang dicela oleh syara'. Bila ia melanggar ketentuan syara' (memainkan musik dan bernyanyi dengan cara seperti di atas), maka haram hukumnya karena disertai dengan hal-hal yang haram. Dalam hal ini kita dilarang mendengarkannya atau berada di tempat-tempat pertunjukkan seperti itu, misalnya klub malam, diskotik, dan sejenisnya. Itulah maksud sabda Rasulullah saw. “Sekelompok dari umatku akan menghalalkan permainan alat-alat musik dan penyanyi wanita (bersama mereka)."
Dari keterangan di atas dapat kita simpulkan bahwa maksud hadis al-Bukhari itu ditujukan kepada sekelompok orang dari kaum muslimin yang berani menghalalkan penggunaan alat-alat musik di luar batas-batas yang telah digariskan syara'.
2. Hadis Abu Daud & Ahmad
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍوأَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم نَهَى عَنْ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَالْكُوبَةِ وَالْغُبَيْرَاءِ وَقَالَ كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ – أبو داود –
Dari Abdullah bin Amr, bahwa Rasulullah saw. Bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan khamr, judi, al-Kubah dan al-Ghubaira. Setiap yang memabukkan adalah haram (H.r. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, No. 3685)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ وَقَالَ كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ – رواه أحمد –
Dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah saw. Bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian khamar, judi dan Al Kubah” Dan beliau bersabda, “Setiap yang memabukkan adalah haram” (H.r. Ahmad, Musnad Ahmad, VI:26, No. 2476)
Dari segi sanad, hadis pertama telah dikritik asy-Syaukani dalam Nailul Authar, dia berkata “Al-Hafiz adz-Dzahabi tidak berkomentar tentang hadis ini, dan dalam sanadnya terdapat Walid bin Abdah. Abu Hatim Ar Razi berkata bahwa Walid majhul atau tidak diketahui identitasnya. Al Mundziri berkata bahwa hadis ini mangandung ‘illat (kecacatan).”
Hadis kedua dari Ibnu Abbas telah dinyatakan shahih oleh Syekh Ahmad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad hadis no 2476. Hadis riwayat Ibnu Abbas ini juga dinyatakan shahih oleh Syekh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrijnya terhadap Musnad Ahmad hadis no 2476.
Sedangkan dari segi matan, hadis ini tidak sharih (jelas dan tegas) menunjukkan keharaman. Mereka yang mengharamkan musik dengan dalil hadis ini selalu mengartikan al-Kubah dengan alat musik perkusi atau tabuh dan al-Ghubaira dengan alat musik petik.
Padahal terjadi perbedaan di kalangan ulama dalam penafsiran kata al-Kubah dan al-Ghubaira. Ali bin Budzaimah mengatakan bahwa al-Kubah diartikan sebagai tambur, sedangkan dalam kitab Gharib al-Hadis Ibnu Arabi, al-Khatib dan Abu Ubaid mengatakan al-Kubah adalah permainan dadu. Perbedaan pendapat juga terjadi di kalangan ulama dalam menafsirkan al- Ghubaira, sebagian ada yang mengatakan alat musik sedangkan sebagian yang lain mengatakan al-Ghubaira adalah khamr yang terbuat dari jagung atau gandum. Demikian pendapat Ibnul Atsir dalam kitab An-Nihayah fi Gharibil Hadis.
Menurut kami al-Kubah lebih tepat diartikan sebagai permainan dadu dan al-Ghubaira sebagai minuman khamr dari jagung dan gandum. Hal ini karena
(a) Penafsiran seperti ini lebih sesuai dengan teks hadis yang mengharamkan khamr dan judi. Al-Ghubaira berkaitan dengan khamr dan al-Kubah berkaitan dengan judi.
(b) Penafsiran al-Kubah sebagai alat musik tabuh jelas akan menimbulkan pertentangan hukum, karena pada hadis shahih diterangkan bahwa Rasulullah saw. membolehkan menabuh duff (sejenis alat musik tabuh atau perkusi) dan rebana. (haram) dengan hukum mubah yang dikandung dalam
Oleh karena itu menjadikan hadis-hadis ini sebagai dasar pengharaman musik dan lagu adalah kurang tepat.
3. Hadis Ibnu Umar
Diriwayatkan dari Nafi bahwa Ibnu Umar mendengar suara seruling pengembara maka beliau memasukkan jarinya ke telinganya, kemudian beliau menyimpangkan kudanya dari jalanan, ia mengatakan “hai Nafi apakah kamu mendengar?”. Aku menjawab: ya, maka ia berlalu sampai aku mengatakannya tidak. Maka beliau mengangkat tangannya dan kembali menunggang ke jalanan kemudian beliau berkata ”Aku pernah melihat Rasulullah saw. mendengar suara seruling pengembara maka beliau berbuat seperti ini”(Hadis Sunan Abu DaudBab Adab hadis no 4924).
Tentang hadis ini Abu Daudberkata “hadis ini munkar”. Al Hafidz Al Munziri dalam kitabnya Mukhtasar Lis Sunan jilid 7 hadis no 4755 tidak mengingkari atas kemunkarannya. Hal ini ditanggapi oleh Abu Thayyib Muhammad Syamsyulhaq Adzim Abadi dalam Kitabnya Aun Al Ma’bud Syarh Sunan Abu Dauddengan mengatakan: “tidak mengetahui sisi keingkarannya tetapi sanadnya kuat dan tidak bertentangan dengan periwayatan yang tsiqah”. Hadis ini juga dinyatakan shahih oleh Abu Sulaiman Al Khattabi dan Ibnu Hibban (dalam Shahih Ibnu Hibban).
Walaupun hadis ini shahih juga tidak tepat dijadikan dasar untuk mengharamkan musik karena matan hadis tidak jelas menyatakan haramnya suara seruling itu. Pada awalnya Ibnu Umar mendengar suara seruling kemudian dia menutup telinganya seraya berkata kepada Nafi apakah ia mendengarnya, Nafi memang mendengarnya dan terus mendengarnya sampai suara seruling itu tidak terdengar lagi. Ketika Ibnu Umar memastikan kepada Nafi apakah suara seruling itu tidak terdengar lagi, barulah ia menurunkan tangannya. Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah saw. berbuat seperti ini. Tindakan seperti itu hanya menunjukkan ketidaksukaan Rasulullah saw. kepada suara seruling tersebut dan bukan menunjukkan keharamannya.
Seandainya mendengar suara seruling itu haram maka Ibnu Umar pasti akan menyuruh Nafi untuk menutup telinganya juga, serta mencari siapa yang memainkan seruling itu (tidak hanya diam menunggu sampai suara seruling itu tidak terdengar) untuk memperingatkan bahwa yang dilakukannya adalah haram. Hal ini juga menyiratkan bahwa Rasulullah saw. ketika bersama Ibnu Umar ra juga tidak menyuruh Ibnu Umar untuk menutup telinganya ketika mendengar suara seruling pengembara. Apalagi jika benar Rasulullah saw. mengharamkannya maka Ibnu Umar pasti akan berkata Rasulullah saw. telah mengharamkan mendengar suara seruling dan Ibnu Umar akan memberitahu kepada Nafi tentang ini, tapi yang ada malah Ibnu Umar hanya berkata Rasulullah SAW berbuat seperti ini. Oleh karena itu hadis ini lebih tepat menunjukkan ketidaksukaan terhadap suara seruling dan bukan pengharamannya.
Asy Syaukani menyatakan bahwa Tindakan Rasulullah SAW dan Ibnu Umar yang tidak melarang pengembala tersebut untuk memainkan serulingnya adalah dalil yang menunjukkan ketidakharamannya. Lihat, Nailul Authar V:27. Selain itu Abu Daudjuga mencantumkan hadis ini dalam Bab Makruhnya Lagu dan Seruling yang menunjukkan bahwa Abu Daudsendiri memahami kalau hadis ini tidak menunjukkan haramnya lagu dan seruling.

Hadis Daif Sanadnya Meski Matannya Jelas Mengharamkan Musik
1. Hadis Riwayat Ahmad
تَبِيتُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلى أَكْلٍ وَ شُرْبٍ وَ لَهْوٍ وَ لَعْبٍ ثُمَّ يُصْبِحُونَ قِرَدَةً وَ خَنَازِيرَ وَ تُبْعَثُ عَلى أَحْيَاءٍ مِنْ أَحْيَائِهِمْ رِيحٌ فَتَنْسِفُهُمْ كَمَا نُسِفَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِاسْتِحْلاَلِهِمْ الْخَمْرَ وَ ضَرْبِهِمْ بِالدُّفُوفِ وَ اتِّخَاذِهِمِ الْقَيِّنَاتِ
"Sekumpulan umatku melewati malam dengan makan, minum, hiburan, dan permainan. Esok harinya mereka ditukar dengan (rupa) monyet dan babi. Lalu kepada orang yang masih hidup di kalangan mereka diutus angin untuk memusnahkan mereka sebagaimana telah memusnahkan orang-orang terdahulu disebabkan karena sikap mereka menghalalkan arak, memukul rebana dan mengambil biduanita (untuk menyanyi) bagi mereka." (Musnad Imam Ahmad, V:259 dan Nailul Authar, VII:98)
Imam Ahmad meriwayatkan hadis ini melalui Sa'id bin Mansur dari Al-Harits bin Nabhan, dari Farqad As-Sabakhi, dari Ashim bin Amru, dari Abu Umamah.
Pada sanad ini terdapat dua rawi yang daif, yaitu al-Harits bin Nabhan dan Farqad As-Sabakhi. Kata Imam Ahmad sendiri Farqad As-Sabakhi hadisnya tidak kuat. (Lihat, al-Muhalla, VI:59).
Imam adz-Dzahabi mengatakan bahwa Al-Harits bin Nabhan riwayatnya menurut Imam al-Bukhari adalah "munkarul hadis". Menurut Imam An-Nasai, Hadisnya "matruk". Ibnu Ma'in berpendapat, Hadis Al-Harits bin Nabhan "Laisa bi syai" (Lihat, Mizanul I'tidal, I:444, No. Rawi 1649)
Adapun Farqad As-Sabakhi menurut Abu Hatim sanadnya tidak kuat. Sedangkan Imam Bukhari mengatakan bahwa di dalam hadisnya banyak hadis yang "munkar". Kemudian menurut Imam An-Nasai, Hadisnya dha'if dan orangnya tidak dapat dipercaya. (Lihat, Mizanul I'tidal, III:346, No. Rawi 6699)

2. Hadis Abu Daud
Hadis ini datang melalui Sallam bin Miskin yang didengarnya dari seorang tua yang melihat Abi Wail hadir di suatu pesta pernikahan. Di pesta itu orang-orang asyik bermain, bersenang-senang dan bernyanyi bergembira. Waktu itu timbul hasrat Abu Wail untuk mencegahnya. Sambil melepaskan sorban Abu Wail berkata: "Kudengar dari Abdullah bin Mas'ud bahwa dia pernah mendengar Rasulullah bersabda:
الْغِنَاءُ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ
"Lagu atau nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati." (Lihat, Sunan Abu Daud, IV: 282, Hadis No. 4927)
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dengan sanadnya dari Muslim bin Ibrahim, dari Sallam bin Miskin melalui seorang kakek yang tidak disebutkan namanya. Si kakek itu pernah berjumpa dengan Abu Wail yang mendengar sebuah hadis Rasulullah saw. dari Ibnu Mas'ud seperti di atas
Pada sanad Hadis tersebut terdapat seseorang yang "majhul" (tidak dikenal), yaitu seorang kakek tua. Menurut kaidah ilmu Hadis bila sanadnya majhul, maka Hadis tersebut harus ditolak. Tetapi di dalam sanad Hadis ini terdapat seseorang yang dapat dipercaya, yaitu Sallam bin Miskin. Namun Imam Abu Daudmengatakan bahwa perawi tersebut cenderung kepada pendapat golongan Qadariyah (golongan yang menolak adanya takdir). Karena itu sudah cukup bagi kita untuk meolak riwayatnya karena berarti ia telah tergolong ke dalam golongan (Qadariyah) yang berbuat bid'ah. Sedangkan ahli bid'ah tidak boleh diterima riwayatnya.
Hadis ini juga telah diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya, juga dari Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Adi, dan Ad-Dailami dengan sanad yang dha'if. Menurut Ibn-ul-Qathan, ia menukilkan pendapat Imam Nawawi yang mengatakan bahwa Hadis ini tidak shahih. Pendapat ini juga didukung oleh Imam As-Sarkhasi dan Imam Al-'Iraqi yang menolak Hadis tersebut karena ada seseorang yang tidak tercatat namanya.
Imam Al-Baihaqi meriwayatkannya juga dalam kitab Syu’abul Iman dari Jarir dengan sanad yang di dalamnya terdapat seorang rawi bernama Ali bin Hammad. Orang ini menurut Imam Daruquthni adalah "matruk" (harus ditinggalkan).
Selain itu pada sanadnya ada Abdullah bin Abdul 'Aziz bin Ruwat yang menurut Imam Abu Hatim hadisnya munkar seluruhnya. (Lihat, Faidhul Qadir, IV:413-414)

3. Hadis Riwayat at-Tirmidzi
Dari Imran bin Husain bahwa Rasulullah s.a.w. telah bersabda:
فِي هذِهِ الأُمَّةِ خَسْفٌ وَ مَسْخٌ وَ قَذْفٌ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ: يَا رَسُولَ اللهِ وَ مَتَى ذلِكَ؟ قَالَ: إِذَا ظَهَرَتِ الْقِيَانُ وَ الْمَعَازِفُ وَ شُرِبَتِ الْخُمُورُ
"Pada umat ini berlaku tanah longsor, pertukaran rupa, dan kerusuhan." Bertanya salah seorang di antara kaum Muslimin: " Kapankah yang demikian itu akan terjadi, ya Rasulullah?" Beliau menjawab: "Apabila telah muncul biduanita, alat-alat musik dan minuman arak di tengah kaum Muslimin." (Lihat, Sunan Tirmidzi, hadis No. 2309; Nailul Authar, VIII:98)
Hadis ini walaupun dari segi sanadnya mursal, yang umumnya ditolak oleh sebagian ahli hadis, tetapi oleh sebagian lainnya dijadikan hujjah dalam pengambilan hukum dan pendapat. Cara seperti inilah yang dapat diterima. Tetapi dari segi matannya (isi Hadis), ia tidak menunjukkan bahwa telah diturunkan azab atas mereka yang berupa tanah longsor, pertukaran rupa dari manusia ke wajah hewan, terjadinya kerusuhan adalah karena mereka telah menggunakan alat-alat musik atau karena mereka telah mendengar nyanyian seorang biduanita dan menenggak minuman keras. Tetapi semua malapetaka yang menimpa mereka disebabkan oleh karena mereka telah menghalalkan khamr, perzinaan, memakai sutera (bagi lelaki), dan membolehkan wanita tampil sebagai penyanyi dalam forum yang bercampur antara lelaki dan perempuan. Selain itu mereka menghalalkan menggunakan alat-alat musik di luar batas-batas yang telah ditentukan oleh syara', sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh Hadis riwayat lainnya.

4. Hadis at-Thabari
Dari Abu Umamah al-Baahily, ia berkata, "Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:
لاَ يَحِلُّ تَعْلِيمُ الْمُغَنِّيَاتِ وَ لاَ بَيْعُهُنَّ وَ لاَ شِرَاؤُهُنَّ وَ ثَمَنُهُنَّ حَرَامٌ
"Tidak halal mengajari wanita-wanita (untuk menyanyi), tidak halal memperjualbelikan mereka. Harga jual belinya juga haram. (Hr. Ibnu Jarir ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, XXI: 39; Ibnul Jauzi, Talbis Iblis, hal. 232)
Imam ath-Thabari berkata: "Terhadap merekalah ayat enam surat Luqman diturunkan."
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam ath-Thabari dari al-Waqi', dari Khallaf ash-Shaffar, dari 'Ubaidillah bin Zahhar, dari Ali bin Yazid, dari al-Qasim bin Abdur Rahman, dengan sanad yang lemah, pada sanadnya terdapat rawi bernama Ali bin Yazid. Menurut Imam al-Bukhari dia rawi hadis yang munkar. Imam an-Nasai juga menilai bahwa orang tersebut tidak dapat dipercaya. Abu Zur'ah berkata bahwa hadisnya tidak kuat. Ad-Daruquthni berkata, “orang tersebut matruk. (Lihat, Mizanul I'tidal, III:161, No. Rawi 5966)

5. Hadis Ibnu Ghailan
Dari Ali bin Abi Thalib r.a. sesungguhnya Nabi s.a.w. bersabda:
بُعِثْتُ بِكَسْرِ الْمَزَامِيرِ
"Aku diutus untuk menghancurkan seruling-seruling." (H.r. Ibnu Ghailan al-Bazzaz, Nailul Authar, VIII:100; 'Ala'uddin al-Burhanfuri, Kanzul Ummal, XV: 226, hadis No. 40689)
Ibnu Ghailan juga meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
كَسْبُ الْمُغَنِّي وَ الْمُغَنِّيَةِ حَرَامٌ
"Penghasilan penyanyi lelaki maupun perempuan adalah haram."
Hadis di atas daif, sebab pada sanadnya terdapat dua orang perawi yang ditolak riwayatnya:
Pertama, 'Abbad bin Ya'qub. Mengenai orang ini, Imam az-Zahabi berkata, “Bahwa orang tersebut adalah syi’ah ghulat (ekstrimis). Kemudian Imam Ibnu Hibban menilai orang ini sebagai pendakwah untuk kalangan golongan Rafidhah (Syi'ah). Selanjutnya Ibnu Hibban mengatakan bahwa orang ini meriwayatkan Hadis-Hadis munkar dari orang-orang (perawi) terkemuka. Oleh karena itu, kata Ibnu Hibban, riwayatnya harus ditinggalkan. (Lihat, Mizanul I'tidal, II:379, No. Rawi 4149)
Keterangan di atas menunjukkan bahwa Abbad bin Ya'kub termasuk salah seorang yang aktif dalam mengembangkan madzhab Syi'ah Rafidhah. Orang ini selalu mencela 'Utsman bin 'Affan dan para sahabat lainnya. Perbuatannya itu menjadi alasan yang kuat untuk menolak semua riwayatnya. Selain itu ia juga seorang ahli bid'ah yang menurut kaidah ilmu musthalah Hadis, tidak bisa diterima riwayatnya.
Kedua, Ja'far bin Muhammad bin 'Abbad al-Makhzumi. Mengomentari orang tersebut, Imam an-Nasai berkata: "Dia tidak kuat riwayatnya". Sedangkan Ibnu 'Uyainah mengatakan bahwa orang ini bukan ahli hadis (tidak bisa diterima riwayatnya). (Lihat, Mizanul I'tidal, I:414, No. Rawi 1518)
Setelah memperhatikan berbagai dalil tentang lagu & musik di atas, maka kita tidak bisa menyamaratakan semua nyanyian itu haram atau mubah karena terdapat dalil-dalil yang membolehkannya di samping dalil yang mengharamkannya dalam keadaan dan kondisi tertentu. Dari sini dapat ditarik dua macam hal:
1. Nyanyian Yang Haram.
Jenis nyanyian ini terbatas pada nyanyian yang disertai dengan perbuatan haram atau mungkar, semisal minuman khamr, menampilkan aurat wanita, atau nyanyiannya berisi sya'ir yang bertentangan dengan aqidah atau melanggar etika kesopanan Islam. Contoh untuk ini adalah sya'ir lagu kerohanian agama selain Islam, lagu asmara, lagu rintihan cinta yang membangkitkan birahi, kotor, dan porno. Tak peduli apakah nyanyian itu berbentuk vokal atau diiringi dengan musik, baik yang dinyanyikan oleh lelaki maupun wanita. Keharaman karena keadaan dan kondisi tertentu oleh para ulama fiqih disebut haram ‘aridhi (haram karena faktor lain: sifat atau penggunaanya)
2. Nyanyian Yang Mubah.
Kriteria jenis nyanyian ini adalah tidak boleh bercampur dengan sesuatu yang telah disebutkan dalam jenis nyanyian yang haram di atas. Tidak juga diadakan di tempat-tempat maksiat, misalnya klub malam, diskotik, dan sejenisnya, yang di tempat itu wanita dan lelaki bebas bercampur-baur menari bersama.
Status nyanyian seperti di atas sama halnya dengan nyanyian yang membangkitkan semangat perjuangan (jihad), atau nyanyian yang sya'irnya menunjukkan ketinggian ilmu para ulama dan keistimewaan mereka, atau juga nyanyian yang memuji saudara-saudara maupun sesama teman dengan cara menonjolkan sifat-sifat mulia yang mereka miliki, atau juga nyanyian yang melunakkan hati kaum Muslimin terhadap agama, atau yang mendorong mereka untuk berpegang teguh kepada ajaran-ajaran Islam dan bahaya yang akan menimpa orang yang melanggarnya. Begitu pula macam-macam nyanyian yang membicarakan tentang keindahan alam atau yang membicarakan tentang persoalan ilmu (pandai) menunggang kuda, dan sebagainya.

Fikih Duit

Oleh: Ibn Muchtar
Profil selengkapnya lihat di:
http://www.facebook.com/uly.gisnawati?v=wall&story_fbid=146798662029274&ref=notif¬if_t=feed_comment_reply#!/pages/Amin-Saefullah-Muchtar/116613611704734?ref=sgm

DAFTAR ISI - vi
PENDAHULUAN - 1
BAB I. KEPEMILIKAN HARTA DALAM ISLAM - 5
1. Konsep Harta - 5
A. Pengertian Harta dalam Islam - 5
B. Kedudukan dan Fungsi Harta dalam Islam - 6
2. Konsep Kepemilikan - 11
A. Pengertian Kepemilikan dalam Islam - 11
B. Jenis-jenis Kepemilikan – 12
C. Sebab-sebab Timbulnya Kepemilikan – 14
D. Sumber Kepemilikan – 15
E. Batas Kepemilikan – 18
F. Intervensi Negara – 23
G. Kepemilikan Umum (Public Property) – 34
H. Nasionalisasi – 42
I. Kepemilikan Terlarang - 50
BAB II. KRITERIA DAN JENIS AKAD HARTA KEKAYAAN - 52
1. Kriteria Akad - 52
A. Pengertian Akad - 55
B. Rukun Akad - 55
C. Orang Yang Melakukan Akad – 57
D. Ma’qud ‘alaih (Barang dan Harga) - 58
2. Jenis-Jenis Akad – 58
3. Prinsip Akad Syariah – 65
4. Karakteristik dan Keunikan Akad Syariah - 67
BAB III. PRINSIP DAN MEKANISME TRANSAKSI HARTA - 69
1. Prinsip Titipan (al-wadi’ah) – 70
A. Landasan Syariah - 70
B. Jenis-jenis Wadi’ah - 71
2. Prinsip Bagi Hasil – 72
A. Al-Musyarakah - 72
B. Al-Mudharabah - 74
3. Prinsip Jual-Beli – 76
A. Ba’i al-Murabahah - 76
B. Ba’i as-Salam - 77
C. Ba’i al-Istishna’ - 79
4. Prinsip Jasa – 80
A. Ar-Rahn - 80
B. Al-Waka;ah - 81
C. Al-Kafalah – 83
D. Al-Hawalah – 86
5. Prinsip Sewa (al-Ijarah) – 86
6. Non Profit (al-Qardh) – 87
BAB IV. JENIS LEMBAGA TRANSAKSI - 89
1. Pasar – 89
A. Pengertian dan Jenis Pasar - 89
B. Pasar Masa Jahiliyyah dan ISlam - 93
2. Lembaga Keuangan – 97
A. Jenis-jenis Lembaga Keuangan - 97
B. Sejarah dan Perkembangan Lembaga Keuangan Syariah – 126
C. Jenis Akad dalam Lembaga Keuangan Syariah – 139
D. Ciri Lembaga Keuangan Syariah - 139
BIBLIOGRAFI - 144




PENDAHULUAN

Islam memandang bahwa bumi merupakan amanah Allah kepada manusia sebagai khalifah-Nya agar digunakan dengan sebaik-baiknya bagi kesejahteraan bersama.
Untuk mencapai tujuan itu, Allah swt. memberikan petunjuk melalui para rasul-Nya. Petunjuk tersebut meliputi segala sesuatu yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya, baik akidah, akhlak, maupun amaliyah.
Dua komponen pertama, yakni akidah dan akhlak, bersifat konstan. Keduanya tidak mengalami perubahan yang signifikan dengan berbedanya waktu dan tempat. Sedangkan amaliyah senantiasa berubah sesuai dengan kebutuhan dan taraf peradaban umat yang berbeda-beda sesuai dengan masa Rasul masing-masing. Hal ini dinyatakan oleh Allah saw. melalui firmannya:
…لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا …
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.Q.s.Al-Maidah:48
Ayat ini dipertegas oleh Rasulullah saw. melalui sabdanya, "(artinya) Para nabi tak ubahnya bagaikan saudara sebapak, syariah mereka banyak tetapi akidahnya sama (mengesakan Allah)” H.r. Al-Bukhari.
Syariat Islam sebagai syariat yang dibawa oleh rasul terakhir mempunyai keunikan tersendiri. Syariat ini bukan saja kamil atau komprehensif, tetapi juga syamil atau universal. Karakter ini memang diperlukan, sebab tidak akan ada syariat lain yang datang untuk menypemilikrnakannya.
Kamil atau komprehensif berarti syariat Islam merangkum seluruh aspek kehidupan, baik ritual/ibadah maupun sosial/muamalah. Ibadah diperlukan untuk menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan Khalik-nya, yang sering diungkap dengan hablum minallah. Ibadah juga merupakan sarana yang efektif untuk mengingatkan secara kontinyu tugas manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi ini. Adapun mu’amalah ditetapkan untuk menjadi rules of the game atau “aturan main” bagi manusia dalam kehidupan sosial, yang sering diungkap dengan hablum minannas.
Syamil atau universal bermakna syariat Islam dapat diterapkan dalam setiap waktu dan tempat sampai hari kiamat nanti. Keuniversalan ini tampak jelas terutama pada bidang mu’amalah. Selain mempunyai cakupan luas dan fleksibel, mu’amalah tidak membeda-bedakan muslim dan non muslim. Sifat mu’amalah ini dimungkinkan karena Islam mengenal hal yang diistilahkan sebagai tsawabit (prinsip) dan mutagayyirat (variabel).
Syariat yang kamil dan syamil tersebut merupakan manhaj al-hayat (sistem kehidupan) yang bertujuan menjamin keselamatan manusia sepanjang hidupnya, baik menyangkut keselamatan agama, diri (jiwa-raga), akal, harta, serta keselamatan nasab atau keturunan. Hal-hal tersebut merupakan al-hajat ad-daruriyat (kebutuhan primer) bagi manusia dalam kehidupan ini.

Pelaksanaan manhaj al-hayat secara konsisten dalam segala aspek kehidupan akan melahirkan sebuah tatanan kehidupan yang baik. Sebuah tatanan yang disebut oleh Alquran sebagai hayatan thayyibah serta kebahagian di akhirat nanti.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perpemilikan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. Q.s. An-Nahl:97
Sebaliknya, menolak aturan itu atau sama sekali tidak memiliki keinginan untuk “membumikan” atau menerapkannya dalam kehidupan, akan melahirkan kekacauan dalam kehidupan dunia yang disebut oleh Alquran sebagai ma’isyatan dhanka atau kehidupan yang sempit serta kecelakaan di akhirat nanti.
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Q.s.Thaha:124
Salah satu ajaran Islam dalam bidang muamalah adalah aspek kepemilikan harta kekayaan. Tentang kepemilikan, Islam memiliki prinsip dasar: Milik Allah-lah segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi. Dengan demikian, harta kekayaan yang dikuasai oleh manusia, yang sering diklaim sebagai miliknya secara penuh, pada hakikatnya milik Allah. Status kepemilikan seseorang atas hartanya sekadar amanah, bukan kepemilikan sebenarnya. Karena itu, ia harus dikelola dengan pijakan aturan transaksi yang Allah gariskan. Ketika seseorang hendak mengembangkan hartanya, harus pula berada dalam rambu-rambu etika dan hukum yang disyariatkan Allah swt.
Sehubungan dengan itu, Islam cukup banyak memuat ajaran tentang transaksi harta kekayaan, baik dalam Alquran, Sunnah, maupun ijtihad para ulama. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian Islam dalam masalah transaksi harta kekayaan sangat besar. Alquran memakai puluhan terminologi jenis-jenis transaksi. Ungkapan tersebut bahkan diulang sebanyak ratusan kali. Terminologi jenis transaksi tersebut, antara lain adalah (1) tijarah, (2) bai’, (3) isytara, (4) dain (tadayan), (5) rizq, (6) riba, (7) dharb/mudharabah, (8) Syirkah, (9) Rahn, (10) ijarah/ujrah.
Demikian besarnya penekanan dan perhatian Islam pada masalah transaksi harta kekayaan, karena itu tidak mengherankan jika ribuan kitab Islam membahas konsep (pengertian) transaksi dalam berbagai jenisnya. Mulai dari yang sederhana di pasar-pasar becek hingga menyusup dalam panggung politik kenegaraan, sebab ternyata “nasib negara” juga banyak tergantung pada transaksi. Kitab-kitab fikih senantiasa membahas topik-topik mudharabah, musyarakah, musahamah, murabahah, ijarah, wadi’ah, wakalah, hawalah, kafalah, jialah, ba’i salam, istishna’, riba, dan ratusan konsep transaksi lainnya. Selain dalam kitab-kitab fikih, terdapat karya-karya ulama klasik yang sangat melimpah dan secara panjang lebar (luas) membahas konsep itu. Singkatnya, kajian-kajian transaksi yang dilakukan para ulama Islam klasik sangat melimpah, misalnya al-Umm karya Imam as-Syafi’i, al-Mabsuth karya Imam as-Sarkhasi, Majmu Fatawa (kumpulan fatwa) karya Ibnu Taimiyah. Sekitar 1/3 isi kitab tersebut berisi tentang kajian transaksi kepemilikan.
Dari paparan di atas jelaslah bahwa Islam memiliki ajaran tentang transaksi harta kekayaan yang luar biasa banyaknya. Sebagai konsekuensinya, kita harus mengamalkan ajaran tersebut agar keislaman kita menjadi kaffah (sempurna).
Dengan demikian, penerapan ajaran Islam tentang transaksi harta kekayaan dalam variabel-variabel (faktor atau unsur) yang sesuai dengan situasi dan kondisi bukanlah tugas sesaat, melainkan menjadi tugas kaum muslimin sepajang hayat. Dalam konteks inilah konsep akad syariah sebagai sebuah paradigma (kerangka berfikir) alternatif (pilihan di antara beberapa kemungkinan) harus terus disosialisasikan agar dapat diimplementasikan (dilaksanakan) secara praktis oleh kaum muslimin Indonesia pada abad sekarang. Karena diakui bahwa aplikasi (penerapan) sistem kepemilikan harta masih akan terus berevolusi dalam kerangka pencarian sistem alternatif yang lebih manusiawi daripada sistem-sistem sekuler (memisahkan dunia dari agama) dewasa ini.




BAB I
KEPEMILIKAN HARTA DALAM ISLAM

1. Konsep Harta
A. Pengertian Harta dalam Islam
Dalam bahasa Indonesia, seperti disebutkan pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), 1995, hal. 299, bahwa harta mengandung dua makna; (1) barang-barang (uang dsb) yang menjadi kekayaan; (2) kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai dan yang menurut hukum dimiliki perusahaan.
Sedangkan dalam bahasa Arab harta kekayaan disebut mal. Kata mal secara bahasa diambil dari kata mail artinya condong atau cenderung kepada salah satu di antara dua sisi. Secara istilah mal adalah harta atau barang-barang yang menjadi kekakayaan. Ada dua alasan mengapa harta disebut mal; (1) karena harta senantiasa menjadi daya tarik bagi manusia, yakni membuat manusia cenderung kepadanya. Demi harta, orang siap bersusah payah menanggung segala macam resiko dan kesulitan. Demi harta pula, orang menjadi kikir untuk berinfak dan tidak peduli terhadap kesusahan orang lain. (2) karena harta selamanya tidak tetap dan mudah lenyap.
Di dalam Alquran penyebutan harta diulang sebanyak 86 kali; 25 kali dalam bentuk mufrad (tunggal, yakni mal), dan 61 satu kali dalam bentuk jama’ (plural, banyak, yakni amwal). Sedangkan dilihat dari bentuk ungkapan, kata tersebut ditulis dalam dua bentuk; Pertama, tidak dinisbahkan atau tidak dihubungkan kepada manusia sebagai “pemilik”, dalam arti berdiri sendiri, seperti al-mal dan amwal. Bentuk pertama ditemukan sebanyak 23 kali, antara lain dalam surat al-Kahfi:46
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا …
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia...
Bentuk ungkapan seperti di atas untuk menunjukkan bahwa ada harta yang tidak menjadi objek kegiatan manusia, tetapi berpotensi untuk itu.
Kedua, dinisbahkan atau dihubungkan kepada manusia sebagai “pemilik”, seperti amwalal yatama (harta-harta anak yatim), amwalukum (harta-harta kamu), amwaluhum (harta-harta mereka), dan lain-lain. Bentuk kedua ditemukan sebanyak 54 kali, dengan kategori sebagai berikut:
(1) Amwal an-Nas disebut 4 kali, yaitu pada surat al-Baqarah:188; an-Nisa:161; at-Taubah:34; ar-Rum:39.
(2) Amwal al-Yatama disebut 1 kali, yaitu pada surat an-Nisa:10
(3) Amwalakum disebut 11 kali, yaitu pada surat al-Baqarah:188, 279; Ali Imran:186; An-Nisa:2, 5, 29; al-Anfal:28; Saba:37; Muhamad:36; al-Munafiqun:9; at-Taghabun:15.
(4) Amwaluna disebut 2 kali, yaitu pada surat Hud:87; al-Fath:11
(5) Amwalahum disebut 25 kali, yaitu pada surat al-Baqarah: 261, 262, 265, 274; Ali Imran: 10, 116; an-Nisa: 2, 6, 34, 38, 95; al-Anfal: 36, 72; at-Taubah: 20, 44, 55, 85, 103, 111; Yunus: 88; al-Ahzab: 27, adz-Dzariyat: 19; al-Mujadalah: 17; al-Hasyr: 8; al-Ma’arij: 24.
Bentuk ungkapan seperti di atas untuk menunjukkan harta yang menjadi objek kegiatan manusia.
Bila kita bandingkan kedua bentuk tersebut, ternyata bentuk kedua yang paling banyak digunakan dan dibicarakan oleh Alquran. Hal ini akan menimbulkan pertanyaan, mengapa bentuk kedua yg banyak dibicarakan oleh Alquran? Menurut hemat kami, hal itu sebagai dilalah isyarah (petunjuk secara isyarat) bahwa sudah seharusnya apabila harta yang menjadi objek kegiatan manusia, yang diatur oleh manusia, bukan sebaliknya manusia yg menjadi objek harta, diatur dan diperbudak harta.
B. Kedudukan dan Fungsi Harta Menurut Islam
Berbeda dengan dugaan sementara orang yang beranggapan bahwa Islam kurang menyambut baik kehadiran harta. Padahal tidak demikian sebenarnya, sebab pada hakikatnya pandangan Islam terhadap harta amat positif. Manusia diperintahkan Allah untuk mencari rezeki bukan hanya yang mencukupi kebutuhannya, tetapi Alquran memerintahkan untuk mencari apa yang diistilahkannya fadhl Allah, yang secara harfiah berarti "kelebihan yang bersumber dari Allah". Salah satu ayat yang menunjuk tentang itu adalah:
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah. Q.s. Al-Jumuah:10
Kelebihan tersebut dimaksudkan antara lain agar orang yang memperolehnya dapat melakukan ibadah secara spemilikrna serta mengulurkan tangan (memberikan bantuan) kepada pihak lain yang oleh karena satu dan lain sebab tidak berkecukupan.
Pandangan Alquran terhadap harta bertitik tolak dari pandangannya terhadap naluri manusia. Seperti diketahui, Alquran memperkenalkan agama Islam antara lain sebagai agama fitrah, dalam arti ajaran-ajarannya sejalan dengan jati diri manusia serta naluri positifnya. Dalam bidang harta Alquran secara tegas menyatakan:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah lading. Q.s.Ali imran:14
"Harta yang banyak" oleh Alquran disebut "khair" (Q.s. Al-Baqarah:180), yang arti harfiahnya adalah "kebaikan". Ini bukan saja berarti bahwa harta kekayaan adalah sesuatu yang dinilai baik, tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa perolehan dan penggunaannya harus pula dengan baik. Tanpa memperhatikan hal-hal tersebut, manusia akan mengalami kesengsaraan dalam hidupnya.
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا
Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. Q.s. Al-Kahfi:46
Ayat tersebut memiliki korelasi (hubungan timbal balik) dengan ayat sebelumnya (45) yang menyatakan bahwa kehidupan dunia itu fana, tidak abadi. Dari korelasi tersebut terdapat kesan kuat bahwa Allah hendak memberikan pesan kepada manusia agar tidak tertipu oleh harta, karena harta sebagai bagian dari kehidupan itu pun nasibnya sama tidak abadi, sehingga tidak dapat mengabadikan kehidupan manusia di dunia.
Sehubungan dengan daya tarik harta yang luar biasa dan seringkali menyilaukan mata dan menggiurkan hati, maka ada dua hal yang diperingatkan oleh Islam berkaitan dengan harta
(1) kedudukan harta
a. harta itu milik Allah yang dipinjamkan kepada Manusia. Allah berfirman:
آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah meminjamkan kepadamu. Q.s.Al-Hadid:7
…وَآتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آتَاكُمْ…
dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.Q.s.An-Nur:33
Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa dunia dan kekayaan alamnya, baik yang terkandung dalam bumi maupun yang tersebar di langit adalah milik Allah swt. Kesemuanya disediakan bagi kepentingan manusia guna mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu ibadah. Sedangkan manusia sebagai khalifah-Nya hanya mempunyai hak khilafat, yaitu diberi kewenangan mengolah bumi guna memperoleh manfaatnya sesuai dengan kehendak yang memberi kewenangan itu, yakni Allah. Dengan demikian, hak manusia atas barang atau jasa itu terbatas.
b. Harta itu sebagai fitnah (ujian). Allah berfirman:
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar Q.s.Al-Anfal:28
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْخَاسِرُونَ
Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi. Q.s. Al-Munafiqun:9
Yang dimaksud dengan fitnah adalah cobaan dan ujian, yaitu sesuatu yg berat hati untuk dilakukan atau ditinggalkan, diterima atau ditolak. Apakah dengan ujian itu manusia tetap berpegang teguh pada kebenaran atau justru kebatilan. Tetapkah melakukan kebaikan ataukah justru kejahatan. Dan salah satu di antara ujian, bahkan yang terberat bagi kaum mukmin adalah harta. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Rasululullah saw.
إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً وَإِنَّ فِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ
Sesungguhnya bagi setiap umat ada ujian. Dan sesungguhnya ujian (terberat) bagi umatku berupa harta. H.r. Ahmad
(2) Fungsi Harta
a. Harta itu sebagai qiyaman
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمْ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum spemilikrna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Q.s.An-Nisa:5
Yang dimaksud dengan qiyaman adalah "sarana pokok kehidupan". Ayat ini menunjukkan bahwa Islam memerintahkan untuk menggunakan harta itu pada tempatnya dan secara baik, serta tidak memboroskannya, bahkan memerintahkan untuk menjaga dan memeliharanya. Hingga Alquran melarang pemberian harta kepada pemiliknya sekalipun, apabila sang pemilik dinilai boros, atau tidak pandai mengurus hartanya secara baik. Dalam konteks ini, Alquran berpesan kepada mereka yang diberi amanat memelihara harta seseorang.
b. Harta itu sebagai sarana ibadah
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْمُفْلِحُونَ
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu. Dan barangsiapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Q.s.At-Taghabun:16
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
Dari Abu Huraerah, dari Nabi saw. beliau bersabda, “Kaya bukanlah karena kebanyakan harta benda, tetapi kaya itu adalah kaya jiwa” H.r.Al-Bukhari
Ibnu Qudamah berkata, ”Di antara fungsi harta bagi kepentingan agama adalah membelanjakannya untuk dirinya, baik itu dalam ibadah seperti haji dan jihad atau sebagai penopang untuk beribadah, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan–kebutuhan pokok lainnya. Jika kebutuhan-kebutuhan ini tidak terpenuhi, maka hati tidak akan dapat berkonsertasi untuk agama dan ibadah. Sesuatu yang merupakan syarat wajib bagi terlaksananya ibadah, maka sesuatu itu termasuk ibadah.”
Tatkala membuat perbandingan antara kefakiran dengan kekayaan, beliau berkata, ”Dunia itu harus diwaspadai bukan zatnya akan tetapi karena keberadaannya yang menjadi penghalang bagi tercapainya pendekatan kepada Allah. Kefakiran tercela bukan karena zatnya tetapi ia merupakan penghalang tercapainya pendekatan kepada Allah Swt. Betapa banyaknya orang kaya yang tidak disibukan oleh kakayaanya dari mengingat Allah, seperti Utsman bin Affan r.a. dan Abdurrahman bin auf. Betapa banyak juga orang fakir yang disibukan oleh kafakirannya, sehingga ia lupa kepada Allah Swt.”
Dalam konteks inilah Rasulullah sering berdoa agar dijauhkan dari kefakiran,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ وَعَذَابِ الْقَبْرِ
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekafiran, kefakiran, dan siksa kubur. H.r.An-Nasai
Dari doa ini tersirat suatu pesan bahwa kefakiran dapat menyebabkan seorang muslim terganggu pikiran, ketenangan, dan kekhusyukannya dalam beribadah kepada Allah ketika tersibukkan oleh kebutuhan-kebutuhan pokok yang tidak bisa terpenuhi. Dari kondisi fakir seperti ini kita dianjurkan untuk memohon perlindungan kepada Allah.
2. Konsep Kepemilikan
A. Pengertian Kepemilikan dalam Islam
Kepemilikan sebenarnya berasal dari bahasa Arab, dari akar kata malaka yang artinya memiliki. Dalam bahasa Arab milk berarti penguasaan seseorang terhadap sesuatu (barang atau harta), dan barang tersebut dalam genggamannya baik secara riil maupun secara hukum. Dimensi penguasaan ini direfleksikan dalam bentuk bahwa orang yang memiliki sesuatu barang berarti mempunyai kekuasaan terhadap barang tersebut, sehingga ia dapat mempergunakannya menurut kehendaknya dan tidak ada orang lain, baik itu secara individual maupun kelembagaan, yang dapat menghalanginya dari memanfaatkan barang yang dimilikinya itu. Contohnya Ahmad memiliki sepeda motor. Ini berarti bahwa sepeda motor itu dalam kekuasaan dan genggaman Ahmad. Dia bebas untuk memanfaatkannya dan orang lain tidak boleh menghalanginya dan merintanginya dalam menikmati sepeda motornya.
Para fuqaha (ahli fiqih) memberikan batasan-batasan syar'i "kepemilikan" dengan berbagai ungkapan yang berbeda namun memiliki pengertian yang sama. Yang paling terkenal adalah definisi kepemilikan yang mengatakan bahwa "milik" adalah hubungan khusus seseorang dengan sesuatu (barang) di mana orang lain terhalang untuk memasuki hubungan ini dan si pemiliknya itu berkuasa untuk memanfaatkannya selama tidak ada hambatan legal yang menghalanginya.
Batasan teknis ini dapat digambarkan sebagai berikut: Ketika ada orang yang mendapatkan suatu barang atau harta melalui caara-cara yang dibenarkan oleh syara', maka terjadilah suatu hubungan khusus antara barang tersebut dengan orang yang memperolehnya. Hubungan khusus yang dimiliki oleh orang yang memperoleh barang (harta) ini memungkinkannya untuk menikmati manfaatnya dan mempergunakannya sesuai dengan keinginannya selama ia tidak terhalang hambatan-hambatan syar'i, seperti gila, sakit ingatan, hilang akal, atau masih terlalu kecil sehingga belum paham memanfaatkan barang.
Dimensi lain dari hubungan khusus ini adalah bahwa orang lain, selain si pemiliknya, tidak berhak untuk memanfaatkan atau mempergunakannya untuk tujuan apapun kecuali si pemiliknya telah memberikan ijin, kuasa atau apa saja yang serupa dengan itu kepadanya. Dalam hukum Islam, si pemilik boleh saja seorang yang masih kecil, belum balig atau orang yang kurang waras atau gila, tetapi dalam hal memanfaatkan dan menggunakan barang-barang "miliknya" mereka terhalang oleh hambatan syara' yang timbul karena sifat-sifat kedewasaan tidak dimiliki. Meskipun demikian hal ini dapat diwakilkan kepada orang lain, seperti wali, washi (yang diberi wasiat) dan wakil (yang diberi kuasa untuk mewakili).
B. Jenis-jenis Kepemilikan
Sebelumnya perlu diterangkan di sini bahwa konsep Islam tentang kepemilikan memiliki karakteristik unik yang tidak ada pada sistem ekonomi yang lain. Kepemilikan manusia dalam Islam bersifat nisbi atau terikat dan bukan mutlak atau absolut. Pengertian nisbi di sini mengacu kepada kenyataan bahwa apa yang dimiliki manusia pada hakekatnya bukanlah kepemilikan yang sebenarnya (genuine, real). Sebab, dalam konsep Islam, yang memiliki segala sesuatu di dunia ini hanyalah Allah swt., Dialah Pemilik Tunggal jagat raya dengan segala isinya yang sebenarnya. Apa yang kini dimiliki oleh manusia pada hakekatnya adalah milik Allah yang untuk sementara waktu "diberikan" atau "dititipkan" kepada mereka, sedangkan pemilik riil tetap Allah swt. Dalam hal ini Allah berfirman:
آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah meminjamkan kepadamu. Q.s.Al-Hadid:7
Dalam ayat tersebut, az-Zamakhsyari menafsirkan bahwa harta kekayaan yang dikuasai manusia hakikatnya hanya milik Allah semata yang telah menciptakan dan menghadirkannya untuk manusia. Allah memberikan kesempatan dan kekuasaan kepada manusia untuk memanfaatkan dan memberdayakan segala harta kekayaan alam semesta demi kelangsungan hidup di dunia, manusia dijadikan sebagai wakil Allah untuk mengelola dan memberdayakannya.
Dengan demikian, dalam konsep Islam harta kekayaan yang dimiliki oleh setiap manusia mengandung konotasi amanah. Dalam konteks ini hubungan khusus yang terjalin antara barang dan pemiliknya tetap melahirkan dimensi kepenguasaan, kontrol dan kebebasan untuk memanfaatkan dan mempergunakannya sesuai dengan kehendaknya namun pemanfaatan dan penggunaan itu tunduk kepada aturan main yang ditentukan oleh Pemilik riil. Kesan ini dapat kita tangkap umpamanya dalam kewajiban mengeluarkan zakat (yang bersifat wajib) dan imbauan untuk berinfak, sedekah dan menyantuni orang-orang yang membutuhkan. Dalam hal ini antara lain Allah berfirman:
آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ
Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah meminjamkan kepadamu. Q.s.Al-Hadid:7
وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ
dan membanyakkan harta dan anak-anakmu...Q.s.Nuh:12
Berbagai penjelasan di atas menunjukkan bahwa konsep harta dalam Islam mempunyai karakteristik untuk mendialektikan nilai-nilai materialisme (pandangan hidup berdasarkan alam kebendaan) dan spiritualisme (pandangan hidup berdasarkan alam rohani), mendialogakan nilai-nilai ukhrawi dengan realitas kehidupan manusia, hubungan yang bersifat transedental dengan hubungan horizontal antar manusia di atas bumi. Memberikan pendidikan dan pengarahan kepada manusia untuk menciptakan sebuah komunitas kehidupan masyarakat yang dibangun atas nilai saling tolong-menolong dan kasih sayang antar individu, bukan hanya sekedar membentuk sebuah masyarakat yang hanya berorientas materi.
Dalam konteks kepemilikan nisbi, para fuqaha membagi jenis-jenis kepemilikan menjadi dua, yaitu kepemilikan tamm (spemilikrna) dan kepemilikan naaqish (kurang spemilikrna). Dua jenis kepemilikan ini mengacu kepada kenyataan bahwa manusia dalam kapasitasnya sebagai pemilik suatu barang dapat mempergunakan dan memanfaatkan susbstansinya saja, atau nilai gunanya saja atau kedua-duanya. Kepemilikan tamm adalah kepemilikan seseorang terhadap barang dan juga manfaatnya sekaligus. Sedangkan kepemilikan naaqish adalah yang hanya memiliki substansinya saja atau manfaatnya saja. Kedua-dua jenis kepemilikan ini akan memiliki konsekuensi hukum syariat yang berbeda-beda ketika memasuki akad (transaksi) muamalah seperti jual-beli, sewa, pinjam-meminjam dan lain-lain.
C. Sebab-sebab Timbulnya Kepemilikan
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kepemilikan dalam syariah ada empat macam yaitu:
1. penguasaan terhadap barang-barang yang diperbolehkan,
2. akad,
3. penggantian dan
4. turunan dari sesuatu yang dimiliki.
Penjelasan:
Yang dimaksud dengan barang-barang yang diperbolehkan di sini adalah barang (dapat juga berupa harta atau kekayaan) yang belum dimiliki oleh seseorang dan tidak ada larangan syara' untuk dimiliki, seperti air di sumbernya, rumput di padang, kayu dan pohon-pohon di belantara atau ikan di sungai dan di laut.
Kepemilikan jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
(a) Kepenguasaan ini merupakan sebab yang menimbulkan kepemilikan terhadap suatu barang yang sebelumnya tidak ada yang memilikinya.
(b) Proses kepemilikan ini adalah karena aksi praktis dan bukan karena ucapan seperti dalam akad.
Karena kepemilikan ini terjadi disebabkan aksi praktis, maka dua persyaratan di bawah ini mesti dipenuhi terlebih dahulu agar kepemilikan tersebut sah secara syar'i, yaitu (i) belum ada orang lain yang mendahului ke tempat barang tersebut untuk memperolehnya. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw, "Siapa yang lebih dahulu mendapatkan (suatu barang mubah) sebelum saudara muslim lainnya, maka barang itu miliknya." (ii) Orang yang lebih dahulu mendapatkan barang tersebut harus berniat untuk memilikinya, kalau tidak, maka barang itu tidak menjadi miliknya. Hal ini mengacu kepada sabda Rasulullah saw. bahwa segala perkara itu terkait dengan niat yang dikandungnya.
Bentuk-bentuk penguasaan terhadap barang yang diperbolehkan ini ada empat macam, yaitu :
(a) kepemilikan karena menghidupkan tanah mati.
(b) kepemilikan karena berburu atau memancing
(c) rumput atau kayu yang diambil dari padang penggembalaan atau hutan belantara yang tidak ada pemiliknya.
(d) penguasaan atas barang tambang.
Khusus untuk bentuk yang keempat ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan para fuqaha terutama antara madzhab Hanafiyah dan madzhab Malikiyah. Bagi Hanafiyah, hak kepemilikan barang tambang ada pada pemilik tanah. Sedangkan bagi Malikiyah kepemilikan barang tambang ada pada negara, karena semua tambang, menurut madzhab ini, tidak dapat dimiliki oleh seseorang dengan cara kepenguasaannya atas tanah atau tidak dapat dimiliki secara derivatif dari kepemilikan atas tanah.
Berdasar penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pandangan Islam terhadap harta kekayaan, baik dari aspek cara pendapatan maupun pendistribusian tunduk pada ketentuan syariat Allah, jauh dari rongrongan hawa nafsu dan semata-mata kepentingan pribadi.
D. Sumber Kepemilikan
Salah satu konsep yang ditetapkan Islam adalah bahwa harta itu tidak bisa melahirkan harta. Artinya kepemilikan harta itu merupakan hasil dari jerih payah yang dilakukan. Dengan kata lain harta bisa dimiliki dengan adanya usaha. Kepemilikan dalam arti mengambil manfaat atas harta yang dimiliki oleh manusia harus memenuhi beberapa kriteria yang telah ditetapkan syariat. Dengan kata lain, hak kepemilikan itu bukan lahir dari bentuk atau karakter dasar suatu benda, namun lahir dari ketetapan syara’, sehingga syara’ mempunyai otoritas penuh untuk menentukan kepemilikan dari manusia.
Berdasarkan kesepakatan ulama, ada beberapa media yang dapat digunakan untuk mendapatkan kepemilikan atas harta benda:
a. Berburu
Berburu merupakan cara klasik yang digunakan untuk bisa memiliki sesuatu. Berburu bisa dilakukan terhadap ikan, burung, atau hewan lainnya dengan syarat hewan tersebut belum ada yang memiliki. Ketika hewan buruan itu sudah kita dapatkan, secara otomatis kita mempunyai kepemilikan atas hewan tersebut.
b. Menghidupkan tanah
Rasul bersabda
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ وَلَيْسَ لِمُحْتَجِرٍ بَعْدَ ثَلاَثِ سِنِيْنَ
“Barang siapa menghidupkan tanah mati, maka tanah tersebut menjadi miliknya, dan hilang hak bagi muhtajir (yang memagari) setelah (menelantarkannya) selama masa tiga tahun”
Hadis itu mengandung arti bahwa hak kepemilikan tersebut akan hilang setelah melewati masa tiga tahun. Dan hal itu dapat dimaklumi mengingat 3 tahun merupakan masa produktif atas usahanya dalam pemberdayaan tanah mati itu. Setelah 3 tahun tidak diberdayakan kembali, maka tanah mati itu akan kembali kepada masyarakat, seperti disabdakan Rasulullah. Hikmah yang dapat dipetik adalah adanya kewajiban bagi kita untuk melakukan investasi dan memberdayakan segala harta yang kita miliki, sehingga akan menghasilkan manfaat yang dapat dirasakan oleh kita secara pribadi dan masyarakat luas.
c. Mengeluarkan hasil perut bumi, seperti hasil tambang emas dan perak. Khusus untuk minyak bumi dan batu bara sebagai sumber energi tidak boleh dimiliki secara pribadi, karena merupakan milik umum (public goods) yang pengelolaannya diamanatkan kepada pemerintah. Dalam hal ini Nabi saw. bersabda:
الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ


Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; rumput (padang), air, dan api”
d. Nasionalisasi atas aset-aset yang tidak bertuan dan tidak terdapat ahli waris yang memilikinya dan diserahkan kepada Baitul Mal (kas negara), atau tanah yang sudah tidak diberdayakan oleh pemiliknya, kesemua itu merupakan hak otoritas imam/pemerintah. Nabi pernah memberikan sebagian bumi yang mati dan tidak bertuan kepada Abu Bakar dan Umar atas jasanya dan usahanya untuk mengabdi bagi Islam.
Proses pengambilan aset (sita) itu disyaratkan adanya pemberdayaan dan usaha investasi. Pada zaman Rasul, beliau pernah memberikan sebuah tanah mati kepada Bilal bin al-Harits untuk diberdayakan. Ketika zaman kekhalifahan Umar, Umar berkata kepada Bilal:
إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم لَمْ يُقْطِعْكَ لِتَحْجُرَهُ عَنِ النَّاسِ ، إِنَّمَا أَقْطَعَكَ لِتَعْمَلَ ، فَخُذْ مِنْهَا مَا قَدَرْتَ عَلَى عَمَارَتِهِ وَرُدَّ الْبَاقِيْ
“Sesungguhnya Rasulullah saw. tidak memberikan tanah tersebut kepadamu untuk kamu pagari dari orang-orang (agar orang-orang tidak dapat mengambilnya), tetapi beliau memberikan kepadamu agar kamu menggarapnya. Maka, ambilah dari tanah tersebut yang mampu kamu kelola, dan yang lain (yang tidak dapat dikelola) kembalikanlah (demi kemaslahatan umat)” H.r. Al-Qasim bin Salam
e. Warisan
Sistem pembagian warisan dalam Islam telah ditentukan secara detail, sebagai sebuah sistem untuk mengembalikan semua hak kepada yang berwenang.
f. Bekerja dan mendapatkan upah
Islam sangat memuliakan bekerja. Bekerja yang ditumbuhi dengan semangat profesionalisme dan penuh dengan tanggung jawab, Allah berfirman (artinya): “Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu’.” (Q.s.At-Taubah: 105),
g. Hak bagi orang-orang yang membutuhkan atas dana zakat, Allah berfirman (artinya): ”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdakaan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan” Q.s. At-Taubah:60
E. Batas Kepemilikan
Ada pertanyaan mendasar atas kepemilikan manusia, apakah kepemilikan itu bersifat mutlak dan tanpa batas? Dalam hal ini terdapat perbedaan mendasar antara kepemilikan yang ada dalam sistem kapitalis dengan sistem Islam. Dalam sistem kapitalis, setiap individu memiliki kebebasan penuh tanpa batas untuk memiliki aset-aset, mendapatkan laba dari semua jenis usaha atau bahkan melakukan proses eksploitasi. Dalam Islam, proses kepemilikan tersebut tetap harus memperhatikan kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat, karena kepemilikan atas harta benda hanyalah sebuah titipan yang harus dijaga untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat luas. Namun dalam proses aplikasi kaidah tersebut terdapat sedikit perbedaan di antara para ulama. Abu Dzar al-Ghifari berpendapat untuk menafkahkan semua harta yang dimiliki setelah dikurangi untuk memenuhi kebutuhan pokok selama setahun. Sedangkan dalam kasus Abdurrahman akan bepergian, beliau diperintahkan untuk menafkahi dahulu keluarganya, memberikan sesuatu pada para peminta-minta, memberikan makan pada orang miskin, serta menjamin kebutuhan para ibnu sabil.
Maka dapat dipahami dalam petunjuk Islam bahwa sesungguhnya manusia tidak berhak atas harta benda yang dimiliki kecuali sekadar untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan sudah seharusnya ia membebaskan atas kelebihan harta yang dimilikinya demi kemaslahatan hidup masyarakat. Ibnu Hazm berkata (artinya), “Tidak dihalalkan atas lahan pertanian kecuali tiga perkara; memperdayakan tanah tersebut dengan menggunakan alat, tenaga, bibit, dan hewannya sendiri; menyuruh orang lain untuk memberdayakan dan ia tidak mengambil sedikitpun dari hasil yang didapatkan. Dan jika ia bekerja sama/bersukutu dengan orang lain dalam tenaga, alat, bibit, ataupun hewan dan tidak memungut sewa atas tanahnya, maka itulah terbaik; dan adakalanya ia menyerahkan lahan pertanian berikut bibit, alat, atau hewannya kepada orang lain untuk menggarapnya, namun setelah mendapatkan hasil ia mendapatkan bagian setengah atau sepertiga, dan inilah yang diperbolehkan”
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa Ibnu Hazm hanya memperbolehkan konsep muzaara’ah (menyewakan tanah kepada orang lain dengan imbalan setengah atau sepertiga dari hasil panen) atas lahan pertanian, dan jika lahan pertanian tersebut mengalami gagal panen, maka oarang yang menyewakan tidak mendapatkan apapun.
Dalam kitab Shahih Bukhari terdapat bab yang membahas tentang penyewaan lahan pertanian. Diriwayatkan dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah bersabda:
مَنْ كَانَتْ لَهُ أَرْضٌ فَلْيَزْرَعْهَا أَوْ لِيَمْنَحْهَا أَخَاهُ فَإِنْ أَبَى فَلْيُمْسِكْ أَرْضَهُ
“Barang siapa memiliki lahan pertanian, maka harus diberdayakan, atau diberikan kepada saudaranya untuk diberdayakan. Jika ia menolak, maka harus tetap dipegang teguh dan diberdayakan” H.r. Al-Bukhari
Dalam memahami hadis ini terdapat perbedaan di antara ulama, kemudian mereka merujuk kepada pendapat Ibnu Abbas
أَنْ يَمْنَحَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْخُذَ شَيْئًا مَعْلُومًا
“Memberikan lahan tersebut kepada saudaranya itu lebih baik daripada meminta sejumlah imbalan atasnya”
Dengan ini maka sesungguhnya Rasul tidak pernah mengharamkan muzaara’ah, namun Rasul memerintahkan untuk berbuat kasih sayang dan belas kasihan terhadap sesama muslim. Diriwayatkan, telah terjadi keributan pada masa Rasul tentang muzaara’ah kemudian Rasul untuk menyewakan lahan pertanian tersebut dengan jumlah uang tertentu dari emas atau perak, dengan tujuan untuk menghilangkan perselisihan. Kisah ini menguatkan tentang adanya praktek muzaara’ah pada zaman Rasul dan Khulafaur Rasyidin, dan tidak ada satu pun pendapat yang mengharamkan sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Hazm.
Terdapat sebagian ulama yang berpendapat bahwa ijarah hanyalah sebuah pekerjaan yang mendapatkan kompensasi (imbalan) karena adanya unsur penantian dalam batas waktu tertentu, dan hal ini identik dengan riba. Atas pendapat ini, Prof. Dr. Muhammad Abu Zahrah berpendapat (artinya), “Dalam ijarah terdapat obyek sewa yang dimiliki orang yang menyewakan kepada penyewa, dalam hal ini penyewa memiliki kekhususan dan diperbolehkan untuk memberdayakannya dengan segala cara. Obyek sewa yang diserahkan dalam ijarah berbeda dengan uang. Uang tidak bisa diberdayakan atas zatnya, namun harus dibelanjakan dalam bisnis yang menguntungkan. Agar uang dapat menghasilkan sesuatu maka dibutuhkan keahlian seseorang untuk melakukan investasi atasnya. Bukan dengan zatnya kita bisa memberdayakannya. Berbeda dengan lahan pertanian, kita bisa memberdayakannya atas zatnya disertai dengan usaha sang pekerja. Konsep sewa lahan pertanian lebih mendekati kepada proses pemberdayaan lahan. Bagian yang diterima orang yang menyewakan lahan dalam ijarah merupakan bagian dari apa yang dihasilkan oleh lahan pertanian. Jika hal ini diidentikkan dengan pekerjaan yang dijalankan hanya dengan menunggu waktu, maka penyerupaannya lebih kuat pada pekerjaan dengan jalan pemberdayaan lahan”
Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyyah sepakat dalam berpendapat bahwa ketika lahan pertanian tidak bisa menghasilkan sesuatu (gagal panen) karena adanya bencana alam atau diserang hama, maka pihak yang menyewakan tidak mendapatkan upah apapun, dan hal ini yang dijadikan sandaran bagi hukum positif di Mesir untuk menumbuhkan rasa saling mengasihi di antara sesama, kemudian Allah tingkatkan perasaan tersebut pada level persaudaraan di antara sesama muslim dalam firman-Nya (artinya): “Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara” (Q.s. al-Hujurat: 10), dan Rasul bersabda (artinya): “Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain”. Konsep persaudaraan ini pernah terjadi dalam masyarakat Islam pada awal perkembangannya dan dimuliakan oleh Allah dalam firmannya (artinya): “Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)” (Q.s. al-Hasyr:9). Untuk merealisasikan nilai saling tolong- menolong itu, pada masa sahabat terus dilakukan aktualisasi sabda Nabi (artinya): “Seorang mukmin atas mukmin yang lain bagaikan bangunan yang saling menguatkan satu sama lainnya“ dan”perumpamaan di antara orang-orang mukmin dalam rasa kasih sayang dan kecintaannya seperti jasad yang satu, ketika salah satu anggota tubuh merasakan sakit, maka seluruh anggota tubuh akan terasa panas dan tidak bisa tidur” (H.r. Al-Bukhari dan lain-lain)
Dewasa ini, apakah kita hidup dalam masyarakat seperti pada masa Rasul dan para sahabat? Apakah masih kita dapatkan orang-orang yang telah diberi anugerah oleh Allah berupa harta kekayaan untuk melakukan infaq atas sebagian harta mereka kepada orang-orang yang lemah, atau sebaliknya mereka sebagai wakil Allah mengambil dan memakan hak-hak mereka dalam kehidupan? Islam mengajak umatnya untuk mendahulukan kemaslahatan masyarakat daripada kemaslahatan individu, yaitu ketika sesuatu menimbulkan kemadlaratan bagi individu namun mendatangkan manfaat yang lebih bagi masyarakat, maka sesuatu itu harus dijalankan. Karena jika ditinggalkan akan mendatangkan kemadlaratan yang lebih besar dalam kehidupan. Salah satu kaidah yang ditetapkan Islam adalah: mengambil kemaslahatan dan mencegah terjadinya kerusakan. Setiap perbuatan yang dapat mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat dan dapat menghilangkan kemadlaratan yang bersifat umum, maka wajib hukumnya untuk dijalankan oleh negara. Namun jika hal itu lebih banyak mendatangkan kemadlaratan, maka haram untuk dilakukan.
Kefakiran dapat menarik seseorang untuk melakukan tindak kriminal dan menurunkan nilai-nilai moral dari diri mereka, maka sudah menjadi kewajiban negara untuk memeranginya, ataupun sifat tarf yang selalu menghambur-hamburkan kekayaan yang sangat dibenci oleh Allah (artinya): “Dan golongan kiri, siapakah golongan kiri itu. Dalam (siksaan) angin yang amat panas dan air yang panas mendidih, dan dalam naungan asap yang hitam. Tidak sejuk dan tidak menyenangkan, sesungguhnya mereka sebelum itu hidup bermewah-mewahan.” (Q.s. al-Waqi’ah: 41-45)
Sifat tafr itu akan mengakibatkan antara lain bertumpuknya harta pada golongan tertentu. Hal ini akan mendorong terjadinya kenaikan harga, komoditas yang di-supply (ditawarkan) di pasaran lebih sedikit dari purchasing power (daya beli) masyarakat. Kelebihan harta tersebut, biasanya hanya akan digunakan pada jalan-jalan dosa atau kesenangan yang diharamkan. Maka tidak ada keharaman bagi negara untuk melakukan penarikan atas harta tersebut dan digunakan untuk kemanfaatan bagi masyarakat, dan merupakan dosa bagi negara jika membiarkan mereka membelanjakan harta itu dalam jalan dan media dosa, seperti judi dan lainnya. Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Muhalla berkata (artinya): “Barang siapa yang merasa haus dan khawatir akan mati, maka diwajibkan atasnya untuk mengambil air yang ia temukan walaupun ia harus dibunuh karena pengambilan itu, dan tidak dihalalkan bagi seorang muslim yang dalam keadaan lapar untuk memakan bangkai atau daging babi jika ia masih mendapatkan kelebihan makanan saudaranya, karena sudah menjadi kewajiban bagi orang-orang yang mempunyai makanan untuk memberi makanan kepada orang yang sedang lapar, jika hal itu dilakukan maka orang tersebut tidak akan butuh terhadap bangkai dan daging babi. Atas pencurian yang dilakukan ia berhak dibunuh, namun jika ia dibunuh, maka orang yang membunuh harus mendapatkan qishas, dan bagi siapa yang menghalangi qishas, maka layak untuk mendapatkan laknat Allah, dan termasuk golongan yang melampaui batas”
Allah berfirman (artinya): “Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah” (Q.s. al-Hujurat:9). Orang yang menghalangi orang lain untuk mendapatkan hak, maka orang tersebut telah melampaui batas atas hak-hak orang yang berhak menerimanya.
Atas dasar tersebut, had (hukum) potong tangan atas pencurian tidak akan dilaksanakan kecuali terhadap orang yang telah tercukupi kebutuhan pokok mereka, baik dipenuhi dengan hasil jerih payahnya atau ditanggung oleh orang lain, baik keluarga, ahli waris, atau mendapatkan zakat dari Baitul Mal. Diriwayatkan dari Rasyid bin Khattab, dia didatangi dua pemuda Ibnu Khatib bin Abi Bal’ah yang telah melakukan pencurian unta. Beliau membiarkan mereka bercerita, kemudian memutuskan kepada sayyid-nya (majikan) untuk mengganti unta tersebut dengan harga dua kali lipat. Ketika dilakukan penelitian masalah, ternyata majikan mereka tidak memberikan jatah yang cukup bagi kebutuhan pokok mereka. Demikian pula had itu tidak dijalankan ketika terjadi paceklik.
Dalam kitab al-Takaful al-Ijtima’i Muhammad Abu Zahrah mengatakan (artinya): “Suatu yang kami tetapkan dalam pembahasan ini adalah bahwa sesungguhnya hak kepemilikan yang dimiliki oleh seseorang dalam kondisi tertentu dapat berkurang atau bertambah, terutama dalam perjalanan dan kondisi paceklik”
Sehubungan dengan itu, Nabi bersabda:
مَنْ كَانَ مَعَهُ فَضْلُ ظَهْرٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لَا ظَهْرَ لَهُ وَمَنْ كَانَ لَهُ فَضْلٌ مِنْ زَادٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لَا زَادَ لَهُ قَالَ فَذَكَرَ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ مَا ذَكَرَ حَتَّى رَأَيْنَا أَنَّهُ لَا حَقَّ لِأَحَدٍ مِنَّا فِي فَضْلٍ
“Barang siapa mempunyai kelebihan atas kendaraan yang dimiliki, maka berikanlah tumpangan kepada orang lain yang tidak punya kendaran, dan barang siapa mempunyai kelebihan atas bekal yang dimiliki, maka berikanlah kepada orang yang tidak mempunyai bekal” Kata Abu Said, “Lalu beliau menyebut jenis-jenis harta, sehingga kita memandang bahwa kita tidak berhak memiliki harta (selebih dari keperluan untuk mencukupi kebutuhan)”
Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab terjadi paceklik yang luar biasa selama satu tahun, dalam kondisi ini sesama muslim saling membantu dan menopang kebutuhan satu sama lain, dari wilayah barat samapai wilayah timur, untuk menghilangkan segala kesulitan yang disebabkan oleh paceklik di wilayah Jazirah Arab. Setelah masa paceklik selesai, Umar berkata:
لَوْ أَصَابَ النَّاسَ السَّنَةُ لَأَدْخَلْت عَلَى أَهْلِ كُلِّ بَيْتٍ مِثْلَهُمْ فَإِنَّ النَّاسَ لَمْ يَهْلِكُوا عَلَى أَنْصَافِ بُطُونِهِمْ
“Jika paceklik ini menimpa orang-orang selama setahun, maka aku akan masukkan (gabungkan) setiap keluarga pada setiap keluarga (yang lain), karena orang-orang tidak boleh celaka (mati) karena masalah kelaparan” Bada’I as-Shani’, VIII:212 Dalam redaksi lain:
لَوْ لَمْ أَجِدْ لِلنَّاسِ مَا يَسَعُهُمْ إِلاَّ أَنْ أُدْخِلَ عَلَى أَهْلِ كُلِّ بَيْتٍ عِدَّتُهُمْ فَيُقَاسِمُوْهُمْ أَنْصَافِ بُطُونِهِمْ فَعَلْتُ فَإِنَّهم لَنْ يَهْلِكُوا عَلَى أَنْصَافِ بُطُونِهِمْ
”Jika aku tidak menemukan sesuatu yang akan mencukupi kebutuhan orang-orang kecuali (dengan cara) aku memasukkan pada setiap keluarga yang seperti mereka (keluarga yang lain), lalu mereka (keluarga) membagi kepada mereka hak-hak perut mereka (menjadi tanggungan keluarga itu), pasti (hal itu) aku lakukan, karena mereka tidak boleh celaka karena hak-hak perut mereka (meninggal karena kelaparan)”
Berdasarkan riwayat ini, dapat dikatakan bahwa adanya kepemilikan pribadi dan kebebasannya bukan berarti menafikan terhadap hak masyarakat atas kepemilikan tersebut.
F. Intervensi Negara
Kepemilikan yang dimiliki oleh setiap individu tidaklah bersifat mutlak, namun kepemilikan itu dibatasi oleh beberapa hal. Dalam situasi dan kondisi tertentu, negara mempunyai hak intervensi (upaya campur tangan) terhadap kepemilikan, yaitu hak untuk membatasi atau mengatur kepemilikan itu dalam kehidupan masyarakat. Negara mempunyai hak intervensi dalam kondisi sebagai berikut:
a. Sistem Pembagian Harta Warisan
Dalam Islam sistem pembagian harta warisan telah ditentukan dan diisyaratkan oleh Allah, dalam sistem ini semua harta yang ditinggalkan oleh orang yang mewariskan akan dibagikan sesuai dengan hak masing-masing, hal ini bertujuan agar harta itu tidak berkumpul pada segelintir orang. Dalam pemabagian harta warisan, akan menyeluruh terhadap semua ahli waris yang berhak menerima, pembagian ini tidak hanya dikhususkan untuk sebagian ahli waris saja, misal anak lelaki yang tertua sebagaimana yang terjadi di Inggris, namun akan dibagikan semua kepada ahli waris sesuai dengan porsinya masing-masing.
Sistem waris merupakan salah satu sumber kepemilikan yang alami, kepemilikan yang bersifat given sesuai dengan ketentuan Allah. Dengan adanya sistem waris, mendorong bagi setiap orang tua untuk giat melakukan usaha guna mendapatkan upah/harta yang mencukupi agar bisa membina rumah tangga dan kehidupan yang mulia. Jika terdapat kelebiahan atas harta yang dimiliki, akan disimpan dan diwariskan kepada ahli waris mereka, guna sebagai jaminan atas kehidupan mereka diwaktu mendatang, tentu hal ini akan berdampak positif bagi masyarakat.
Dengan adanya sistem pembagian harta warisan, hal ini sesuai dengan fitrah manusia, menjawab keinginan fitrah jiwa manusia untuk selalu menunjukan adanya rasa cinta orang tua terhadap anak cucumereka. Rasa cinta dan keinginan untuk melestarikan keturunan mereka diatas bumi, dengan adanya sistem waris, maka keinginan itu dapat terjembatani.
Hal itu merupakan fitrah yang kuat yang telah dititipkan oleh Allah kepada anak cucu Adam untuk mengembangkan kehidupan serta memberdayakan dan melewati kehidupan di atas bumi sesuai dengan batas yang telah ditentukan. Dengan adanya warisan, terdapat nilai saling tolong menolong antara generasi terdahulu dengan mendatang, terdapat tali persaudaraan dan kasih sayang di antara mereka untuk meneruskan misi kehidupan.
Sebuah fitrah yang dilahirkan dari keinginan yang kuat untuk cinta terhadap sebuah kepemilikan dan kespemilikrnaannya, setiap usaha yang dilakukan untuk menghilangkan fitrah ini sama halnya dengan berkeinginan untuk menghilangkan fitrah jiwa manusia, dan pada akhirnya akan mengalami kegagalan. Mungkin pada kondisi tertentu mengalami keberhasilan, namun tetap pada akhirnya manusia akan kembali sesuai dengan fitrah yang telah ditetapkan oleh Allah atas kehidupan mereka. Solusi yang mungkin dilakukan bukan dengan berkeinginan untuk menghilangkan fitrah tersebut, namun berusaha untuk meluruskan dan mengarahkannya dengan petunjuk nilai-nilai keimanan kepada jalan yang lurus, dari sifat iri ataupun dengki, serta dibangun atas rasa cinta untuk mewujudkan kemaslahatan dan petunjuk hidup yang menyelamatkan.
Dengan tidak mengindahkan sistem warisan berarti telah melakukan penghinaan atas bangunan rumah tangga dan melemahkan tali persaudaraan diantara mereka. Keluarga merupakan pondasi pertama bagi terbangunya sebuah masyarakat, sebuah tempat untuk mendidik anak terhadap beberapa nilai, etika, dan akhlak sebagai bekal untuk menumbuhkan rasa sosial dalam masyarakat. Masyarakat tidak akan bisa berdiri tegak tanpa adanya usaha untuk melakukan perbaikan didalam setiap keluarga, keluarga merupakan batu pertama bagi pendidikan anak. Seorang anak tidak akan mengenal makna rasa saling tolong menolong dan saling mengasihi, jika dalam keluarganya tidak diajarkan hal yang demikian. Dalam keluarga yang penuh dengan nilai kasih sayang, secara otomatis akan melahirkan seorang anak yang peka terhadap nilai-nilai tersebut.
Allah sangat konsen terhadap warisan, sehingga Allah menjelaskan secara langsung dan sangat detail. Mungkin dunia telah mengakui bahwa hukum waris yang terbaik dan paling spemilikrna adalah hukum waris dalam islam, tidak diragukan bahwa hukum waris ini ditentukan secara langsung dari Allah yang dapat mengetahui fitrah manusia ciptaan-Nya. Dalam membahas warisan Allah mengawalinya dengan ayat sebagai berikut (arinya):”Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perpemilikan” (Q.s.an-Nisaa:11) dalam ayat lain yang menjawab pertanyaan yang diajukan kepada Nabi (artinya): “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah/seseorang mati yang tidak meninggalkan ayah dan anak), katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah” (Q.s. an-Nisaa:176)
Berdasarkan ayat-ayat di atas, Allah bermaksud mengukuhkan tentang pentingnya sistem waris dalam kehidupan manusia. Dalam sistem waris, Allah berkehendak untuk menisbahkan sistem ini pada zat Allah yang Maha Mulia, dan Allah memberikan ancaman kepada orang yang berusaha untuk merusak dan tidak mau menerapkan sistem tersebut dalm kehidupan, dengan sebuah azab yang menghinakan. Dalam pandangan Allah, orang itu berusaha untuk merobohkan sebuah asas bagi terciptanya public security (jaminan sosial) dalam Islam. Sistem waris merupakan hubungan untuk saling membantu sesama anggota keluarga. Dengan adanya jaminan ini akan memperkuat bangunan keluarga, sesama anggota keluarga bisa saling membantu dan tolong menolong, bagi orang yang kuat harus melindungi keluarga yang lemah, orang yang kaya membantu yang miskin. Islam mengajarkan bagi orang fakir yang tidak mampu harus ditopang nafkahnya dari anggota keluarga yang mempunyai kelebihan harta, harta itu bisa diambilkan dari warisan jika masih bisa untuk menutup segala keperluan.
Solidaritas sosial yang dibangun dengan instrumen warisan berlandaskan atas nilai-nilai Islam yang telah diturunkan oleh Allah dan sesuai dengan fitrah dasar yang terdapat dalam jiwa manusia. Jika solidaritas tersebut telah terbentuk dalam kalangan keluarga, maka tidak akan didapati suatu sikap untuk saling menyia-nyiakan dan tidak memperhatikan satu sama lainnya, fenomena ini merupakan langkah awal bagi terciptanya sebuah solidaritas sosial dalam cakupan yang lebih besar, yaitu masyarakat. Jika sikap untuk peduli terhadap orang lain ditemukan lemah dalam suatu keluarga, maka mungkin sifat dan sikap itu bisa ditumbuhkan dengan membentuk kumpulan-kumpulan lokal tertentu, dengan kata lain, membentuk sebuah halaqah-halqah yang dapat dijadikan sebagai sarana intermediasi untuk menentukannya. Diharapkan, dengan adanya halaqah tersebut, masing-masing anggota satu sama lain saling membantu dan menolong untuk menyelesaikan dan mengentaskan beban yang ada. Masuk dalam kelompok sosial ini adalah hadirnya Lembaga Swadaya Masyarakat yang konsen terhadap problem sosial masyarakat. Jika kedua langkah seperti dijelaskan belum mampu untuk mewujudkan keperluan dan solidaritas sosial, maka datanglah tugas negara untuk berupaya membangkitkannya dengan tetap terdapat kerja sama antara keluarga dan kelompok-kelompok sosial yang ada, dengan demikian maka beban untuk menanggung beban sosial tidak terfokus pada lembaga-lembaga pemerintah dengan alasan sebagai berikut: pertama, lembaga sosial masyarakat yang relatif kecil akan mampu lebih cepat dan intensif untuk ikut menanggung beban sosial masyarakat secara langsung daripada lembaga pemerintah yang relatif besar, masalah sosial akan relatif cepat ditangani dan diselesaikan. Kedua, solidaritas yang terbentuk dari keluarga dan halaqah-halaqah yang relatif kecil, akan mampu menciptakan sebuah proses yang intensif terhadap proses internalisasi nilai-nilai kebersamaan dan saling tolong menolong, daripada proses yang dilakukan secara struktural oleh pemerintah. Ketiga, solidaritas yang terbentuk dari keluarga, akan memberikan dampak yang alami bagi jiwa manusia untuk senantiasa peduli dan mau untuk memperhatikan nasib kerabat dan keturunan yang dimiliki. Upaya yang dilakukan oleh setiap individu akan memberikan dampak yang positif kepada keluarga dan kerabatnya, dengan demikian akan mendorong masing-masing individu untuk saling meningkatkan upaya guna mewujudkan sebuah solidaritas sosial. Dampak yang dapat dirasakan, solidaritas itu akan muncul dengan sendirinya dalam kehidupan masyarakat, dalam pandangan Islam setiap individu merupakan pilar bagi kehidupan masyarakat, dan adapun yang dimiliki dan dihasilkan oleh mereka akan mempunyai dampak terhadap masyarakat secara luas. Dengan demikian, Islam tidak akan menerima kehadiran orang yang tidak mau untuk menumbuhkan rasa solidaritas dalam kehidupannya, karena hal itu akan membentuk sebuah hubungan individu yang tidak mampu untuk mewujudkan solidaritas sosial tersebut dalam kehidupan masyarakat. Relevansinya dengan hukum waris, seorang pewaris akan mewariskan seluruh hartanya kepada ahli waris, kehidupan ahli waris akan lebih terjamin dengan adanya harta warisan, pewaris merupakan orang yang menanggung beban atas ahli waris, ia berusaha untuk peduli dan memperhatikan kehidupan ahli waris di masa mendatang, sehingga akan terbentuk sebuah solidaritas yang dibentuk oleh pewaris terhadap ahli waris. Kemudian pada akhirnya, hal itu akan mempunyai dampak yang positif terhadap kehidupan masyarakat dan akan terbentuk sebuah solidaritas sosial.
Dalam hukum waris Islam, tirkah (harta peninggalan) orang yang telah meninggal, telah ditentukan dan dibagi kepada ahli waris/kerabat dengan bagian-bagian yang telah ditentukan oleh Allah, dengan tujuan harta tersebut bisa dimanfaatkan dalam kehidupan. Harta warisan itu dibagikan kepada seluruh kerabat yang berhak, dan menghindari terjadinya pengumpulan atau pemusatan harta hanya pada kelompok atau golongan orang-orang tertentu. Dengan instrumen waris tersebut, harta yang ada berusaha didistribusikan secara merata antara anggota keluarga, hukum waris akan memberikan warisan kepada anak laki-laki, anak perpemilikan, bapak, ibu, kakek, nenek, suami, istri, saudara laki-laki, saudara perpemilikan, paman, dan lain sebagainya. Masing-masing kerabat berhak atas harta kerabat yang lain dan sebaliknya. Dengan keutamaan hukum waris ini, harata tidak akan berputar pada golongan tertentu, harta akan dapat diakses dan dimanfaatkan oleh banyak pihak, akhirnya akan sedikit mengurangi kesenjangan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Tidak akan ditemukan perbedaan yang cukup tinggi antara orang yang memiliki harta dengan orang yang miskin papa, sehingga akan tercipta sebuah keseimbangan dalam kehidupan.
Untuk membumikan ajaran waris tersebut, Allah akan memberikan adzab yang sangat pedih terhadap orang-orang yang berusaha merusak tatanan dan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan Allah dalam warisan, Allah berfirman (artinya): “(hukum-hukum) itu adalah ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasulnya, niscaya Allah memasukannya kedalam surga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal didalamnya, dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukannya ke dalam api neraka sedang ia kekal didalamnya, dan baginya siksa yang menghinakan” (Q.s. an-Nisaa: 13-14).
Sebagian besar ulama fiqih sepakat bahwa wasiat tidak boleh diberikan kepada ahli waris, karena dikhawatirkan akan bisa merusak tatanan dan kaidah hukum waris dimana ahli waris tersebut akan mendapatkan bagian yang lebih besar dari apa yang telah digariskan oleh syari’at. Rasulullah bersabda (artinya): “Sesungguhnya Allah telah memberikan masing-masing hak kepada orang yang berhak menerimanya, maka tidak diperbolehkan wasiat kepada ahli waris” H.r. at-Tirmidzi. Bagi ulama yang membolehkan adanya wasiat, maka dibatasi hanya sepertiga dari harta warisan. Adapun wasiat yang diberikan bukan kepada ahli warist, maka diperbolehkan berdasarkan ijma’ ulama. Hal itu dimaksudkan untuk mempermudah bagi orang yang ingin berbuat kebajikan. Namun tetap wasiat tersebut dibatasi dengan sebuah ketentuan agar hal itu tidak merusak kaidah-kaidah/hukum waris. Begitulah ketentuan Islam yang berusaha untuk menjaga hukum waris dan eksistensinya dalam kehidupan masyarakat, menjaga agar harta itu tidak dipergunakan sesuai dengan hawa nafsu dan keinginan pewaris yang dapat mendatangkan kerusakan dalam tatanan hidup sosial masyarakat.
Untuk tetap mempertahankan hukum-hukum waris, sebagian besar ulama fiqh berpendapat akan batalnya wakaf ahli, yaitu mewakafkan sebagian hartanya setelah ia meninggal dunia kepada seseorang atau lebih dari kerabatnya untuk dikelola dan diberdayakan sesuai dengan keinginan pihak wakif (orang yang mewakafkan). Karena hal ini disinyalir akan dapat merusak ketentuan-ketentuan waris dan akan menimbulkan perputaran harta pada golongan tertentu, dan harta tidak didistribusikan sebagaimana mestinya. Ulama yang berpendapat tentang hal ini diantaranya Ibnu Abbas, diriwayatkan dari beliau, Rasulullah bersabda (artinya): “Tidak boleh menahan harta dari ketentuan-ketentuan Allah (waris)” Maksudnya, tidak boleh menahan harta orang yang telah meninggal untuk tidak dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris) sesuai dengan ketentuan Allah.
Hukum waris merupakan hukum Allah yang paling rinci, ketentuan waris itu ditetapkan Allah dalam firman-Nya (artinya): “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perpemilikan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (Q.s. an-Nisaa:11-12)
Wasiat tetap diperbolehkan dalam hukum Islam, namun sepanjang tidak bertentangan dengan tatanan yang telah diatur dalam hukum waris. Orang yang berkeinginan untuk mewasiatkan sebagian hartanya demi sebuah kepentingan umum, tetap diperbolehkan sepanjang tidak melanggar ketentuan yang ada. Sistem distribusi harta yang terdapat dalam kaidah hukum waris mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Harta warisan akan di berikan kepada kerabat yang paling dekat seorang kerabat yang bisa dijdikan manifestasi atas diri muwaris (orang yang mewariskan harta)
2. Berdasarkan tingkat kebutuhan, harta warisan akan diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan dengan porsi yang lebih besar, maka dari itu, bagian anak lebih besar daripada orang tua. Kebutuhan anak akan harta lebih besar, karena pada dasarnya mereka keturunan yang masih lemah dalam menghadapi kehidupan berikut tanggungan-tanggungan finansial yang harus dipikulnya. Kelompok orang tua akan meninggalkan kehidupan, dan biasanya mereka telah memiliki harta tertentu, sehingga kebutuhan mereka akan harta relatif lebih kecil. Dan bagian laki-laki dua kali bagian dari perpemilikan, karena laki-laki merupakan tulang punggung keluarga yang wajib untuk memberi nafkah kepada anak, istri, dan bertanggung jawab atas ibu dan saudara perpemilikannya, jika mereka sudah tidak mempunyai keluarga.
3. Adanya pembagian (distribusi) dan menghindari terjadinya pemusatan harta pada satu kelompok tertentu, dengan adanya ketentuan waris, maka dimungkinkan bisa mengeliminasi adanya pewaris tunggal akan harta peninggalan, sehingga harta tidak akan berpusat pada seseorang.
Bagi sanak famili yang mempunyai hubungan kekerabatan yang kuat, jika mereka mempunyai harta peninggalan tanah yang cukup subur, maka sebaiknya tanah tersebut tidak dibagikan secara langsung dalam wujud petakan tanah, namun tanah tersebut dibiarkan tetap utuh. Kemudian dilakukan kerja sama masing-masing anggota keluarga untuk melakukan pemberdayaan dan saling tolong menolong untuk memeliharanya, jika nanti telah tiba saat panen, baru hasil panen tersebut dibagi sesuai dengan bagian yang berhak didapatkan.
Adapun orang yang tidak mempunyai ahli waris dan tidak juga memberikan sebuah wasiat atas hartanya, maka harta peninggalan tersebut harus diberikan kepada masyarakat, dalam hal ini bisa diwakili oleh negara. Dengan alasan, negara merupakan pihak yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup orang yang tidak mempunyai keluarga dan tidak mampu untuk bekerja, serta orang tua yang lemah. Rasulullah bersabda:
مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ وَمَنْ تَرَكَ كَلًّا فَإِلَيْنَا
“Barang siapa meninggalkan harta atau hak-hak tertentu, maka itu merupakan bagian ahli warisnya, dan barang siapa meninggalkan kerabat atau keluarga maka itu tanggung jawab-Ku”. H.r. Al-Bukhari
b. Harta anak yatim
Salah satu hak intervensi negara dalam perekonomian adalah apa yang tersurat dalam firman Allah sebagai berikut:
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلًا مَعْرُوفًا
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (Q.s. an-Nisaa:5)

Harta yang disebutkan dalam ayat tersebut walaupun merupakan harta anak yatim, namun pada hakikatnya sebelumnya merupakan harta masyarakat yang telah diberikan oleh Allah guna menegakan kehidupan. Masyarakat merupakan pemilik pertama dan yang berhak untuk mempberdayakannya bagi tegaknya kehidupan masyarakat. Para anak yatim atau ahli waris mereka tetap memiliki hak untuk memanfaatkan harta tersebut sepanjang mereka mempunyai kemampuan dan sudah dapat dipercaya untuk mengelolanya, mempunyai kapabilitas untuk mengusahakannya atau melakukan investasi atasnya. Adapun orang safih, yaitu orang yang tidak bisa mengelola harta dengan baik, maka mereka terlarang untuk menerima harta
c. Distribusi (Penyaluran) Harta
Termasuk dalam bagian hak intervensi negara adalah proses pendistribusian harta, negara mempunyai wewenang untuk mengatur pendistribusian harta yang dimiliki oleh kaum muslim. Sebuah upaya untuk mendistribusikan harata kepada setiap individu muslim dalam masyarakat sesuai dengan petunjuk ataupun aturan yang telah ditentukan Nabi, yang kita menyakini bahwa ketentuan itu tidak ditetapkan atas dasar hawa nafsu, namun bimbingan ilahi berdasarkan wahyu.
Rasul telah memerintahkan para sahabat yang berhijrah ke Madinah untuk membentuk ukhuwah (persaudaraan). Persaudaraan antara kaum Muhajirin yang fakir dengan kaum Anshar yang kaya, sebagaimana Rasul mengkhususkan harta Bani Nadhir bagi kaum Muhajirin dan dua orang fakir dari kaum Anshar, sehingga akan tercipta sebuah keseimbangan ekonomi bagi kehidupan kedua golongan. Apa yang diperintahkan oleh Nabi untuk menjalin ukhuwwah diniyyah di antara mereka diterima dengan penuh keridaan oleh kaum Anshar. Atas sikap ini, kaum Anshar mendapatkan pujian dari Allah dalam surat al-Hasyr (artinya):“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung” (Q.s. al-Hasyr:9)
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (Juga) bagi orang fakir yang berhijrah[yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya dan mereka menolong Allah dan RasulNya. Mereka itulah orang-orang yang benar. (Q.s. al-Hasyr:7-8)
Dari ayat di atas dapat dipahami, bahwa Alquran mewajibkan adanya pembagian atas distribusi harta fai’ bagi orang-orang fakir. Dengan tujuan agar harta itu tidak hanya berputar pada golongan orang-orang kaya saja, sehingga harta itu hanya bisa diakses dan dimanfaatkan oleh mereka. Dengan demikian, maka diharapkan akan tercipta sebuah keseimbangan ekonomi di antara individu masyarakat. Dengan adanya distribusi harta kekayaan yang baik, maka tidaka akan ditemui sebuah perbedaan tingkat ekonomi. Ataupun kesenjangan sosial yang mendalam diantara anggota msyarakat, sehingga bagi orang yang tidak mempunyai harta yang mencukupi, tidak akan timbul sikap iri ataupun dengki terhadap golongan kaya. Mereka akan terhindar dari keinginan untuk melakukan tindak kejahatan karena tidak bisa mengakses harta tersebut, para kaum fakir akan bisa lebih tenang dan dapat memenuhi kebutuhannya atas adanya proses distribusi harta yang merata.
G. Kepemilikan Umum (Public Property)
Dalam salah satu ayat Allah berfirman:
وَالْأَرْضَ وَضَعَهَا لِلْأَنَامِ
”Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk-Nya” (Q.s. ar-Rahman:10),
Para ulama telah menyajikan berbagai macam tafsiran tentang ayat tersebut. Terdapat suatu penafsiran bahwa kepemilikan pribadi dilarang dalam Islam. Islam tidak mengakui kepemilikan pribadi atas harta. Tentu saja, hal ini merupakan sebuah penafsiran sepihak yang hanya bersandarkan atas teks Alquran semata (secara lahiriah), tanpa mau melihat realitas amal yang terjadi di masa para Rasulullah sebagai bayan (penjelas) atas hal itu. Demikian pula pembahasan yang dikemukakan para sahabat tentang hal itu.
Masih sealiran dengan pendapat yang pertama, terdapat sebuah sistem ekonomi yang berpendapat tentang urgensinya nasionalisasi seluruh aset-aset produksi, seperti tanah, barang tambang, industri-industri raksasa untuk menjadi pemilik pemerintah. Dalam Islam, telah ditentukan beberapa kaidah yang akan mengatur distribusi kepemilikan yang harus dimiliki oleh negara dan individu masyarakat, yang disebut public sector dan private sector, serta batasan-batasan kepemilikan yang berhak dimiliki masyarakat umum secara luas ataupun pribadi.
Sebagian ulama mewajibkan bahwa kepemilikan umum merupakan milik umat, bukan milik negara. Dalam arti, harta yang akan dikategorikan sebagai kepemilikan umum, harus diakui sebagai milik umat, bukan milik negara. Dengan demikian maka pemanfaatan atas harta tersebut akan digunakan untuk mengakomodasi kepentingan umat, bukan negara semata. Segala aset yang dimiliki negara, baik aset yang bergerak ataupun tidak, merupakan harta rakyat dan mereka merupakan pemilik penuh atas segala manfaatnya, negara hanya mempunyai hak untuk mengelola yang bertujuan untuk mendatangkan kemaslahatan bagi rakyat. Kepemilikan seperti inilah yang ingin digambarkan oleh Abu Dzar al-Ghifari (artinya): “Pada suatu saat Abu Dzar datang kepada Muawiyyah seraya bertanya, “Apa yang mendorong anda untuk memakan harta orang muslim dengan alasan harta Allah?“ kemudian Muawiyyah menjawab: “Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat kepadamu wahai Abu Dzar, bukankah kita adalah hamba Allah, dan harta kita dalah harta Allah?” kemudian Abu Dzar berkata: “ Jangan berkata begitu” maka Muawiyyah berkata: “ saya akan mengatakan bahwa itu merupakan harta kaum muslimin.” H.r. at- Thabari
Penjelasan dari dialog tersebut adalah Abu Dzar berpendapat bahwa harta milik umum yang ada dalam kekuasaan negara, pada hakikatnya merupakan milik rakyat bukan milik negara. Perlu diperhatikan bahwa harta rakyat disini bukanlah sekedar milik rakyat secara umum, namun merupakan milik bagi setiap individu rakyat. Dengan kata lain, harta tersebut haruslah mendatangkan manfaat bagi setiap individu masyarakat/ rakyat, inilah yang dimaksud oleh Umar ra dalam memandang harta umat. Seyogiaya,dalam membelanjakan dan mengembangkan harta umat tersebut, haruslah memberikan dampak positif dan bermanfaat bagi setiap individu masyarakat, karna harata itu ada dimaksudkan demi mewujudkan kemaslahatan setiap individu.
Berdasarkan kaidah tersebut, negara harus membelanjakan (expenditure) harta tersebut untuk kemaslahatan rakyat, mengakomodasi segala kebutuhan rakyat, menyediakan fasilitas-fasilitas kehidupan yang di harapkan dapat mendatangkan kemanfaatan bagi setiap individu masyarakat. Pada masa Abu Dzar, negara sangat konsen untuk melaksanakan konsep tersebut.
Dalam perjalanannya, konsep harta yang dinamakan dengan harta umat, mempunyai keutamaan sebagai berikut:
a. Dapat mencegah para pegawai pemerintahan untuk menggunakan harta tersebut demi kepentingan pribadi “harta Allah” maka ada peluang bagi mereka untuk menggunakannya demi sebuah kepentingan tertentu dengan dalih di jalan Allah. Dengan demikian, maka tidak ada seorangpun yang melakukan auditing atas penggunaan harta tersebut walaupun demi kepentingan diri pribadi atau keluarganya. Lain halnya, jika pembelanjaan dan penggunaan harta itu atas nama rakyat, maka rakyat akan dengan mudah melakukan koreksi ataupun pemeriksaan atas penggunaan aset-aset tersebut, sehingga kecil kemungkinan terjadi penyelewengan. Jika anggota masyarakat tidak bisa ikut menikmati manfaat harta tersebut, maka mereka dapat mempertanyakannya kepada pemerintah, karena pada hakikatnya merekalah yang berhak penuh atas manfaat aset-aset yang ada. Umar ra. berkata: “Barang siapa ingin bertanya tentang harta masyarakat, maka datanglah padaku, sesungguhnya Allah menjadikan aku sebagai orang yang menyimpan dan membagi harta-harta tersebut”. Dalam hal ini, Umar ra. merupakan orang yang paling bertanggungjawab atas hak-hak anggota masyarakat untuk menikmati kemanfaatan harta mereka. (Lihat, al-Isytirakiyyah fi al-Mujtama’ al-Islami)
b. Islam tetap mengakui eksistensi kepemilikan individu atas harta kekayaan, tidak seperti halnya konsep kepemilikan yang ada dalam sistem ekonomi sosialis yang memberangus dan berusaha menghilangkan peran dan otoritas mereka atas harta benda. Semua harta kekayaan adalah milik bersama dan untuk kesejahteraan bersama, sehingga tidak ada seorang individu-pun yang boleh memiliki kekayaan.
c. Syari’ah membenarkan bagi seorang muslim untuk memiliki otoritas dan hak atas harta kekayaan. Selain itu mereka juga diwajibkan untuk mengelola dan menjaganya dari segala bentuk eksploitasi yang bersifat destruktif. Dengan harta tersebut, kaum muslim dituntut untuk bisa mewujudkan kesejahteraan bagi kehidupan dengan cara mengikuti perintah-perintah Allah yang telah diturunkan berkaitan dengan pengelolaan harta kekayaan. Seorang muslim tidak dibenarkan menggunakan harta sebagai alat tunggangan untuk mendapatkan kekuasaan. Dengan kata lain, anugerah harta yang dimiliki dijadikannya sebagai alat justifikasi untuk menguasai atau mengeksploitasi orang lain yang tidak mempunyai harta (Lihat, al- Milkiyyah fi al-Islam, Mustafa kamal Washfi)
Dalam rangka memenuhi kebutuhan publik akan fasilitas kehidupan, Islam mempunyai konsep yang sangat unik. Dalam konsep ini dikatakan, setiap harta kekayaan yang merupakan kebutuhan pokok bagi manusia, maka komoditas tersebut merupakan milik publik, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah dalam hadis terdahulu: (artinya) “Kaum muslim bersukutu dalam tiga hal; air, padang sahara, dan api”. Hadis ini bukanlah sebuah nash yang bersifat kaku, dalam arti komoditas yang merupakan milik bersama kaum muslim hanya terdiri ats ketiga komoditas tersebut. Dalam kaidah syariah dikatakan, penyebutan Nabi atas ketiga komoditas tersebut adalah “’ala sabili mitsal”, yaitu penyebutan yang bertujuan untuk memberikan contoh atas kebutuhan yang bersifat dlaruri bagi kehidupan muslim, bukan “‘ala sabili hasr” yaitu penyebutan yang bersifat membatasi atas suatu komoditas tertentu. Implikasinya, hadis tersebut harus kita pahami bahwa penyebutan Nabi atas ketiga komoditas tersebut hanyalah sebagai contoh macam komoditas yang merupakan kebutuhan pokok bagi kaum muslim saat itu, sehingga kita harus mampu untuk menganalogikan komoditas lainnya yang menjadi kebutuhan dlaruri dalam kehidupan kaum muslim. Segala komoditas yang secara substansial merupakan kebutuhan dlaruri bagi kehidupan kaum muslim, maka harta kekayaan tersebut merupakan milik publik. Dalam arti, komoditas tersebut tidak boleh dimiliki atau dimonopoli oleh individu. Jika kekayaan itu hanya dimiliki oleh individu, dikhawatirkan akan ditimbun dan dimonopoli, supply yang dilakukan disesuaikan dengan harga yang ia inginkan, sehingga kaum muslim akan merasa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan mereka atas komoditas tersebut. Dalam perekonomian modern dewasa ini, ketiga komoditas tersebut dimanisfestasikan dengan listrik, air, telepon, pertambangan, dan lainnya. Komoditas ini tidak boleh dimiliki oleh individu,
Air merupakan salah satu komoditas kehidupan yang bersifat dlaruri bagi manusia, konsep inilah yang dipahami oleh para sahabat, tabiin, dan para imam kaum muslimin. Diriwayatkan dalam kitab kharaj Abu Yusuf, sesungguhnya terdapat seorang hamba menuliskan surat kepada Abdullah bin Umar (artinya): “Amma ba’du, setelah saya menggunakan air yang saya miliki untuk menyirami tanamanku, kurmaku dan tanah ku, terdapat kelebihan air senilai 30 ribu dirham dan saya berikan kepada orang lain, jika anda menginginkan, maka saya akan belikan seorang hamba dari kelebihan air tersebut untuk membantu anda dalam menyelesaikan pekerjaan“ kemudian Abdullah bin Umar membala surat tersebut: “telah dayang suratmu kepadaku dan saya paham atas apa yang kamu tuliskan, saya teringat atas apa yang pernah disbadakan oleh Rasulullah: “Barang siapa yang menghalangi seseorang untuk menikmati kelebihan air dalam padang sahara, maka akan Allah akan menghalangi mereka untuk menerima anugerah Allah di hari kiamat “ jika surat balasanku ini telah sampai kepadamu, maka siramlah kurmamu, tanamanmu, dan tanahmu. Jika terdapat kelebihan maka berikan kepada tetanggamu yang paling dekat, dan tetangga lainnya yang membutuhkan, wassalam.”
Dalam kitab al-Kharaj, Abu Yusuf menulis, diriwayatkan dari Jarir bin Usman al-Himshi dari Zaid bin Hibban al-Syar’I, ia berkata (artinya): “Ada seseorang tinggal di tenda di Romawi, kemudian terdapat sekelompok kaum yang ingin bertanam di sekitar tenda orang tersebut, namun ia menolak keinginan mereka. Kemudian seorang Muhajirin mencegah seorang tersebut untuk menolak mereka, namun ia tetap tidak mau. Kemudian orang muhajirin tersebut berkata: “Sesungguhnya saya telah ikut perang 3 kali, saya mendengar ditengah-tengah perang tersebut, Nabi bersabda: “ Kaum muslimin bersekutu dalam tiga hal; air, padang sahara, api” setelah mendengar peringatan Nabi tersebut, laki-laki itu langsung merangkul orang muhajirin dan meminta maaf kepadanya”
Begitu juga dengan hasil tambang, ini adalah merupakan komoditas yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, seperti minyak,panas bumi, batu bara, dan lainnya. Untuk itu, komoditas tersebut harus dimiliki oleh publik dan di daya gunakan demi kemaslahatan kehidupan masyarakat. Walaupuntambang tersebut terdapat dalam tanah yang dimilikioleh seseorang ataupun tidak diketahui pemiliknya, barang tambang itu tetap harus dijadikan sebagai milik publik dan tidak bisa dimiliki oleh individu.
Kepemilikan tersebut denagn alasan, kepemilikian seseorang atas tanah dimaksudkan untuk ditanami atau membangun sesuatu, adapun sesuatu yang tersamar yang terdapat dalam perut bumi seperti barang tambang, tidaklah semua diketahui oleh pemilik tanah, pemilik itu tidak pernah tau dan tidak bermaksud untuk memiliki barang tambang ini ketika melakukan akad jual beli. Sehingga, kepemilikan publik atas barang tambang ini dapat dibenarkan. Walaupun demikian, tetap saja barang tambang tersebut merupakan milik publik, milik kaum muslimin, dan tidak dibenarkan bagi individu untuk memilikinya, walaupun barang tambang tersebut terdapat dalam tanah yang dimilikinya. Pemimpin berkewajiban untuk mengelolan dan memberdayakannya demi kemaslahatan kehidupan kaum muslim dengan berbagai daya upaya, namun perlu dicatat, pemimpin tetap saja tidak boleh memilikinya, tapi barang tersebut milik negara yang berfungsi untuk mewujudkan kemaslahatan.
Imam Kasani dalam kitabnya Badai’ al-Shanai’ (referensi penting madzhab Hanafiyah) berkata (artinya): “Tambak garam, ladang minyak dan sejenisnya merupakan kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh kaum muslim, maka tidak boleh bagi seorang pemimpin untuk memberikan komoditas tersebut untuk dimiliki oleh seseorang, karena komoditas tersebut merupakan milik publik, hak milik bagi seluruh kaum muslim, privatisasi komoditas tersebut untuk dimiliki seorang individu merupakan pelanggaran bagi hak kaum muslim, dan hal itu tidak dibenarkan”. Ibnu Qudamah dalam kitab al Mughni (pemuka madzhab Hanabalah) berkata: “Barang tambang yang dibutuhkan dan dimanfaatkan oleh kaum muslim dan tanpa menggunakan biaya seperti garam, air, gas bumi, bahn kimia (obat-obatan), minyak bumi, yakut dan lainnya tidak boleh dimiliki oleh seorang individu, tetap menjadi milik publik bagi kehidupan muslim, jika dimiliki oleh individu ditakutkan akan terdapat dlarar dan menyulitkan bagi mereka”
Preses nasionalisasi atas barang tambang, mungkin disebabkan karena hasil yang didapatkan tidak sebanding dengan kinerja/ biaaya yang dikeluarkan untuk proses pendulungan . sehingga, ditakutkan jika hal itu diserahkan kepada individu untuk mengelolanya, akan terdapat monopoli dan terjadi kenaikan harga yang tidak terbeli oleh masyarakat, pada akhirnya masyarakat akan mendapatkan kemadlaratan. Dalam kehidupan sosial akan tercipta kesenjangan sosial yang tajam, karena si pengelola akan meraup keuntungan yang melimpah.
Ulama fiqh sepakat, tempat peribadatan, madrasah, jalan, aliran sungai, wakaf yang diperuntukkan demi kebeikan ummat masuk dalam kepemilikan publik. Dalam kasus tanah pertanian yang membutuhkan daya upaya, tenaga, dan biaya untuk menggarapnya, ketika telah berhasil panen dan menghasilkan pendapatan, apakah pemilik tanah tersebut mutlakuntuk memilikinya atau ada pembagian khusus?
Dalam Islam diperbolehkan untuk melakukan ijtihad atas persoalaan yang belum disebutkan dalm nash. Pada tahun ketujuh huijrah, tanah Khaibar telah berhasil dikuasai oleh kaum muslimin. Tanah-tanah tersebut tetap dibiarkan untuk dimiliki oleh pemilik lama, namun ketika panen telah didapatkan, mak sebagian dari hasil panen diberikan kepada pemilik lama, dan sebagaian lagi diberikan kepada Nabi (negara). Atas hasil panen tersebut digunakan untuk membiayai segala kebutuhan oprasional negara dan masyarakat. Konsep tersebut tetap dijalankan atas segala tanah yang berhasil dikuasai oleh kaum muslimin, dari hasil panen yang didapatkan, sebagian diberikan kepada pemilik dan sebagian diberikan kepada negara atau baitul maal, hasil yang diberikan kepada baitul maal, kemudian dinamakan dengan Kharaj.
Konsep tersebut juga pernah dijalankan oleh Khalifah Umar bin Khattab ketika berhasil menguasai Iraq dan Syam. Orang-orang yang ikut berperang, menginginkan agar tanah-tanah tersebut dibagikan sebagaimana ghanimah lainnya. Kemudian Umar ra. mengumpulkan seluruh sahabat dan para ahli fiqh diantaranya terdapat Ali bin Abu Thalib yang mengukuhkan pendapatnya bahwa tanah tersebut tetap dimiliki oleh pemilik lama, namun diharuskan untuk membayar Kharaj. Kemudian Kharaj menjadi penghasilan/ sumber dana tetap bagi baitul maal yang digunakan untuk membiayai perang, membantu orang yang lemah dan fakir miskin.
Berdasarkan atas ijma’ sahabat, maka tanah yang didapatkan dari penaklukan perang, tetap merupakan hak milik pemilik lama. Namun kepemilikan yang mereka miliki hanyalah sekedar untuk memanfaatkan. Kepemilikan atas tanah itu tetap milik pemerintah, dalam arti,pemerintah berhak untuk memindahkan kepemilikan tanah itu kepada orang lain, jika pemilik lama dipandang tidak mampu mengelolanya dengan baik. Pemerintah mempunyai hak untuk mencabut kepemilikan atas tanah-tanah itu, namun proses pencabutan itu tetap berdasarkan atas asas maslahat bagi kehidupan masyarakat. Diharapkan proses pengalihan kepemilikan itu harus disandarkan pada asas solidaritas sosial, dalam arti kemanfaatan yang ada bagi masyarakat haruslah lebih besar daripada kemadlaratannya yang ada“
Bagi negara mempunyai hak untuk memberikan tanah yang tidak ada ahlinya kepada seseorang yang fakir untuk mengelolanya. Namun perlu diingat akan hal yang pernah dikatakan oleh Umar ra., pemberian tanah tersebut tidak dimaksudkan untuk menghalangi orang lain untuk memanfaatkannya, namun sekedar untuk memenuhi kebutuhannya dan merupakan wuju solidaritas sosial. Orang yang diberi tanah tersebut harus giat bekerja demi kemaslahatan dirinya dan ummat. Maka dari itu, Umar ra. berkeinginan untuk menarik kembali tanah yang diberikan oleh Nabi kepada sahabat Bilal dengan berkata: “Rasulullah memberikan tanah tersebut kepadamu bukan dengan maksud agar orang lain tidak bisa memanfaatkannya, namun privatisasi itu dilakukan agar kamu mau bekerja untuk memenuhi kebutuhan, maka ambilah apa yang kamu perlukan dan kembalikan kelebihannya kepada ummat”
H. Nasionalisasi
Dalam perekonomian kontemporer, nasionalisasi diartikan sebagai proses pencabutan kepemilikan individu atas aset-aset tertentu untuk dimiliki publik. Aset tersebut difokuskan untuk mewujudkan kemaslahatan publik, dengan demikian kekayaan itu masuk dalam kepemilikan umum. Untuk itu aset-aset ini tidak boleh dimiliki secara pribadi, karena dikhawatirkan akan menimbulkan kemadlaratan bagi masyarakat hanya karena permainan seseorang. Berbicara masalah nasionalisasi, tentunya kita akan kembali melirik konsep kemaslahatan bagi muslim community, dimana masyarakat itu terbentuk berlandaskan atas nilai-nilai kasih sayang, persaudaraan, saling cinta kasih, dan berusaha untuk menghilangkan adanya primordialisme dan starta sosial. Selain itu, kita juga harus memahami konsep distribusi kekayaan dalam masyarakat, sebagaimana hal ini pernah dicontohkan oleh Rasul dengan mempersaudarakan sahabat Muhajirin yang dalam kondisi miskin dengan sahabat Anshar yang sudah relatif kaya saat itu.
Hak kepemilikan atas harta kekayaan bagi seorang muslim, dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi yang ada. Terkadang mereka bisa memiliki harta itu secara penuh, namun di sisi lain mungkin mereka dituintut untuk melepaskan atau mengurangi porsi kepemilikannya, khususnya ketika dalam perjalanan ataupun masa paceklik, sebagaimana diisyaratkan dalam hadis Abu Said dan kebijakan Umar di atas.
Berdasarkan fenomena tersebut, Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Muhalla menetapkan sebuah konsep kepedulian sosial, solidaritas sosial, atau public security dalam kehidupan masyarakat muslim. Beliau menuliskan (artinya): “Diwajibkan atas golongan orang kaya untuk menanggung kebutuhan orang yang fakir dan miskin. negara mempunyai hak untuk memaksa mereka melakukan tanggung jawab tersebut jika mereka menolak untuk membayar zakat atau harta fai’ maka diwajibkan untuk memberikan makanan sebagaiamana apa yang mereka makan, memberikan pakaian seperti yang mereka kenakan dalam musim panas dan hujan, menyediakan tempat tinggal yang dijadikan tempat berlindung dari panas dan hujan serta banjir, dan tidak dihalalkan bagi seorang muslim yang sedang dalam keadaan darurat untuk memakan bangkai atau daging babi, jika masih didapatkan kelebihan bahan makanan yang dimiliki oleh sesama muslim atau kafir dzimmi dalam hal ini Ibnu Hazm tidak membedakan antara muslim dan non muslim, selama mereka tinggal dalam naungan daulah Islamiyyah, mereka mempunyai hak hidup yang sama, dan ini merupakan refleksi nilai-nilai kemanusiaan yang ingin diperkenalkan oleh Islam, sebuah nilai yang jauh dari perpecahan dan primordialisme- dan merupakan kewajiban bagi orang yang mempunyai kelebihan bahan makanan untuk memberikannya kepada orang yang sedang menderita kelaparan”
Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya menuliskan (artinya)“ Sesungguhnya syariat Allah diturunkan dalam kehidupan berfungsi untuk menciptakan kemaslahatan bagi hamba-Nya, setiap hak yang dimiliki oleh individu dibatasi dengan tidak adanya dlarar didalamnya, segala aturan yang terdapat dalam syariat Allah bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kehidupan hamba-hamba-Nya dan menghilangkan segala bentuk kemadlaratan. Dalam hal ini, ‘Izzuddin bin Abdus Salam berkata: “ Mengutamakan kemaslahatan yang ada dalam masyarakat lebih baik daripada menghilangkan kemafsadahan (kerusakan). Begitu juga bagi para hakim harus senantiasa mendahulukan kemaslahatan, bagi para dokter harus mengutamakan alternatif pengobatan yang lebih maslahah walaupun terdapat dlarar didalamnya, tapi dlarar yang ada harus dipilih yang paling kecil. Syariat merupakan obat yang dapat digunakan untuk mendatangkan kemaslahatan, keselamatan, dan menghilangkan segala bentuk kerusakan yang dapat mendatangkan penyakit, jika antara maslahah dan mafsadah berimbang, maka dipilih salah satunya yang terbaik.”
Sehubungan dengan itu, dalam Islam, hak kepemilikan yang dimiliki oleh individu harus tetap bertujuan untuk mendatangkan kemaslahatan yang sebesar mungkin dan dibatasi dengan tidak menimbulkan dlarar bagi orang lain. Timbulnya kemdlaratan dalam kehidupan dalam kehidupan hal itu menunjukan adanya pelanggaran atas batasan yang telah ditentukan dalam syara’, dan hal itu jelas dilarang dalam nash Alquran. Dengan konsep ini, maka kepemilikan yang dimiliki oleh individu akan dibenarkan jika dapat mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya dan masyarakat, dan jika kepemilikan itu dapat juga menciptakan kemdlaratan bagi diri dan masyarakat, maka kepemilikan ini harus ditakar ulang. Pemilik harus menimbang nilai maslahah yang diterima olehnya dengan nilai mafsadah yang mungkin akan dirasakan oleh masyarakat atau dirinya pribadi. Secara simpel dapat dikatakan, kepemilikan yang ada harus mempertimbangkan nilai maslahah dan mafsadah yang akan diterima oleh pemiliknya dan masyarakat sekitar. Jika kita memberatkan nilai manfaat atas pemiliknya, maka hal itu dibatasi dengan tidak adanya dlarar atas kepemilikan itu bagi masyarakat.
Berdasarkan atas keterangan diatas, ditetapkan bahwa penguasa mempunyai hak untuk mencabut kepemilikan atas tanah yang dimiliki oleh warganya jika ia melihat kemadlaratan atau kemaslahatan yang lebih besar. Diriwayatkan, Nabi pernah menyita sebidang tanah di kota Madinah “Tanah al Naqi” yang diperuntukkan bagi kaum muslimin untuk mengembalakan kuda-kuda mereka, artinya, tanah tersebut dijadikan sebagai milik publik dan tidak boleh dimiliki secara pribadi.
Prinsip tersebut juga dilestarikan oleh Khalifah Umar ra. yang berusaha untuk menyita/ menjaga aset yang dapat mendatangkan kemanfaatan bagi masyarakat publik. Umar pernah menyita tanah “ar-Rabdzah” dan diperuntukan bagi tempat pengembalaan kaum muslimin. Namun, kemudian datanglah pemilik tanah itu mengadu kepada Umar ra. seraya berkata (artinya):“Wahai Amirul Mukminin, itu adalah tanah kami, dan kami butuh perjuangan untuk mendapatkannya pada masa jahiliyyah, dan kami sekarang telah masuk islam, atas dasar apa Anda menyita tanah kami?” kemudian Umar ra. seorang pemimpin yang adil menjawab: “ Seluruh kekayaan kita adalah kekayaan Allah, dan kita semua adalah hamba Allah, demi Allah jika, saya tidak mengemban amanat Allah dan berjuang di jalan-Nya, maka tidak akan aku sita tanah ini walaupun hanya sejengkal “ Kemudian Umar ra. menjadikan tanah tersebut sebagai tempat pengembalaan bagi orang-orang kafir yang ingin mengembalakan hewan ternak mereka, dan tanah itu tidak diperuntukan bagi orang-orang yang telah kaya, selanjutnya Umar ra. berkata kepada orang yang disuruh untuk menjalankan amanah itu: “ Belas kasihinilah pada sesama manusia, takutlah kepada doa orang yang terdzalimi, karena doanya akan dikabulkan, perintahkanlah orang-orang yang miskin yang mempunyai unta dan kambing yang sedikit untuk menggembalakannya dalam tanah itu, dan cegahlah bagi orang-orang kaya, dengan alasan, jika hewan ternak yang mereka miliki telah habis, mereka masih mempunyai pohon kurma dan lahan untuk bertanam. Akan tetapi jika hewan ternak yang punah itu milik orang miskin, maka mereka akan datang kepadaku dan berteriak: “ Wahai Amirul Mukminin, apakah anda meninggalkan kami seperti ini, tidak mempunyai tempat untuk menyambung hidup. Padang tersebut lebihlah berharga bagi kami daripada emas dan perak “ Selanjutnya Umar ra. berkata kepada mereka: “ Tanah terrsebut merupakan ajang perbuatan pada masa jahiliyyah, setelah dikuasai oleh Islam, maka saya melihat banyak maslahatnya bagi kaum muslimin, maka saya sita untuk kepentingan publik”
Dalam kasus di atas kita bisa melihat bahwa Umar ra. tetap bersikukuh untuk mencegah hewan ternak orang kaya untuk digembalakan di dalam tanah tersebut. Pendapat itu diambil dengan alasan, proses penyitaan itu dimaksudkan untuk membantu kaum muslimin yang lemah miskin, maka dari itu, Umar tidak memperbolehkan bagi orang kaya. Dan perlu dicatat bahwa hewan ternak yang digembalakan di dalamnya dipersiapkan untuk kebutuhan jihad dan mencukupi kebutuhan kaum muslimin.
Dari contoh-contoh yang dituliskan di atas, memberikan pemahaman bahwa hal itu bisa dijadikan sebagai sandaran hukum atas keabsahan melakukan nasionalisasi tanah demi kepentingan negara dan masyarakat publik yang bersifat dlaruri dan mendesak. Dari cerita yang dipaparkan, juga dapat dipahami bahwa yang lebih berhak untuk menikmati tanah yang diperuntukkan untuk publik adalah mereka yang memiliki aset yang relatif sedikit, karena dikhawatirkan akan terjadi kerusakan atas aset yang mereka miliki dan pada akhirnya negaralah yang harus menanggung segala beban hidup mereka. Bila dihitung-hitung, biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk menyediakan fasilitas publik tersebut relatif lebih murah bila dibandingkan negara harus menanggung biaya kehidupan mereka dan keluarganya, hal ini mungkin sesuai dengan kaidah syariah yang berbunyi: “lebih baik menanggung dlarar yang lebih kecil untuk menghilangkan dlarar yang lebih besar”.
Dr. Muhammad Abdullah al Arabi dalam kitabnya Muhadlarat fi al Nuzhum al-Islamiyyah dalam bab “kebebasan pemilik harta dalam penggunannya” yang berlandaskan atas kaidah “hukum bisa berubah karena adanya perubahan zaman” berkata (artinya): “Dewasa ini kita banyak menyaksikan fenomena yang cukup menyedihkan terjadi di negara-negara Islam, banyak terdapat ketimpangan ekonomi yang diakbatkan adanya kepemilikan individu. Khususnya, terjadi kesenjangan dalam distribusi kekayaan, aset-aset hanya berputar pada segelintir orang saja, harta kekayaan hanya dimiliki oleh kaum pemodal. Dalam perjalanannya, realita ini menimbulkan dampak yang cukup berarti bagi kehidupan ekonomi, sosial, dan politik.Fenomena itu muncul, mungkin dikarenakan adanya realita kehidupan yang terjadi dalam sistem ekonomi kapitalis yang menyuguhkan perptaran harta kekayaan hanya pada segelintir orang-orang kaya, yang tentunya bertentangan dengan ajaran Al Quran yang menekankan adanya perputaran dan distribusi kekayaan yang merata bagi masyarakat. Secara tidak langsung, hal ini juga menjalar dalam kehidupan ekonomi negara-negara Islam. Untuk itu, sudah saatnya bagi para pemimpin negara Islam untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berusaha untuk mengeliminasi terjandinya elitisme dalam akses harta kekayaan, menciptakan sistem distribusi yang adil dan merata dan disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat publik. Menciptakan kondisi ekonomi yang kondusif, kehidupan sosial politik yang integratif dan berusaha untuk mewujudkan solidaritas sosial yang cukup dinamis. ”
Dalam sebuah artikel yang berwujud al-Milkiyyah al-Fardiyyah wa Tahdiduha fi al-Islam Syaikh Ali al-Khafif menuliskan (artinya): “Diriwayatkan dari Sha’b bin Justamah, sesungguhnya Rasulullah bersabda, “Tidak ada penyitaan kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya “ makna yang terkandung dalam kata al-hima/penyitaan adalah penyitaan tersebut dimaksudkan demi kepentingan publik, bukan dikhususkan untuk kepentingan seseorang, karena harta Allah pada hakikatnya adalah harta bagi kaum muslimin. Kata al-hima dinisbatkan kepada Allah, Allah-lah memerintahkannya dan yang akan memberikan balasan. Berdasarkan atas ta’wil ini, Abu Ubaid dalam kitabnya al-Amwal menetapkan tentang adanya kepemilikan publik dalam Islam.
Selain itu, kita juga tidak bisa untuk mendikotomikan antara kepentingan publik dengan kepentingan pribadi. Untuk itu, seorang individu tidak bisa memiliki secara pribadi aset-aset publik yang diperuntukan demi kemanfaatan masyarakat, kecuali masyarakat sudah tidak membutuhkan aset itu lagi. Pada posisi tersebut, individu boleh memilikinya dengan memberikan ganti rugi dan berdasarkan persetujuan dari pemimpin, dan perlu dicatat, tidak boleh adanya penipuan ataupun penyuapan. Begitu juga sebaliknya, penguasa tidak boleh sembarangan secara paksa mengambil paksa kepemilikan individu untuk ditetapkan sebagai aset publik dan menjadi milik kaum muslimin. Hal itu baru boleh dilakukan, ketika memang kemaslahatan masyarakat membutuhkan aset tersebut, namun tetap harus meminta persetujuan dari pemiliknya dan diberikan kompensasi yang memadai dan tanpa adanya penipuan. Bagaimanapun juga kemaslahatan publik tetap harus didahulukan dari pada kemaslahatan pribadi.
Tentang mendahulukan kemaslahatan publik, pernah dicontohkan oleh Umar ra. pada masa ke khalifahannya, seiring dengan pertambahan kaum muslimin, Masjidil Haram seudah terlalu sempit untuk menampung jmlah jamaah. Kemudian Umar ra. berkeinginan untuk memperluas masjid, namun sekeliling masjid dipenuhi dengan rumah-rumah penduduk, dan hanya ada beberapa lorong yang dapat digunakan sebagai pintu masuk masjid. Selanjutnya Umar ra. membeli rumah-rumah tersebut untuk digunakan sebagai tempat perluasan masjid, namun sebagian penduduk menolaknya. Kemudian Umar ra. membeli paksa rumah-rumah itu, uang pembeliannya diletakan di dalam lemari Ka’bah dengan harapan nantinya diambil oleh pemiliknya. Selanjutnya, rumah-rumah itu dimasukan dalam wilayah masjid. Fenomena ini juga terulang pada masa ke khalifahan Utsman bin Affan, jumlah jamaah kaum muslimin semakin bertambah, Utsman berniat untuk memperluas masjid. Kemudian ia membeli rumah-rumah penduduk, bagi sebagian penduduk yang menolak, tetap saja dibeli dengan cara paksa. Dalam hal ini, pemilik tidak mempunyai hak untuk menolaknya, karena ada kemaslahatan publik yang harus diwujudkan, jika ia tetap menolak, maka akan menimbulkan kedzaliman bagi yang lain.
Di sisi lain, ada hal yang perlu diperhatikan, walaupun kita diperbolehkan untuk menasionalisasikan aset pribadi menjadi aset publik, tetap kita diwajibkan untuk mengganti/memberikan kompensasi yang memadai dan diambilkan dari baitul maal. Jika baitul maal tidak mempunyai dana, maka pemimpin mempunyai kewajiban untuk mewajibkan kepada orang-orang yang mampu untuk mendermakan sebagian hartanya. Biaya yang dibutuhkan untuk meng-cover pembelian aset publik itu, harus dibagi rata kepada semua orang yang berkecukupan sesuai dengan kemampuan mereka.
Diriwayatkan, sesungguhnya Nabi pernah bersabda (artinya): “Barang siapa memiliki tanah pertanian, maka harus diberdayakan atau memberkannya kepada saudaranya, dan jika ia menolak, maka pegang teguhlah tanah itu“. Dari hadis ini menunjukan bahwa ketika Nabi telah sampai di Madinah, bercocok tanam merupakan sumber kekayaan yang banyak diberdayakan oleh penduduk. Dalam perjalanannya, kaum Anshar juga ikut andil untuk memberdayan tanah-tanah pertanian yang ada. Sebagian dari mereka, mempunyai kelebihan tanah dari kebutuhan yang ada, dan tidak sanggup untuk menggarapnya, kemudian tanah itu disewakan kepada orang lain. Kemudian Nabi melihat bahwa yang lebih maslahah adalah adanya pelarangan bagi orang yang kelebihan tanah itu harus diberikan kepada saudaranya sesama muslim yang membutuhkan tanpa adanya kompensasi. Dengan demikian akan tercipta sebuah solidaritas sosial dari kaum Anshar kepada kaum Muhajirin yang akhirnya akan bisa menopang kehidupan mereka dengan memberdayakan tanah-tanah tersebut. Praktek ini merupakan salah satu bentuk upaya untuk mendistribusikan kekayaan pada orang-orang yang lebih membutuhkan. Setelah kefakiran telah dari kehidupan kaum Muhajirin, pemilik tanah-tanah itu kembali diperbolehkan untuk menyewakan tanah mereka kepada orang lain.
Jika kepemilikan pribadi dapat menyebabkan berputarnya harta kekayaan hanya pada golongan tertentu, dan masyarakat umum tidak dapat mengakses kekayaan tersebut dan menemukan kemadlaratan di atasnya, maka negara mempunyai wewenang untuk membatasi kepemilikan ini, dengan tujuan demi kemaslahatan masyarakat publik.
Seperti dijelaskan dalam pembahasan terdahulu, terdapat pendapat yang membolehkan adanya pemabatasan kepemilikan dengan adanya kompensasi tertentu. Namun, terdapat pembatasan atau bahakan menghilangkan kepemilikan tanpa adanya pemberian ganti rugi, yaitu melarang/menghilangkan pekerjaan yang bertentangan dengan syara’, seperti penyuapan, eksploitasi, ataupun segala bentuk penipuan. Hal ini sesuai dengan apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah (artinya): “Barang siapa menipu umat-ku, maka tidak termasuk dalam golongan-ku“. “Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka api neraka lebih baik untuknya“. “Tidak diperbolehkan bekerja atas sesuatu yang haram, kemudian ia bersedekah dan diterima, melakukan infaq dan mengharap berkah, dan ia tidak akan ditinggalkan kecuali akan dikembalikan ke dalam api neraka“.
Sebelum mengakhiri pembahasan tentang kepemilikan dalam Islam, dewasa ini kepemilikan individu dapat diakomodasi dalam sistem ekonomi sosialis. Dalam revolusi yang terjadi di Rusia, yaitu tahun 1917, 1921, 1929, dan 1932 tidak mengakui adanya kepemilikan individu.
Dalam penelitian yang lebih lanjut, pada akhirnya kepemilikan individu dapat di akomodasi dan dapat disejajarka dengan kepemilikan publik di Uni Soviet. Begitu juga yang terjadi di Yugoslavia, tanah pertanian yang di atas namakan milik bersama, pada tahun 1952 berjumlah 6994 atau 20% dari tanah pertanian yang ada, mengalami penurunan dan menjadi 4%. Hal ini menunjukkan adanya pengakuan atas kepemilikan individu. (artikel Dr. Barthus B Ghali, dalam majalah Al Ahram Al Iqtishadi, edisi 15 Mei 1968).
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa manhaj Islam yang diturunkan oleh Allah Yang Maha Mengetahui segala rahasia yang ada dalam kehidupan manusia, merupakan aturan yang akan sesuai dengan fitrah manusi. Maka selanjutnya Islam mengakui adanya kepemilikan individu dan memuliakannya dengan syarat-syarat sebagai berikut :
a. Adanya pembatasan kebebasan pemilik harta, dan diwajibkan untuk memberdayakan/melakukan investasi agar tidak menghalangi pertumbuhan / perputaran harta.
b. Mewajibkan kepada pemilik harta untuk menunaikan zakat, jika telah mencapai nisbahnya.
c. Mewajibkan untuk berinfaq di jalan Allah, dan menggunakannya untuk menopang solidaritas sosial bagi kehidupan masyarakat atas kebutuhan pokok mereka.
d. Menghindarkan penggunaan harta untuk kepentingan yang dapat menimbulkan madlarat bagi orang lain dan masyarakat pada umumnya.
e. Menjauhkan diri dari pekerjaan yang haram dalam mendapatkan harta, seperti riba, penipuan, ataupun ikhtikar.
f. Kepemilikan harta tidak bisa digunakan untuk hidup bermewah-mewahan atau tindakan konsumtif lainnya yang dapat mendatangkan madlarat bagi pemilik dan masyarakat publik.
g. Harta tidak bisa digunakan untuk melanggengkan kekuasaan atau kepentingan politik lainnya (money politic), atau mempermainkan hukum.
h. Pemilik harta tidak boleh melanggar ketentuan-ketentuan dalam warisan dan wasiat, yang pada intinya mencegah terjadinya perputaran harta hanya pada golongan tertentu.
Di sisi yang lain, Islam tetap mengakui adanya kepemilikan publik terhadap aset-aset yang di anggap sebagai kebutuhan pokok masyarakat, seperti air, api, atau padang sahara. Kepemilikan ini bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi tiap individu masyarakat, sebagaimana setiap individu merupakan wakil Allah untuk mengelola harta kekayaan itu sebagai tanggung jawab sosial dan demi memberikan pelayanan bagi masyarakat. Kepemilikan individu itu akan hilang, jika negara atau masyarakat membutuhkannya, kepemilikan itu diprioritaskan untuk menanggung kebutuhan kaum muslim pada umumnya. Rasulullah bersabda (artinya), “Ketika seorang mukmin tidur dalam keadaan lapar, maka tidak ada harta apapun bagi seseorang“ Hadis ini berarti, dalam keadaan paceklik, anggota masyarakat tidak mempunyai hak individu atas kepemilikan, sampai paceklik ini berangsur hilang. Dalam masalah nasionalisasi, Rasululllah mempunyai konsep yang adil, yaitu tidak ada harta yang disita kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya, artinya kepemilikan aset-aset itu digunakan untuk kemaslahatan publik, yaitu mendatangkan manfaat bagi kehidupan kaum muslimin.
I. Kepemilikan Terlarang
Pada bagian sebelumnya telah diterangkan sebab-sebab yang diakui oleh Islam sebagai media untuk mendapatkan kepemilikan harta benda bagi seorang muslim. Adapun jalan lain yang diusahakan oleh manusia untuk mendapatkan harta kekayaan, dikategorikan sebagai jalan yang diingkari dan tidak diakui oleh Islam. Mendapatkan harta dengan mencuri, menipu, ataupun berjudi tidak diperbolehkan dalam Islam. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Q.s.Al-Maidah:90
Harta yang didapatkan dari jalan yang diharamkan, maka haram hukumnya. Berjudi bukanlah pekerjaan yang berhak mendapatkan kompensasi (imbalan), namun sebuah kegiatan yang hanya menimbulkan permusuhan dan perselisihan di antara para pemain judi, selain itu juga akan menafikan nilai-nilai Islam yang berupa saling kasih, slaing cinta, dan saling tolong menolong di antara manusia. Allah berfirman:
إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ
Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu. Q.s.Al-Maidah:91
Islam mengajarkan kepada umatnya untuk menjaga sumber-sumber kepemilikan dan kekayaan, Rasul sangat marah terhadap praktek-praktek pemberian hadiah terhadap para pegawai pemerintahan, dengan alasan, seandainya ia tidak menjadi pegawai pemerintahan, mungkin ia tidak akan menerima hadiah. Pencegahan pemberian hadiah ini dimaksudkan sebagai tindakan preventif agar tidak terjebak dalam praktek suap. Dengan kata lain, hal itu merupakan jalan yang tidak dibenarkan untuk mendapatkan sebuah kepemilikan atas harta benda.
Pada masa kekhalifahan Umar, diaplikasikan (diterapkan) sebuah peraturan untuk selalu mengawasi jumlah kekayaan masyarakat dan para pegawai pemerintah. Dengan aturan itu, masing-masing mempunyai hak yang sama untuk menghitung dan melakukan audit atas harta kekayaan yang dimiliki oleh seseorang. Masyarakat mempunyai hak untuk menanyakan sumber-sumber kekayaan, dan minta penjelasan atas harta benda yang dimiliki. Dengan demikian masing-masing bisa mengetahui darimana harta itu didapatkan, dan untuk apa akan dibelanjakan. Umar sangat menginginkan terciptanya sebuah masyarakat yang bersih dan jauh dari segala bentuk syubhat, masyarakat yang berdiri berdasarkan nilai-nilai keadilan, Allah berfirman:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنْزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Q.s. Al-Hadid:25




BAB II
KRITERIA DAN JENIS akad harta

Dalam kehidupan manusia diperlukan aturan, etika, norma, ataupun batasan-batasan. Nilai-nilai inilah yang akan mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri ataupun ketika berhubungan dengan orang lain. Sebuah norma kehidupan yang harus senantiasa dijaga, dilindungi, diamalkan dan tidak boleh dirusak ataupun dilanggar. Akad adalah batasan-batasan kehidupan, yang membatasi hubungan manusia, mengatur kehidupan muamalah manusia, seperti halnya akad hutang atau janji-janji manusia terhadap Allah untuk selalu menjalankan syi’ar-syi’ar Allah, menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan segala sesuatu yang diharamkan-Nya.
Islam memuliakan dan mensucikan akad-akad yang ada, dan memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menghormatinya walaupun akan dijalankan dengan orang non muslim. Di awal surat al Maidah Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Q.s.Al-Maidah:1
Sehubungan dengan ayat itu, Ibnu Abas berkata:
قَوْلُهُ: {أوفوا بالعقود} يَعْنِي مَا أُحِلَّ وَمَا حُرِّمَ وَمَا فُرِضَ وَمَا حُدَّ فِي الْقُرْآنِ كُلُّهُ، فَلاَ تَغْدِرُوْا وَلاَ تَنْكُثُوْا, ثُمَّ شَدَّدَ ذَلِكَ فَقَالَ: {وَالَّذِينَ يَنقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ 000 إِلَى قَوْلِهِ سُوءُ الدَّارِ}
Firman-Nya (Aufu bil Uqud) yaitu apa yang dihalalkan, yang diharamkan, yang difardukan, dan semua yang ditetapkan batasannya di dalam Alquran, yaitu apa yang dihalalkan, yang diharamkan, yang difardukan, dan semua yang ditetapkan batasannya di dalam Alquran. Maka janganlah kamu melanggar dan menyalahinya. lalu ia menegaskan hal itu dengan firman-Nya:
وَالَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ لَهُمُ اللَّعْنَةُ وَلَهُمْ سُوءُ الدَّارِ
Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam). (Q.s.Ar-Ra’du:25). H.r. Ibnu Jarir.
Demikian pula keterangan Mujahid:
{أوفوا بالعقود} مَا عَقَدَ اللهُ عَلَى الْعِبَادِ مِمَّا أُحِلَّ لَهُمْ وَحُرِّمَ عَلَيْهِمْ
Firman-Nya (aufu bil uqud) adalah sesuatu yang Allah mengadakan perjanjian dengan hamba-Nya, yaitu yang dihalalkan dan diharamkan bagi mereka. H.r. Ibnu Jarir.
Dalam ayat lain diggunakan kata ‘ahd (janji), seperti pada surat an-Nahl:91
وَأَوْفُوا بِعَهْدِ اللَّهِ إِذَا عَاهَدْتُمْ وَلَا تَنقُضُوا الْأَيْمَانَ بَعْدَ تَوْكِيدِهَا وَقَدْ جَعَلْتُمْ اللَّهَ عَلَيْكُمْ كَفِيلًا إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا تَفْعَلُونَ
Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpahmu itu sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.
Pandangan Islam terhadap akad dan janji tidak hanya berhenti di sini, Islam memposisikan keduanya sesuatu yang mulia dan harus dihormati dan dijaga. Akad mempunyai arti yang cukup berarti bagi manusia, akad akan menempatkan manusia dalam nilai-nilai kemanusiaannya. Hal itu dikarenakan pandangan Islam terhadap manusia, berusaha untuk mengangkat derajat mereka sampai pada kedudukan yang telah dikhususkan dan ditetapkan oleh Allah. Dalam suatu ayat Allah berfirman:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آَدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Q.s.Al-A’raf:172
Ayat ini dengan tegas menyatakan bahwa Allah telah mengadakan transaksi dengan semua ruh manusia sebelum ruh itu dimasukkan ke dalam jasad. Hal itu menunjukkan bahwa semua manusia di hadapan Allah mempunyai hak dan kewajiban yang sama, yang harus dijalankan. Dalam ayat lain Allah berfirman:
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا
“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan menghianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia“ Q.s.al-Ahzab:72.
Dengan demikian Islam mendorong manusia untuk memegang amanah dengan penuh tanggung jawab, menjaga janji yang dilakukannya dan memenuhi segala hal yang terkandung di dalamnya. Setiap muslim mempunyai hak untuk membina kehidupan muamalah mereka berlandaskan atas nilai-nilai amanah dan menjaga perjanjian yang telah terjalin, sehingga akan mengangkat mereka pada kedudukan yang mulia di hadapan Allah. Dalam setiap aturan syariat yang telah diturunkan Allah, berusaha untuk menjaga kesadaran dan hati manusia, kehadiran manusia di atas bumi berkaitan erat dengan Tuhannya, Allah akan menjaga mereka, sedangkan manusia akan memperhatikan dan menjalankan segala aturan Tuhannya, sehingga akan terbentuk hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Dengan demikian, Allah telah memberikan dan menurunkan aturan/syariat yang berfungsi untuk menjaga hubungan transendental dan horizontal yang dilakukan oleh manusia. Dalam konteks inilah akad, yang dalam pengertian bahasa Indonesia disebut kontrak, merupakan konsekuensi logis dari hubungan sosial dalam kehidupan manusia. Hubungan ini merupakah fitroh yang sudah ditakdirkan oleh Allah ketika Ia menciptakan makhluk yang bernama manusia. Karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa.
1. Kriteria Akad
A. Pengertian Akad
Akad dalam bahasa Arab berarti pengikatan antara ujung-ujung sesuatu. Ikatan di sini tidak dibedakan apakah ia berbentuk fisik atau kiasan. Sedangkan menurut pengertian istilah, akad berarti ikatan antara ijab dan qobul yang diselenggarakan menurut ketentuan syariah di mana terjadi konsekuensi hukum atas sesuatu yang karenanya akad diselenggarakan. Pengertian ini bersifat lebih khusus karena terdapat pengertian akad secara istilah yang lebih luas dari pengertian ini. Namun ketika berbicara mengenai akad, pada umumnya pengertian inilah yang paling luas dipakai oleh para fuqaha. Adapun pengertian akad yang bersifat lebih umum mencakup segala diinginkan (diazamkan) orang untuk dilakukan baik itu yang muncul karena kehendak sendiri (irodah munfaridah) seperti wakaf, cerai dan sumpah atau yang memerlukan dua kehendak (irodatain) untuk mewujudkannya seperti jual beli, sewa menyewa, perwakilan dan gadai. Dari pengertian akad yang lebih umum ini muncul sedikit perbedaan dengan akad yang dimengerti oleh para fuqaha dan hukum-hukum perdata konvensional. Perbedaannya adalah bahwa dalam pengertian yang lebih luas mencakup kehendak tunggal dapat melazimkan suatu transaksi, sementara menurut undang-undang hukum perdata konvensional akad mesti melibatkan dua kehendak. Karena itu wilayah adad dalam pengertian umum jauh lebih luas dibandingkan dengan akad dalam pengertian khusus.
B. Rukun Akad
Dalam pengertian para fuqaha rukun adalah pokok dan hakikat sesuatu dan ia merupakan bagian yang sangat penting dari sesuatu itu meskipun berada di luarnya. Seperti ruku' dan sujud merupakan hakekat dan pokok sholat; keduanya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hakekat sholat. Dalam muamalah seperti ijab dan qobul dan orang yang menyelenggarakan akad tersebut. Menurut Jumhur ulama rukun akad ada tiga; yaitu aaqid (orang yang menyelenggarakan akad seperti penjual dan pembeli), harga dan barang yang ditransaksikan (ma'qud alaih) dan shighotul aqd.
Ijab adalah ungkapan atau ucapan atau sesuatu yang bermakna demikian yang datang dari orang yang memiliki barang. Qobul adalah ungkapan atau ucapan atau sesuatu yang bermakna demikian yang datang dari orang yang akan dipindahkan kepemilikan barang tersebut kepadanya. Jika transaksi itu jual beli, maka ucapan si penjual kepada pembeli: "Saya jual buku ini kepada anda" adalah ijab sekalipun hal itu diucapkan belakangan. Dalam transaksi jual beli di sini qobul adalah ucapan si pembeli kepada si penjualan: "Saya beli buku ini" sekalipun ucapan itu dikeluarkan di depan.
Jika ijab dan qobul ini sudah diikat satu sama lain sementara keduanya diucapkan oleh orang yang sehat akalnya maka akan terjadi perubahan status hukum ke atas barang yang diselenggarakan akad atasnya (dalam hal ini adalah buku yang dijual). Perubahan status hukum di sini adalah perpindahan kepemilikan; yaitu sebelum akad, buku tersebut milik si penjual dan setelah akad status kepemilikannya berpindah kepada si pembeli setelah membayar sejumlah uang sebagai harga dari buku itu. Ijab dan qobul ini sangat penting karena menjadi indikator kerelaan mereka yang melakukan akad.
Dalam fikih muamalah ijab dan qobul ini adalah komponen dari shighotul aqd yaitu ekspresi dari dua pihak yang menyelenggarakan akad atau aaqidan ( pemilik barang dan orang yang akan dipindahkan kepemilikan barang kepadanya) yang mencerminkan kerelaan hatinya untuk memindahkan kepemilikan dan menerima kepemilikan.
Ada sebuah pertanyaan, "Dari penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam setiap akad, shighot akad harus selalu diekspresikan karena merupakan indikator kerelaan dari aaqidan. Bagaimanakah kedudukan hukum jual beli saat ini yang tidak melibatkan shighot akad dari kedua belah pihak? Pihak pembeli hanya membayar harga dan penjual memberikan barang tanpa mengucapkan lafal atau ungkapan apa-apa.
Pada umumnya para ulama memperbolehkan jual beli atau akad semacam ini dan mereka menyebutnya aqd bit ta'athi karena tradisi dan kebiasaan hidup manusia ('urf) menginginkan hal-hal yang praktis dan tidak bertele-tele dalam bisnis. Di samping itu kebiasaan yang sudah menjadi fenomena biasa ini juga menjadi standar dan ukuran bahwa praktek demikian telah diterima oleh semua pihak dan tak seorangpun dari mereka yang merasa keberatan. Bahkan sebagian fuqaha (madzhab Hanafi) membolehkan tidak saja dalam jual beli yang remeh seperti telur, roti dan lain-lain tetapi juga membolehkannya pada semua transaksi besar seperti rumah dan mobil. Sementara itu madzhab Maliki tidak mensyaratkan 'urf sebagai patokan indikator kerelaan pihak yang melakukan akad. Baginya akad adalah sah apabila terselenggara secara suka rela. Tentu pendapat ini lebih luas dan lebih mudah dari pendapat Hanafi.
Sekalipun pada umumnya para fuqaha menyepakati akad bit ta'athi dalam semua lapangan muamalah tetapi mereka menyepakati bahwa untuk kawin (zuwaj) dikecualikan. Hal ini disebabkan karena kawin merupakan hal yang agung dan sakral dan memiliki konsekuensi abadi pada pihak wanita. Karena itu diperlukan kehatia-hatian dan kespemilikrnaan dengan menjadikan ucapan sebagai bukti terkuat untuk mengekspresikan kehendak.
C. Orang yang melakukan akad (aaqidan)
Pihak yang menyelenggarakan akad ini dapat sebagai pembeli atau penjual atau orang yang memiliki hak dan yang akan diberi hak. Keduanya mempunyai syarat yang sama yaitu, pertama, berakal atau mumayyiz. Berakal di sini adalah tidak gila sehingga mampu memahami ucapan orang-orang normal. Mumayyiz artinya mampu membedakan antara baik dan buruk; antara yang berbahaya dan tidak berbahaya; dan antara merugikan dan menguntungkan. Kedua, orang yang menyelenggarakan akad haruslah bebas dari tekanan sehingga mampu mengekspresikan pilihan bebasnya.
Dalam keadaan tertentu banyak dijumpai hambatan-hambatan psikis atau fisik yang membuat orang tidak dapat melakukan transaksi atau mengurangi kapabilitasnya untuk menjalankan transaksi. Dalam fikih muamalah hambatan-hambatan demikian disebut awaaridh ahliyyah. Ada dua jenis awaaridh ahliyyah yaitu samawiyyah dan muktasibah. Samawiyyah adalah jenis hambatan yang tidak disebabkan oleh kehendak orang yang terkena hambatan tersebut, tetapi terjadi di luar kehendak manusia dan bukan merupakan pilihannya seperti gila, pingsan dan tidur. Muktasibah adalah hambatan yang terjadi karena ulah orang itu sendiri seperti mabuk dan utang. Dalam muamalah hambatan samawiyah memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan dengan hambatan muktasibah dan ini tentunya kembali kepada kenyataan bahwa dalam hal tersebut orang tidak memiliki pilihan karena itu transaksi yang dilakukan oleh orang yang terkena hambatan ini menjadi batal.
D. Barang dan Harga (al-Ma'qud Alaih)
Barang dan harga dalam akad jual beli disyarakatkan sebagai berikut :
Pertama, barang atau harga harus suci dan tidak najis atau terkena barang najis yang tidak dapat dipisahkan. Ini berlaku bagi barang yang dijual belikan maupun harga yang dijadikan ukuran jual beli. Kedua, barang dan harga tersebut harus benar-benar dapat dimanfaatkan secara syar'i. Ketiga, barang yang dijual harus menjadi milik dari penjual saat transaksi tersebut diselenggarakan. Tidak diperbolehkan menjual barang yang tidak dimiliki kecuali dalam akad salam. Barang yang dijual harus dipastikan dapat diserahkan kepada pembeli. Jual beli yang tidak dapat mengantarkan barang kepada pembeli dianggap sebagai suatu transaksi yang tidak sah. Keempat, barang tersebut harus diketahui karakteristik dan seluk beluknya. Begitu juga harga harus diketahui secara pasti untuk menghapuskan kemungkinan persengketaan yang diakibatkan oleh ketidaktahuan harga. Kelima, dalam akad ini tidak diperbolehkan menambahkan persyaratan bahwa transaksi bersifat sementara. Misalnya si penjual mengatakan bahwa ia menjual mobilnya dengan harga sekian untuk jangka waktu sekian. Persyaratan ini batal karena pemindahan kepemilikian yang dicapai lewat akad bersifat langgeng dan tidak mengenal batas waktu. Begitu perpindahan kepemilikan terjadi, maka hak penggunaan dan pemanfaatan atas barang itu juga berpindah sepenuhnya dari penjual kepada si pembeli dan penjual tidak lagi memiliki hak apapun atas barang yang telah dijualnya.
2. Jenis-jenis Akad.
Ada banyak jenis akad yang umum dikenal dalam fikih muamalah dengan memandang kepada apakah akad itu diperbolehkan oleh syara' atau tidak; dengan memandang apakah akad itu bernama atau tidak; dengan memandang kepada tujuan diselenggarakannya akad dan lain-lain.
a. Akad Sah dan Tidak Sah.
Dengan memandang apakah akad itu memenuhi syarat dan rukunnya atau tidak, dapat dibagi menjadi dua yaitu akad sah dan akad tidak sah. Akad sah adalah akad yang diselenggarakan dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya. Hukumnya adalah akad ini berdampak pada tercapainya realisasi yang dituju oleh akad tersebut yaitu perpindahan hak milik. Sedangkan akad yang tidak sah adalah akad yang salah satu rukun atau syarat pokoknya tidak dipenuhi. Hukumnya adalah bahwa akad tersebut tidak memiliki dampak apapun, tidak terjadi pemindahan kepemilikan dan akad dianggap batal seperti jual beli bangkai, darah atau daging babi. Dengan kata lain dihukumi tidak terjadi transaksi. Ada perbedaan pendapat antara jumhur ulama dan madzhab Hanafi mengenai sah dan batalnya suatu akad. Jumhur melihat bahwa batal dan rusak (fasad) artinya sama. Kalau suatu akad itu rusak, maka ia juga batal. Sedangkan madzhab Hanafi membedakan antara rusak (fasad) dengan batal sehingga mereka membagi akad berdasarkan sah atau tidaknya menjadi tiga macam yaitu akad sah, fasad dan batal. Dalam pandangan madzhab Hanafi, akad yang tidak sah secara syar'i terbagi menjadi dua yaitu batal dan fasad (rusak) di mana dalam pandangan jumhur hanya menjadi dua yaitu sah atau tidak sah dan tidak sah berarti batal dan berarti fasad. Yang batal adalah akad yang rukunnya tidak dipenuhi atau akad yang pada prinsipnya atau sifatnya tidak dibenarkan secara syar'i. Misalnya salah satu pihak kehilangan kapabilitas seperti gila; atau shighot akad tidak memenuhi syarat, atau barang yang ditransaksikan tidak diakui oleh syara' seperti jual beli miras, daging babi dan lain sebagainya. Hukum akad yang batal ini sama dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan madzhab-madzhab yang ada yaitu dianggap tidak terjadi. Adapun akad fasad, pada prinsipnya dibenarkan secara syar'i tetapi sifatnya tidak dibenarkan. Misalnya akad tersebut dilakukan oleh orang yang memiliki kapabilitas, barang yang ditransaksikan dibenarkan oleh syara' namun ada sifat yang dilarang oleh syara' seperti menjual suatu barang yang belum jelas kondisinya sehingga akan dapat menimbulkan persengketaan ketika akad tersebut dilakukan. Akad fasad memiliki dampak syar'i dalam transaksi artinya terjadi perpindahan kepemilikan. Namun akad ini dapat dibatalkan (fasakh) oleh salah satu pihak yang melakukan transaksi atau dari hakim yang mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya.
b. Dengan Melihat Penamaan
Dari segi penamaan maka akad dapat dibagi menjadi dua juga yaitu akad musamma dan ghoiru musamma. Akad musamma adalah akad yang sudah diberi nama tertentu oleh syara' seperti jual beli (buyu'), ijaroh, syirkah, hibah, kafalah, hawalah, wakalah, rohn dan lain-lain. Sedangkan akad ghoiru musamma akad yang belum diberi nama tertentu dalam syara' demikian pula hukum-hukum yang mengaturnya. Akad-akad ini terjadi karena perkembangan kemajuan peradaban manusia yang dinamik. Jumlahnyapun sangat banyak dan tidak terbatas seperti istishna', baiul wafa' dan bermacam-macam jenis syirkah (musyarakah) lain-lain.
c. Akad Aini dan Ghoiru Aini
Dilihat dari diserahkannya barang kepada pihak yang diberikan hak sebagai kespemilikrnaan sahnya suatu akad, maka akad dapat digolongkan menjadi aini dan ghoiru aini. Akad aini adalah akad yang pelaksanaannya secara tuntas hanya mungkin terjadi bila barang yang ditransaksikan benar-benar diserahkan kepada yang berhak untuk misalnya hibah, 'iaroh, wadiah, rohn dan qordh. Dalam akad-akad ini barang yang diakadkan harus diserahkan kepada pihak yang berhak untuk menuntaskan bahwa akad benar-benar terjadi. Kalau tidak diserahkan kepada yang berhak, maka akad tidak terjadi atau batal. Sedangkan ghoiru aini adalah akad yang terlaksana secara sah dengan mengucapkan shighot akad secara spemilikrna tanpa harus menyerahkan barang kepada yang berhak. Umumnya akad-akad selain yang lima di atas dapat digolongkan ke dalam akad ghoiru aini.
Dalam masalah hutang yang dilakukan manusia, Allah memerintahkan untuk menuliskannya, dalam surat Al Baqarah, Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang berhutang meng-imlak-kan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang-orang lelaki di antaramu. Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perpemilikan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (tulislah muamalah itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan diantara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan periksalah apabila kamu berjual beli, dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. Q.s. Al-Baqarah:282
Dari ayat tersebut di atas, terdapat sebuah kemukjizatan Alquran, sebuah jalan kehidupan yang dapat memahami tabiat kehidupan manusia. Ayat ini memberikan pedoman yang jelas tentang tata cara melakukan akad hutang, orang yang berhutang merupakan pihak yang lemah dalam akad, untuk itu perlu adanya pencatatan agar tidak terjadi tindakan eksploitatif dan hal-hal yang tidak diinginkan lainnya. Untuk itu Alquran memberikan hak kepada pihak yang berhutang untuk menuliskannya dengan adil, namun bisa juga dihadirkan pihak ketiga yang disepakati kedua pihak untuk melakukan pencatatan. Adapun syarat-syarat yang terdapat dalam akad sebagaimana digambarkan dalam Alquran adalah sebagai berikut :
a. Akad harus dilakukan secara tertulis.
b. Pihak yang melakukan pencatatan, merupakan orang yang adil.
c. Batas maksimal berlakuknya akad harus dijelaskan.
d. Jumlah hutang yang ditransaksikan harus disebutkan dengan jelas.
e. Orang yang berhutang harus mendikte hutang yang ada, dengan demikian harus ada pengakuan hutang sebagaimana adanya dengan penuh kerelaan.
f. Jika orang yang berhutang merupakan orang safih, belum baligh atau tidak mampu melakukannya, maka wali merekalah yang akan menyebutkannya dengan menjada prinsip keadilan.
g. Harus terdapat dua orang saksi laki-laki, atau seorang laki-laki dan dua orang perpemilikan.
Syarat-syarat yang telah disebutkan diatas, haruslah dipenuhi dalam akad. Jangan sampai terjadi kebosanan dan tidak mau untuk melakukan pencatatan, semuanya itu bertujuan untuk mendatangkan ketenangan dan menghilangkan keraguan. Persaksian juga merupakan faktor yang penting dalam akad hutang, bahkan saksi merupakan pihak yang wajib ada dalam akad.
Dalam melakukan transaksi, barang atau jasa yang dijadikan sebagai Obyek akad haruslah diperbolehkan secara syara’. Jika Obyek akad merupakan barang yang tidak diakui keberadaanya dalam syara’, seperti daging bangkai, menyewa orang untuk mencuri, maka akad yang dilakukan tidak mempunyai atsar (dampak) apapun, dalam arti tidak menimbulkan hak dan kewajiban bagi kedua pihak dalam pandangan syara’, dengan kata lain, akad dikatakan batal. Hal ini sesuai dengan apa yang dituliskan dalam hukum positif Mesir No 135 yang menyatakan (artinya): “Jika Obyek transaksi merupakan komoditas yang bertentangan dengan hukum umum dan adab yang berlaku, maka akad dikatakan batal, maka tidak diperbolehkan sesuatu yang bertentangan dengan hukum umum dan adab dijadikan sebagai Obyek akad, dengan demikian tidak boleh dilakukan kesepakatan apapun atas sesuatu yang bertentangan dengan hukum dan etika yang berlaku.
Untuk menindaklanjuti aturan tersebut, ulama telah menuliskan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh Obyek akad dalam sebuah transaksi :
a. Obyek akad itu harus ada ketika dilakukan transaksi / akad.
b. Obyek akad harus disebutkan/dijelaskan secara transparan, jelas dan terhindar dari gharar yang dapat menyebabkan pertentangan pada kedua belah pihak.
c. Dapat menerima segala implikasi hukum yang ada kerena adanya akad yang dilakukan diatasnya.
d. Dapat diserah terimakan
Berdasarkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam obyek akad, maka kita tidak bisa melakukan akad atas suatu barang yang terdapat jahalah (sesuatu yang tidak diketahui/samar) di dalamnya, karena hal ini akan menyebabkan perselisihan. Lebih jauh lagi, kita tidak bisa menjual barang yang tidak ada dalam kekuasaan kita, Rasulullah bersabda (artinya): “Janganlah kamu menjual sesuatu yang tidak ada padamu“ selain itu, Nabi juga melarang untuk menjual barang yang belum jelas hasilnya atau kebaikannya. Berpijak dari hal itu, maka para ahli fiqh tidak menyetujui adanya akad salam kecuali dengan syarat-syarat sebagai berikut :
- Komoditas yang dijadikan sebagai obyek transaksi, harus ada di pasaran waktu dilakukan akad dan penyerahan di kemudian hari, juka obyek itu tidak terdapat dalam pasar dan tidak bisa dilakuakan delivery, maka akad batal dan uang yang ada harus di kembalikan kepada pembeli.
- Tanaman atau buah yang menjadi obyek akad, harus sudah jelas dan bisa di ambil manfaatnya, sampai terjadi penyerahan.
- Ahli fiqh memperbolehkan menjual tanaman atau buah yang belum masak, namun sudah jelas kebaikannya.
Rasulullah bersabda:
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عَلَيْهِ
“Sesungguhnya Allah mengampuni (dosa) dari umatku, karena keliru, lupa dan terpaksa untuk itu“ H.r. Ibnu Majah
berlandaskan hadis ini, maka akad yang dilakukan oleh orang yang dipaksa tidak dapat dikatakan sah, alias batal adanya. Hal itu karena, sebenarnya mereka tidak mempunyai kehendak dan hak untu memilih atau menentukan sesuatu, untuk itu, Allah mengharamkan atas akad yang dibangun atas paksaan. Allah telah menitipkan hati dan perasaan kepada manusia untuk dijadikan sebagai alat bertakwa kepada Allah serta menjaga muamalah yang dilakukannya. Kita harus sadar bahwa, masih terdapat hisab yang akan menilai segala perbuatan yang kita lakukan di dunia ini. Ulama fiqh mengatakan, selagi seseorang bermaksud untuk melakukan hukum-hukum akad sebagaimana ditetapkan syara’, maka akad dapat dikatakan sah, seperti pindahnya kepemilikan dengan menggunakan akad jual beli. Artinya, akad harus kita posisikan sesuai dengan substansi kehadiran akad, misalnya, akad jual beli dilakukan, bertujuan untuk memnindahkan kepemilikan atas suatu barang, dan tidak boleh melakukan politisasi akad untuk suatu kepentingan tertentu.
Dalam konteks ini, yang dijadikan sebagai pegangan adalah apa yang menjadi niat orang yang bertransaksi, bukan sekedar lafal yang secara dzahir dikatakan. Jika salah satu pihak yang melakukan akad berkeinginan untuk mendapatkan sesuatu yang bukan merupakan haknya, maka akad yang digunakan batal adanya dan dinilai keluar dari batasan yang telah ditentukan oleh Allah. Contoh bentuk akad yang masuk dalam kategori ini adalah akad bai’ inah, secra dzahir mungkin bai’ inah dapat dikatakan sebagai bentuk jual beli, namun seacra substansi, akad ini hanya dijadikan sebagai rekayasa untuk memberikan pinjaman dengan cara riba, akad jual beli yang dilakukan hanya dijadikan sebagai lipstik untuk menutupi akad hutang dengan cara riba. Illustrasinya adalah, Benny menjual mobil kepada Dheby seharga 100 juta dan akan dilunasi enam bulan mendatang, setelah akad dilakukan, maka Dheby mempunyai hak penuh untuk menggunakannya atau bahkan menjualnya, kemudian Dheby menjual kembali mobil tersebut kepada Benny seharga 80 juta secara kontan/cash, kemudian Benny membayar mobil tersebut secara kontan, akhirnya Dheby menerima uang sebesar 80 juta, namun ia tetap mempunyai hutang sebesar 100 juta kepada Benny dan harus dilunasi enam bulan mendatang. Bila kita perhatikan, sebenarnya Dheby hanya butuh uang, dan penjualan mobil yang digunakan oleh Benny hanyalah sebuah rekayasa untuk menutupi pinjaman yang menggunakan bunga. (al fiqh al islami), maka tidak diragukan lagi bahwa uang 20 juta yang akan diterima Benny enam bulan mendatang adalah bagian dari riba yang sangat dilarang oleh Allah, Allah berfirman (artinya): “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. “ (Q.s. Al- Baqarah:275).
Islam memberikan kebebasan penuh kepada kaum mislimin untuk melakukan akad, walaupun mungkin akad itu tidak disebutkan oleh ulama fiqh. Akad boleh digunakan sepanjang dibutuhkan dan dapat menimbulkan kemaslahatan pada pihak-pihak yang berhubungan, namun dengan catatan, akad tersebut tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama, kaidah-kaidah umum, tidak terdapat penipuan dan gharar, serta dapat mencegah terjadinya perselisihan.
Salah satu di antara aturan yang ditetapkan Islam dalam kehidupan ini adalah berhubungan dengan hak manusia satu sama lainnya dalam tukar-menukar kebendaan dan manfaat. Hukum ini ditetapkan bertujuan untuk mengatur hak kebendaan setiap orang dan memeliharanya. Hak-hak tersebut dipelihara sedemikian rupa melalui berbagai skim transaksi yang dikenal dengan sebutan akad.
3. Prinsip Aqad Syariah
Kegiatan hubungan manusia dengan manusia (muamalah) dalam bidang ekonomi menurut Syariah harus memenuhi rukun dan syarat tertentu. Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dan menjadi dasar terjadinya sesuatu, yang secara bersama-sama akan mengakibatkan keabsahan. Rukun transaksi ekonomi Syariah adalah:
1. Adanya pihak-pihak yang melakukan transaksi, misalnya penjual dan pembeli, penyewa dan pemberi sewa, pemberi jasa dan penerima jasa.
2. Adanya barang (maal) atau jasa (amal) yang menjadi obyek transaksi.
3. Adanya kesepakatan bersama dalam bentuk kesepakatan menyerahkan (ijab) bersama dengan kesepakatan menerima (qabul).
Disamping itu harus pula dipenuhi syarat atau segala sesuatu yang keberadaannya menjadi pelengkap dari rukun yang bersangkutan. Contohnya syarat pihak yang melakukan transaksi adalah cakap hukum, syarat obyek transaksi adalah spesifik atau tertentu, jelas sifat-sifatnya, jelas ukurannya, bermanfaat dan jelas nilainya.
Obyek transaksi menurut Syariah dapat meliputi barang (maal) atau jasa, bahkan jasa dapat juga termasuk jasa dari pemanfaatan binatang. Pada prinsipnya obyek transaksi dapat dibedakan kedalam:
1. Obyek yang sudah pasti (ayn), yaitu obyek yang jelas keberadaannya atau dapat segera diperoleh manfaatnya. Lazimnya disebut real asset dan berbentuk barang atau jasa.
2. Obyek yang masih merupakan kewajiban (dayn), yaitu obyek yang timbul akibat suatu transaksi yang tidak tunai. Lazimnya disebut financial asset dan dapat berupa uang atau surat berharga.
Aqad muamalah dalam bidang ekonomi menurut sifat partisipasi dari para pihak yang terlibat dalam transaksi secara prinsip dapat dibagi dalam:
1. Aqad pertukaran tetap, yang lazimnya adalah kegiatan perdagangan. Sesuai dengan sifatnya, aqad ini umumnya memberikan kepastian hasil bagi para pihak yang melakukan transaksi.
2. Aqad penggabungan atau pencampuran, yang lazimnya adalah kegiatan investasi. Aqad ini umumnya hanya memberikan kepastian dalam hubungan antar pihak dan jangka waktu dari hubungan tersebut, namun umumnya tidak dapat memberikan kepastian hasil.
3. Kegiatan penguasaan sementara, yang lazimnya adalah kegiatan sewa-menyewa. Aqad ini umumnya memberikan kepastian dalam manfaat yang diterima oleh para pihak. Sehingga dapat terjadi pertukaran maupun penggabungan atau pencampuran antara ayn dengan ayn, ayn dengan dayn dan dayn dengan dayn. Hanya menurut fiqih muamalah transaksi antara dayn dengan dayn dilarang kecuali kegiatan penukaran uang atau logam mulia. Kegiatan muamalah dalam bidang ekonomi melalui pasar modal umumnya adalah kegiatan pertukaran tetap (perdagangan) dan kegiatan penggabungan atau pencampuran (investasi). Sementara itu, waktu pertukaran maupun penggabungan atau pencampuran dapat terjadi secara tunai atau seketika (naqdan) maupun secara tidak tunai atau tangguh (ghairu naqdan). Transaksi keuangan umumnya timbul akibat transaksi yang berlaku secara tidak tunai atau tangguh. Hanya menurut fiqih muamalah, dilarang atau tidak sah suatu transaksi dimana kedua belah pihak melakukan secara tidak tunai atau tangguh (ghairu naqdan dengan ghairu naqdan). Dalam menerapkan aqad-aqad ini pada transaksi keuangan modern, Vogel dan Hayes mengatakan bahwa terdapat 4 prinsip dalam perikatan secara Syariah yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Tidak semua aqad bersifat mengikat kedua belah pihak (aqad lazim), karena ada kontrak yang hanya mengikat satu pihak (aqad Jaiz).
2. Dalam melaksanakan aqad harus dipertimbangkan tanggung jawab yang berkaitan dengan kepercayaan yang diberikan kepada pihak yang dianggap memenuhi syarat untuk memegang kepercayaan secara penuh (amin) dengan pihak yang masih perlu memenuhi kewajiban sebagai penjamin (dhamin).
3. Larangan mempertukarkan kewajiban (dayn) melalui transaksi penjualan sehingga menimbulkan kewajiban (dayn) baru atau yang disebut bay’ al dayn bi al dayn. 4. Aqad yang berbeda menurut tingkat kewajiban yang masih bersifat janji (wad) dengan tingkat kewajiban yang berupa sumpah (ahd).
4. Karakteristik dan keunikan Akad Syariah
Akad transaksi dalam Islam memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan skim transaksi konvensional baik dari segi efek multiplier, produk maupun dari segi operasionalnya. Akad syariah memiliki efek multiplier yang tidak dimiliki oleh akad konvensional. Efek multiplier tersebut adalah: pertama dapat berfungsi sebagai fund manager seperti dalam akad mudharabah muqayyadah, kedua dapat berfungsi sebagai pool of funds dan ketiga dapat berfungsi sebagai baitul maal, karena bank dapat mengumpulkan dan menyalurkan zakat, infaq dan shadaqah.
Di samping keunikan pada efek multipliernya akad syariah memiliki keragaman produk yang sangat banyak. Produk-produk ini memiliki kekhasan dan ciri-cirinya yang berbeda. Setiap produk yang dikembangkan tersebut tidak dapat disamaratakan, masing-masing memiliki tata cara dan persyaratan yang berbeda. Perbedaan-perbedaan ini tentunya memiliki status dan konsekuensi hukum yang berbeda pula. Contohnya produk yang berbasis jual beli sama sekali berbeda dengan yang berbasis bagi hasil.
Ada beberapa dasar yang melandasi sebuah transaksi dalam menjalankan system perbankan syariah:
h. Transaksi dijalankan pada sesuatu yang dapat memberikan manfaat (mashlahat) dan menghindari kezhaliman
i. Transaksi harus transparan dan tidak boleh mengandung keraguan yang menyebabkan terjadinya kerugian atau penipuan (gharar)
j. Transaksi harus bebas dari unsur maysir (gambling)
k. Jika mengharapkan keuntungan, maka harus bersedia menanggung kerugian
l. Uang sebagai alat pertukaran nilai, manfaat dari uang hanya timbul sebagai akibat pemakaian maal dan amal yang dibeli dengan uang tersebut.
Dengan keunikan efek dan mekanismenya, manfaat akad syariah akan diakui tentu bukan hanya oleh mereka yang memahami filosofi dari akad-akad fiqih tetapi juga oelh mereka yang memiliki ketajaman bisnis. Jenis akad yang sudah beragam itu terus dapat dikembangkan menjadi berbagai produk lembaga keuangan syariah, baik bank maupun non bank, sehingga seluruh keperluan masyarakat dalam muamalah, baik barang, jasa, maupun keuangan dapat dipenuhi, sambil terus mempertahankan prinsip-prinsip keislamannya. Dengan demikian akad syariah bukan hanya memberikan kemudahan finansial, tetapi juga memberikan kesempatan kepada segenap lapisan masyarakat untuk beribadah melalui transaksi bisnis yang dijalankannya.



BAB III
PRINSIP DAN MEKANISME TRANSAKSI HARTA

Prinsip pokok dalam akad (skim transaksi) syariah :
(a) Prinsip Titipan: penitipan suatu harta kepada seseorang/lembaga yang pada suatu saat akan diambil kembali oleh pemiliknya.
(b) Prinsip Bagi Hasil: penentuan keuntungan untuk masing-masing pihak dihitung atas dasar hasil usaha yang diperoleh si pengelola dana (mudhorib) yang besar prosentase masing-masing sesuai kesepakatan dua belah pihak (pemilik dana/shohibul maal dan si pengelola dana/mudhorib)
(c) Prinsip Jual Beli: penentuan keuntugan atas suatu nilai barang yang dijual (baik kontan maupun angsuran) atas dasar kesepakatan dua belah pihak setelah harga pokok barang diketahui oleh keduanya.
(d) Prisip Sewa
(e) Prinsip Jasa
(f) Prinsip Non-Profit: si pemilk dana (shohibul maal) tidak menarik keuntungan materi apapun dari transaksinya.
Dari ketiga prinsip pokok di atas (titipan, bagi hasil, jual-beli), maka dibangun beberapa produk-produk syariah. Semua produk mengacu pada siklus transaksi sebagai berikut:











Gambar 5. Siklus Transaksi
Penjelasan:
Pada saat ada masyarakat yang menitipkan dananya di Lembaga Keuangan Syariah (LKS) atau non lembaga, maka masyarakat tersebut bertindak sebagai shahibul Maal (pemilik dana), dan LKS atau non lembaga bertindak sebagai mudharib (pengelola dana). Ketika LKS membiayai usaha anggota, maka LKS bertindak sebagai shahibul maal, dan masyarakat yang menerima pembiayaan bertindak sebagai mudharib.
1. Prinsip Titipan (Al-Wadi’ah)
Dari segi bahasa, al-Wadi’ah dapat diartikan sebagai meninggalkan atau meletakkan, atau meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dijaga dan dipelihara. Secara teknis, berarti titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip kehendaki.
A. Landasan Syariah
(1) Firman Allah dalam surat An-Nisaa:58
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا ...
”Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampikan amanat (titipan) kepada yang berhak menerimanya…”
(2) Firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 283
فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ
”jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanahnya (utangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”
(3) Sabda Rasul dalam riwayat Abu Daud
أَدِّ اَلْأَمَانَةَ إِلَى مَنْ اِئْتَمَنَكَ, وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ
”sampaikanlah (tunaikanlah) amanah kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah mengkhianatimu”
B. Jenis-jenis Wadi’ah
Prinsip Wadi’ah ini terbagi dua:
a. Wadi’ah Yad al-Amanah: si penerima titipan (LKS) tidak diizinkan oleh pemberi titipan (anggota/nasabah) untuk mengelola dananya, LKS hanya menjaganya, maka LKS berhak memungut fee dari si penitip dan LKS tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada asset titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan.






Gambar 6. Skema al-Wadi'ah Yad al-Amanah
b. Wadi’ah Yad adh-Dhamanah; si penitip mengizinkan penerima titipan untuk mengelola dananya/barang titipan, dan penerima titipan bertanggung jawab atas rusak atau hilangnya barang titipan. Atas hasil yang didapat dari pengelolaan dana titipan ini, penerima titipan bisa saja memberikan bonus pada si penitip, tapi ini bukan kewajiban dan bonus itu besarnya tidak ditentukan diawal akad tapi betul-betul murni kebijaksanaan penerima titipan (LKS).
Dalam penerapannya di dunia Perbankan Syariah, Prinsip Wadi’ah Yad ad-Dhomanah dipergunakan sebagai “giro” (current acount),

















Gambar 7. Skema al-Wadi'ah Yad ad-Dhamanah

2. Prinsip Bagi Hasil (Profit/Revenue Sharing)
A. Al-Musyarakah
Al-Musyarokah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama.














Gambar 8. Skema al-Musyarakah
Landasan Syariah
a. Firman Allah dalam surat Shaad: 24
وَإِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ
“Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang yang beriman dan mengerjaka amal shaleh”
b. Firman Allah dalam hadis qudsi riwayat Abu Daud
إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا
”Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya. Maka bila berkhianat aku akan keluar dari mereka (tidak melimpahkan berkah)”
Jenis Musyarakah:
a) Syirkah al-‘Inan
Kontrak antara dua orang atau lebih yang mana setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Porsi dana dan kerja juga bagi hasil tidak harus selalu sama, sesuai kesepakatan mereka.
b) Syirkah Mufawadhah
Kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih yang mana setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja dengan pembagian keuntungan dan kerugian secara sama. Jadi sama dalam dana, kerja dan bagi hasil.
c) Syirkah A’maal
Kontrak kerjasama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu. Misal kerjasama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan kaos olahraga. Musyarakah ini kadang-kadang disebut pula musyarakah abdan atau sanaa’i.
d) Syirkah Wujuh
Kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis yang mana mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai dan mereka berbagi keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh setiap mitra. Jenis syirkah ini tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasar jaminan tersebut. Dalam akad musyarakah, penerapan di LKS, dilakukan untuk membiayai suatu proyek usaha, dimana pihak LKS dan anggota masing-masing menyediakan dana. Setelah proyek selesai, anggota mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati.
B. Al-Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata dharab, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adala proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.
Secara teknis Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal (100%) sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (modhorib). Pembagian keuntungan dibagi sesuai kesepakatan bersama, dan apabila terjadi kerugian ditanggung pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola.












Gambar 9. Skema al-Mudharabah
Landasan Syariah:
a. Firman Allah dalam surat Al-Muzzammil:20
وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
”…dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah…”
b. Firman Allah dalam surat Al-Jumu’ah:10
فَإِذَا قُضِيَتْ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
”Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah…”
c. Sabda Rasul dalam riwayat Ibnu Majah
ثَلَاثٌ فِيهِنَّ اَلْبَرَكَةُ: اَلْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ، وَالْمُقَارَضَةُ، وَخَلْطُ اَلْبُرِّ بِالشَّعِيرِ لِلْبَيْتِ, لَا لِلْبَيْعِ
”Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tempo, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual”.
Jenis Akad Mudharabah:
a. Mudharabah Muthlaqah
Bentuk kerjasama antara shohibul maal dengan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.
b. Mudharabah Muqayyadah
Merupakan kebalikan dari akad Mudharabah muthlaqah, dalam akad ini si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha.
Penerapannya pada praktek LKS:
a. Pada produk penghimpunan dana:
1) Simpanan Berjangka dan simpanan lain yang memiliki jangka waktu tertentu dalam pengambilannya seperti: Simpanan ‘Idul Fitri, Simpanan Haji, Simpanan Qurban dll.
2) Simpanan Modal
b. Pada Produk Pembiayaan :
1) Pembiayaan modal kerja
2) Investasi khusus, atau Mudharabah muqoyyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul maal.
3. Prinsip Jual-Beli (Sale and Purchase)
A. Bai’ Al-Murabahah
Adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam akad ini, penjual harus memberitahu harga pokok yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagian tambahannya, dengan pembayaran bisa dilakukan kontan maupun secara angsuran.
Ada yang berpendapat bahwa Murabahah pembayarannya dilakukan diakhir jatuh tempo sekaligus, dan apabila dibayar secara angsuran dinamakan Bai’Bithaman’Ajil. Namun ada yang menganggap sama pengertiannya.













Gambar 10. Skema Ba'i al-Murabahah

Landasan syariahnya sama dengan akad Mudharabah diatas.
Syarat Bai’ al-Murabahah
a. Penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah.
b. Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
c. Kontrak harus bebas dari riba.
d. Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian.
e. Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
Jual beli secara Murabahah diatas hanya untuk barang yang sudah dikuasai atau dimiliki penjual (LKS). Apabila barang yang dipesan anggota belum tersedia, pihak LKS tidak boleh begitu saja menyerahkan uangnya kepada anggota, langsung dibuat akadnya termasuk marjin yang diharapkannya karena khawatir termasuk meminjamkan uang dengan tambahan riba. Ada yang berpendapat untuk kasus ini, pihak LKS mewakilkan terlebih dahulu kepada anggota untuk membeli barang yang dibutuhkan atas nama LKS, setelah barang ada di pihak LKS, baru LKS melakukan akad jual beli dengan anggota pemesan tersebut. Namun, untuk lebih hati-hati (ihtiyat), sebaiknya LKS sendiri yang menyediakan barangnya. Hal ini tidak sulit apabila LKS sudah menjalin kemitraan dengan supplier barang.
Dalam akad ini, pihak LKS boleh meminta uang muka (arboun), apabila pihak pemesan/anggota membatalkan pemesanan, maka uang muka dikembalikan setelah dipotong biaya riil pembelian, apabila ada sisa, dikembalikan kepada pemesan, apabila kurang, pemesan harus melunasinya. Masalahnya adalah, bagaimana apabila pihak LKS sudah terlanjur membeli dan pihak supplier tidak menerima kembali vbarang yang sudah dibeli. Maka, kesepakatan diawal harus dibangun terlebih dahulu dengan anggota pemesan.
B. Bai’ as-Salam
Berarti pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan dimuka.
Landasan Syariah:
a. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah:282
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya…”
b. Sabda Rasul dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ  اَلْمَدِينَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ, إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Rasulullah saw. datang ke Madinah dimana penduduknya melakukan salaf (salam) dalam buah-buahan (untuk jangka waktu) satu, dan dua tahun. Beliau bersabda, 'Barangsiapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui'.”
Rukun Bai’ as-Salam:
a. Muslam atau pembeli
b. Muslam ilaih atau penjual
c. Modal atau uang
d. Muslam fiihi atau barang
e. Sighat atau ucapan
Syarat barang yang ditransaksikan (muslam fiihi) adalah:
a. Harus spesifik dan dapat diakui sebagai utang
b. Harus bisa diidentifikasi secara jelas baik jenis, maupun kualitas dan jumlahnya.
c. Penyerahan barang dilakukan dikemudian hari.
d. Boleh menentukan tanggal waktu di masa yang akan datang untuk penyerahan barang.
e. Tempat penyerahan barang harus ditentukan.
f. Penukaran atau penggantian barang as-salam tidak diperkenankan karena meskipun belum diserahkan, barang itu tidak lagi milik si penjual tapi sudah menjadi milik sipembeli.
Biasanya akad bai’ as-salam dipergunakan untuk pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh LKS adalah barang seperti padi, jagung atau cabai, dan LKS tidak berniat untuk menjadikan barang itu sebagai simpanan, maka dilakukan akad bai’as-salam kepada pembeli kedua, misalnya pedagang dipasar induk. Hal ini disebut sebagai salam paralel.
Contoh kasus:
Seorang petani punya 2 hektar sawah mengajukan pembiayaan sebesar Rp 5 juta. Pembiayaan tersebut sudah mencakup ongkos bibit dan upah kerja. Ia berencana menamainya dengan bibit jenis IR36 yang bila telah digiling menjadi beras dijual di pasar dengan harga Rp 2.000,-/kg. penghasilan yang didapat biasanya 4 ton beras per hektar. Ia akan mengantar beras itu setelah 3 bulan. Bagaimana cara menghitungnya?
Jumlah pembiayaan yang diajukan Rp 5 juta, sedangkan harga beras di pasar Rp 2.000.kg, karenanya LKS bisa membeli dari petani sebanyak 2,5 ton (Rp 5 juta dibagi Rp 2000 per kg). Beras tersebut dapat dijual kepada pembeli berikutnya. Setelah melalui perundingan, LKS menjual sebesar Rp 6 juta (bila dihitung secara umum, LKS mendapat keuntungan jual beli, bukan pembuangan uang, sebesar 20% marjin).
Bai’as-salam sangat berbeda dengan ijon. Karena dalam ijon barang yang dibeli tidak diukur atau ditimbang secara jelas dan spesifik, dan harga belipun sangat bergantung pada keputusan sepihak si tengkulak.
C. Bai’ al-Istishna
Adalah kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam kontrak ini pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Biasanya akad ini dipergunakan untuk pembiyaan pada bidang manufaktur. Pembayarannya bisa dilakukan pada saat kontrak bisa pula diangsur, atau dikemudian hari, sementara pada saat akad salam dibayar pada saat kontrak.
Contoh kasus:
Sebuah perusahaan konveksi meminta pembiayaan untuk pembuatan kostum olah raga sebesar Rp 20 juta. Produksi ini akan dibayar oleh pemesannya dua bulan lagi. Harga sepasang kostum di pasar Rp.40.000,- sedangkan perusahaan itu bisa menjual kepada LKS dengan harga Rp 38.000,-
Maka, dalam kasus ini, produsen tidak ingin diketahui modal pokok pembuatan kostum, ia hanya ingin memberikan untung sebesar Rp 2000 per kostum atau sekitar Rp 1 juta (Rp 20 juta/Rp 38 ribu X Rp 2000) atau 5% dari modal. LKS bisa menawar lebih lanjut agar kostum itu lebih murah dan dijual kepada pembeli dengan harga pasar.
4. Prinsip Jasa
A. Ar-Rahn
(a) Pengertian
Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secar sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan utang atau gadai.
(b) Landasan Syariah
1. Firman Allah dalam surat al-Baqarah: 283.
وَإِنْ كُنتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ
“jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaknya ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang.)….”
2. Amal Rasul dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيدٍ
“Dari Aisyah, bahwa Nabi saw. membeli makanan dari seorang Yahudi secara kredit dan menjaminkan kepadanya baju besi.”
(c) Manfaat Ar-Rahn
1. Menjaga kemungkinan anggota lalai atau bermain-main dengan fasilitsas pembiayaan yang diberikan.
2. Memberikan keamanan bagi semua penabung dan pemegang deposito bahwa dananya tidak akan hilang begitu saja jika anggota peminjam ingkar janji karena ada asset barang (marhun) yang dipegang oleh LKS.
Adapun manfaat yang langsung didapat LKS adalah biaya-biaya konkrit yang harus dibayar oleh anggota untuk pemeliharaan dan keamanan asset tersebut.
Tentu saja apabila LKS mempraktekan akad ini, LKS harus memiliki gudang tersendiri untuk menampung barang jaminan, dan harus memiliki kemampuan menaksir harga beli dan taksiran harga jual. Dengan akad ini, LKS memungut biaya penitipan, pemeliharaan, pengamanan, dan biaya taksir.
B. Al-Wakalah
(a) Pengertian.
Wakalah atau wikalah adalah berarti penyerahan, pendelegasian atau pemberian mandat. Dalam bahasa Arab hal ini dapat dipahami sebagai at-tafwidh. Contoh seperti kalimat: aku serahkan urusanku kepada Allah” mewakili pengertian istilah tersebut.
(b) Landasan Syariat
Islam mensyariatkan al-wakalah karena manusia membutuhkannya. Tidak setiap orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala urusannya sendiri. Pada satu waktu, seseorang mungkin mendelegasikan pekerjaan kepada orang lain untuk mewakili dirinya.
a) Firman Allah dalam Alquran
وَكَذَلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَاءَلُوا بَيْنَهُمْ قَالَ قَائِلٌ مِنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنظُرْ أَيُّهَا أَزْكَى طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا
“dan demikianlah Kami bangkitkan mereka agar saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkata di antara salah seorang mereka, sudah berapa lamakah kamu disini? Mereka menjawab, kita sudah berada disini satu atau setengah hari ‘berkata yang lain lagi” Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (disini). Maka, suruhlah salah seorang diantara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini dan hendaklah ia lihat manakah makanan yang lebih baik dan hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut, dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun. Q.s. Al-Kahfi:19
Ayat ini melukiskan perginya salah seorang ash-habul kahfi yang bertindak atas nama rekan-rekannya sebagai wakil mereka dalam mencari dan membeli makanan serta menjaga etika serta hal-hal rahasia lainnya.
Dalam Ayat lain Allah berfirman :
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ الْأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
“Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengalaman.”Q.s. Yusuf:55
Dalam konteks ayat ini, Nabi Yusuf AS siap untuk menjadi wakil dan pengemban amanah menjaga “Federal Reserve” Negeri Mesir.
b) Amaliah Rasul
Bahwasannya Rasulullah saw. mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah binti Al-Harits. H.r. Malik
Dalam kehidupan sehari-hari Rasulullah saw. telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai urusan. Diantaranya adalah membayar utang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan dan lain sebagainya.
c) Ijma
Para Ulama bersepakat bahwa wakalah adalah sesuatu yang bermanfaat dan diperbolehkan, bahkan cenderung mensunahkannya. Karena dipandang bahwa hal tersebut merupakan bentuk taawun (tolong menolong) atas kebaikan dari taqwa.
Allah Berfirman :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“…..Dan Tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan Taqwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam (mengerjakan) dosa & permusuhan.” Q.s. Al-Maidah:2
Dalam salah satu hadisnya beliau bersabda, “Dan Allah menolong hamba selama hamba menolong saudaranya" H.r. Muslim
Dalam perkembangan fiqh Islam, status wakalah sempat diperdebatkan, apakah wakalah masuk dalam kategori nisbah, yakni sebatas mewakili, atau kategori wilayah atau wali? Perbedaan ini sampai saat ini masih terus berkembang. Pendapat pertama menyatakan bahwa wakalah adalah niabah atau mewakili. Menurut pendapat ini, si wakil tidak dapat menggatikan seluruh fungsi “muwakkil”. Sedangkan menurut pendapat yang kedua, menyatakan bahwa wakalah adalah wilayah karena khilafah (menggantikan) dibolehkan untuk mengarah kepada kepada yang lebih baik, sebagaimana dalam jual beli, melakukan pembayaran secara tunai lebih baik, walaupun diperkenankan secara kredit.
C. Al-Kafalah
(a) Pengertian.
Al-Kafalah merupakan jaminan yang diberikan oleh penangung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.
(b) Landasan Syariah
1. Firman Allah dalam surat Yusuf:72
Dasar hukum untuk akad memberi kepercayaan ini dapat dipelajari dalam Alquran pada bagian kisah Nabi Yusuf AS.
قَالُوا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيمٌ
“Penyeru-penyeru itu berseru: kami kehilangan piala raja dan barang siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan (seberat) beban unta dan aku menjamin terhadapnya"
Kata za’im dalam ayat tersebut berarti penjamin, yakni gharim, orang yang bertanggung jawab atas pembayaran.
2. Taqrir (persetujuan) Nabi
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ قَالَ كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأُتِيَ بِجِنَازَةٍ ...فَقَالَ هَلْ تَرَكَ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ قَالُوا نَعَمْ قَالَ هَلْ تَرَكَ مِنْ شَيْءٍ قَالُوا لَا قَالَ صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ يُقَالُ لَهُ أَبُو قَتَادَةَ يَا رَسُولَ اللَّهِ عَلَيَّ دَيْنُهُ فَصَلَّى عَلَيْهِ
Dari Salamah bin al-Akwa', ia berkata, "Ketika aku bersama Nabi, Telah dihadapkan kepada beliau (mayat seorang laki-laki untuk disholatkan)… Rasulullah saw. bertanya, "Apakah dia mempunyai hutang?" Sahabat menjawab, "Ya” Rasulullah bertanya lagi, "Apakah dia mempunyai warisan?" Para sahabat menjawab, "Tidak” Rasulullah bersabda, "Salatlah atas sahabat kalian" (tetapi beliau sendiri tidak). Lalu seorang laki-laki dari kaum Anshar yang disebut Abu Qatadah berkata, “Saya menjamin utangnya, ya Rasulullah.” Maka Rasulullah pun menshalatkan mayat tersebut" H.r. Al-Bukhari
(c) Jenis Kafalah
1. Kafalah bi al-Nafs
Kafalah Bin-Nafs merupakan akad memberikan jaminan atas diri (personal guarantee). Contoh dalam perbankan seorang nasabah yang mendapatkan pembiayaan dengan jaminan nama baik dan ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat. Walaupun bank secara fisik tidak memegang barang apapun, tetapi bank terhadap tokoh tersebut dapat mengusahakan pembayaran ketika nasabah yang dibiayai mengalami kesulitan.
2. Kafalah bi al-Maal
Kafalah bil maal merupakan jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang.
3. Kafalah bi al-Taslim
Jenis kafalah ini bisa dilakukan untuk menjamin pengambilan atas barang yang disewa, pada waktu masa sewa berakhir. Jenis pemberian jaminan ini dapat dilakukan oleh bank untuk kepentingan nasabahnya dalam bentuk kerjasama dengan perusahaan penyewaan (leasing company). Jaminan pembayaran bagi bank dapat berupa deposito/tabungan dan bank dapat membebankan uang jasa (fee) kepada nasabah itu.
4. Kafalah al-Munjazah
Kafalah Al-Munjazah adalah jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh jangka waktu dan untuk kepentingan/tujuan tertentu. Salah satu bentuk kafalah ini adalah pemberian jaminan dalam bentuk performance bonds (jaminan prestasi) suatu hal yang lazim di kalangan perbankan dalam hal ini sesuai dengan bentuk akad ini.
5. Kafalah al-Mu’alaqah
Bentuk jaminan ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-munjazah, baik oleh industri perbankan maupun asuransi.
D. Al-Hawalah
(a) Pengertian
Al-Hawalah akad pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggunya. Dalam istilah para Ulama, hal ini merupakan pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berutang) menjadi tanggungan muhal alaihi (orang yang berkewajiban membayar utang).
Secara sederhana, dapat dijelaskan bahwa A (muhal) memberi pinjaman kepada B (muhil), sedangkan B memiliki piutang pada si C (muhal alaih). Begitu B tidak mampu membayar utangnya kepada si A, ia kemudian mengalihkan beban utang tersebut pada si C. dengan demikian si C berkewajiban untuk membayar beban si B kepada si A, sedangkan utang sebelumnya pada si B dianggap sudah tuntas.
(b) Landasan Syariah
a) Sabda Rasul
مَطْلُ اَلْغَنِيِّ ظُلْمٌ, وَإِذَا أُتْبِعُ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتْبَعْ
“Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kezaliman. Dan, jika salah seorang dari kamu diikutkan (di-hawalah-kan) kepada orang yang mampu/kaya, terimalah hawalah itu. H.r. Al-Bukhari dan Muslim
b) Ijma
Ulama sepakat membolehkan hawalah. Hawalah diperbolehkan pada utang yang tidak berbentuk barang/ benda karena hawalah adalah perpindahan utang. Oleh sebab itu, harus pada uang atau kewajiban finansial.
5. Prinsip Sewa (Al-Ijarah)
A. Pengertian
Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.
Dalam praktek LKS, akad al-Ijarah biasanya diakhiri dengan kepemilikan atas barang tersebut, sehingga disebut al-Ijarah al-Muntahia bit-Tamlik atau ijarah wa iqtinaf, seperti produk leasing.
B. Landasan Syariah
1. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah:233
وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan, jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut….”
2. Sabda Rasul
أَعْطُوا اَلْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ
Berikanlah upah pekerja sebelum kering keringatnya.” H.r. Ibnu Majah
F. Non Profit (Al-Qardh)
(a) Pengertian
Al-Qardh adalah meminjamkan sesuatu tanpa mengharapkan imbalan (kelebihan) atau sering disebut juga pinjaman kebajikan (Qardhul Hasan).
(b) Landasan Syari’ah
1. Firman Allah dalam surat Q.s. al-Hadiid: 11
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيمٌ
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik. Allah akan melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.”
2. Sabda Rasul
مَنْ أَقْرَضَ مُسْلِمًا دِرْهَمًا مَرَّتَيْنِ كَانَ لَهُ كَأَجْرِ صَدَقَةٍ مَرَّةً
“Seorang muslim yang meminjamkan satu dirham kepada muslim (lainnya) dua kali maka ia memperoleh pahala (senilai) sedekah satu kali. H.r. Ibnu Hiban
dalam praktek LKS, al-Qardh merupakan bentuk pinjaman yang biasanya diberikan kepada nasabah atau anggota yang loyal, untuk sebuah keperluan yang mendadak dan konsumtif. Atas akad al-Qardh ini, si peminjam tidak dikenai biaya atau kelebihan tambahan atas pokok pinjaman, namun si peminjam dapat memberikan infak sesuai dengan kemampuan dan keridlaannya.





BAB IV
JENIS LEMBAGA TRANSAKSI

1. Pasar
A. Pengertian dan Jenis Pasar
Secara umum dapat dikatakan bahwa pasar adalah tempat pertemuan antara penjual dengan pembeli. Pengertian ini mengandung arti bahwa yang dimaksud dengan pasar di sini adalah suatu tempat atau daerah yang di dalamnya terdapat kekuatan-kekuatan permintaan dan penawaran yang saling bertemu untuk menentukan suatu harga. Namun dilihat dari aspek pelaku permintaan-penawaran, pasar dapat juga diartikan orang-orang yang mempunyai keinginan untuk puas, mempunyai uang untuk berbelanja dan mempunyai kemauan untuk membelanjakannya. Jadi, dalam pengertian ini terdapat tiga faktor yang menunjang: (1) Orang dengan segala keinginannya, (2) Daya beli mereka, (3) Kemauan untuk membelanjakan uangnya.
Dilihat dari jenis barang, pasar secara umum dibagi menjadi dua, yaitu pasar barang konsumsi dan pasar barang industri. Yang dimaksud barang konsumsi adalah barang yang dibeli oleh pemakai langsung atau konsumen akhir untuk memenuhi kebutuhannya. Barang ini untuk pemakaiannya tidak memerlukan proses produksi lebih lanjut Barang konsumsi terbagi atas 3 (tiga) jenis menurut tujuan pemakaian:
i. Barang Konvenien (Convinience Goods), yaitu barang yang mudah dipakai, dapat dibeli hampir di semua tempat pada setiap waktu. Misalnya: sabun, gula, pasta gigi.
ii. Barang toko (Shopping Goods). Dalam melakukan pembelian jenis barang ini, konsumen lebih mempertimbangkan secara masak mengenai kualitas, harga, merk, dan sebagainya. Harga jenis barang ini relatif lebih mahal dibanding dengan barang Konvenien. Contoh: mesin ketik, pesawat televisi, mesin cuci.
iii. Barang Spesial (Speciality Goods), Yaitu barang yang spesifik, mempunyai ciri khas tersendiri dan hanya dapat dibeli pada suatu tempat saja. Seringkali dalam melakukan pembelian, konsumen harus mengeluarkan pengorbanan atau melakukan usaha-usaha tertentu. Harga barang spesial relatif mahal dan frekuensi pembelinya rendah. Misalnya: Pakaian wanita keluaran rumah mode tertentu, perhiasan, barang seni, misalkan lukisan, benda kuno.
Penggolongan-penggolongan barang konsumsi menjadi beberapa golongan itu sebenarnya sangat relatif, karena dipengaruhi oleh prilaku si pembeli. Suatu barang mungkin bagi seseorang termasuk barang toko (shopping goods), tetapi mungkin bagi pembeli yang lain dimasukkan dalam barang spesial (speciality goods).
Apabila ditinjau dari tingkat kecepatan konsumsi, maka barang konsumsi digolongkan atas: (a) Barang tahan lama (Durable Goods). Barang ini secara normal dapat digunakan berkali-kali, untuk jangka waktu relatif lama. Misalkan: pesawat radio, meja tulis, pakaian. (b) Barang tidak tahan lama (Non Durable Goods) Barang ini secara normal hanya dapat dipakai dalam satu atau beberapa kali pemakaian. Misalkan: sabun, makanan, minuman, rokok.
Sedangkan yang dimaksud dengan barang Industri adalah barang yang dibeli dengan tujuan untuk diproses lebih lanjut atau untuk kepentingan dalam industri. Permintaan akan barang industri ini diturunkan oleh permintaan dari barang lain. Misalkan mori merupakan bahan utama pada perusahaan batik, maka apabila terjadi penurunan/kenaikan permintaan akan kain batik, permintaan akan mori juga akan mengalami penurunan atau kenaikan.
Adapun industri dapat diartikan sebagai kegiatan pengadaan suatu barang ekonomi (economic goods) untuk keperluan dan kesejahteraan manusia oleh orang-orang tertentu di suatu tempat tertentu. Barnag ekonomi ini dapat berupa bahan atau barang misalkan tekstil, mobil, hasil pertanian ataupun berupa jasa seperti perbankan.
Dalam Industri diperlukan pemindahan dan pengolahan bahan menjadi barang jadi atau barang setengah jadi serta penyalurannya. Barang Industri dibagi ke dalam 5 (lima) golongan:
1. Bahan baku, yaitu bahan utama untuk membuah produk lain. Misalkan: kapas untuk pabrik tekstil.
2. Komponen dan barang setengah jadi. Barang ini merupakan komponen-komponen yang diperlukan untuk melengkapi produk akhir. Misalnya, suku cadang untuk mobil/motor, tepung gandum untuk membuat roti.
3. Perlengkapan operasi, yaitu barang-barang yang dapat membantu kelancaran proses produksi atau kegiatan perusahaan yang lain. Misalkan: minyak pelumas, alat tulis menulis.
4. Instalasi, yaitu alat produksi utama bagi suatu perusahaan yang dapat digunakan untuk jangka waktu yang lama. Misalnya, mesin tenun pada perusahaan tekstil.
5. Alat bantu lainnya, yaitu alat-alat yang digunakan untuk menunjang jalannya proses produksi perusahaan. Misalkannya, traktor kecil, truk kecil, gerobak.
Dalam perkembangan selanjutnya pengertian pasar mengalami perluasan dilihat dari aspek produk. Pasar dalam pengertian ini tidak lagi terbatas pada pasar sektor riil (konsumsi dan industri) tapi meliputi pasar moneter, yaitu pasar modal, uang dan obligasi. Bahkan saat ini bertambah dengan munculnya pasar derivatif, yang merupakan turunan dari ketiga pasar terdahulu. Kesemuanya menggunakan bunga bank sebagai harga dari produk-produknya.
Adapun dalam pandangan Islam, pasar dalam pengertian pertama (tempat pertemuan antara penjual dengan pembeli) disebut as-Suq (jamaknya al-aswaq), yaitu maudhi’ul bai’ was syara (tempat jual beli). Pasar dalam pengertian ini dipergunakan oleh Allah dalam Alquran sebanyak 2 kali:
وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ
Dan mereka berkata: "Mengapa rasul itu memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar? Q.s. Al-Furqan:7
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنَ الْمُرْسَلِينَ إِلَّا إِنَّهُمْ لَيَأْكُلُونَ الطَّعَامَ وَيَمْشُونَ فِي الْأَسْوَاقِ
Dan Kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar. Q.s. Al-Furqan:20
Sedangkan dalam hadis Nabi saw. dipergunakan demikian banyak hingga penyusun kitab jenis shahih dan sunan telah membuat bab khusus tentang pasar. Misalnya al-Bukhari, dalam kitab Shahih-nya beliau membuat 4 bab; Pertama, dengan judul:
بَاب الْأَسْوَاقِ الَّتِي كَانَتْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَتَبَايَعَ بِهَا النَّاسُ فِي الْإِسْلَامِ
“Bab pasar di zaman Jahiliyyah, yang digunakan sebagai tempat jual-beli oleh orang-orang pada masa Islam”
Kedua, dengan judul:
بَاب مَا ذُكِرَ فِي الْأَسْوَاقِ
“Bab Apa yang diterangkan tentang pasar”
Dalam bab ini beliau memuat 8 hadis tentang adab transaksi di pasar
Ketiga, dengan judul:
بَاب كَرَاهِيَةِ السَّخَبِ فِي السُّوقِ
“Bab tercela berteriak-teriak (hiruk pikuk) di pasar”
Keempat, dengan judul:
بَاب التِّجَارَةِ أَيَّامَ الْمَوْسِمِ وَالْبَيْعِ فِي أَسْوَاقِ الْجَاهِلِيَّةِ
“Bab perdagangan pada hari-hari musim (pameran dagang) dan jual-beli di pasar jahiliyyah”
Abu Hamid al-Ghazali (1058-1111) telah berupaya menyajikan penjabaran yang rinci akan peranan aktivitas perdagangan dan timbulnya pasar yang harganya bergerak sesuai kekuatan permintaan dan penawaran. Bagi Ghazali, pasar merupakan bagian dari " keteraturan alami" . Secara rinci dia juga menerangkan bagaimana evolusi terciptanya pasar. Simak saja ucapannya. "Dapat saja petani hidup di mana alat-alat pertanian tidak tersedia. Sebaliknya pandai besi dan tukang kayu hidup dimana lahan pertanian tidak ada. Namun secara alami mereka akan saling memenuhi kebutuhan masing-masing. Dapat pula terjadi tukang kayu membutuhkan makanan, tetapi petani tidak membutuhkan alat-alat tersebut atau sebaliknya. Keadaan ini menimbulkan masalah. Oleh karena itu, secara alami pula orang akan terdorong untuk menyediakan tempat penyimpanan alat-alat di satu pihak dan tempat penyimpanan hasil pertanian di lain pihak. Tempat inilah yang kemudian yang didatangi pembeli sesuai kebutuhannya masing-masing sehingga terbentuklah pasar. Petani, tukang kayu, dan pandai besi yang tidak dapat langsung melakukan barter, juga terdorong pergi ke pasar ini. Bila di pasar juga tidak ditemukan orang yang mau melakukan barter, ia akan menjual pada pedagang dengan harga yang relatif murah untuk kemudian disimpan sebagai persediaan. Pedagang kemudian menjualnya dengan suatu tingkat keuntungan. Hal ini berlaku untuk setiap jenis barang."
B. Pasar Masa Jahiliyyah dan Islam
Salah satu bab tentang pasar yang dibuat oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya berjudul:
بَاب الْأَسْوَاقِ الَّتِي كَانَتْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَتَبَايَعَ بِهَا النَّاسُ فِي الْإِسْلَامِ
“Bab pasar di zaman Jahiliyyah, yang digunakan sebagai tempat jual-beli oleh orang-orang pada masa Islam”
Dalam bab ini beliau mencantumkan satu riwayat dari Ibnu Abas sebagai berikut:
كَانَتْ عُكَاظٌ وَمَجَنَّةُ وَذُو الْمَجَازِ أَسْوَاقًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَلَمَّا كَانَ الْإِسْلَامُ تَأَثَّمُوا مِنْ التِّجَارَةِ فِيهَا فَأَنْزَلَ اللَّهُ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ
“Ukaz, Majjanah, Dzul Majaz adalah pasar-pasar pada masa jahiliyyah. Ketika Islam datang para sahabat menjauhkan diri dari berdagang di pasar-pasar itu karena takut berdosa. Maka Allah menurunkan ayat Laisa ‘alaikum...(Q.s. al-Baqarah:198)”
Keterangan lebih luas tentang pasar di Arabia pada zaman Jahiliyah dikemukakan oleh Muhammad bin Habib al-Bagdadi, yakni tercatat sebanyak tiga belas pasar sebagai berikut;
Pertama, Dumatul Jandal: pasar yang terkenal ini terletak di ujung utara Hijaz di dekat perbatasan Syiria waktu itu. Sebuah pekan dagang dilangsungkan setiap tahun pada awal bulan Rabi’-‘u al-Awwal di tempat ini. Saat seperti ini para pedagang, dari jauh dan dekat, berdatangan ke pasar tersebut. Pasar ini berlangsung hingga akhir bulan.
Kedua, Mushaqqar: pekan dagang diselenggarakan di Mushaqqar, sebuah kota yang terkenal di Hijar (Bahrain) muali awal bulan Jumadi al-Awwal, ini berlangsung sebulan penuh.
Ketiga, Suhar: ini adalah sebuah kota di Oman. Pekan dagang ini selama lima hari pada bulan Rajab.
Keempat, Daba: Suhar selanjutnya dipindahkan ke Daba pada akhir bulan Rajab. Ini adalah salah satu dari dua kota laut Oman. Para pedagang dari daerah Sind, Hind (India), Cina dan banyak negara-negara Timur lainnya datang ke tempat ini untuk berdagang.
Kelima, Shihr (Maharah): sebuah kota yang terletak di sebelah pantai laut Arabia, antara Aden dan Oman. Kota ini terkenal dengan parfumnya yang disebut ‘Amber’. Pekan dagang ini dilangsungkan sejak awal hingga pertengahan bulan Sya’ban.
Keenam, Aden: pasar Aden diadakan mulai tanggal satu hingga sepuluh Ramadlan. Banyak orang dari timur dan selatan berdatangan ke tempat tersebut untuk keperluan berdagang.
Ketujuh, San’a: ibu kota Yaman, sebuah tempat pasar terkenal diadakan di sini mulai tanggal sepuluh hingga akhir Ramadlan.
Kedelapan, Rabiyah: nama sebuah kota di Hadramaut. Sebuah pasar diadakan di kota ini mulai tanggal lima belas Dzu’ al-Qa’dah dalam waktu sebulan.
Kesembilan, Ukaz: nama sebuah tempat di bagian ujung Najd. Pasar dagang terkenal diadakan secara bersamaan dengan pasar di Hadramaut. Pasar ini melebihi pasar-pasar lainnya dalam kemegahan, hubungan dagang, manifestasi puisi dan kesukuan, dan lain-lain. Ini berlangsung hingga akhir bulan Dzu’ al-Qa’dah. Pasar ini dikunjungi oleh suku-suku Quraisy, Hawazin, Ghatafan, Aslam, Ahabish, Adl, ad-Dish, al-Haya dan al-Mustaliq.
Kesepuluh, Dul Majaz: adalah sebuah tempat di dekat Ukaz. Pasar Dul Majaz diadakan mulai tanggal satu hingga tanggal tujuh belas Dzu’ al-Hijjah.
Kesebelas, Mina: selanjutnya, pasar Dul Majaz pindah ke Mina, dan berlangsung selama musim haji.
Keduabelas, Nazat: selanjutnya pasar diadakan di Nazat, wilayah Khaibar mulai tanggal sepuluh sampai akhir bulan Muharram.
Ketigabelas, Hijr: adalah sebuah kota di Yamamah. Pasar ini diadakan bersamaan dengan Nazat mulai tanggal sepuluh sampai akhir bulan Muharram.
Seluruh pasar ini diadakan di Semenanjung Arabia, di mana orang-orang dari timur dan selatan berdatangan ke sana secara berkelompok untuk menjalankan perdagangan.
NO BULAN TANGGAL TEMPAT PELAKSANAAN
1. Al-Muharram 10 - 30 Nazat (Khaibar)
2. Rabi’ al-Awwal 1 - 30 Dumatul Jandal
3. Jumada al-Awwal 1 - 30 Mushaqqar (Bahrain al-Ahsa)
4. Rajab 20 - 25 Suhar (Oman)
5. Rajab 30 - ? Daba (Oman)
6. Sya’ban 1 - 15 Shihr (Maharah)
7. Ramadlan 1 - 10 Aden (Yaman)
8. Ramadlan 10 - 30 Sana’ (Yaman)
9. Dzu al-Qa’dah 15 - 30 Rabiyah (Hadramaut)
10. Dzu al-Qa’dah Ukaz (dekat Thaif)
11. Dzu al-Hijjah 1 - 7 Dzul Majaz (antara Ukaz dan Makkah)
12. Dzu al-Hijjah 9 - 11 Mina (dekat Makkah)
13. Al-Muharram 10 - 30 Hijr (Yamamah: Pasar ini diadakan secara bersamaan dengan Nazat (Khaibar) seperti Rabiyah dan Ukaz pada pertengahan kedua bulan Dzu al-Qa’dah).

Daftar ini tidak menyebutkan pasar dagang di Busra (Syiria), yang didatangi oleh orang-orang Quraisy, di mana Nabi juga ikut serta berkali-kali, sebab Busra berada di luar Semenanjung Arabia.
Sepintas berdasarkan daftar ini, tampak bahwa pasar-pasar tersebut meliputi seluruh Arabia, dari Utara ke Timur dari Timur ke Selatan dari Selatan ke Barat dan dari Barat ke Utara. Mungkin perlu ditekankan bahwa pasar-pasar dagang ini bukanlah merupakan pasar lokal. Banyak orang yang berasal dari luar negeri ikut mendatanginya. Orang-orang Quraisy sering mendatangi pasar di Dumatul Jandal, Rabiyah dan Ukaz. Pasar-pasar ini sering dikunjungi oleh orang-orang dari seluruh negeri tersebut. Waktu itu para pedagang memang berpindah-pindah dari satu pasar ke pasar lainnya, mengunjungi pasar sebanyak mungkin sesuai dengan kemampuan mereka, dan jika mereka memiliki uang membeli dan barang untuk dijual. Festival atau pameran dagang regional dan global itu telah diisyaratkan oleh al-Bukhari pada kitabul buyu’ dalam bab
بَاب التِّجَارَةِ أَيَّامَ الْمَوْسِمِ وَالْبَيْعِ فِي أَسْوَاقِ الْجَاهِلِيَّةِ
“Bab perdagangan pada hari-hari musim (pameran dagang) dan jual-beli di pasar jahiliyyah”
Sebelum menjadi Nabi, Muhamad telah mendatangi pasar-pasar ini berulangkali, dan secara teratur melakukan urusan perdagangannya. Seorang pedagang yang profesional harus mendatangi pusat-pusat perdagangan serta pasar-pasar secara teratur untuk mempertahankan bisnis serta koneksi-koneksi dagangannya. Jika ini tidak dilakukannya, maka tidak adakan dapat melakukan usahanya dalam jangka panjang. Ini memerlukan pasokan barang secara teratur untuk memperjualbelikan, jika tidak maka pada suatu saat ia bisa jatuh bangkrut. Lebih jauh, adalah penting mengunjungi pasar-pasar dan bazar untuk tujuan-tujuan dagang supaya memperoleh biaya hidup. Seorang pedagang tidak akan mampu melakukan hal tersebut tanpa memiliki harta kekayaan dalam jumlah yang besar serta mampu untuk membeli barang yang seharga jutaan dirham untuk dapa bertahan selama berbulan-bulan.
Tetapi Muhammad adalah seorang miskin yang memulai usaha dagangnya dari tahap awal, terkadang bekerja untuk mendapatkan upah dan terkadang sebagai agen untuk beberapa pedagang kaya dikota Makkah. Karena itu cukup masuk akal untuk menganggap bahwa ia cukup sering dan secara teratur menghadiri pasar dan bazar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sudah dapat dipastikan bahwa Muhammad telah mengunjungi berbagai bagian atau daerah di Arabia di Utara, Timur, Barat dan Selatan sambil berdagang di pasar tersebut. Kasus Bahrain telah ditegaskan tanpa diragukan lagi. Muhammad menanyakan pada kepala utusan Abdul Qais tentang berbagai orang dan kota, setelah itu menanyakan kesejahteraan mereka. Ketika mereka menanyakan perihal minuman, beliau menjelaskan kepada mereka rincian-rincian peralatan yang mereka gunakan untuk pembuatan dan cara minum anggur. Nabi telah melarang mereka mempergunakan empat jenis peralatan yang mereka pergunakan untuk anggur: pertama, Kham, sebuah teko yang berwarna hijau yang dipergunakan untuk pembuatan anggur. Kedua, Daba, sebuah labu kering yang berwarna kuning yang mereka cat dan dipergunakan sebagai cangkir anggur untuk minum. Ketiga, Naqir, sebuah rongga dan sebatang pohon yang mereka pahat dari dalam dan dipergunakan sebagai alat penutup anggur (nabiz). Keempat, Muzaffat, suatu alat yang dibikin dengan mewarnainya dengan zift (minyak tir).
Pengetahuan yang rinci tentang kebiasaan setempat, cara hidup penduduk Bahrain, cara mereka makan dan minum, ini menunjukkan bahwa Nabi pasti telah berkali-kali mengunjungi Bahrain untuk perjalanan dagang ke pasar Mushaqqar, kalau tidak tentunya Nabi tidak mengetahui dengan begitu cermat dan teliti. Sebagaimana yang dikatakan oleh pemimpin para utusan al-Ashajj. “Anda (yakin Nabi) mengenal lebih banyak kota-kota dan penduduknya daripada saya).
Di kemudian hari setelah diangkat menjadi Nabi-Rasul, ternyata pengetahuan Nabi yang rinci tentang market mapping (peta pasar) dan kebiasaan para pelaku bisnis setempat, menjadi modal dan kekuatan utama Nabi saw. dalam berdakwah. Sehubungan dengan itu Jabir menyatakan:
أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَبِثَ عَشْر سِنِينَ يَتْبَع النَّاس فِي مَنَازِلهمْ فِي الْمَوْسِم بِمَجِنَّةَ وَعُكَاظ يُبَلِّغ رِسَالَاتِ رََبِّهِ
“Sesungguhnya Nabi saw. tinggal selama 10 tahun mengikuti orang-orang di tempat-tempat tinggal mereka, pada festival dagang di Majinnah dan Ukazh, hendak menyampaikan risalah Tuhannya” H.r. Ahmad
2. Lembaga Keuangan
A. Jenis-jenis Lem baga Keuangan
Lembaga keuangan dapat dikatakan sebagai badan usaha yang kekayaannya terutama dalam bentuk asset keuangan atau tagihan (claim) serta asset non finansial atau asset riil dan memberikan pelayanan jasa dalam bentuk skim tabungan (depositori), proteksi asuransi, program pensiun, dan penyediaan sistem pembayaran melalui mekanisme transfer dana. Fungsi utama dari lembaga keuangan adalah untuk mempermudah aliran uang dari sektor-sektor yang mengalami surplus kepada sektor yang mengalami defisit.
Lembaga keuangan secara umum dibagi menjadi dua, yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan non bank. Lembaga keuangan bank sendiri juga di klasifikasikan menjadi dua yaitu: Bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Sedangkan lembaga keuangan non bank terbagi lagi ke dalam berbagai macam bentuknya, antara lain koperasi, pegadaian, dan asuransi. Di Indonesia untuk lembaga keuangan bank, segala aktivitas operasionalnya senantiasa berpedoman pada ketentuan perundang–undangan yang di tetapkan bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral yang bertugas mengatur perbankan di Indonesia serta sebagai motor dalam menggerakkan perekonomian, sedangkan untuk lembaga keuangan non bank berpedoman pada ketentuan yang ada menurut jenis lembaganya.
Lembaga keuangan yang terlibat dalam penyaluran kredit mikro umumnya disebut Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Menurut Asian Development Bank (ADB), lembaga keuangan mikro (microfinance) adalah lembaga yang menyediakan jasa penyimpanan (deposits), kredit (loans), pembayaran berbagai transaksi jasa (payment services) serta money transfers (pengiriman uang) yang ditujukan bagi masyarakat miskin dan pengusaha kecil (insurance to poor and low-income households and their microenterprises).
Sedangkan dilihat dari jenis/bentuk LKM di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu bersifat formal dan informal. LKM formal terdiri atas bank, yaitu Bank Kredit Desa (BKD), Bank Prekreditan Rakyat (BPR) dan BRI Unit. Sementara LKM formal non bank mencakup Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP), Koperasi (Koperasi Simpan PInjam/KSP dan Koperasi Unit Desa/KUD) dan Pegadaian. Adapun LKM informal terdiri atas berbagai kelompok dan Lembaga Swadaya Masyarakat (KSM dan LSM), Baitul Maal wat Tamwil (BMT), Lembaga Ekonomi Poduktif Masyarakat Mandiri (LEPM), Unit Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UEDSP) serta berbagai bentuk kelompok lainnya.
Adapun lembaga keuangan syariah (LKS) adalah lembaga yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaraan uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip Islam. Secara institusional LKS tidak dikenal pada masa Nabi saw., namun secara operasional individual fungsi-fungsi lembaga itu telah dijalankan. Lembaga keuangan yang didirikan dan telah dijalankan pada masa Nabi hanyalah lembaga dalam pemerintahan Islam untuk mengurus keuangan negara yang dikenal dengan sebutan Baitul Mal (pembahasan lengkap diuraikan pada bab berikutnya).
Secara umum konsep dan jenis-jenis lembaga keuangan syariah dapat diuraikan melalui perbandingan dengan lembaga keuangan konvensional sebagai berikut:
A.1.Bank
Berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 10 tahun 1998, tentang perbankan disebutkan bahwa :
1. Bank adalah Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentukbentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
2. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
3. Bank Perkreditan Rakyat adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran
Fungsi Bank Umum Konvensional
Bank umum adalah lembaga keuangan yang menerima deposito yang akan digunakannya untuk memberikan pinjaman dan mendapatkan laba. Pasiva bank termasuk dari rekening giro dan tabungan, sedangkan aktiva terdiri atas berbagai pinjaman kepada perseorangan, bisnis dan pemerintah.
Fungsi-fungsi Bank umum sebagaimana yang dimaksud antara lain:
1. Menyediakan mekanisme dan alat pembayaran yang lebih efisien dalam kegiatan ekonomi. Bank wajib menyediakan mekanisme dan alat pembayaran yang lebih efisien kepada nasabahnya, seperti penyediaan fasilitas kartu kredit, ATM, serta mekanisme jasa kliring dan inkaso.
2. Menciptakan uang. Menciptakan uang yang dimaksud bukanlah seperti fungsi pada bank Indonesia. Menciptakan uang dalam hal ini adalah bagaimana bank muamalat dalam kegiatan operasionalnya seperti bank konvensional, dapat memberikan perolehan hasil secara maksimal. Perolehan hasil ini merupakan balas jasa (keuntungan) yang diterima dalam bentuk uang, yang dapat digunakan kembali untuk memperlancar kegiatan operasional bank atau disimpan sebagai cadangan modal.
3. Menghimpun dana dan menyalurkannya kepada masyarakat. Kegiatan menghimpun dana dapat dilakukan dengan cara menawarkan jasa dalam bentuk tabungan, deposito berjangka, giro maupun penerimaan dana sesuai dengan syariah Islam. Penyaluran kembali dana ke masyarakat dapat dalam bentuk pemberian kredit dan bentuk-bentuk pendanaan lainnya. Dalam penyaluran kembali dana masyarakat, bank memperoleh balas jasa dalam bentuk bagi hasil berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Tujuan dari perputaran dana ini adalah sebagai perolehan hasil (profit) dan mobilisasi dana dapat terus berjalan.
4. Menawarkan jasa-jasa keuangan lainnya. Jasa-jasa keuangan lainnya yang dapat ditawarkan oleh bank muamalat, antara lain :
a. Transfer antar bank dalam kota atau luar negeri.
b. Kliring (clearing)
c. Inkaso
d. Safe deposit box
e. Bank card
f. Bank notes
g. Travelers cheque
h. Letter of credit (L/C)
i. Bank garansi
j. Jasa-jasa dipasar modal
k. Menerima setoran-setoran lain
Fungsi Bank Umum syariah
Perbankan syari’ah dalam peristilahan internasional dikenal sebagai Islamic Banking atau juga disebut dengan interest-free banking. Peristilahan dengan menggunakan kata Islamic tidak dapat dilepaskan dari asal-usul sistem perbankan syari’ah itu sendiri. Bank syari’ah pada awalnya dikembangkan sebagai suatu respon dari kelompok ekonom dan praktisi perbankan Muslim yang berupaya mengakomodasi desakan dari berbagai pihak yang menginginkan agar tersedia jasa transaksi keuangan yang dilaksanakan sejalan dengan nilai moral dan prinsip-prinsip syari’ah Islam. Utamanya adalah berkaitan dengan pelarangan praktek riba, kegiatan maisir (spekulasi), dan gharar (ketidakjelasan). Bank Syariah atau selanjutnya disebut sebagai Bank Syari’ah, adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank Syariah atau biasa disebut dengan Bank Tanpa Bunga, adalah lembaga keuangan/perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Alquran dan Hadis Nabi saw. Atau dengan kata lain, Bank Syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam.
Di dalam menjalankan operasinya fungsi bank syariah akan terdiri atas:
• Sebagai penerima amanah untuk melakukan investasi atas dana-dana yang dipercayakan oleh pemegang rekening investasi/deposan atas dasar prinsip bagi hasil sesuai dengan kebijakan investasi bank.
• Sebagai pengelola investasi atas dana yang dimiliki oleh pemilik dana/sahibul mal sesuai dengan arahan investasi yang dikehendaki oleh pemilik dana (dalam hal ini bank bertindak sebagai manajer investasi)
• Sebagai penyedia jasa lalu lintas pembayaran dan jasa-jasa lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah
• Sebagai pengelola fungsi sosial seperti pengelolaan dana zakat dan penerimaan serta penyaluran dana kebajikan ( fungsi optional )











Gambar 1. Produk dan Prinsip Kerja Bank Syariah

Dari fungsi tersebut maka produk Bank Syariah terdiri atas:
(a) Penghimpunan Dana, dengan prinsip
• mudharabah yaitu perjanjian antara dua pihak dimana pihak pertama (nasabah) sebagai pemilik dana (sahibul mal) dan pihak kedua (Bank) sebagai pengelola dana (mudharib) untuk mengelola suatu kegiatan ekonomi dengan menyepakati nisbah bagi hasil atas keuntungan yang akan diperoleh sedangkan kerugian yang timbul adalah resiko pemilik dana sepanjang tidak terdapat bukti bahwa mudharib melakukan kecurangan atau tindakan yang tidak amanah (misconduct). Berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada mudharib maka mudharabah dibedakan menjadi mudharabah mutlaqah dimana mudharib diberikan kewenangan sepenuhnya untuk menentukan pilihan investasi yang dikehendaki, sedangkan jenis yang lain adalah mudharabah muqayyaddah dimana arahan investasi ditentukan oleh pemilik dana sedangkan mudharib bertindak sebagai pelaksana/pengelola.
• Musyarakah yaitu perjanjian antara pihak-pihak untuk menyertakan modal dalam suatu kegiatan ekonomi dengan pembagian keuntungan atau kerugian sesuai nisbah yang disepakati Musyarakah dapat bersifat tetap atau bersifat temporer dengan penurunan secara periodik atau sekaligus diakhir masa proyek.
• Wadiah adalah titipan dimana pihak pertama menitipkan dana atau benda kepada pihak kedua selaku penerima titipan dengan konsekuensi titipan tersebut sewaktu-waktu dapat diambil kembali, dimana penitip dapat dikenakan biaya penitipan.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan maka wadiah dibedakan menjadi wadiah ya dhamanah yang berarti penerima titipan berhak mempergunakan dana/barang titipan untuk didayagunakan tanpa ada kewajiban penerima titipan untuk memberikan imbalan kepada penitip dengan tetap pada kesepakatan dapat diambil setiap saat diperlukan, sedang disisi lain wadiah amanah tidak memberikan kewenangan kepada penerima titipan untuk mendayagunakan barang/dana yang dititipkan.
(b) Penyaluran Dana, dengan prinsip
• Jual Beli (al-Buyu') yaitu terdiri atas :
a. Murabahah yaitu akad jual beli antara dua belah pihak dimana pembeli dan penjual menyepakati harga jual yang terdiri atas harga beli ditambah ongkos pembelian dan keuntungan bagi penjual. Murabahah dapat dilakukan secara tunai bisa juga secara bayar tangguh atau bayar dengan angsuran.
b. Salam yaitu pembelian barang dengan pembayaran dimuka dan barang diserahkan kemudian
c. Ishtisna' yaitu pembelian barang melalui pesanan dan diperlukan proses untuk pembuatannya sesuai dengan pesanan pembeli dan pembayaran dilakukan dimuka sekaligus atau secara bertahap.
• Bagi hasil yaitu terdiri atas :
a. Prinsip musyarakah
b. Prinsip mudharabah
Sebagaimana dijelaskan di atas, hanya dalam hal ini Bank bertindak sebagai shahibul mal, sedangkan nasabah sebagai mudharib
(c) Jasa-Jasa terdiri atas:
• Ijarah yaitu kegiatan penyewaan suatu barang dengan imbalan pendapatan sewa, bila terdapat kesepakatan pengalihan pemilikan pada akhir masa sewa disebut Ijarah mumtahiya bi tamlik (sama dengan operating lease)
• Wakalah yaitu pihak pertama memberikan kuasa kepada pihak kedua (sebagai wakil) untuk urusan tertentu dimana pihak kedua mendapat imbalan berupa fee atau komisi.
• Kafalah yaitu pihak pertama bersedia menjadi penanggung atas kegiatan yang dilakukan oleh pihak kedua sepanjang sesuai dengan yang diperjanjikan dimana pihak pertama menerima imbalan berupa fee atau komisi (garansi).
• Sharf yaitu pertukaran /jual beli mata uang yang berbeda dengan penyerahan segera /spot berdasarkan kesepakatan harga sesuai dengan harga pasar pada saat pertukaran
(d) Prinsip Kebajikan
yaitu penerimaan dan penyaluran dana kebajikan dalam bentuk zakat infaq shodaqah dan lainnya serta penyaluran alqardul hasan yaitu penyaluran dan dalam bentuk pinjaman untuk tujuan menolong golongan miskin dengan penggunaan produktif tanpa diminta imbalan kecuali pengembalian pokok hutang.
Dari uraian diatas maka produk perbankan Islam dalam prakteknya dapat diringkas sebagai berikut:
Produk/Jasa Prinsip Syariah
Giro Wadi’ah Yadhamanah
Tabungan Wadi’ah Yadhamanah mudharabah
Deposito/Rekening Investasi bebas Mudharabah mutlaqah
Rekening Invetasi tidak bebas penggunaan Mudharabah muqayyadah
Piutang Murabahah Murabahah tidak tunai
Investasi Mudharabah Mudharabah
Investasi Musyarakah Musyarakah
Investasi assets untuk di sewakan Ijarah
Pengadaan barang untuk dijual atau dipakai sendiri Salam atau Ishtisna
Bank garansi Kafalah
Tranfer, inkaso, L/C, dll. Wakalah
Safe deposit box Wadi’ah amanah
Surat berharga Mudharabah
Jual beli valas (non speculative motive) Sharf

Bentuk-bentuk yang dijelaskan diatas merupakan bentuk-bentuk umum dari produk-produk perbankan syariah.
A.2.Asuransi
Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Berdasarkan definisi tersebut dapat dikatakan bahwa asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, baik menimpa diri manusia maupun harta benda, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi. Tetapi dalam pelaksanaanya ada beberapa hal dalam asuransi konvensional yang dipandang melanggar syariah Islam, seperti adanya unsur gharar, maisir dan riba. Sebagai alternatif para pakar muslim merumuskan konsep asuransi sesuai syariah melalui sistem bagi hasil, tolong menolong dengan mendorong pemanfaatan tabarru (iuran kebajikan), sehingga konsep yang menggunakan format maisir, riba, gharar yang berjalan selama ini dapat dieliminir.
Dalam konsep asuransi syariah (takaful) pada setiap pembayaran premi sejak awal akan dibagi dua (1) masuk ke rekening pemegang polis dan (2) masuk ke rekening khusus peserta yang harus diniatkan tabarru’, yakni untuk menyantuni peserta yang lain.
Dana ini merupakan dana tolong menolong sesama peserta, perusahaan hanya sebagai pengelola atau pemegang amanah, artinya perusahaan berfungsi menjalankan amanah dari semua peserta untuk mengelola titipan dananya, agar dikelola sesuai syari’ah, dan diharapkan dapat beruntung. Sementara dana tabarru dikelola untuk mengatasi kemungkinan musibah pada sesama peserta. Dengan perkataan lain, bahwa dana peserta/premi, bukanlah milik perusahaan. Pada asuransi konvensional apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa reversing veriod, biasanya tahun ketiga, maka pemegang polis tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja. Dalam konsep takaful reversing veriod bermula dari awal akad, masa setiap peserta mampunyai hak untuk mendapatkan cash value dan mendapatkan semua uang yang telah dibayarkan, kecuali sebagian kecil saja (biasanya kurang dari 5 %) yang sudah dimasukan kedalam rekening tabarru itu. Di samping itu juga mendapat keuntungan sebagai hasil mudharabah (bagi hasil suatu usaha).
Karena itu dalam sistem asuransi syariah perjanjian antara peserta dengan perusahaan tidak memakai aqad “tabaduli” (jual beli), dan aqad mu’awadhah (pertukaran) tapi menggunakan aqad “takafuli” (tolong menolong). Penggunaan aqad ini merupakan salah satu perbedaan konkrit dengan sistem konvensional. Dengan sistem ini takaful dapat dikategorikan sebagai alternatif dan pengganti atas pola asuransi konvensional yang masih menerapkan aqad pertukaran dan aqad tabaduli (jual beli).
Dengan demikian tampak jelas bahwa ada dua konsep dasar yang dipakai dalam asuransi syariah yakni al-takaful (konsep perlindungan) dan al-mudharabah (konsep bagi hasil).
A.3.Leasing
Pengertian leasing jika mengacu pada Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Perindustrian dan Perdagangan pada 1974 adalah: Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk menyediakan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan dalam jangka waktu tertentu, berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang besangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.
Bentuk-bentuk Leasing:
a. Direct Financial Leases
Setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.
b. Operating Leases
Suatu sistem penyewaan dimana pihak yang menyewakan menyediakan jasa-jasa tertentu seperti asuransi atau pemeliharaan syarat-syarat kontraknya biasanya tidak menjamin pihak lessor pengembalian penuh dari ongkos-ongkos barang modal dan sebagainya (non full payout lease) dan ia menanggung resiko ekonomi dari pemilikannya itu.
Jenis-jenis Leasing (pada umumnya):
1. Penyewaan Modal/Hire Purchase
Suatu penyewaan digolongkan sebagai suatu penyewaan modal apabila ia memenuhi salah satu dari kriteria berikut:
a. Penyewaan itu mengalihkan pemilikan kepada penyewa pada akhir jangka waktu penyewaan.
b. Penyewaan itu memberikan kesempatan untuk membeli dengan harga yang rendah sehabis masa sewa.
c. Jangka waktu penyewaan itu sama dengan 75% atau lebih dari perkiraan kegunaan ekonomis dari perlengkapan.
d. Nilai sekarang dari pembayaran minimum sewa dari nilai pasar yang wajar dari hak milik yang disewakan dikurangi kredit-kredit pajak yang bersangkutan, yang ditahan oleh pihak yang menyewakan.
2. Penyewaan untuk penjualan bersyarat/Conditional Sale
Suatu transaksi untuk pembelian sebuah barang modal dimana pemakai diperlakukan sebagai pemilik perlengkapan tersebut sejak dari dimulainya transaksi (kadang-kadang tersebut sebagai persetujuan sewa-beli)
3. Penyewaan untuk pembiayaan langsung/Direct Financial Lease
Suatu penyewaan yang tidak diimbangi keuntungan oleh satu pihak yang menyewakan (bukan seorang pengusaha pabrik atau pedagang) dimana penyewaan itu memenuhi salah satu dari kriteria bagi suatu penyewaan modal ditambah dengan empat kriteria tambahan berikut:
a. Kemungkinan untuk memungut pembayaran-pembayaran sewa yang minimum harus dapat diperkirakan secara wajar.
b. Harus tidak ada ketidak-pastian tentang jumlah ongkos yang tidak dapat diperoleh kembali oleh pihak yang menyewakan dibawah penyewaan itu.
c. Pemakai bertanggung-jawab pemeliharaan, pajak-pajak dan asuransi.
d. Pembayaran-pembayaran sewa selama masa kegunaan pinjaman cukup untuk memungkinkan pihak yang menyewakan untuk memperoleh kembali ongkos dari perlengkapan ditambah suatu keuntungan atas investasinya.
4. Leasing yang diimbangi keuntungan/Leverage Lease
Adalah suatu penyewaan yang memenuhi kriteria bagi suatu penyewaan untuk pembiayaan langsung, ditambah semua ciri-ciri berikut:
a. Paling kurang tiga pihak yang terlibat: seorang Penyewa, pihak yang Menyewakan dan seorang Pemberi Pinjaman jangka panjang.
b. Pembiayaan yang disediakan oleh pemberi pinjaman cukup besar bagi transaksi yang bersangkutan dan terlalu besar bagi pihak yang menyewakan untuk membiayai sendiri.
c. Investasi netto dari pihak yang menyewakan yang secara khas berkurang selama tahun-tahun pertama penyewaan dan meningkat di tahun-tahun kemudian dari penyewaan.
5. Leasing Induk/Master Lease
Suatu persetujuan kredit penyewaan yang membolehkan seorang Penyewa menambah perlengkapan di bawah syarat-syarat pokok dan kondisi-kondisi yang sama tanpa merundingkan sebuah kontrak penyewaan baru.
6. Leasing untuk operasi/Operating Lease
Untuk keperluan pembukuan keuangan, suatu penyewaan yang tidak memenuhi kriteria dari suatu penyewaan modal atau penyewaan untuk pembiayaan langsung, pada umumnya digunakan untuk melukiskan suatu penyewaan jangka pendek dimana seorang pemakai dapat memperoleh penggunaan sebuah barang modal untuk sebagian dari masa kegunaan barang tersebut. Pihak yang menyewakan dapat memberikan pelayanan-pelayanan dalam hubungan dengan penyewaan itu, seperti untuk pemeliharaan, asuransi dan pembayaran pajak-pajak hak milik pribadi.
7. Penjualan penyewaan kembali/Sale Lease Back
Suatu transaksi yang menyangkut penjualan hak milik oleh pemilik dan penyewaan kembali hak milik itu kepada penjual.
8. Sub Lease
Suatu transaksi dimana hak milik yang disewakan, disewakan lagi oleh penyewa semula kepada pihak ketiga, dan persetujuan sewa menyewa antara kedua pihak semula tetap berlaku.
Pada sistem keuangan syariah telah menyediakan skim pembiayaan sewa yang mirip dengan leasing, yakni yang dikenal dengan nama skim pembiayaan ijarah. Tentu skim ijarah ini tidak menggunakan bunga sebagai basis operasinya. Pernyataan Standar Akuntasi Keuangan (PSAK) - satu standar akuntansi yang disusun oleh BI dan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) -- nomer 59, tentang Akuntansi Perbankan Syariah membedakan ijarah menjadi dua jenis, yakni ijarah itu sendiri dan ijarah muntahiyah bittamlik.
Paragraf 105 PSAK 59 menyebutkan: Ijarah adalah akad sewa-menyewa antara pemilik ma'jur (obyek sewa) dan musta'jir (penyewa) untuk mendapatkan imbalan atas obyek sewa yang disewakannya. Sedangkan ijarah muntahiyah bittamlik pengertiannya sama, namun ditambah dengan opsi perpindahan hak milik obyek sewa pada saat tertentu sesuai dengan akad sewa. Obyek sewa ini bisa berupa mobil, peralatan pabrik dan barang modal lainnya.
Bermuamalah secara ijarah ini dibolehkan dengan landasan syariah QS Al-Baqarah ayat 233, yang menunjukkan adanya jasa yang diberikan berkat kewajiban membayar upah (fee) secara patut. Dalam hal ini termasuk di dalamnya adalah jasa penyewaan atau leasing. Dalam bukunya Bank Syariah dari Teori ke Praktik, Muhammad Syafi'i Antonio menyebutkan, perbankan syariah sebenarnya dapat mengoperasikan kedua produk tersebut, yakni ijarah dan ijarah muntahiyah bittamlik. Namun kenyataannya bank-bank syariah lebih banyak menerapkan ijarah muntahiyah bittamlik karena skim ini lebih sederhana pembukuannya. Juga tak kalah pentingnya, bank tak mau repot mengurusi pemeliharaan aset-aset yang menjadi obyek sewa itu.
Penerapan ijarah pada perbankan syariah sesungguhnya merupakan salah satu keunggulan perbankan ini. Karena dalam sistem perbankan konvensional, bank tidak boleh menjual produk leasing. Untuk leasing undang-undang mengatur ada lembaga tersendiri yang menangani, yakni lembaga pembiayaan leasing. Manfaat yang diperoleh bank yang menjual produk ijarah ini adalah: bank memperoleh keuntungan sewa dan pengembalian uang pokok. Namun proses itu bukan tanpa risiko. Di antara risiko itu nasabah tidak membayar cicilan dengan sengaja (default); aset ijarah rusak sehingga biaya pemeliharaan (bila itu harus ditanggung bank) bertambah; nasabah berhenti di tengah kontrak dan tidak mau membeli aset tersebut. Jika ini terjadi bank harus menghitung kembali keuntungan dan mengembalikan sebagian kepada nasabah.
A.4.Baitul maal Wattamwil (BMT)
Baitul maal Wattamwil (BMT) adalah kelompok swadaya masyarakat sebagai lembaga ekonomi rakyat yang berupaya mengembangkan usahausaha produktif dan investasi dengan sistem bagi hasil untuk meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha kecil bawah dan kecil dalam upaya pengentasan kemiskinan.
BMT melaksanakan dua jenis kegiatan yaitu Baitul Tamwil dan Baitul Maal. Baitul Tamwil bergiat mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas kegiatan pengusaha kecil dan menengah dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan ekonomi. Sedangkan baitul Maal menerima titipan zakat, infaq, dan shadaqah serta menjalankannya sesuai dengan peraturan dan amanahnya. (pembahasan lebih lengkap pada bab selanjutnya)
A.5.Pasar Modal
Pasar modal identik dengan sebuah tempat di mana modal diperdagangkan antara pihak yang memiliki kelebihan modal (investor) dengan orang yang membutuhkan modal (issuer) untuk mengembangkan investasi. Dalam Undang-Undang Pasar Modal No. 8 tahun 1995, pasar modal didefinisikan sebagai “kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek”.
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam pasar modal adalah:
1. Emiten
Emiten adalah badan usaha (perseroan terbatas) yang menerbitkan saham untuk menambah modal atau menerbitkan obligasi untuk mendapatkan pinjaman kepada para investor di Bursa Efek.
2. Perantara Emisi yang meliputi
a. Penjamin Emisi
Penjamin emisi adalah perantara yang menjamin penjualan emisi, sehingga apabila dari emisi wajib membeli (setidak-tidaknya sementara waktu sebelum laku) agar kebutuhan dana yang diperlukan emiten terpenuhi sesuai rencana.
b. Akuntan Publik
Akuntan publik berfungsi untuk memeriksa kondisi keuangan emiten dan memberikan pendapat apakah laporan keuangan yang telah dikeluarkan emiten wajar atau tidak.
c. Perusahaan Penilai
Perusahaan Penilai berfungsi untuk memberikan penilaian terhadap emiten, apakah nilai aktiva emiten sudah wajar atau tidak.
3. Badan Pelaksana Pasar Modal
Badan Pelaksana Pasar Modal adalah badan yang mengatur dan mengawasi jalannya pasar modal, termasuk mencoret emiten (delisting) dari lantai bursa, memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang melanggar peraturan pasar modal. Di Indonesia Badan Pelaksana Pasar Modal adalah Bapepam (Badan Pengawas dan Pelaksana Pasar Modal).
4. Bursa Efek
Bursa Efek merupakan tempat diselenggarakannya kegiatan perdagangan efek pasar modal yang didirikan oleh suatu badan usaha. Di Indonesia terdapat dua Bursa Efek, yaitu Bursa Efek Jakarta (BEJ) yang dikelola PT Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya (BES) yang dikelola oleh PT Bursa Efek Surabaya.
5. Perantara Perdagangan Efek
Efek yang diperdagangkan dalam bursa hanya boleh ditransaksikan melaui perantara, yaitu makelar (broker) dan komisioner.
a. Makelar adalah pihak yang melakukan pembelian dan penjualan efek untuk kepentingan orang lain dengan memperoleh imbalan.
b. Komisioner adalah pihak yang melakukan pembelian dan penjualan efek untuk kepentingan sendiri atau orang lain dengan memperoleh imbalan.
6. Investor
Investor adalah pihak yang menanamkan modalnya dalam bentuk efek di bursa dengan membeli atau menjual kembali efek tersebut.
Di dalam pasar modal proses perdagangan efek (saham dan obligasi) melalui tahapan pasar perdana kemudian pasar sekunder. Pasar perdana adalah penjualan perdana saham dan obligasi oleh emiten kepada para investor. Kedua pihak yang saling memerlukan ini tidak bertemu secara langsung dalam bursa tetapi melalui pihak perantara. Dari penjualan saham dan efek di pasar perdana ini, pihak emiten memperoleh dana yang dibutuhkan untuk mengembangkan usahanya. Sedangkan pasar sekunder adalah pasar yang terjadi sesaat atau setelah pasar perdana. Maksudnya setelah saham dan obligasi yang dibeli investor dari emiten, maka investor tersebut menjual kembali saham dan obligasi kepada investor lainnya, baik dengan tujuan mengambil untung dari kenaikan harga (capital gain) maupun untuk menghindari kerugian (capital loss). Perdagangan di pasar sekunder inilah yang secara reguler terjadi di bursa efek setiap harinya.
Ada dua hal utama dalam pasar modal syariah yaitu indeks Islam dan pasar modal syariah itu sendiri. Indeks Islam menunjukkan pergerakan harga-harga saham dari emiten yang dikatagorikan sesuai syariah, sedangkan pasar modal syariah merupakan institusi pasar modal sebagaimana lazimnya yang diterapkan berdasarkan “prinsip-prinsip syariah.”
Secara umum dapat ditetapkan bahwa perbedaan pasar modal syariah dengan pasar modal konvensional dapat dilihat pada instrumen dan mekanisme transaksinya. Sedangkan perbedaan indeks saham Islam dengan indeks saham konvensional terletak pada kriteria saham emiten yang harus memenuhi prinsip-prinsip syariah. Penerbitan indeks saham Islam ini dapat dilakukan oleh pasar modal syariah dan pasar modal konvensional.
Hanya saja secara menyeluruh konsep pasar modal syariah dengan pasar modal konvensional tidak jauh berbeda. Karena instrumen utama yang diperdagangkan dalam pasar modal syariah dan pasar modal konvensional adalah saham. Meskipun dalam pasar modal syariah emiten yang sahamnya diperdagangkan harus bergerak pada sektor yang tidak bertentangan dengan Islam, tetapi hal tersebut tidak membedakan zat dan sifat saham dalam pasar modal konvensional.
Selanjutnya mengenai penilaian terhadap konsep pasar modal syariah itu sendiri, yakni yang berkaitan dengan saham sebagai instrumen utama di dalam pasar modal syariah, maka syara’ tidak membolehkan perdagangan saham. Begitu pula menerbitkan saham dengan tujuan menambah permodalan perusahaan, membeli saham dengan tujuan investasi dan memperdagangkannya untuk mengambil keuntungan (capital gain) dari selisih harga (margin) merupakan kegiatan batil dalam Islam.

Gambar 2. Bagan Lembaga Keuangan Konvesional dan Syariah
A.6.Reksadana
Reksadana adalah perusahaan yang mengumpulkan investasi dari individu atau organisasi untuk membeli sebuah portofolio dari saham, obligasi dan sekuritas jangka pendek. Jadi para investor merupakan sebagian pemilik dari portofolio. Jika anda melakukan investasi ke reksadana sebesar $1.000 dengan portofolio senilai $100.000, anda memiliki 1 persen dari portofolio itu. Investor dalam dana tanpa beban tidak dibebankan komisi penjualan ketika mereka membeli atau menjual dana tersebut. Investor dalam dana terbeban umumnya membayar komisi dua hingga delapan persen.
Bagi investor yang berniat bereksadana sebagai jembatan berinvestasi dan menginginkan perolehan keuntungan yang bisa dipertanggungjawabkan secara Islami, bisa melirik pada reksadana yang sering disebut dengan Reksadana Syariah atau istilah kerennya disebut Islamic Investment Fund. Pada dasarnya, reksadana syariah sama dengan reksadana konvensional, yang bertujuan mengumpulkan dana dari masyarakat, yang selanjutnya dikelola oleh manajer investasi untuk kemudian diinvestasikan pada instrumen-instrumen di pasar modal dan pasar uang. Instrumen itu seperti halnya saham, obligasi, deposito, sertifikat deposito, valuta asing dan surat utang jangka pendek (commercial paper). Reksadana Syariah ini termasuk dalam kategori reksadana terbuka (kontrak investasi kolektif).
Apakah yang membedakan reksadana syariah dan reksadana konvensional? Reksadana syariah memiliki kebijakan investasi yang berbasis pada prinsip-prinsip Islam. Instrumen investasi yang dipilih dalam portofolionya haruslah yang dikategorikan halal. Dikatakan halal, jika pihak yang menerbitkan instrumen investasi tersebut tidak melakukan usaha yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, tidak melakukan riba atau membungakan uang. Jadi, saham, obligasi dan sekuritas lainnya yang dikeluarkan perusahaan yang usahanya berhubungan dengan produksi atau penjualan minuman keras, produk mengandung babi, bisnis hiburan berbau masksiat, bisnis senjata, perjudian, pornografi, dan sebagainya tidak akan dimasukkan ke dalam portofolio reksadana. Intisarinya, hanyalah sekuritas yang dikategorikan halal yang bisa masuk dalam portofolio reksadana syariah ini. Di samping itu, segi pengelolaan dana reksadana ini juga berdasarkan Islam, yang tidak mengizinkan penggunaan strategi investasi yang menjurus ke arah spekulasi.
A.7.Koperasi
Pengertian
Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Republik Indonesia Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah sebagai payung hukum pengelolaan lembaga keuangan mikro syariah, seperti Baitul Maal Wa-Tamwil (BMT), koperasi syariah, koperasi pondok pesantren atau lembaga-lembaga keuangan mikro lainnya yang beroperasi secara syariah.
Berikut beberapa hal mengenai pengertian dan ketentuan pengelolaan Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) sebagai berikut :
1. Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
2. Koperasi Jasa Keuangan Syariah selanjutnya disebut KJKS adalah koperasi yang kegiatan usahanya bergerak di bidang pembiayaan, investasi dan simpanan sesuai dengan pola bagi hasil (syariah).
3. Unit Jasa Keuangan Syariah selanjutnya disebut UJKS, adalah unit koperasi yang bergerak di bidang usaha pembiayaan, investasi dan simpanan dengan pola bagi hasil (syariah) sebagai bagian dari kegiatan koperasi yang bersangkutan.
4. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh anggota, calon anggota, koperasi lain dan atau anggotanya kepada koperasi dalam bentuk simpanan / tabungan dan simpanan berjangka.
5. Simpanan Wadiah yad Dhamanah, adalah simpanan anggota pada koperasi dengan akad wadiah/titipan namun dengan seijin penyimpan dapat digunakan oleh KJKS dan UJKS untuk kegiatan operasional koperasi, dengan ketentuan penyimpanan tidak mendapatkan bagi hasil atas penyimpanan dananya, tetapi bisa dikonpensasi dengan imbalan bonus yang besarnya bonus ditentukan sesuai kebijakan dan kemampuan koperasi.
6. Simpanan Mudharabah al-Muthalaqah, adalah tabungan anggota pada koperasi dengan akad Mudharabah al-Muthalaqah yang diperlakukan sebagai investasi anggota untuk dimanfaatkan secara produktif dalam bentuk pembiayaan kepada anggota koperasi, calon anggota, koperasi-koperasi lain dan atau anggotanya secara professional dengan ketentuan penyimpanan mendapatkan bagi hasil atas penyimpanan dananya sesuai nisbah (proporsi bagi hasil) yang disepakati pada saat pembukaan rekening tabungan.
7. Simpanan Mudharabah berjangka adalah tabungan anggota pada koperasi dengan akad Mudharabah al-Muthalaqah yang penyetorannya dilakukan sekali dalam penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpan dengan koperasi yang bersangkutan.
8. Pembiayaan adalah kegiatan penyediaan dana untuk investasi atau kerjasama permodalan koperasi dengan anggota, calon anggota, koperasi lain dan atau anggotanya, yang mewajibkan penerima pembiayaan itu untuk melunasi pokok pembiayaan yang diterima kepada pihak koperasi sesuai akad disertai dengan dengan pembayaran sejumlah bagi hasil dari pendapatan atau laba dari kegiatan yang dibiayai atau penggunaan dana pembiayaan tersebut.
9. Pembiayaan Mudharabah, adalah akad kerjasama permodalan usaha dimana koperasi sebagai pemilik modal (Shahibul Maal) menyetorkan modalnya kepada anggota, calon anggota, koperasi-koperasi lain dan atau anggota sebagai pengusaha (Mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha sesuai dengan kesepakatan (nisbah), dan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal sepanjang bukan merupakan kelalaian penerima pembiayaan.
10. Pembiayaan Musyarakah, adalah akad kerjasama permodalan usaha antara koperasi dengan dengan satu pihak atau beberapa pihak sebagai pemilik modal pada usaha tertentu, untuk menggabungkan modal dan melakukan usaha bersama dalam satu kemitraan, dengan nisbah pembagian hasil sesuai kesepakatan para pihak, sedang kerugian ditanggung secara proposional sesuai dengan kontribusi modal.
11. Piutang Murabahah, adalah tagihan atas transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (Margin) yang disepakati pihak penjual (Koperasi) dan pembeli, (anggota, calon anggota, koperasi-koperasi lain dan atau anggotanya) dan atas transaksi jual beli tersebut, yang mewajibkan anggota untuk melunasi kewajibannya sesuai jangka waktu tertentu disertai dengan pembayaran Imbalan berupa margin keuntungan yang disepakati dimuka sesuai akad.
12. Piutang salam adalah tagihan anggota terhadap koperasi atas transaksi jual beli barang dengan cara pemesanan antara penjual dan pembeli dengan pembayaran dimuka dengan pengiriman barang oleh penjual dilakukan dibelakang/kemudian, dengan ketentuan bahwa spesifikasi barang disepakati pada akad transaksi salam.
13. Piutang Istishna adalah tagihan atas akad transaksi jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pemsan/pembeli dan penjual yang cara pembayarannya dapat dilakukan dimuka, diangsur atau ditangguhkan sampai jangka waktu tertentu.
14. Piutang Ijarah adalah tagihan akad sewa-menyewa antara muajir (Lessor /penyewa) dengan Musta’jir (Lessee/yang menyewakan) atas Ma’jur (Obyek sewa) untuk mendapatkan imbalan atas barang yang disewakan.
15. Ijarah Muntahiya Bittamlik adalah perjanjian sewa-beli atau barang antara Lessee yang diakhiri dengan perpindahan hak milik Obyek sewa dari Lessee/yang menyewakan kepada Lessor/penyewa.
16. Qardh adalah kegiatan transaksi dengan akad pinjaman dana non komersial dimana sipeminjam mempunyai kewajiban untuk membayar pokok dana yang dipinjam kepada koperasi yang meminjamkan tanpa imbalan atau bagi hasil dalam waktu tertentu sesuai kesepakatan.
17. Nisbah adalah proporsi pembagian keuntungan (bagi hasil) antara pemilik dana (Shahibul Maal) dan pengelola dana (Mudharib) atas bagi hasil usaha yang dikerjasamakan.
18. Marjin adalah keuntungan yang diperoleh koperasi atas hasil transaksi penjualan dengan pihak pembelinya.
19. Dewan Pengawas Syariah adalah dewan yang dipilih oleh koperasi yang bersangkutan berdasarkan keputusan rapat anggota dan beranggotakan alim Ulama yang ahli dalam syariah yang menjalankan fungsi dan tugas sebagai pengawas syariah pada koperasi yang bersangkutan dan berwenang memberikan tanggapan atau penafsiran terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional.
20. Standar Operasional Prosedur (SOP) adalah pedoman operasional yang menyangkut peraturan dan kebijakan serta tata cara kerja dan atau system prosedur kerja Koperasi Jasa Keuangan Syariah dan Unit Jasa Keuangan Syariah.
Tujuan Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS)
1. Meningkatkan program pemberdayaan ekonomi, khususnya di kalangan usaha kecil, mikro, menengah dan koperasi melalui system syariah.
2. Mendorong kehidupan ekonomi syariah dalam kegiatan usaha mikro, kecil dan menengah khususnya dan ekonomi indonesia pada umumnya.
3. Meningkatkan semangat dan peran serta anggota masyarakat dalam kegiatan Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS)
Produk KJKS secara umum terdiri atas:
1. Pembiayaan dengan akad bagi hasil
(a) Mudharabah
Mudharabah adalah akad kerjasama usaha / perniagaan antara pihak pemilik dana (shohibul maal) sebagai pihak yang menyediakan modal dana sebesar 100% dengan pihak pengelola modal (mudharib), untuk diusahakan dengan porsi keuntungan akan dibagi bersama (nisbah) sesuai dengan kesepakatan dimuka dari kedua belah pihak, sedangkan kerugian (jika ada) akan ditanggung pemilik modal. Kecuali jika diketemukan adanya kelalaian atau kesalahan oleh pihak pengelola dana (mudharib), seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan dana.
Rukun Mudarabah
- Pemilik modal (sahibul maal)
- Pengelola modal (mudharib)
Obyek yang diakadkan
- Modal
- Kegiatan usaha / kerja
- Keuntungan
Sighat
- Serah (ijab)
- Terima (qabul)
(b) Musyarakah
Pembiayaan musyarakah (syirkah), adalah suatu bentuk akad kerjasama perniagaan antara beberapa pemilik modal untuk menyertakan modalnya dalam suatu usaha, dimana masing-masing pihak mempunyai hak untuk ikut serta dalam pelaksanaan manajemen usaha tersebut. Keuntungan dibagi menurut proporsi penyertaan modal atau berdasarkan kesepakatan bersama. Musyarakah dapat diartikan pula sebagai pencampuran dana untuk tujuan pembagian keuntungan.
Pihak yang berakad (para mitra)
Obyek yang diakadkan
- Modal
- Kegiatan Usaha / kerja
- Keuntungan
Sighat
- Serah (Ijab)
- Terima (Qabul)
2. Pembiayaan dengan akad jual beli
(a) Murabahah
Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal (harga perolehan) dengan tambahan keuntungan (margin) yang disepakati oleh kedua belah pihak (penjual dan pembeli). Pembayaran bisa tunai atau diangsur. Cara pembayaran dengan angsuran biasa disebut dengan istilah Bai Bitsaman Ajil (BBA).
Rukun Murabahah
Pihak yang berakad
- Penjual (ba’i)
- Pembeli (musytari)
Obyek yang diakadkan
- Barang yang diperjualbelikan
- Harga
Sighat
- Serah (Ijab)
- Terima (Qabul)
(b) Salam
Salam adalah akad pembelian (jual beli) yang dilakukan dengan cara, pembeli melakukan pemesanan terlebih dahulu atas barang yang dipesan/diinginkan dan sekaligus pembayaran di muka atas barang tersebut, baik dengan cara pembayaran sekaligus atau dengan menyicil, yang keduanya harus diselesaikan pembayarannya (dilunasi) sebelum barang yang dipesan diterima kemudian. (pengantaran barang dilakukan dengan cara ditangguhkan)
Rukun salam
Pihak yang berakad
- Pembeli/pemesan (al-Muslam)
- Penjual (al-Muslam ilaih)
Obyek yang diakadkan
- Barang yang disalamkan (al-Muslam fih)
- Harga/modal salam (ra’su maal as salam)
Sighat
- Serah (Ijab)
- Terima (Qabul)
(c) Istishna
Istishna adalah akad bersama pembuat (produsen) untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan, atau akad jual beli suatu barang yang akan dibuat terlebih dahulu oleh pembuat yang juga sekailgus menyediakan kebutuhan bahan baku barangnya. Jika bahan baku disediakan oleh pemesan, akad ini menjadi akad ujrah (upah)
Rukun Istishna
Pihak yang berakad
- Pembuat / penjual / produsen (sani’)
- Pemesan / pembeli (mustasni’)
Obyek yang diakadkan
- Barang atau proyek yang dipesan (masnu’) dengan criteria yang jelas
- Kesepakatan atas harga jual
Sighat
- Serah (Ijab)
- Terima (Qabul)
(d) Piutang ijarah
Piutang ijarah adalah pemilikan hak atas manfaat dari penggunaan sebuah asset sebagai ganti dari pembayaran. Pengertian Sewa (Ijarah) adalah sewa atas manfaat dari sebuah asset, sedangkan sewa beli (ijarah waiqtina) atau biasa disebut ijarah muntahiya bi tamlik adalah sewa yang diakhiri dengan pemindahan kepemilikan.
Rukun Istishna
Pihak yang berakad
- Penyewa dan
- Pemilik barang yang disewa
Obyek yang diadakan
- Obyek yang disewakan
- Harga sewa yang disepakati kedua belah pihak
Sighat
- Serah (Ijab)
- Terima (Qabul)
3. Pinjaman Kebajikan
Qard (Pinjaman Kebaijkan) adalah jenis pembiayaan melalui peminzaman harta kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Dalam istilah fikih, qard dikatagorikan sebagai aqd tathawwu yaitu akad saling membantu dan bukan transaksi komersil. Dalam rangka tanggung jawab social lembaga keuangan syariah dapat memberikan fasilitas yang disebut al-Qardul hasan, yaitu penyediaan pinjaman dana bagi yang layak mendapatkannya. Secara syariah peminjam hanya berkewajiban membayar kembali pokok pinjamannya, walaupun diperbolehkan peminjam untuk memberikan imbalan sesuai dengan keikhlasannya.
Rukun Qard
- Ada peminjam (muqtarid)
- Ada pemberi pinjaman (muqrid)
- Ada dana (qard)
- Ada serah terima (ijab qabul)
Syarat akad
- Dana yang digunakan bermanfaat
- Adanya kesepakatan kedua belah pihak
Tata cara penyelenggaraan
a. Pinjaman Qard
Pinjaman Qard sebagai produk pelengkap untuk memenuhi kebutuhan dana mendesak, dan atau untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan lain yang tidak bersifat komersil. Pinjaman ini diberikan dengan jangka waktu yang sangat pendek. Sumber dana didapat dari modal LKS sendiri. Penyajian pinjaman ini di laporkan dalam Aktiva lain-lain
b. Al-Qardul Hasan
Untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat social. Sumber dana diperoleh dari dana eksternal dan bukan dari dana LKS sendiri. Dana ini didapat dari antara lain infak dan sadaqah yang sejak awal diikrarkan untuk LKS, bukan dana titipan untuk didistribusikan kepada yang berhak. Pinjaman ini tidak dilakukan dalam neraca LKS, tapi tersendiri dalam laporan sumber dan penggunaan dana al-Qardul hasan.
4. Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf)
Transaksi jual beli mata uang, sesuai dengan fatwa DSN Nomor : 28/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli mata uang (Al-Sharf) pada prinsipnya diperbolehkan dengan ketentuan :
a. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan)
b. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)
c. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh)
d. Apabila berlainan jenis mata uangnya, maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
Jenis-jenis transaksi valas (valuta asing) dan hukumnya adalah sebagai berikut :
a. Transaksi spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses penyelesaian yang tidak bisa dihadiri dan merupakan transaksi internasional.
b. Transaksi forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram, karena harga yang akan digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah) dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah)
c. Transaksi swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spot yang dikombinasikan dengan harga forward. Hukumnya adalah haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi)
d. Transaksi option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak untuk menjual yang dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya adalah haram, karena mengandung unsur maisir (spekulasi)
Dari uraian di atas secara umum dapat ditetapkan bahwa koperasi itu, apapun model pergerakannya, dapat dikategorikan koperasi syariah apabila prinsip-prinsip operasionalnya sesuai dengan kaidah-kaidah ekonomi yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam, yaitu dalam melakukan transaksinya tidak terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
1. Tadlis (Penipuan), yaitu transaksi yang mengandung suatu hal yang tidak diketahui oleh salah satu pihak;
2. Taghrir (Ketidakpastian), yaitu transaksi pertukaran yang mengandung ketidakpastian bagi kedua pihak, baik baik aqad (mekanisme transaksi) maupun ma'qud 'alaih (Obyek transaksi)
3. Jahalah (ketidakjelasan), salah satu bentuk taghrir dilihat dari aspek ma'qud 'alaih (Obyek transaksi), baik berkenaan kuantitas (qadr) maupun kualitas (washf). Istilah lainnya gharar khas.
4. Bay' Najasy (Manipulasi Permintaan), yaitu upaya mengambil keuntungan diatas keuntungan normal dengan menciptakan permintaan palsu;
5. Ikhtikar (Manipulasi Penawaran), yaitu upaya mengambil keuntungan diatas keuntungan normal dengan menjual barang lebih sedikit untuk harga yang lebih tinggi;
6. Maysir (Perjudian), yaitu perbuatan yang dilakukan dengan mempertaruhan
keuntungan semata-mata pada nasib tanpa suatu kepastian;
7. Riba, yaitu pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal yang pinjam karena keterlambatan pembayaran ketika jatuh tempo, sehingga jumlah pokok pinjaman menjadi berlipat.
Penambahan dalam sebuah transaksi, menurut muamalah Islam dapat dibenarkan asalkan diambil melalui suatu transaksi penyeimbang yang dibenarkan oleh Syariah, yakni melalui transaksi bisnis atau komersial yang melegetimasi adanya penambahan tersebut secara adil, misalnya dengan transaksi jual-beli (murabahah, istishna, dan salam), sewa-menyewa (ijarah), atau bagi hasil suatu usaha (mudharabah dan musyarakah). Dalam transaksi jual-beli, si pembeli membayar harga atas imbalan barang yang diterimanya, dan dalam sewa-menyewa, si penyewa membayar upah sewa karena ada manfaat sewa yang dinikmati termasuk menurunnya nilai ekonomis suatu barang karena penggunaan si penyewa, sedangkan dalam usaha bagi hasil, para peserta perkongsian berhak mendapat keuntungan karena turut menyertakan modal dan turut pula menanggung kemungkinan resiko kerugian yang timbul setiap saat. Akan tetapi dalam transaksi simpan-pinjam dana secara konvensional, si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya faktor penyeimbang yang diterima si penerima pinjaman kecuali kesempatan dan factor waktu yang berjalan selama proses peminzaman. Hal yang dinilai tidak adil adalah si penerima pinjaman diwajibkan selalu, tidak boleh tidak, harus, dan mutlak, serta pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. Padahal kenyataannya uang (dana) tidak akan berkembang dengan sendirinya, tanpa ada faktor orang yang menjalankan dan mengusahakannya.
Bentuk pinjam-meminjam dalam ekonomi syariah disebut dengan istilah Qardh yang artinya kepercayaan yang kemudian dikenal menjadi credo dalam ekonomi konvensional dan selanjutnya di Indonesia dikenal dengan istilah kredit. Qardh (pinjaman) adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali tanpa mengharapkan imbalan atau dengan kata lain merupakan transaksi pinjam-meminjam tanpa syarat tambahan pada saat pengembalian pinjaman. Dalam literatur fiqh klasik, qardh dikategorikan dalam aqd tathawwui atau akad tolong menolong, sehingga berbeda dengan jual-beli atau bagi hasil yang merupakan transaksi komersial.
Berdasarkan pertimbangan di atas, tidak ada halangan untuk mendirikan sebuah badan usaha berbentuk koperasi yang bertujuan menyejahterakan anggotanya dengan menggunakan prinsip-prinsip yang tidak bertentangan dengan syariah, karena Sistem Ekonomi Syariah sudah sedemikian lengkap mengatur permasalahan ekonomi berikut skim-skim transaksi yang tersedia dalam berbagai macam jenis dan jauh lebih lengkap dibandingkan dengan sistem ekonomi konvensional yang kita kenal saat ini.













Gambar 3. Bagan Lembaga Keuangan Depositori dan Non Depositori

B. Sejarah dan Perkembangan Lembaga Keuangan dalam Islam
B.1.Masa Nabi dan Sahabat
Secara institusional lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaraan uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip Islam memang tidak dikenal pada masa Nabi saw., namun secara fungsional sebenarnya telah dikenal dan dipraktekkan di dalam sejarah perekonomian kaum muslimin, sejak zaman Rasulullah saw., seperti fungsi (perbankan) penitipan harta, peminjaman uang untuk konsumsi ataupun produksi, pengiriman uang, serta pemberian modal kerja.
Rasulullah saw. yang dikenal julukan al Amin, dipercaya oleh masyarakat Mekah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum Rasul hijrah ke Madinah, beliau meminta Sayyidina Ali ra untuk mengembalikan semua titipan itu kepada yang memilikinya. dalam konsep ini, yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan tersebut.
Bahkan dulu Muhammad al Amin bermitra dengan Siti Khadijah r.a. dalam suatu usaha perdagangan seperti tertera dalam skema be¬rikut ini:











Gambar 4. Skema Mudharabah Muhamad al-Amin dan Siti Khadijah

Waktu itu Siti Khadijah r.a. menyerahkan modal berupa barang dagangan kepada Muhammad al Amin bin Abdullah. Oleh Muhammad al Amin barang-barang tersebut di¬perjualbelikan di pasar. Keuntungan dari hasil usaha tersebut kemudian dibagi untuk Siti Khadijah ra dan Muhammad al Amin. Be¬sarnya bagian masing-masing sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat. Inilah yang disebut dengan ba¬gi hasil. Cara kerja tersebut diadopsi oleh bank syariah.
Seorang sahabat Rasulullah, Zubair bin al Awwam, memilih tidak menerima uang dari orang dalam bentuk deposit (investasi). Beliau lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda: pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, beliau mempunyai hak untuk memanfaatkannya; kedua, karena bentuknya pinjaman, maka ia berkewajiban mengembalikannya utuh.
Sahabat lain, Ibnu Abbas tercatat melakukan pengiriman uang ke Kufah. Juga tercatat Abdullah bin Zubair di Mekah juga melakukan pengiriman uang ke adiknya Misab bin Zubair yang tinggal di Irak.
Penggunaan cek juga telah dikenal luas sejalan dengan meningkatnya perdagangan antara negeri Syam dengan Yaman, yang paling tidak berlangsung dua kali setahun. Bahkan di zaman Umar bin Khattab ra, beliau menggunakan cek untuk membayar tunjangan kepada mereka yang berhak. Dengan cek ini kemudian mereka mengambil gandum di Baitul Mal yang ketika itu diimpor dari Mesir.
Pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil, seperti mudharabah, musyarakah, muzaraah, musaqah, telah dikenal sejak awal diantara kaum Muhajirin dan kaum Anshar.
Jelaslah bahwa ada individu-individu yang telah melaksanakan fungsi perbankan di zaman Rasulullah saw., meskipun individu tersebut tidak melaksanakan seluruh fungsi perbankan. Ada yang melaksanakan fungsi menerima titipan harta, ada sahabat yang melaksanakan fungsi pinjam-meminjam uang, ada yang melaksakan fungsi pengiriman uang, dan ada pula yang memberikan modal kerja.
Selain fungsi perbankan, pada masa itu sebenarnya telah berdiri institusi keuangan dalam pemerintahan Islam untuk mengurus keuangan negara yang dikenal dengan sebutan Baitul Mal. Baitul Mal berasal dari bahasa Arab bait yang berarti rumah, dan al-mal yang berarti harta. Jadi secara etimologis (makna bahasa) Baitul Mal berarti rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta.
Adapun secara terminologis (makna istilah), sebagaimana uraian Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya al-Amwaal Fi Daulah al-Khilafah, Baitul Mal adalah suatu lembaga atau pihak yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara. Jadi setiap harta baik berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang, komoditas perdagangan, maupun harta benda lainnya di mana kaum muslimin berhak memilikinya sesuai hukum syara' dan tidak ditentukan individu pemiliknya? walaupun telah tertentu pihak yang berhak menerimanya maka harta tersebut menjadi hak Baitul Mal, yakni sudah dianggap sebagai pemasukan bagi Baitul Mal. Secara hukum, harta-harta itu adalah hak Baitul Mal, baik yang sudah benar-benar masuk ke dalam tempat penyimpanan Baitul Mal maupun yang belum.
Demikian pula setiap harta yang wajib dikeluarkan untuk orang orang yang berhak menerimanya, atau untuk merealisasikan kepentingan kaum muslimin, atau untuk biaya penyebarluasan dakwah, adalah harta yang dicatat sebagai pengeluaran Baitul Mal, baik telah dikeluarkan secara nyata maupun yang masih berada dalam tempat penyimpanan Baitul Mal. Dengan demikian, Baitul Mal dengan makna seperti ini mempunyai pengertian sebagai sebuah lembaga atau pihak (al-jihat) yang menangani harta negara, baik pendapatan maupun pengeluaran. Namun demikian, Baitul Mal dapat juga diartikan secara fisik sebagai tempat (al- makan) untuk menyimpan dan mengelola segala macam harta yang menjadi pendapatan negara.
Pada masa Rasulullah saw. (1-11 H/622-632 M), Baitul Mal lebih mempunyai pengertian sebagai pihak (al-jihat) yang menangani setiap harta benda kaum muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran. Saat itu Baitul Mal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta, karena saat itu harta yang diperoleh belum begitu banyak. Kalaupun ada, harta yang diperoleh hampir selalu habis dibagi bagikan kepada kaum muslimin serta dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka. Rasulullah saw. senantiasa membagikan ghanimah dan seperlima bagian darinya (al-akhmas) setelah usainya peperangan, tanpa menunda nundanya lagi. Dengan kata lain, beliau segera menginfakkannya sesuai peruntukannya masing-masing.
Sepeninggal Rasul, Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq (11-13 H/632-634 M), tepatnya pada tahun kedua masa kekhilafahannya (12 H/633 M), merintis embrio Baitul Mal dalam arti yang lebih luas. Baitul Mal bukan sekedar berarti pihak (al- jihat) yang menangani harta umat, namun juga berarti suatu tempat untuk menyimpan harta negara. Abu Bakar menyiapkan tempat khusus di rumahnya berupa karung atau kantung (ghirarah) untuk menyimpan harta yang dikirimkan ke Madinah. Hal ini berlangsung sampai kewafatan beliau pada tahun 13 H/634 M.
Setelah Abu Bakar wafat dan Umar bin Khaththab menjadi Khalifah (13-23 H/634-644 M), beliau mengumpulkan para bendaharawan kemudian masuk ke rumah Abu Bakar dan membuka Baitul Mal. Ternyata Umar hanya mendapatkan satu dinar saja, yang terjatuh dari kantungnya. Akan tetapi setelah penaklukan penaklukan (futuhat) terhadap negara lain semakin banyak terjadi pada masa Umar dan kaum muslimin berhasil menaklukan negeri Kisra (Persia) dan Qaishar (Romawi), semakin banyaklah harta yang mengalir ke kota Madinah. Oleh karena itu, Umar lalu membangun sebuah rumah khusus untuk menyimpan harta, membentuk diwan-diwannya (kantor-kantornya), mengangkat para penulisnya, menetapkan gaji-gaji dari harta Baitul Mal, serta membangun angkatan perang. Kadang kadang ia menyimpan seperlima bagian dari harta ghanimah di masjid dan segera membagi bagikannya.
Selama memerintah, Umar bin Khaththab tetap memelihara Baitul Mal secara hati-hati, menerima pemasukan dan sesuatu yang halal sesuai dengan aturan syariat dan mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Dalam salah satu pidatonya, yang dicatat oleh lbnu Kasir (700-774 H/1300-1373 M), penulis sejarah dan mufasir, tentang hak seorang Khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata, “Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seseorang di antara orang-orang Kuraisy biasa, dan aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.”
Kondisi yang sama juga berlaku pada masa Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M). Namun, karena pengaruh yang besar dan kaum keluarganya, tindakan Usman banyak mendapatkan protes dari umat dalam pengelolaan Baitul Mal. Dalam hal ini, lbnu Sa’ad menukilkan ucapan Ibnu Syihab Az Zuhri (51-123 H/670-742 M), seorang yang sangat besar jasanya dalam mengumpulkan hadis, yang menyatakan, “Usman telah mengangkat sanak kerabat dan keluarganya dalam jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa pemerintahannya. Ia memberikan khumus (seperlima ghanimah) kepada Marwan yang kelak menjadi Khalifah ke-4 Bani Umayyah, memerintah antara 684-685 M dari penghasilan Mesir serta memberikan harta yang banyak sekali kepada kerabatnya dan Ia (Usman) menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan oleh Allah swt. Ia juga menggunakan harta dan meminjamnya dari Baitul Mal sambil berkata, ‘Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka dari Baitul Mal, sedangkan aku telah mengambilnya dan membagi-bagikannya kepada sementara sanak kerabatku.’ Itulah sebab rakyat memprotesnya.”
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M) kondisi Baitul Mal ditempatkan kembali pada posisi yang sebelumnya. Ali, yang juga mendapat santunan dari Baitul Mal, seperti disebutkan oleh lbnu Kasir, mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi tubuh sampai separo kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan tambalan. Ketika berkobar peperangan antara Ali bin Abi Talib dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan (khalifah pertama Bani Umayyah), orang-orang yang dekat di sekitar Ali menyarankan Ali agar mengambil dana dari Baitul Mal sebagai hadiah bagi orang-orang yang membantunya. Tujuannya untuk mempertahankan diri Ali sendiri dan kaum muslimin. Mendengar ucapan itu, Ali sangat marah dan berkata, “Apakah kalian memerintahkan aku untuk mencari kemenangan dengan kezaliman? Demi Allah, aku tidak akan melakukannya selama matahari masih terbit dan selama masih ada bintang di langit.”
Pada masa kekhalifahan Mu’awiyah (41-60 H/661-680 M), selain Bait al-Mal telah berdiri pula lembaga keuangan dengan istilah jihbiz. Kata ‘Jihbiz’ berasal dari bahasa Persia yang berarti penagih pajak. Jihbiz ketika itu berfungsi sebagai penagih pajak dan penghitung pajak atas barang dan tanah.
B.2. Masa Pasca Sahabat
Ketika dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah (41-132 H/661-750 M), kondisi Baitul Mal berubah. Jika pada masa sebelumnya Baitul Mal dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah swt dan amanat rakyat, maka pada masa pemerintahan Bani Umayyah Baitul Mal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat.
Keadaan di atas berlangsung sampai datangnya Khalifah ke-8 Bani Umayyah, yakni Umar bin Abdul Aziz (memerintah 99-101 H/717-720 M). Umar berupaya untuk membersihkan Baitul Mal dari pemasukan harta yang tidak halal dan berusaha mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya. Umar membuat perhitungan dengan para Amir bawahannya agar mereka mengembalikan harta yang sebelumnya bersumber dari sesuatu yang tidak sah. Di samping itu, Umar sendiri mengembalikan milik pribadinya sendiri, yang waktu itu berjumlah sekitar 40.000 dinar setahun, ke Baitul Mal. Harta tersebut diperoleh dan warisan ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan. Di antara harta itu adalah perkampungan Fadak, desa di sebelah utara Mekah, yang sejak Nabi saw. wafat dijadikan milik negara. Namun, Marwan bin Hakam (khalifah ke-4 Bani Umayah, memerintah 64-65 H/684-685 M) telah memasukkan harta tersebut sebagai milik pribadinya dan mewariskannya kepada anak-anaknya.
Akan tetapi, kondisi Baitul Mal yang telah dikembalikan oleh Umar bin Abdul Aziz kepada posisi yang sebenarnya itu tidak dapat bertahan lama. Keserakahan para penguasa telah meruntuhkan sendi-sendi Baitul Mal, dan keadaan demikian berkepanjangan sampai masa Kekhilafahan Bani Abbasiyah. Dalam keadaan demikian, tidak sedikit kritik yang datang dan ulama, namun semuanya diabaikan, atau ulama itu sendiri yang diintimidasi agar tutup mulut. lmam Abu Hanifah, pendiri Madzhab Hanafi, mengecam tindakan Abu Ja’far Al Mansur (khalifah ke-2 Bani Abbasiyah, memerintah 136-158 H/754-775 M), yang dipandangnya berbuat zalim dalam pemerintahannya dan berlaku curang dalam pengelolaan Baitul Mal dengan memberikan hadiah kepada banyak orang yang dekat dengannya. Karena itu lmam Abu Hanifah pernah menolak bingkisan dari Khalifah al-Mansur. Tentang sikapnya itu Imam Abu Hanifah menjelaskan, “Amirul Mukminin tidak memberiku dari hartanya sendiri. Ia memberiku dari Baitul Mal, milik kaum muslimin, sedangkan aku tidak memiliki hak darinya. 0leh sebab itu, aku menolaknya. Sekiranya Ia memberiku dari hartanya sendiri, niscaya aku akan menerimanya.”
Di zaman Bani Abbasiyah (132-656 H/750-1258 M), selain aktifitas pengelolaan Bait al-Mal terdapat pula jihbiz yang populer sebagai suatu profesi penukaran uang. Pada zaman itu mulai diperkenalkan uang jenis baru yang disebut fulus (kion tembaga). Sebelumnya uang yang digunakan adalah dinar (koin emas) dan dirham (koin perak). Dengan munculnya fulus, timbul kecenderungan di kalangan para gubernur untuk mencetak fulusnya masing-masing, sehingga beredar banyak jenis fulus dengan nilai yang berbeda-beda. Keadaan inilah yang mendorong munculnya profesi baru yaitu penukaran uang. Di zaman itu, jihbiz tidak saja melakukan penukaran uang namun juga menerima titipan dana, meminjamkan uang, dan jasa pengiriman uang. Bila di zaman Rasulullah saw. satu fungsi perbankan dilaksanakan oleh satu individu, maka di zaman Bani Abbasiyah ketiga fungsi utama perbankan dilakukan oleh satu individu jihbiz.
Perlu diketahui bahwa beberapa istilah perbankan modern bahkan berasal dari khazanah ilmu fiqih yang banyak digali dari periode itu, seperti istilah kredit (English: credit; Romawi : credo) yang diambil dari istilah qard. Credit dalam bahasa inggris berarti meminjamkan uang; credo berarti kepercayaan; sedangkan qard dalam fiqih berarti meminjamkan uang atas dasar kepercayaan. Begitu pula istilah cek (English: check; France : Cheque) yang diambil dari istilah saq (suquq). Suquq dalam bahasa Arab berarti pasar, sedangkan cek adalah alat bayar yang biasa digunakan di pasar
B.3. Masa Mutakhir
Konsep teoritis mengenai lembaga keuangan syariah muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Berkenaan dengan ini dapat disebutkan pemikiran-pemikiran dari penulis antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) dan Mahmud Ahmad (1952).
Eksperimen pertama lembaga keuangan syariah mulai dilakukan dengan pendirian bank syariah pertama pada 1963 di Mesir dalam bentuk bank tabungan pedesaan di Myt Ghamer di delta sungai Nil, dengan bantuan permodalan dari Raja Faisal Arab Saudi dan merupakan binaan dari Prof. Dr. Abdul Aziz Ahmad El Nagar. Myt-Ghamr Bank dianggap berhasil memadukan manajemen perbankan Jerman dengan prinsip muamalah Islam dengan menerjemahkannya dalam produk-produk bank yang sesuai untuk daerah pedesaan yang sebagian besar orientasinya adalah industri pertanian. Namun karena persoalan politik, pada tahun 1967 Bank Islam Myt-Ghamr ditutup.
Eksperimen lainnya dilakukan di Karachi, Pakistan oleh S.A. Irshad, yang mendirikan sebuah bank koperasi pada bulan Juni 1965, namun bank ini tidak berhasil karena terjadinya salah pengelolaan dan kurangnya supervisi resmi, sehingga harus ditutup.
Meskipun demikian dua eksperimen ini berfungsi sebagai pemecah hambatan psikologis bagi keuangan Islam yang ada dalam dunia muslim, dan menjadi inspirator pendirian sejumlah lembaga-lembaga keuangan Islam setelah pertengahan tahun 1970-an. Pada 1970, seorang hartawan dari Mesir, Thalut Harb Pasha, menggalang para hartawan muslim mendirikan Bank Syariah dengan nama Bank Mesir. Bank ini mulai beroperasi pada tahun 1972. Pada bulan Agustus 1974 berdiri Internasional Development Bank (IDB) di Jeddah. Pendirian bank tersebut merupakan hasil kesepakatan menteri-menteri Luar Negeri negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada konferensi ke 2 bulan Desember 1970 di Karachi, Pakistan, di mana Indonesia menjadi salah satu negara anggota pendiri. Tahun 1975 didirikan Dubai Islamic Bank dan setelah itu di berbagai negara, baik negeri-negeri muslim maupun bukan, berkembang pula lembaga–lembaga keuangan syariah, antara lain Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan (1977), Kuwait Finance House (1977), Bank Syari’ah Yordania (1978), Bank Syari’ah Bahrain (1979).
Mendekati awal dekade 1980-an, Bank-bank Islam bermunculan di Mesir, Sudan, negara-negara Teluk, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki, antara lain di Luxemburg didirikan Bank Syari’ah Internasional dan Pembangunan. Di Malaysia ada Bank Syari’ah Malaysia, di Manila ada Amanah Bank, di Houston ada Al-Baraka Bank, di Jenewa ada At-Taqwa Bank dan di Cina ada The Ningxia Islam Internasional Trusst and Investmen Corporation (NITIC).
Secara garis besar lembaga-lembaga perbankan Islam yang bermunculan itu dapat dikategorikan ke dalam dua jenis, yakni sebagai Bank Islam Komersial (Islamic Commercial Bank), seperti Faysal Islamic Bank (Mesir dan Sudan), Kuwait Finance House, Dubai Islamic Bank, Jordan Islamic Bank for Finance and Investment, Bahrain Islamic Bank dan Islamic International Bank for Finance and Development; atau lembaga investasi dengan bentuk international holding companies, seperti Daar Al-Maal Al-Islami (Geneva), Islamic Investment Company of the Gulf, Islamic Investment Company (Bahama), Islamic Investment Company (Sudan), Bahrain Islamic Investment Bank (Manama) dan Islamic Investment House (Amman).
Pada akhir tahun 1996, lebih dari 166 lembaga keuangan syariah yang telah didirikan atas prakarsa swasta ataupun pemerintah paling tidak di 34 negara muslim dan nonmuslim.
Pesatnya perkembangan lembaga keuangan syariah saat ini, tidak terlepas dari peran Organisasi Konferensi Islam (OKI). Organisasi tempat berhimpunnya negara-negara Islam ini sudah sejak 1970-an tak henti-hentinya menganjurkan dan mendorong negara-negara anggotanya untuk meningkatkan perekonomian rakyat di negara masing-masing.
Dalam rentang waktu 30 tahun kemudian sistem ini telah menunjukkan percepatan perkembangan yang cukup bagus. Kini telah berdiri lebih dari 200 lembaga keuangan dan investasi Islam. Sebagian lembaga-lembaga ini beroperasi secara nasional (domestik), sebagian beroperasi secara regional, dan sebagian lainnya secara internasional. Perkembangan ini tidak saja berada pada wilayah geografis dunia Islam, tetapi juga telah merambah ke dunia lain baik di Timur maupun di Barat.
Kini, setelah melakukan perjalanannya selama tiga dasawarsa, sistem lembaga keuangan syariah telah menarik perhatian para bankir Barat terutama di Eropa. Metode pembiayaan Islam telah dipandang sebagai suatu tantangan sekaligus peluang bagi mereka yang berkecimpung dalam bisnis keuangan modern di Barat. Hal ini dimungkinkan terutama oleh adanya fenomena masyarakat industri yang didorong oleh tuntutan klien (client driven societies) dalam nuansa bisnis modern dan besarnya pangsa pasar umat Islam yang pertumbuhannya diperkirakan 15 % per tahun.
Menurut Prof. Rodney Wilson, ketua Departement of Economics, Universitas Durham, Inggris, dalam satu artikelnya dalam jurnal "Islamic Economic Studies" edisi Oktober 1999 dan April 2000, kini sudah ada sembilan lembaga keuangan multinasional yang membuka unit usaha syariahnya di London. Sembilan lembaga keuangan internasional itu adalah ANZ International, Al-Rajhi Banking, Citibank International, Dresdner Klienwort Benson, Hong Kong & Shanghai Banking Corporation, National Commercial bank, Riyadh Bank Europe, Standard Chartered Bank dan United Bank of Kuwait. Diperkirakan akan terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang lebih besar di masa yang akan datang sekalipun perkembangan itu mungkin agak terbatas.
Perusahaan-perusahaan besar yang berminat menggunakan jasa bank Islam juga semakin banyak. Xerox, General Motors, IBM,General Electric, dan Chrysler adalah sebagian dari perusahaan bluechip di Amerika yang menggunakan ijarah (islamic lease finance).
Dalam bentuk kajian akademis, banyak Perguruan Tinggi di Barat dan di Timur Tengah yang mengembangkan kajian ekonomi Islam, di antaranya, Universitas Loughborough Universitas Wales, Universitas Lampeter di Inggris. yang semuanya juga di Inggris. Demikian pula Harvard School of Law, (AS), Universitas Durhem, Universitas Wonglongong Australia, serta lembaga populer di Amerika Serikat, antara lain Islamic Society of north America (ISNA). Kini Harvard University sebagai universitas paling terkemuka di dunia, setiap tahun menyelenggrakan Harvard University Forum yang membahas tentang ekonomi Islam.
Di Indonesia, perkembangan industri keuangan syariah secara informal telah dimulai sebelum dikeluarkannya kerangka hukum formal sebagai landasan operasional perbankan syariah di Indonesia. Sebelum tahun 1992, telah didirikan beberapa badan usaha pembiayaan non-bank yang telah menerapkan konsep bagi hasil dalam kegiatan operasionalnya. Hal tersebut menunjukkan kebutuhan masyarakat akan hadirnya institusi-institusi keuangan yang dapat memberikan jasa keuangan yang sesuai dengan syariah. Gagasan untuk mendirikan lembaga keuangan berdasarkan Syari’ah Islam itu sebenarnya sudah muncul sejak paruh akhir 1970-an. Namun karena situasi politik belum memungkinkan berdirinya bank syari’ah, maka gagasan tersebut diwujudkan dalam bentuk Koperasi Teknosa ITB pada awal 1980-an. Setelah itu lahir koperasi Rido Gusti di Jakarta yang juga menerapkan sistem bagi hasil dalam operasionalnya.
Pada tahun 1992, untuk pertama kali berdiri bank syariah dengan nama Bank Muamalat Indonesia (BMI). Sampai tahun 1998, Bank Mualamat masih menjadi pemain tunggal dalam belantika perbankan syari’ah di Indonesia, ditambah 78 BPR Syari’ah. Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter yang membuat bank-bank konvensional yang saat itu berjumlah 240 mengalami negative spread yang berakibat pada likuidasi, kecuali Bank Syariah.
Pada Nopember 1997, 16 bank konvensional ditutup (dilikuidasi), berikutnya 38 bank, Selanjutnya 55 buah bank masuk kategori BTO (Bank Take Over) dalam pengawasan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Tetapi kondisi itu berbeda dengan perbankan syari`ah. Hal ini disebabkan karena bank syari`ah tidak dibebani membayar bunga simpanan nasabah. Bank syari`ah hanya membayar bagi hasil yang jumlahnya sesuai dengan tingkat keuntungan perbankan syari`ah. Dengan sistem bagi hasil tersebut, maka jelas bank-bank syari`ah selamat dari negative spread.
Sedangkan bank-bank yang lain bisa selamat karena bantuan pemerintah 700an triliun rupiah yang sampai hari ini bermasalah. Kalau tidak ada BLBI (Bantuan Likuidasi Bank Indonesia) dan rekapitalisasi, berupa suntikan obligasi dari pemerintah, niscaya semua bank tewas dilikuidasi.
Pada masa krisis moneter berlangsung, hampir seluruh bank melakukan kebijakan uang ketat. Kucuran kredit dihentikan, karena cuaca perekonomian yang tak kondusif, di mana suku bunga yang tinggi pasti menyulitkan nasabah untuk membayar bunganya. Berbeda dengan bank konvensional yang mengetatkan kucuran kredit, bank syari`ah malah sebaliknya, yaitu dengan mengekstensifkan kucuran pembiyaannya, baik kepada pegusaha kecil maupun menengah. Hal ini terbukti, di masa krisis yang lalu di mana sampai akhir 1998, ketika krisis tengah melanda, bank Muamalat menyalurkan pembiayaan Rp 392 milyard. Dan sampai akhir 1999 ketika krisis masih juga berlang­sung bank Muamalat meningkatkan pembiayaannya mencapai Rp 527 milyard, dengan tingkat kemacetan 0% (non ferforming loan). Pada saat itu malah CAR Bank Muamalat sempat mencapai 16,5%, jauh di atas CAR minimal yang ditetapkan BI (hanya 4%).
Oleh karena itulah pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No 10/1998. Dalam Undang-Undang ini diatur dengan rinci landasan hukum, serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undang-Undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk konversi kepada sistem syariah, baik dengan cara membuka cabang syari`ah ataupun konversi secara total ke sistem syariah.
Peluang itu ternyata disambut antusias oleh kalangan perbankan konvensional. Beberapa bank yang konversi dan membuka cabang syari`ah antara lain Bank Syariah Mandiri, Bank IFI Syari’ah, Bank BNI Syariah, BRI Syari’ah, Bank DKI Syari’ah, Bank Jabar Syariah, Bank Bukopin Syari’ah, Bank BTN Syari’ah, Bank Niaga Syari’ah.
Dalam bidang asuransi syariah telah berdiri perusahaan asuransi yang menawarkan layanan syariah di Indonesia hampir mencapai 30, diantaranya 25 telah beroperasi. Di Indonesia asuransi syariah (Takaful) telah berdiri sejak 25 agustus 1994, merupakan salah satu dari sekitar 13 perusahaan asuransi sedunia yang memiliki sistem yang sama, antara lain (1) asuransi Sudan, (2) Asuransi Islam Arab, (3) Dar al-Maal al-Islam Genewa 1983, (4) Takaful Islam luxemburg 1983, (5) Takaful Islam Bahamas 1983, (6) Al-Takaful al-Islamiyah Bahrain 1983, (7) Syarikat Takaful Malaysia SDN Berhad 1984, (8) Syarikat Takaful Darussalam.
Dalam bidang pasar modal syariah, pada 14 Maret 2003, pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan Boediono, Bapepam dan MUI secara resmi meluncurkan pasar modal syariah. Sebelumnya pada tahun 2000 PT Bursa Efek Jakarta (BEJ) bekerjasama dengan PT Danareksa Investment Management (DIM) telah meluncurkan Jakarta Islamic Index. sementara itu Reksa Dana Syariah pertama sudah ada pada tahun 1997, serta diterbitkannya Obligasi Syariah Mudharabah Indosat pada tahun 2002. Yang lebih menarik lagi, di pusat keuangan Kapitalis dunia Wall Street, Dow Jones pada Februari 1999 telah meluncurkan Dow Jones Islamic Market Indexes (DJIMI). Perkembangan tersebut disambut gembira oleh banyak pihak.
Di tengah kemerosotan, skandal dan resiko yang menimpa lembaga keuangan konvensional, dunia mulai melirik Islam sebagai alternatif. Kini telah berkembang 19 Bank Syariah, 25 Asuransi Syari’ah, Pasar Modal syari’ah, Pegadaian Syari’ah dan lebih 3200 BMT (Koperasi Syariah). Perkembangan lembaga koperasi syariah menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, hingga tahun 2005 sebanyak 2.700-an.
C. Jenis Akad dalam Lembaga Keuangan Syariah
Prinsip pokok dalam akad (skim transaksi) syariah :
(a) Prinsip Titipan: penitipan suatu harta kepada seseorang/lembaga yang pada suatu saat akan diambil kembali oleh pemiliknya.
(b) Prinsip Bagi Hasil: penentuan keuntungan untuk masing-masing pihak dihitung atas dasar hasil usaha yang diperoleh si pengelola dana (mudhorib) yang besar prosentase masing-masing sesuai kesepakatan dua belah pihak (pemilik dana/shohibul maal dan si pengelola dana/mudhorib)
(c) Prinsip Jual Beli: penentuan keuntugan atas suatu nilai barang yang dijual (baik kontan maupun angsuran) atas dasar kesepakatan dua belah pihak setelah harga pokok barang diketahui oleh keduanya.
(d) Prisip Sewa
(e) Prinsip Jasa
(f) Prinsip Non-Profit: si pemilk dana (shohibul maal) tidak menarik keuntungan materi apapun dari transaksinya.
Dari ketiga prinsip pokok di atas (titipan, bagi hasil, jual-beli), maka dibangun beberapa produk-produk syariah sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya.
D. Ciri Lembaga Keuangan Syariah
Dalam segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi, dunia Islam mempunyai sistem perekonomian yang berbasiskan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Syariah yang bersumber dari Alquran dan sunah serta dilengkapi dengan Ijma (konsensus) para sahabat. Sistem perekonomian Islam, saat ini lebih dikenal dengan istilah sistem ekonomi Syariah.
Alquran mengatur kegiatan bisnis bagi orang-perorang dan kegiatan ekonomi secara makro bagi seluruh umat di dunia secara eksplisit dengan banyaknya instruksi yang sangat detail tentang hal yang dibolehkan dan tidak dibolehkan dalam menjalankan praktek-praktek sosial-ekonomi. Para ahli yang meneliti tentang kandungan Alquran telah mengakui bahwa praktek perundang-undangan Alquran selalu berhubungan dengan transaksi. Hal ini, menandakan bahwa betapa aktivitas ekonomi itu sangat penting menurut Alquran.
Ekonomi syariah menganut faham ekonomi keseimbangan, sesuai dengan pandangan Islam, yakni bahwa hak individu dan masyarakat diletakkan dalam neraca keseimbangan yang adil tentang dunia dan akhirat, jiwa dan raga, akal dan hati, perumpamaan dan kenyataan, iman dan kekuasaan. Ekonomi Keseimbangan merupakan faham ekonomi yang moderat tidak menzalimi masyarakat, khususnya kaum lemah sebagaimana yang terjadi pada masyarakat kapitalis. Di samping itu, Islam juga tidak menzalimi hak individu sebagaimana yang dilakukan oleh kaum sosialis, tetapi Islam mengakui hak individu dan masyarakat.
Dari kajian-kajian yang telah dilakukan, ternyata sistem ekonomi syariah mempunyai konsep yang lengkap dan seimbang dalam segala aspek kehidupan, namun sebagian umat Islam tidak menyadari hal itu karena masih berpikir dengan kerangka ekonomi kapitalis-sekuler, sebab telah berabad-abad dijajah oleh bangsa Barat, dan juga bahwa pandangan dari Barat selalu lebih hebat. Padahal tanpa disadari ternyata di dunia Barat sendiri telah banyak negara mulai mendalami sistem perekonomian yang berbasiskan syariah.
Pemerintah Indonesia baru mengatur lembaga keuangan Syariah (LKS) dalam perundang-undangan negara dengan dikeluarkannya Undang-Undang Perbankan No. 10 tahun 1998 yang secara eksplisit mengatur keberadaan Bank Syariah di Indonesia, di samping Bank Konvensional. Sebelum lahirnya UU Perbankan No. 10/1998 tersebut, di dalam sistem perundangan Indonesia tidak dikenal adanya sistem perbankan Syariah, dan hanya mengenal bank dengan sistem bagi hasil yang tercermin pada UU No.7/1992 yang diuraikan secara sepintas dan hanya merupakan sisipan belaka di UU Perbankan yang berlaku saat itu.
Sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998, perkembangan Lembaga Bank Syariah cukup pesat. Demikian pula lembaga keuangan lain, juga sudah membuka unit Syariah, seperti berbagai maskapai asuransi, penggadaian, reksa dana Syariah, serta berbagai perusahaan besar mengeluarkan obligasi Syariah guna mencari dana bagi usaha mereka.
Lembaga Keuangan Syariah sebagai bagian dari Sistem Ekonomi Syariah, dalam menjalankan bisnis dan usahanya juga tidak terlepas dari saringan Syariah. Oleh karena itu, Lembaga Keuangan Syariah tidak akan mungkin membiayai usaha-usaha yang di dalamnya terkandung hal-hal yang diharamkan, proyek yang menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat luas, berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila, perjudian, peredaran narkoba, senjata illegal, serta proyek-proyek yang dapat merugikan syi'ar Islam. Untuk itu dalam struktur organisasi Lembaga Keuangan Syariah harus terdapat Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi produk dan operasional lembaga tersebut.
Dalam operasionalnya, Lembaga Keuangan Syariah berada dalam koridor-koridor prinsip-prinsip:
1. Keadilan, yakni berbagi keuntungan atas dasar penjualan riil sesuai kontribusi dan resiko masing-masing pihak;
2. Kemitraan, yang berarti posisi nasabah investor (penyimpan dana), dan pengguna dana, serta lembaga keuangan itu sendiri, sejajar sebagai mitra usaha yang saling bersinergi untuk memperoleh keuntungan;
3. Transparansi, lembaga keuangan Syariah akan memberikan laporan keuangan secara terbuka dan berkesinambungan agar nasabah investor dapat mengetahui kondisi dananya;
4. Universal, yang artinya tidak membedakan suku, agama, ras, dan golongan dalam masyarakat sesuai dengan prinsip Islam sebagai “rahmatan lil alamin"
Lembaga Keuangan Syariah, dalam setiap transaksi tidak mengenal bunga, baik dalam menghimpun tabungan investasi masyarakat ataupun dalam pembiayaan bagi dunia usaha yang membutuhkannya. Menurut Dr. M. Umer Chapra , penghapusan bunga akan menghilangkan sumber ketidakadilan antara penyedia dana dan pengusaha. Keuntungan total pada modal akan dibagi di antara kedua pihak menurut keadilan. Pihak penyedia dana tidak akan dijamin dengan laju keuntungan di depan meskipun bisnis itu ternyata tidak menguntungkan.
Sistem bunga akan merugikan penghimpunan modal, baik suku bunga tersebut tinggi maupun rendah. Suku bunga yang tinggi akan menghukum pengusaha sehingga akan menghambat investasi dan formasi modal yang pada akhirnya akan menimbulkan penurunan dalam produktivitas dan kesempatan kerja serta laju pertumbuhan yang rendah. Suku bunga yang rendah akan menghukum para penabung dan menimbulkan ketidakmerataan pendapatan dan kekayaan, karena suku bunga yang rendah akan mengurangi rasio tabungan kotor, merangsang pengeluaran konsumtif sehingga akan menimbulkan tekanan inflasioner, serta mendorong investasi yang tidak produktif dan spekulatif yang pada akhirnya akan menciptakan kelangkaan modal dan menurunnya kualitas investasi.
Ciri-ciri sebuah Lembaga Keuangan Syariah dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut:
a. Dalam menerima titipan dan investasi, Lembaga Keuangan Syariah harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syariah;
b. Hubungan antara investor (penyimpan dana), pengguna dana, dan Lembaga Keuangan Syariah sebagai intermediary institution, berdasarkan kemitraan, bukan hubungan debitur-kreditur;
c. Bisnis Lembaga Keuangan Syariah bukan hanya berdasarkan profit oriented, tetapi juga falah oriented, yakni kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat;
d. Konsep yang digunakan dalam transaksi Lembaga Syariah berdasarkan prinsip kemitraan bagi hasil, jual beli atau sewa menyewa guna transaksi komersial, dan pinjam-meminjam (qardh/ kredit) guna transaksi sosial;
e. Lembaga Keuangan Syariah hanya melakukan investasi yang halal dan tidak menimbulkan kemudharatan serta tidak merugikan syiar Islam.
Dalam membangun sebuah usaha, salah satu yang dibutuhkan adalah modal. Modal dalam pengertian ekonomi syariah bukan hanya uang, tetapi meliputi materi baik berupa uang ataupun materi lainnya, serta kemampuan dan kesempatan. Salah satu modal yang pentinga adalah sumber daya insani yang mempunyai kemampuan di bidangnya.
Sumber Daya Insani (SDI) yang dibutuhkan oleh sebuah lembaga keuangan syariah, adalah seorang yang mempunyai kemampuan profesionalitas yang tinggi, karena kegiatan usaha lembaga keuangan secara umum merupakan usaha yang berlandaskan kepada kepercayaan masyarakat. Untuk SDI lembaga keuangan syariah, selain dituntut memiliki kemampuan teknis sistem keuangan juga dituntut untuk memahami ketentuan dan prinsip syariah yang baik serta memilik akhlak dan moral yang Islami, yang dapat dijabarkan dan diselaraskan dengan sifat-sifat yang harus dipenuhi, yakni:
A. Siddiq, yakni bersikap jujur terhadap diri sendiri, terhadap orang, dan Allah swt;
B. Istiqomah, yakni bersikap teguh, sabar dan bijaksana;
C. Fathonah, yakni profesional, disiplin, menaati peraturan, bekerja keras, dan inovatif;
D. Amanah, yakni penuh tanggungjawab dan saling menghormati dalam menjalankan tugas dan melayani mitra usaha;
E. Tabligh, yakni bersikap mendidik, membina, dan memotivasi pihak lain untuk meningkatkan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi.
Selain peningkatan kompetensi dan profesionalisme melalui pendidikan dan pelatihan, perlu juga diciptakan suasana yang mendukung di setiap lembaga keuangan syariah, tidak terbatas hanya pada lay out serta physical performance (tampilan fisik dan tata ruang), melainkan juga nuansa non fisik yang melibatkan girah Islamiyah. Hal ini perlu dilakukan sebagai environmental enforcement, mengingat agar sumber daya yang telah belajar dan mendapatkan pendidikan serta pelatihan yang baik, ketika masuk ke dalam pekerjaannya menjadi sia-sia karena lingkungannya tidak mendukung.




BIBLIOGRAFI

 Buku Bahasa Arab
Abdullah, M.H. Dirasat fil Fikril Islami. Beirut : Darul Bayariq, 1990.
Abu Daud al-Sijistani, Sulaiman bin al-Asy’ats. Sunan Abu Daud, Beirut: Dar el-Fikr, 1990.
Abu Ubaid. Al- Amwal. Beirut: Dar al-Kutub al–Islamiyah, 1986.
Afar, Muhamad Abdul Mun'im, Dr. Al-Iqtishad al-Islami al-Nizham wa al-Sukkan wa al-Rafah wa al-Zakah. Jeddah: Dar al-Bayan Al-Arabi, 1985.
Al-Abd al-Latief, Abdul Latief bin Abdulalh, Dr. Al-Iejaz fi Mabadi al-Iqtishad al-Islami. Beirut: Dar Ibn Hazm, 1997
Al-‘Aini, Mahmud bin Ahmad. Umdah al-Qari: Syarh Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar Ihya At-Turats Al-Arabi, t.t.
Al-Alusi, Syihab al-Din al-Sayyid Mahmud. Ruh al-Ma'ani fi Tafsir al-Quran al-'Azhim wa al-Sab' al-Matsani. Beirut: Dar al-Fikr, 1978
Al-Amin, Hasan Abdullah, Dr. Al-Wada'I al-Mashrafiyyah al-Naqdiyyah wa Istitsmaruha fi al-Islam. Jeddah: Dar al-Syurq, 1983.
Al-Kufi, Abdullah bin Muhamad bin Abu Syaibah. Al-Mushannaf fi al-Ahadits wa al-Atsar. Beirut: Dar al-Fikr, 1989
Al-Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar. Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah. Beirut: Dar Shadir, 1328 H
___________ Bulugh al-Maram min Jam’ Adillah al-Ahkam. Beirut: Dar el-Fikr, 1989.
___________ Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar el-Fikr, 2000.
___________ Talkhish al-Habir fi Takhrij Ahadits al-Rafi’i al-Kabir. Mekah: Al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Su’udiyyah, 1997.
Al-Azhim, Muhammad Syams al-Haq. 'Aun al-Ma'bud Syarh Sunan Abi Daud. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1995 H.
Al-Baihaqi, Ahmad bin al-Husen bin Ali bin Musa. Al-Sunan al-Kubra. Mekah: Maktabah Dar al-Baz, 1994.
_________ Al-Sunan al-Shugra. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1980.
_________ Dalalil al-Nubuwwah. Dar Ihya al-Sunnah, t.t.p
_________ Syu'ab al-Iman. Beirut: Dar al-Fikr, 1993.
Al-Baji, al-Imam. Al-Muntaqa Syarh al-Muwatha. Beirut: Dar al-Kutub al-'Arabi, 1331 H.
Al-Baghawi, Al-Husen bin Mas’ud. Syarh al-Sunnah. Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1983.
Al-Baghdadi, Ali bin Muhamad. Tafsir al-Khazin. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Al-Bana, Ahmad Abdurrahman. Al-Fath al-Rabbani li Tartib Musnad Ahmad Ma'a Mukhtashar Syarhihi Bulugh al-Amani. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-'Arabi, t.t.
Al-Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. Taudhih al-Ahkam Min Bulugh al-Maram. Mekah: Maktabah al-Asadi, 2003.
Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Shahih al-Bukhari. Kairo: Dar Mathabi’ al-Syu’b, 1970.
Al-Dailami, Abu Syuja' Syairwaih. Al-Firdaus bi Matsur al-Khithab. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1987.
Al-Darimi, Abdullah bin Abdurrahman bin al-Fadhl. Sunan al-Darimi. Dar al-'Arabiyyah, 1978.
Al-Duasyi, Ahmad bin Abdurrazaq. Fatawa al-Lajnah al-Daimah li al-Buhuts wa al-Ifta. Riyadh: Dar Ashimah, 1999.
Al-Fairuzabadi. Al-Qamus al-Muhith. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1987.
Al-Farra, Yahya bin Ziyad. Ma'ani al-Quran. Beirut: Alimul Kitab, 1983.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhamad bin Muhammad. Ihya Ulum al-Din. Beirut: Dar el-Ma’rifah, t.t.
Al-Haitsami, Nuruddin Ali bin Abu Bakar. Majma' al-Zawaid wa Manba' al-Fawaid. Beirut: Dar al-Kutub al-'Arabi, 1407 H.
Al-Hakim, Muhammad bin Abdullah. Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1990
Al-Harsani, Sa'id bin Manshur bin Syu'bah. Sunan Sa'id bin Manshur. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1992.
Al-Jashash, Ahmad bin Ali al-Razi. Ahkam al-Quran. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Al-Jaziri, Abdurrahman. Kitab al-Fiqh 'Ala al-Madzahib al-'Arba'ah. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-'Arabi, 1986.
Al-Jurjani, Ali bin Muhammad, Kitab al-Ta’rifat. Jeddah: al-Haramain, t.t.
Al-Kandahlawi, Muhammad Zakaria bin Muhammad. Aujaz al-Masalik ila Muwatha Malik. Beirut: Dar el-Fikr, 1973.
Al-Khathabi, Ahmad bin Muhamad. Ma'alim al-Sunan Syarh Sunan Abi Daud. Beirut: Mathba'ah al-‘Ilmiyyah, 1933.
Al-Khauni, Abu al-Qasim al-Musawi. Al-Bayan fi Tafsir al-Quran. Mathba'ah al-'Ilmiyah, 1974.
Al-Mubarakafuri, Muhamad Abdurrahman bin Abdurrahim. Tuhfah al-Ahwadzi: Syarh Sunan al-Tirmidzi. Beirut: Dar el-Fikr, t.t.
Al-Munawi, Abd al-Rauf. Al-Ta’arif. Beirut: Dar el-Fikr, 1410
___________ Faidh al-Qadir Syarh al-Jami’ al-Shagir. Mesir: al-Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, 1356 H/1937 M.
Al-Mushili, Ahmad bin Ali bin al-Mutsanna Abu Ya'la. Musnad Abu Ya'la al-Mushili. Dar al-Tsaqafah, 1992.
Al-Nabhani, Qadhi Taqiyyuddin. Nizhâm al-Iqtishâdî fî al-Islâm. Beirut: Dar al-Ummah li ath-Thaba'ah wa an-Nasyr wa at-Tawzi', 2004.
Al-Nawawi, Yahya bin Syarf. Tahdzib al-Asma wa al-Lugat. Beirut: Dar el-fiqr, 1996.
_________ Syarh Shahih Muslim. Beirut: Dar al-Fikr, 1972.
_________ Al-Majmu' Syarh al-Muhadzdzab. Beirut: Dar al-Fikr, 1997.
Al-Nasai, Ahmad bin Syu'aib. Sunan al-Nasai (al-Mujtaba). Aleppo: Maktab al-Mathbu'at al-Islamiyah, 1986.
_________ Al-Sunan al-Kubra. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991.
Al-Qahthani, Mushfir bin Ali. Al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam. Medinah: Jami'ah al-Malik Fahd, 2002.
Al-Qashthalani, Ahmad bin Muhamad. Irsyad al-Syari: Syarh Shahih al-Bukhari. Mesir: al-Mathba’ah Al-Kubra Al-Amiriah, 1304 H.
Al-Qudha'i, Muhamad bin Salamah. Musnad al-Syihab. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1986.
Al-Qurthubi, Muhamad bin Ahmad. Al-Jami' Li Ahkam al-Quran. Beirut: Dar al-Kutub al-'Arabi, 1967.
Al-Qurthubi, Abu Umar Yusuf bin Abdullah Ibn Abd al-Bar. Al-Istidzkar. Beirut: Dar Qutaibah, 1993.
__________ Al-Tamhid. Maroko: Huzarah ‘Umum al-auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah, 1387 H.
Al-Razi, Fakhruddin Ibn Dhiya al-Din Umar. Tafsir Mafatih al-Gaib. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Al-Sarkhasi, Abu Bakar Muhamad. Al-Mabsuth. Beirut: Dar el-Ma’rifah, t.t.
__________ Ushul al-Sharkhasi. Beirut: Dar el-Ma’rifah, 1373 H
Al-Shan’ani, Muhamad bin Ismail. Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram. Beirut: Dar el-Fikr, 1991.
Al-Shan’ani, Abd al-Razzaq bin Hammam. Al-Mushannaf. Beirut: Majlis Ilmi, 1870.
Al-Siba’i, Muhamad Husni, Dr. Al-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islami. Kairo: Dar el-Kumiyah, t.t.
Al-Sulaiman. Fahd bin Nashir bin Ibrahim. Majmu' Fatawa wa Rasail Fadhilah al-Syekh Muhamad bin Shalih Al-Utsaimin. Riyadh: Dar al-Tsariyya, 1998.
Al-Suyuthi, Jalal al-Din Abdurrahman bin Abu Bakar. Tafsir al-Durr al-Mantsur. Beirut: Dar al-Fikr, 1993.
___________Al-Jami’ al-Shaghir. Jedah: Dar Thair al-'Ilmi, t.t.
__________ Tanwir al-Hawalik: Syarh ‘ala Muwatha Malik. Mesir: Isa al-Babi al-Halabi, t.t.
Al-Syafi’i, Muhamad bin Idris. Kitab al-Umm. Beirut: Dar el-Fikr, 1973.
Al-Syaibani, Imam Ahmad bin Hanbal. Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal. Mesir: Al-Mathba’ah al-Maimuniyyah, 1313 H/1895 M.
Al-Syathibi, Abu Ishaq. Al-I'tisham. Mesir: Maktabah al-Tijariyah al-Kubra, t.t.
__________ Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam. Beirut: Dar al-Kutub, t.t.
Al-Syaukani, Muhamad bin Ali bin Muhamad. Irsyad al-Fuhul. Beirut: Dar el-Fikr, t.t.
__________ Nail al-Authar: Syarh Muntaqa al-Akhbar. Beirut: Dar el-Fikr, 1994.
__________ Fath al-Qadir al-Jami' Bain Fannai al-Riwayah wa al-Dirayah fi "ilm al-Tafsir. Beirut: Dar el-Fikr, 1973.
Al-Thabari, Abu Ja'far Muhamad bin jarir. Jami' al-Bayan 'an Tawil Ay al-Quran. Kairo: Maktabah Mushtafa al-Bab, 1968.
_________, Tarikh Umam wa al-Muluk. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1407 H.
Al-Thabrani, Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub. Al-Mu’jam al-Kabir. Mushil, Irak: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 1983.
___________ Al-Mu’jam al-Ausath. Beirut: Dar el-Fikr, 1991.
___________ Al-Mu’jam al-Shagir. Beirut: Dar el-Fikr, 1981.
Al-Thahawi, Ahmad bin Muhamad bin Salamah. Syarh Ma'ani al-Atsar. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1399 H.
__________ Syarh Musykil al-Atsar. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1994.
Al-Thayalisi, Sulaiman bin Daud bin al-Jarid. Musnad Abu Daud al-Thayalisi. Beirut: Dar al-Ma'rifah, t.t.
Al-Thusi, Al-Hasan bin Ali bin Nashr. Mukhtashar al-Ahkam. Madinah: Maktabah al-Ghuraba, 1415 H.
Al-Tirmidzi, Abu Isa Muhamad bin Isa bin Surah. Sunan al-Tirmidzi. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-'Arabi, t.t.
Al-Zaila’i, Jamal al-Din Abu Muhamad Abdullah bin Yusuf. Nashb al-Rayah li Ahadits al-Hidayah. Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1393 H/1973 M.
Al-Zamakhsyari, Mahmud bin Umar. Al-Kasysyaf 'an Haqaiq al-Tanzil wa 'Uyun al-Aqawil. Intisyarat Iftab Tamran, t.t.
Al-Zuhaili, Wahbah, Dr. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1985.
Fayadh, Athiyyah, Dr. Suq al-Auraq al-Maliyah fi Mizan al-Fiqh al-Islam. Mesir: Dar al-Nasyr li al-Jami'at, 1908.
Ibn al-Atsir, Al-Mubarak bin Muhamad bin Muhamad. Jami’ al-Ushul fi Ahadits al-Rasul. Beirut: Dar el-Fikr, 1983.
__________ Al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar. Kairo: Dar Ihya al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1963.
Ibn al-Qayyim, Muhamad bin Abu Bakar. Al-Manar al-Munif fi al-Shahih wa al-Dha’if. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988.
__________ Zad al-Ma'ad fi Hady Khair al-'Ibad. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1986.
Ibn Hazm, Abu Muhamad bin Ali bin Ahmad. Al-Muhalla. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
_________ Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Kairo: Dar al-Hadits, 1404 H.
Ibn Katsir, Abu al-Fida Ismail. Al-Bidayah wa al-Nihayah. Kairo: Maktabah al-Ma'arif, 1988
__________ Tafsir al-Quran al-'Azhiem. Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H.
Ibn Khaldun, Abdurrahman bin Muhamad. Muqaddimah Ibn Khaldun. Beirut: Dar al-Qalam, 1984.
Ibn Khuzaimah, Abu Bakar Muhamad bin Ishaq. Shahih Ibn Khuzaimah bi tahqiq Dr. Muhamad Mushthafa al-A’zhami. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1975.
Ibn Qudamah, Abdullah bin Ahmad. Al-Mughni wa al-Syarh al-Kabir. Beirut: Dar al-Fikr, 1984.
Ibn Taimiyah, Abu al-Barakat Abd al-Salam Abdullah bin Abu al-Qasim. Muntaqa al-Akhbar Min Ahadits Sayyid al-Akhyar. Beirut: Dar el-Fikr, t.t.
Ibn Taimiyah, Ahmad bin Abd al-Halim. Majmu' al-Fatawa. Riyadh: Maktabah al-Ma'arif, 1987.
____________ Al-Fatawa al-Kubra. Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1387 H.
____________ Minhaj al-Sunnah al-Nabawiyah. Cordoba: Muassasah Qurthubah, 1406 H.
____________ Iqtidha Shirath al-Mustaqim. Kairo: Mathba'ah al-Sunnah al-Nabawiyah, 1369 H.
Malik bin Anas. Al-Muwatha. Mesir: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, t.t.
Maluf, Lois. Al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam. Beirut: Dar al-Masyiriq, 1986.
Manzhur, Ibn. Lisân al-'Arab. Beirut: Dar Shadir, t.t.
Muhamad, Yusuf Kamal. Fiqh al-Iqtishadi al-Naqdi. Beirut: Dar al-Hidayah, 1993.
Muslim bin al-Hajjaj. Shahih Muslim. Beirut: Dar el Fikr, t.t.
Nashif, Manshur Ali. Al-Taj al-Jami' al-Ushul Fi Ahadits al-Rasul. Beirut: Dar al-Fikr, 1975.
Nashir, al-Garib, Dr. Ushul al-Mashrafiyyah al-Islamiyyah. Kairo: Mathabi' al-Manar al-'Arabi, 1996.
Qutb, Sayid. Al–Adalah al–Ijtimaiyah fi al–Islam. Mesir: Dar al-Kitab al–Araby, t.t.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunah. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
Syalthut, Mahmud. Al-Fatawa. Mesir: Dar al-Qalam, 1966
__________. Al-Islam Aqidah wa Syariah. Mesir: Dar al-Qalam, 1966
Wensinsck, Aren Jan (A.J.), Dr. A Handbook of Early Muhammadan Tradition Alpabetically Arranged (terjemahan: Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Hadits al-Nabawi, oleh M. Fuad Abd al-Baqi). Leiden- Netherland: E.J. Brill, 1936.
Yunus, Abd al-Hamid, Dr. dkk (penerjemah). Dairah al-Ma’arif al-Islamiyyah. Kairo: al-Syu’b, 1969.
Zaidan, Abd al-Karim, Prof.Dr. Al-Madkhal Li Dirasah al-Syariah al-Islamiyyah. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1981.
Zallum, Abd al-Qadim. Al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah (Sistem Keuangan di Negara Khilafah). Beirut: Dar al-'Ilm li al-Malayin, 1403.
 Buku berbagai Bahasa
Abdul Mannan, Muhammad. Teori dan Praktek Ekonomi Islam. Jogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf , 1993.
ABSINDO Jawa Barat. Pola Pembiayaan Syariah Melalui Lembaga Keuangan Mikro Syariah.
Agreement Establishing The Islamic Development Bank, Dar Alasfahani Printing Press, Jeddah, 12 Agustus 1994.
Al-Amine, Muhammad al-Bashir Muhammad. The Islamic Bonds Market : Posibilities and Challenges, International Journal of Islamic Financial Services, Volume 3, No.1, April-June, 2001.
Al-Badri, Abdul Aziz, Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam, (Al-Islam, Dlaaminun lil Haajaat al-Asaasiyah likulli Fardin wa Ya’malu lirafaahiyatihi), alih bahasa Tjetjep Suhandi dan Muhammad Thoha Idris. Jakarta; Gema Insani Pers, 1999.
Alhabshi, Syed Othman, Towards an Islamic Capital Market, www.vlib.unitarklj1.edu.my
Alma, Bukhari, Prof.Dr. Pengantar Bisnis. Bandung: CV. Alfabeta, 1998
Al-Maliki, Abdurrahman, Politik Ekonomi Islam, (As-Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-Mutsla), alih bahasa Ibnu Sholah. Bangil: Al-Izzah, 2001
al-Mawardi, Imam. Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah wa al-wilâyah ad-Dîniyyah (Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam), penj, Abdul Hayyi al-Kattani dan Kamaluddin Nurdin. Jakarta: GIP, 2000.
An-Nabhani, Taqiyuddin, Peraturan Hidup dalam Islam, (Nizham al-Islam), alih bahasa Abu Amin dkk. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2001
An-Nabhani, Taqyuddin. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif; Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 2000.
Anonymous. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Tahun 2004-2009. .
Anoraga, Pandji dan Piji Pakarti, Pengantar Pasar Modal. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001.
Antonio, M. Syafi’I dan Karnaen Perwataatmadja. Apa dan Bagaimana Bank Islam. Jogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1999.
Antonio, M. Syafi’i, Bank Syariah: Wacana Ulama dan Cendekiawan. Jakarta: Bank Indonesia dan Tazkia Institute, 1999.
___________Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia Institute, 2001.
Anwar, Farial. Wall Street, BEJ, dan Rupiah, Republika Online 29 Juli 2002
Arifin, Bustanul & Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik, Jakarta:Grasindo, 2001
Arifin, Zainul. Memahami Bank Syariah. Lingkup, Peluang, Tantangan, dan Prospek. Jakarta: AlvaBet, 2000.
Az-Zain, S. A. Syari'at Islam:Dalam Perbincangan Ekonomi, Politik dan Sosial Sebagai Studi Perbandingan (Terjemahan). Bandung : Husaini, 1981.
Bapepam, Annual Report Bapepam 2002, www.bapepam.go.id
Beik, Irfan Syauqi. Prinsip Pasar Modal Syariah, Republika Online 21 Maret 2003
Biro Perbankan Syariah BI. Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia. Jakarta: Bank Indonesia, 2002.
Budiantoro, Setyo. RUU Lembaga Keuangan Mikro: Jangan Jauhkan Lembaga Keuangan Dari Masyarakat. Yogyakarta: Jurnal Keuangan Rakyat Tahun II, Nomor 8, Nopember 2003,
Chapra, Umer, Dr. Islam dan Tantangan Ekonomi, terj. Oleh Ikhwan Abidin B. Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia Institute, 2001.
__________. Islamic and Economic Development (Islam dan Pembangunan). Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia Institute, 2000.
__________. The Future of Economic An Islamic Perspective (Landscape Baru Perekonomian Masa Depan). Jakarta: Shariah Economics and Banking Instintute (SEBI), 2001.
__________. The Future of Economic An Islamic Perspective (Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam). Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia Institute, 2000.
__________. Towards Just Monetary System (Sistem Moneter Islam). Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia Institute, 2000.
Cokroaminoto, H.O.S. Islam dan Sosialisme. Jakarta: Bulan Bintang, 1954
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 1999.
Deliarnov. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: Raja Garfindo Persada, 1995.
Departemen Keuangan RI, APBN 2003, www.fiskal.depkeu.go.id
Departemen Keuangan RI, Nota Keuangan dan APBN 2002, www.fiskal.depkeu.go.id
Dewan Redaksi Enslikopedi Islam. Enslikopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Direktorat Perbankan Syariah BI. Statistik Perbankan Syariah. Jakarta: Bank Indonesia, 2005
Djazuli, Acep, Prof. Drs. Fiqih Siyasah. Jakarta: Prenada Media, 2003
___________ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Islam. Bandung: Kiblat Pers, 2002
Fachruddin, Fuad Mohd. Riba Dalam Bank, Koperasi, Perseoran & Asuransi, Bandung: Alma’arif, 1983.
Faisal Raja, The Significance of Zakat, Khilafah Magazine December 2001 Edition
Gamal, Merza. Pemberdayaan Dana Zakat, Infaq, Sadaqah dalam Mendukung Program Pembangunan Ekonomi Kerakyatan Provinsi Riau, Makalah, Bogor: PS-MPD, IPB, 2002
Gunawan, Muhammad. Bagaimana Seharusnya Obligasi Syariah, Republika Online 7 Oktober, 2002.
Hakim, Cecep Maskanul. Konsep Pengembangan Baitul Mal. Paper Seminar Ekonomi Islam ICMI. Bandung 1995.
Heilbroner, Robert L. Tokoh-Tokoh Besar Pemikir Ekonomi. Jakarta: UI Press, 1986.
Hizbut Tahrir. Sebab-sebab Kegoncangan Pasar Modal Menurut Islam. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 1998.
Ilyas, Daniel, Sistem Pemikiran Ekonomi Islami, Makalah dalam Diskusi Internal KEI FSI-SMFEUI (tidak dipublikasikan), Jakarta: 2001.
Institut Manajemen Zakat, Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Syari’ah, www.imz.or.id
Jakarta Stock Exchange, Mengenal Pasar Modal, www.jsx.co.id
Karim, Adiwarman A, Penerapan Syariah Islam di Bidang Ekonomi. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Shariah Economics Days 2001 oleh FSI-FEUI. 2001.
Khan, Muhammad Akram. Ajaran Nabi Muhammad SAW tentang Ekonomi (Kumpulan Hadits-hadits Pilihan Tentang Ekonomi). Jakarta: PT. Bank Muamalat Indonesia, 1996.
Kompas, Fokus; Ketika Maling Kuras Kekayaan Negara, 16 Februari 2003
Kurnia, MR. Syariat Islam Rahmat bagi Seluruh Manusia, dalam Panitia Diskusi Publik Selamatkan Indonesia dengan Syariah, Bunga Rampai Syariat Islam. Jakarta: Hizbut Tahrir Indonesia: 2002
M Suparmoko, Keuangan Negara dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: BPFE-YOGYAKARTA, 1997)
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Jakarta, 1999
Modal Online, Direktur Indosat Junino Jahja: Tokoh Dibalik Obligasi Mudharabah, 30 Januari 2003.
Mubyarto. Membangun Sistem Ekonomi, BPFE, Yogyakarta, 2000.
Noer, U. Saefudin. Peluang Investasi Obligasi Syariah, Republika Online 7 Juli 2003.
Nopirin, Ekonomi Moneter. Yogyakarta: Penerbit BPFE, 1990.
P.Todaro, Michael. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Terjemahan, Edisi Ketujuh. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2000.
Pasaribu, H. Chaeruddin Drs. dan Suhrawardi K. Lubis, SH., Hukum Perjanjian dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika, 1994.
Prawiranegara, Syafrudin. Apa Yang Dimaksud dengan Sistem Ekonomi Islam. Jakarta: Publicita, t.t.
Prawirokusumo, Soeharto. Ekonomi Rakyat (Konsep, Kebijakan, dan Strategi), Yogyakarta: BPFE,2001
Priyono, B. Herry, Bisnis Sesudah Neoliberalisme, Kompas Cyber Media, www.kompas.com
Qaradhawi, Yusuf, Prof.Dr. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1997.
_____________, Madkhal Li Dirasah al-Syariah al-Islamiyyah (Membumikan Syariat Islam Keluwesan Aturan Ilahi Untuk Manusia). Bandung: Penerbit Arasy, 2003.
Rudjito, Peran Lembaga Keuangan Mikro Dalam Otonomi Daerah Guna Menggerakkkan Ekonomi Rakyat dan Menanggulangi Kemiskinan: Studi Kasus Bank Rakyat Indonesia. Yogyakarta: Jurnal Keuangan Rakyat Tahun II, Nomor 1, Maret 2003.
Samuelson, Paul A. dan Nordhaus, William P.. Makroekonomi Edisi Keempatbelas, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1997.
Singh, Kavaljit. Memahami Globalisasi Keuangan: Panduan untuk Memperkuat Rakyat. Jakarta: YAKOMA-PGI, 1998.
Sugema, Iman. The Next Revolution, paper pada Diskusi Panel Microfinance Revolution: “Future Perspective for Indonesian Market”, Jakarta, 7 Desember 2004.
Sulaiman, Thahir Abdul Muhsin. Menanggulangi Krisis Ekonomi secara Islam, terjemahan Anshori Umar Sitangal dari Haajul Musykilah Al-Iqtisshaadiyah fil-Islam. Bandung: Al-Ma’arif, 1985.
Tim DD-FES-BMT. Pedoman Kemitraan Dompet Dhuafa Republika-FES-BMT. Jakarta: Dompet Dhuafa Republika, 1997.
U. Saefudin Noer, Peluang Investasi Obligasi Syariah, Republika Online 7 Juli 2003.
Wahyudin, Didin. Key Succes Factors In MicroFinancing, paper pada Diskusi Panel Microfinance Revolution: “Future Perspective for Indonesian Market”, Jakarta, 7 Desember 2004.
Wijaya, Krisna. “Kredit Mikro Bukan Hibah”, Harian Kompas, Selasa, 1 Maret 2005.
Wijono, Wiloejo Wirjo. Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan. Jakarta: Jurnal Kajian Ekonomi dan Keuangan, Nopember 2005.
Winardi. Kapitalisme Versus Sosialisme. Bandung: Remadja Karya, 1986.
Woods, Alan dan Grant, Ted. Di Atas Mata Pisau, Perspektif bagi Ekonomi Dunia, www.marxist.com
Yafie, Ali, Prof. Menggagas Fiqih Sosial. Bandung: Mizan, 1994.
Yusuf Qardhawi, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, (Musykilah al-Faqr wakaifa A’alajaha al-Islam), alih bahasa Syafril Halim. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Zuhdi, Masjfuk Drs., Masail Fiqhiyah, Kapita Selekta Hukum Islam. Jakarta: CV. Haji Masagung, 1989.
 Software [CD ROOM]
 Al-Maktabah al-Islamiyyah al-Kubra li al-Kutub al-Islami wa al-'Arabi, External Harddisk.
 Al-Maktabah al-Syamilah, versi 1. T.t.
 Al-Maktabah al-Alfiyah li al-Sunnah al-Nabawiyyah, versi 1.5. 1999
 Al-Qursu: Almanak Abd al-Majid, t.t.
 Al-Silsilah al-Shahihah, versi al-Albany
 Al-Silsilah al-Dhaifah, versi al-Albany
 Hijriah-Masehi Converter, t.t. Lone Wolf Lab.
 Maktabah al-Fiqh wa Usuluh, versi 1.5. 1999
 Maktabah al-Hadits al-Syarif, ver. 2, 1998
 Maktabah al-Syekh al-Rabi’ al-Madkhali.
 Mausu’ah al-Hadits al-Nabawi al-Syarif al-Shihah wa al-Sunan wa al-Masanid.
 Mausu’ah al-Hadits al-Syarif, versi 1.2. 1991-1996
 Mausu’ah Thalib al-‘Ilm al-Syarif, versi 2.0. 2000
 Microsoft Encarta, 1992
 Muhaddith Program, versi 8.61
 Website Indonesia
www.pkes.org
www.lp2u-online.tripod.com
www.depkop.go.id
www.tazkiaonline.com
www.sentrakukm.com
www.koperindo.com
www.pustaka.lapenkop.coop
www.smecda.com
www.ekonomisyariah.org
www.icmi.or.id
www.pesantrenonline.com
www.republika.co.id
www.wikipedia.com