Pages

Selasa, 28 Agustus 2012

SIAPAKAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH? (BAGIAN II)

Setelah Rasulullah saw. wafat, wasiat Rasul itu dipegang teguh oleh para sahabatnya dengan cara memberikan perhatian terhadap sunah-sunah Nabi dan berusaha keras untuk memperolehnya sebagaimana sikap mereka terhadap Alquran. Mereka menghafalkan lafaz-lafaz hadis atau maknanya, memahami dan mengetahui maksud tujuannya berdasarkan petunjuk-petunjuk dari Rasul yang mereka dengar, perbuatan dan persetujuannya yang mereka saksikan, dan berdasarkan pengetahuan mereka mengenai situasi dan kondisi yang melatarbelakangi diucapkannya hadis-hadis itu. Dan, hadis-hadis yang sulit dipahami atau tidak diketahui maksudnya, mereka tanyakan langsung kepada sahabat yang lebih kompeten di bidang itu.
Catatan:
Di samping sikap sahabat yang demikian, pada masa itu sebenarnya mulai muncul pula benih-benih anti sunnah, walaupun masih dalam bentuk personal, belum menjadi pendapat kelompok dalam sebuah gerakan.

Demikian tinggi perhatian dan kesungguhan mereka untuk menerima sunah Nabi saw. hingga mereka bergiliran mendatangi sesama sahabat. Sikap para sahabat yang demikian itu didasari oleh keyakinan bahwa [1] Rasul tidak mengucapkan sesuatu atas dasar hawa nafsu atau kemauannya sendiri, tetapi yang diucapkannya itu wahyu yang diwahyukan kepadanya, [2] mencintai Rasul harus melebihi kecintaan mereka kepada diri sendiri, [3] mempelajari sunnahnya akan mendapatkan kenikmatan rohani dan kepuasan batin. Di samping itu, mereka memperoleh jamuan keimanan dan bekal ketakwaan, dan mereka memandang bahwa hal tersebut merupakan jalan menuju surga.

Karena itu tidaklah mengherankan bila kita dapatkan para sahabat sangat serius dan memberikan perhatian penuh untuk mendapatkan dan mendengarkan hadis. Dan, kenyataan demikian itu merupakan aksioma yang tak terbantahkan. Demikian juga mereka berusaha sungguh-sungguh untuk mengajarkan sunah yang mereka terima, karena mereka yakin bahwa sunah itu merupakan (ajaran) agama yang wajib disampaikan kepada tiap generasi.

Untuk itu mereka tidak henti-hentinya melakukan upaya kaderisasi, sebagaimana telah diwasiatkan oleh Rasulullah saw. untuk menyambut thulab al-‘ilm (para santri) dengan baik. Abu Harun al-‘Abdi meriwayatkan, “Apabila kami mendatangi Abu Sa’id al-Khudriyi, beliau senantiasa menyambut kami dengan ucapan, ‘Marhaban bi washiyyatir Rasulillah (selamat datang wasiat Rasul)’  Kami bertanya, ‘Apa wasiat Rasul itu’ Kata Abu Said, ‘Rasul bersabda kepada kami, ‘Setelah aku meninggal akan datang kepada kalian suatu generasi  yang hendak mempelajari hadis. Karena itu apabila mereka datang hendaklah kalian bersikap lemah lembut dan ajarkanlah hadis kepada mereka’.” (Lihat, Al-Muhaddits Al-Fashil, hlm.176)
Dalam riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan redaksi:
وَإِنَّهُمْ سَيَأْتُونَكُمْ مِنْ أَقْطَارِ الْأَرْضِ يَتَفَقَّهُونَ فِي الدِّينِ فَإِذَا جَاءُوكُمْ فَاسْتَوْصُوا بِهِمْ خَيْرًا
Sesungguhnya mereka akan datang kepada kalian dari berbagai penjuru bumi untuk bertafaquhh fid din (memperdalam agama). Karena itu apabila mereka mendatangi kalian hendaklah kalian menyambut mereka dengan baik. (Lihat, Sunan at-Tirmidzi, V:30; Sunan Ibnu Majah, I:91)

Dalam proses tahdziib (memelihara) wasiat Rasul itu, para sahabat mengembangkan berbagai cara, sistem, dan pola pemberdayaan yang beragam. Misalnya Jabir mempunyai halaqah (majelis ilmu) di mesjid Nabawi, di sana ia mendiktekan hadis pada murid-muridnya. Muhamad bin al-Hanafiyyah (W. 80 H/699 M), Muhamad bin Ali al-Baqir (W. 114 H/732 M), Wahab bin Munabbih (W. 114 H/732 M),  termasuk murid Jabir yang banyak belajar hadis darinya. Atau Abu Bakar yang senantiasa berupaya mensuplai bahan makanan bagi ashabus suffah (para santri penghuni asrama masjid Nabawi). (Lihat, Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu, hlm. 26-27)

Itulah kadar perhatian para sahabat terhadap washiyah Rasul. Mereka berani serta ikhlas mewakafkan dan mehibahkan waktu, tenaga, pikiran, dan harta guna tahdzib washiyah Rasul, yakni mempersiapkan para kader ulama sebagai generasi penyambung dan pelanjut perjuangan Rasul, sehingga kaum muslimin tidak kekurangan ahli sebagai pembimbing mereka dalam mengikuti jejak langkah Rasul.

Karena sikap yang mulia itulah lahir penamaan Ahlus Sunnah bagi kaum muslimin yang berpegang teguh pada sunnah Rasul. Ibnu Hazm (w. 456 H/1063 M) berkata, “Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang kami sebut ahlul haq, dan selain mereka adalah ahlul bid’ah. Adapun ahlul haq itu adalah para sahabat dan setiap orang yang mengikuti jejak mereka, yaitu para tabi'in, kemudian ahlul hadits dan fuqaha dari generasi ke generasi sampai masa kita sekarang ini”. (Lihat, al-Fashl fil Milal, II:90)

Sehubungan dengan itu, Abu Al-Muzhaffar al-Isfarayaini  (w. 471 H/1078 M) secara tegas menyatakan bahwa “Mereka disebut ahlus sunnah karena mengikuti sunnah Rasulullah saw.” (Lihat, Masalatut Taqrib baina Ahlus Sunnah was Syi’ah, I:26)
Keterangan serupa ditegaskan pula oleh Ibnu Taimiyyah  (w. 728 H/1327 M). (Lihat, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, III:157)

Penamaan ini sudah digunakan sebelum terjadinya atau tidak ada keterkaitan dengan kejadian iftiraq (perpecahan umat dan munculnya Ahli bid'ah) pada akhir masa kekhalifahan Usman bin Afan (tahun 35 H/656 M).
Catatan:
Iftiraq (perpecahan) itu sendiri mulai terjadi setelah Usman bin Affan Ra. terbunuh. Walaupun pada masa itu belum terjadi perpecahan yang serius. Namun ketika meletus fitnah di antara kaum muslimin pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, barulah muncul kelompok Khawarij dan Syi'ah. Sementara pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ra. dan Umar Ra., bahkan pada masa kekhalifahan Usman Ra, belum terjadi sama sekali perpecahan yang sebenarnya. Selanjutnya, para sahabat justru melakukan penentangan terhadap perpecahan yang timbul. Janganlah dikira para sahabat mengabaikan atau tidak tahu menahu tentang fenomena negatif ini. Dan jangan pula disangka mereka kurang tanggap terhadap masalah perpecahan ini, baik seputar masalah pemikiran, keyakinan, pendirian maupun perbuatan. Bahkan mereka tampil terdepan menentang perpecahan dengan gigih. Mereka telah teruji dengan baik dalam sepak terjang menghadapi perpecahan tersebut dengan segala tekad dan kekuatan.

Bahwa penamaan ini sudah digunakan sebelum terjadinya atau tidak ada keterkaitan dengan kejadian iftiraq, tercermin pada ucapan sahabat Ibnu Abas sebagai berikut:
النَّظَرُ إِلَى الرَّجُلِ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ يَدْعُوْ إِلَى السُّنَّةِ وَيَنْهَى عَنِ الْبِدْعَةِ
"Memperhatikan seseorang dari Ahlus Sunnah berarti mengajak kepada sunah dan mencegah dari bid'ah" H.r. al-Lalika’i (Lihat, Syarh Ushul I'tiqad Ahlis Sunnah I:29, No. hadis 8)

Demikian pula dalam ucapan para tabi'in antara lain:
Ayyub as-Sakhtiyani (w.131 H/748 M) berkata,
إِنِّيْ أُخْبَرُ بِمَوْتِ الرَّجُلِ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَكَأَنِّيْ أَفْقِدُ بَعْضَ أَعْضَائِيْ
"Sesungguhnya aku telah dikabari wafatnya seseorang dari ahlus sunnah, maka seakan-akan aku telah kehilangan sebagian anggota tubuhku" (Ibid., I:46, No. hadis 25)
Dalam kesempatan lain ia menyatakan :
إِنَّ مِنْ سَعَادَةِ الْحَدَثِ وَالأَعْجَمِيِّ أَنْ يُوَفِّقَهُمَا اللهُ لِعَالِمٍ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ
“Sesungguhnya di antara kebahagian bagi seorang hadats (pemuda) dan orang non Arab adalah ketika Allah memberi taufik kepada mereka berdua untuk bertemu dengan ulama Ahlus Sunnah” (Ibid., I:47, No. 26)

Fudhail bin Iyadh (w. 187 H/802 M) menyatakan:
إِنَّ للهِ عِبَادًا يُحْيِيْ بِهِمُ الْبِلاَدَ ، وَهُمْ أَصْحَابُ السُّنَّةِ ، وَمَنْ كَانَ يَعْقِلُ مَا يَدْخُلُ جَوْفَهُ مِنْ حِلِّهِ كَانَ مِنْ حِزْبِ اللهِ
“Sesungguhnya Allah memiliki para hamba yang melalui hamba-hamba itu Allah menghidupkan negeri-negeri. Mereka adalah Ashabus Sunnah dan orang yang mengetahui apa yang masuk ke dalam kerongkongannya, yaitu makanan halal. Mereka termasuk tentara Allah” (Ibid., I:67, No. hadis 46)
Maksudnya, tidak memakan yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh Nabi saw. dan para shahabat.

Tidak ada komentar: