Pages

Selasa, 28 Agustus 2012

KEDUDUKAN HADIS AHAD (2)

Pada pembahasan sebelumnya telah disebutkan bahwa terjadinya pengklasifikasian sunah karena didasarkan pada kondisi perkembangan isnad atau jalur periwayatan, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Karena kondisi perkembangan isnad tersebut, maka pemberitaan sunah “diliputi” oleh dua keadaan; Pertama, disebut qath’iyyul wurud, yaitu dapat dipastikan datangnya dari  Rasulullah. Kedua, disebut zhaniyyul wurud, yaitu tidak dapat dipastikan datangnya dari Rasulullah, dan untuk menentukan kepastiannya perlu dilakukan penelitian.
Dilihat dari kondisi perkembangan sanad itulah para ulama membagi hadis menjadi dua macam, yaitu mutawatir dan ahad
A. Kriteria Mutawatir
Kata mutaawatir berasal dari kata tawaatara. Secara bahasa artinya beruntun atau berturut-turut. Kata dasar ini telah digunakan dalam Alquran sebagaimana firman Allah Swt.
ثُمَّ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا تَتْرَى
“Kemudian Kami utus (kepada umat-umat itu) rasul-rasul Kami berturut-turut.” (QS. Al-Mukminun, 23: 44)
Sedangkan secara istilah Hadis mutawatir adalah
مَا رَوَاهُ عَدُدٌ كَثِيْرٌ بِلاَ حَصْرٍ عَدَدٍ مُعَيَّنٍ تُحِيْلُ الْعَادَةُ تَوَاتُؤَهُمْ وَتَوَافُقَهُمْ عَلَى الْكَذِبِ
“hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak terbatas jumlahnya, sehingga dengan jumlah sebanyak itu secara adat mustahil mereka bersepakat dan berunding bersama untuk berdusta atau memalsukan riwayat tersebut.” (Lihat, Syarh Al-Waraqaat fii Ushuulil Fiqhi, juz 4: 36; Al-Burhaan fii Ushuulil Fiqhi, juz 1: 216; Qawaa’idut Tahdiits, juz 1: 108; Syarh Nukhbatil Fikar Fii Mushthalah Ahlil Atsaar, juz 1: 180; Irsyaadul Fuhuul ilaa Tahqiiqil Haqqi min ‘Ilmil Ushuulil, juz 1: 98)
Dari definisi tersebut kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa suatu hadis dapat dikategorikan atau dikelompokan kepada mutawatir apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Penyampai dan penerima hadis itu banyak jumlahnya pada tiap jenjang generasi. Sebagian ulama menetapkan syarat minimal 10 orang.
  2. Dengan jumlah sebanyak itu tidak ada kesempatan bagi mereka bersekongkol untuk berdusta atas nama Rasul atau memalsukan hadis itu, karena tiap generasi itu berasal dan tersebar di berbagai propinsi dan negara yang berbeda. Di samping itu mereka tidak saling kenal satu dengan lainnya.
  3. Shighatul Ada (metode/cara penyampaian) antara satu dengan yang lainnya harus jelas, misalnya menggunakan kalimat sami'naa (kami mendengar) atau haddatsana (telah menceritakan kepada kami)
  4. Isi berita dari sumber awal (generasi sahabat) sampai sumber akhir (generasi pencatat hadis) tidak berubah.
Pembagian Hadis Mutawatir
Dilihat dari aspek redaksional atau kalimatnya, hadis mutawatir dibagi atas dua macam;
Pertama, disebut Mutawatir lafzhi
Yaitu hadis yang mutawatir dari segi redaksi dan ma’nanya, sebagai contoh hadis
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Siapa yang berdusta atas namaku, bersiap-siaplah mengambil tempatnya di neraka.”

Hadis ini diterima dan disampaikan oleh lebih dari 70 orang sahabat Rasul, antara lain:
  1. Abu Hurairah, riwayat Bukhari
  2. Al-Mughirah, riwayat Muslim
  3. Jabir, riwayat Ad-darimi
  4. Zubair, riwayat Abu Daud
  5. Anas, riwayat Ibnu Majah
  6. Ibnu Mas’ud, riwayat At Tirmidzi
  7. Usman, riwayat Abu Daud dan At-Tirmidzi
  8. Abu Said, riwayat Abu Hanifah
  9. Nabith bin Syureh, riwayat Thabrani
  10. Zaid bin Arqam, riwayat Al-Hakim
Dari 70 orang tersebut, selanjutnya diterima oleh orang-orang pada generasi berikutnya dengan jumlah sebanyak itu pula, bahkan hingga 200 orang. Demikian seterusnya hingga sampai pada jenjang generasi para pencatat hadis.
Dilihat dari kesamaan redaksi sejak diterima oleh generasi sahabat hingga dicatat oleh generasi terakhir, maka hadis ini disebut mutawatir lafzhi.

Kedua, Mutawatir ma’nawi
Yaitu hadis mutawatir dari segi ma’nanya saja, tidak dengan redaksinya. Contohnya hadis tentang turunnya Nabi Isa pada akhir zaman.
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَيُوْشِكَنَّ أَنْ يَنْزِلَ فِيْكُمُ ابْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا عَدْلاً فَيَكْسِرَ الصَّلِيْبَ وَيَقْتُلَ الْخِنْزِيْرَ وَيَضَعَ الْجِزْيَةَ وَيُفِيْضَ الْمَالَ حَتَّى يَقْبَلَهُ أَحَدٌ وَحَتَّى تَكُوْنَ السَّجَّدَةُ خَيْرًا لَهُ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا
‘Demi diriku yang ada pada kekuasaannya, hampir dekat waktunya Ibnu Maryam (Isa) akan turun kepadamu sebagai hakim yang adil, kemudian ia akan menghancurkan salib, membasmi babi, menghilangkan upeti, membagikan harta sehingga tidak seorangpun yang menerimanya, dan sujud (ibadah) lebih baik bagi dirinya daripada dunia dan segala isinya.”

Hadis ini diterima dan disampaikan oleh 22 orang sahabat Rasul, antara lain: Abu Hurairah, Ibnu Mas’ud, Usman bin Abi Ash, Abu Umamah, Nawas bin Sam’an,  Abdullah bin ‘Amr, Mujmi bin Jariyyah,  Abu Syaibah, Huzaifah bin Ubaid. Dari 22 orang tersebut diterima oleh para perawi pada generasi berikutnya dengan jumlah sebanyak itu pula. Demikian seterusnya hingga sampai pada jenjang generasi para pencatat hadis.

Mengapa hadis ini tidak dapat disebut mutawatir lafzhi? Karena redaksi hadis yang disampaikan oleh ke-22 sahabat itu tidak sama, terutama yang disampaikan oleh Abu Huraerah. Misalnya dalam riwayat Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, III:1272; Muslim, Shahih Muslim, I:136; Abu Nu’em al-Asbahani, al-Musnad al-Mustakhraj ‘ala Shahih Muslim, I:220; Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, juz XV:213; Ibnu Mandah, al-Iman, I:515; H.r. Ad-Dailami, al-Firdaus bi Ma’tsuril Khithab, III:294 dengan redaksi
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَيْفَ أَنْتُمْ إِذَا نَزَلَ ابْنُ مَرْيَمَ فِيكُمْ وَإِمَامُكُمْ مِنْكُمْ
Sedangkan dalam riwayat al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, II:875, No. 2476; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, II:1363; Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, VII:494; at-Thabrani, al-Mu’jamul Ausath, II:89; al-Baihaqi, Syu’abul Iman, I:512-513 dengan redaksi:
 لَا تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَنْزِلَ فِيكُمُ ابْنُ مَرْيَمَ حَكَمًا مُقْسِطًا فَيَكْسِرَ الصَّلِيبَ وَيَقْتُلَ الْخِنْزِيرَ وَيَضَعَ الْجِزْيَةَ وَيَفِيضَ الْمَالُ حَتَّى لَا يَقْبَلَهُ أَحَدٌ
Meskipun berbeda-beda kalimatnya tapi hadis-hadis itu mengandung pengertian yang sama, yakni akan datangnya Nabi Isa pada akhir zaman. Dilihat dari perbedaan redaksi itulah maka hadis ini disebut mutawatir maknawi.

Menurut penelitian kami hadis mutawatir lafzhi lebih sedikit jumlahnya bila dibandikan dengan jumlah hadis mutawatir maknawi.

Berdasarkan penjelasan yang telah disebutkan tadi, maka kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa hadis mutawatir, baik lafzhi maupun maknawi, termasuk hadis yang qat’iyyul wurud (pasti datangnya), yakni betul-betul bersumber dari Nabi.  Karena itu, secara ilmiah pada hadis mutawatir tidak diperlukan lagi penelitian tentang kualitas para rawi atau sifat-sifat orang yang meriwayatkannya.
Dengan demikian hadis mutawatir merupakan hadis yang wajib kita amalkan, baik berkaitan dengan akidah, ibadah, maupun mu'amalah karena statusnya hampir sederajat dengan Alquran dilihat dari segi periwayatannya.

Sumber: Ust Amin Mukhtar

Tidak ada komentar: