Pages

Kamis, 25 Oktober 2012

SYARIAT TAKBIR IEDUL ADHA


Sebagaimana dimaklumi bahwa Rasulullah saw. mensunahkan takbir pada hari raya iedul Fitri, sejak keluar dari rumah untuk menuju tempat salat. Di dalam hadis-hadis diterangkan sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وآله وسلم كَانَ يَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيْرِ وَالتَّهْلِيْلِ حَالَ خُرُوْجِهِ إِلَى الْعِيْدِ  يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى
Dari Ibnu Umar sesungguhnya Nabi saw. bertakbir dan bertahlil (menyebut laa ilaha illallah) dengan suara keras dari mulai keluar hendak pergi salat iedul fitri hingga sampai ke lapang. (HR. Al-Baihaqi, Nailul Authar III:355 )

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ  صلى الله عليه وسلم كَانَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ  فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِيَ الْمُصَلَّى
“Sesungguhnya Rasulullah saw. keluar pada hari iedul fitri dengan bertakbir hingga sampai di lapang” (HR. Ibnu Abu Syibah, al-Mushannaf, I:487)

كَانَ يَغْدُوْ إِلَى المُصَلَّى يَوْمَ الفِطْرِ إِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ، فَيُكَبِّرُ حَتَّى يَأْتِىَ المُصَلَّى ثُمَّ يُكَبِّرُ بِالمُصَلَّى حَتَّى إِذَاجَلَسَ الإِمَامُ تَرَكَ التَّكْبِيْرَ. - رواه الشافعي -
Ibnu Umar berangkat pagi-pagi menuju mushala (tanah lapang) pada hari iedul fitri apabila terbit matahari, maka beliau bertakbir sehingga mendatangi mushala dan terus beliau bertakbir di mushala itu, sehingga apabila imam telah duduk beliau meninggalkan takbir. (HR. As-Syafi’I, Musnad As-Syafi’I, I: 73)

وَقَالَ الحَاكِمُ : وَهَذِهِ سُنَّةٌ تُدَاوِلُهَا أَئِمَّةُ اَهْلِ الحَدِيْثِ وَصَحَّتْ بِهِ الرِّوَايَةُ عَنْ  عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ وَغَيْرِهِ مِنَ الصَّحَابَةِ.
Dan Al-Hakim Mengatakan, "Ini adalah sunah yang digunakan oleh para ahli hadis, dan sahih tentang ini riwayat dari Abdullah bin Umar dan lain-lain dari kalangan sahabat." (Al-Mustadrak ala As-Shahihain, I : 298)

Sedangkan bertakbir pada iedul adha, Nabi saw. mencontohkannya sejak subuh 9 Dzulhijjah hingga ashar 13 dzulhijjah, sebagaimana diterangkan dalam hadis sebagai berikut:
عَنْ عَلِيٍّ وَعَمَّارِ أَنَّ النَّبِيَّ  صلى الله عليه وسلم… وَكَانَ يُكَبِّرُ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ بَعْدَ صَلاَةَ الْغَدَاةِ وَيَقْطَعُهَا صَلاَةَ الْعَصْرِ آخِرَ أَيَّامِ التَّشْرِيْقِ
Dari Ali dan Ammar sesungguhnya Nabi saw… dan beliau bertakbir sejak hari Arafah setelah salat shubuh dan menghentikannya pada salat Ashar di akhir hari tasyriq (13 Dzulhijjah). (HR. Al-Hakim, Al-Mustadrak, I:439; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, III:312)

Adapun teknis pelaksanaanya tidak mesti dengan cara membacanya secara terus menerus, melainkan memanfaatkan  kesempatan yang ada, baik ketika berkumpul di masjid atau di rumah masing-masing atau berbagai kesempatan lainnya, sebagaimana diamalkan oleh Ibnu Umar:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ  يُكَبِّرُ بِمِنىً  تِلْكَ اْ لأَ يَّامَ وَخَلْفَ الصَّلَوَاتِ وَ عَلَى  فِرَاشِهِ وَ فِيْ فُسْطَاطِهِ وَ مَجْلِسِهِ وَ مَمْشَاهُ  تِلْكَ اْلأَيَّامَ جَمِيْعًا
Ibnu Umar pernah bertakbir di Mina pada hari-hari itu (Tasyriq) setelah shalat (lima waktu), di tempat tidurnya, di kemah, di majelis dan di tempat berjalannya pada hari-hari itu seluruhnya"  (HR. Al-Bukhari)

Dengan demikian waktu untuk bertakbir--sejak hari Arafah hingga Ashar di akhir hari tasyriq (13 Dzulhijjah)--itu tidak terikat, artinya tidak ada batasan dan ketentuan, pada  pokoknya bertakbir baik  sendirian, bersama-sama atau saling bergantian, kesemua itu tidak lepas dari pelaksanaan membaca takbir. Jadi, semua cara telah memenuhi perintah atau anjuran bertakbir.

Redaksi Takbir

Pada dasarnya tidak ada perbedaan tentang redaksi takbir antara Iedul Adha dan Iedul Fitri. Ibnu Hajar menjelaskan:
وَأَمَّا صِيْغَةُ التَّكْبِيْرِ فَأَصَحُّ مَا وَرَدَ فِيْهِ مَا أَخْرَجَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ بِسَنَدٍ صَحِيْحٍ عَنْ سَلْمَانَ قَالَ‏:‏كَبِّرُوْا اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا‏...‏ ‏
Adapun shighah (bentuk) takbir, maka yang paling shahih adalah hadis yang ditakhrij oleh Abdur Razaq dengan sanad sahih dari Salman, ia berkata, “Takbirlah, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, kabiira. (Lihat, Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari , II: 536)

Selanjutnya Ibnu Hajar juga menjelaskan
وَقِيْلَ يُكَبِّرُ ثِنْتَيْنِ بَعْدَهُمَا لا إله إلا اللَّه و اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وللَّهِ الْحَمْدُ جَاءَ ذلِكَ عَنْ عُمَرَ وَابْنُ مَسْعُوْدٍ
“Dan dikatakan ia bertakbir dua kali (Allahu Akbar, Allahu Akbar), setelah itu Laa ilaha illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd. Keterangan itu bersumber dari Umar dan Ibnu Mas’ud. (Lihat, Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari , II: 536)

Keterangan di atas menunjukkan bahwa lafal takbir (sesuai dengan amal sahabat) hanya 2 macam:
  • Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar kabiran.
  • Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illallahu Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahilhamd.

sedangkan yang memakai redaksi tambahan lain selain keterangan di atas, di dalam Fath Al-Bari diterangkan: Laa asla lahu (tidak mempunyai sumber sama sekali), yaitu:
  • redaksi Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar kabiira dengan tambahan wa lillaahilhamdu
  • redaksi Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar Laa ilaaha illallaah wahdahu laa syariikalah
  • Redaksi panjang sebagai berikut
اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا اللَّهُ أَكْبَرُ وَلَا نَعْبُدُ إلَّا اللَّهَ مُخْلِصِينَ له الدَّيْنَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ

SYARIAT SHAUM BULAN DZULHIJJAH

Sebagaimana telah kita maklumi bahwa pada bulan Dzulhijjah bagi kaum muslimin yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji disyariatkan melaksanakan shaum pada tanggal 9 Dzulhijjah yang dikenal dengan sebutan shaum Arafah, sebagaimana diterangkan dalam hadis sebagai berikut: عَنْ أَبِي قَتَادَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ يُكَفِّرُ سَنَتَيْنِ مَاضِيَةً وَمُسْتَقْبِلَةً ، وَصَوْمُ عَاشُوراَءَ يُكَفِّرُ سَنَةً مَاضِيَةً . - رواه الجماعة إلا البخاري والترمذي - Artinya :Dari Abu Qatadah, ia berkata,”Rasulullah saw. telah bersabda,’Shaum Hari Arafah itu akan mengkifarati (menghapus dosa) dua tahun, yaitu setahun yang telah lalu dan setahun kemudian. Sedangkan shaum Asyura akan mengkifarati setahun yang lalu” HR. Al-Jama’ah kecuali Al-Bukhari dan at-Tirmidzi Selain dengan sebutan shaum Arafah, shaum ini disebut pula dengan beberapa sebutan lain, yaitu: Tis’a Dzilhijjah (9 Dzulhijjah) عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ– رواه أبو داود وأحمد والبيهقي - Dari sebagian istri Nabi saw., ia berkata, “Rasulullah saw. shaum tis’a Dzilhijjah, hari Asyura, tiga hari setiap bulan” H.r. Abu Daud, Sunan Abu Dawud, Juz VI:418, No. 2081; Ahmad, Musnad Ahmad, 45:311, No. 21302, 53:424. No. 25263, dan al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IV:285, Syu’abul Iman, VIII:268 Dalam hadis ini disebut dengan lafal Tis’a Dzilhijjah, yang berarti tanggal 9 Dzulhijjah. Hadis ini memberikan batasan miqat zamani (ketentuan waktu pelaksanaan) shaum ini, yaitu pada tanggal 9 Dzulhijjah. Shaum al-‘Asyru عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ : أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : صِيَامَ عَاشُورَاءَ وَ العَشْرَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَ الرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ اْلغَدَاةِ - رواه أحمد و النسائي - Dari Hafshah, ia berkata,” Empat perkara yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah saw. : shaum Asyura, shaum arafah, shaum tiga hari setiap bulan dan dua rakaat qabla subuh.”.H.r. Ahmad, al-Musnad, X : 167. No. 26521 dan an-Nasai, Sunan an-Nasai, II : 238 Kata al-‘Asyru secara umum menunjukkan jumlah 10 hari. Berdasarkan makna umum itu, maka dapat dipahami dari hadis tersebut bahwa Rasul tidak pernah meninggalkan shaum 10 hari bulan Dzulhijjah. Namun pemahaman itu jelas bertentangan dengan ketetapan Nabi sendiri yang melarang shaum pada hari Iedul Adha (10 Dzulhijjah) (Hr. An-Nasai, as-Sunan al-Kubra, II:150) Demikian pula bila diartikan 9 hari pertama (dari tanggal 1-9) Dzulhijjah, hemat kami tidak tepat dilihat dari makna Al-‘Asyr itu sendiri. Hemat kami kata al-Asyru pada hadis ini sama maksudnya dengan Tis’a Dzilhijjah pada hadis di atas. Adapun penamaan shaum tanggal 9 Dzulhijjah dengan al-‘Asyru, karena hari pelaksanaan shaum tersebut termasuk pada hari-hari al-‘Asyru (10 hari bulan Dzulhijjah) yang agung sebagaimana dinyatakan Rasul dalam hadis sebagai berikut: عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ Dari Ibnu Abbas, bahwasanya ia berkata, ‘Rasulullah saw. Bersabda, ‘Tidak ada dalam hari-hari yang amal shalih padanya lebih dicintai Allah daripada hari-hari yang sepuluh ini. Para sahabat bertanya, ‘(apakah) jihad fi Sabilillah juga tidak termasuk? Rasul menjawab, ‘Tidak, kecuali seseorang yang berkorban dengan jiwanya dan hartanya kemudian dia tidak mengharapkan apa-apa darinya.’ Hr. At-Tirmidzi, Tuhfah al-Ahwadzi, III: 463 Selain itu penamaan tersebut menunjukkan bahwa hari ‘Arafah itu hari yang paling agung di antara hari-hari yang sepuluh itu, sebagaimana dinyatakan oleh Nabi saw. مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يَعْتِقَ اللهُ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمُ المَلاَئِكَةُ فَيَقُولُ : مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ ؟ “Tiada hari yang Allah lebih banyak membebaskan hamba-Nya dari neraka melebihi hari Arafah, dan bahwa Ia dekat. Kemudian malaikat merasa bangga dengan mereka, mereka (malaikat) berkata, ‘Duhai apakah gerangan yang diinginkan mereka?’.” (H.r. Muslim, Shahih Muslim, I : 472) Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa penamaan shaum itu dengan yaum Arafah, Tis’a Dzilhijjah, dan al-Asyru menunjukkan bahwa pelaksanaan shaum tersebut terikat oleh miqat zamani, yakni tanggal 9 Dzulhijjah (hanya 1 hari). Catatan: Tahun ini, insya Allah iedul Adha akan jatuh pada hari Jumat 10 Dzulhijjah 1433 H/26 Oktober 2012. Jadi Shaum Arafah jatuh pada hari Kamis (besok) 9 Dzulhijjah 1433 H/25 Oktober 2012 Pertanyaan: Bukankah pada hadis-hadis lain diterangkan bahwa shaum itu bukan hanya 9 Dzulhijjah? Jawaban: Benar kami temukan sekitar 5 hadis yang menunjukkan bahwa shaum di bulan Dzulhijjah itu bukan hanya shaum Arafah, namun hadis-hadis itu dhaif bahkan palsu sebagai berikut: A. Tanggal 1 dan 9 Dzulhijjah فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ ذِي الْحِجِّةِ وُلِدَ إِبْرَاهِيمُ : فَمَنْ صَامَ ذلِكَ اليَوْمَ كَانَ كَفَّارَةُ سِتِّينَ سَنَةً. “Pada malam awal bulan Dzulhijah itu dilahirkan Nabi Ibrahim, maka siapa yang shaum pada siang harinya, hal itu merupakan kifarat dosa selama enam puluh tahun” (Lihat, Tadzkirrah al-Maudhu’at, hal. 119) Dalam riwayat lain dengan redaksi: فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ ذِي الْحِجِّةِ وُلِدَ إِبْرَاهِيمُ : فَمَنْ صَامَ ذلِكَ اليَوْمَ كَانَ كَفَّارَةُ ثَمَانِيْنَ سَنَةً - وَفِي رِوَايَةٍ - سَبْعِيْنَ سَنَةً وَفِي تِسْعٍ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ أَنْزَلَ اللهُ تَوْبَةَ دَاوُدَ فَمَنْ صَامَ ذلِكَ اليَوْمَ كَانَ كَفَّارَةُ سِتِّينَ سَنَةً - وَفِي رِوَايَةٍ - غَفَرَ اللهُ لَهُ كَمَا غَفَرَ ذَنْبَ دَاوُدَ “Pada malam awal bulan Dzulhijah itu dilahirkan Nabi Ibrahim, maka siapa yang shaum pada hari itu, hal itu merupakan kifarat dosa selama delapan puluh tahun. Dan pada suatu riwayat tujuh puluh tahun. Dan pada 9 Dzulhijjah Allah menurunkan taubat Nabi Daud, maka siapa yang shaum pada hari itu, hal itu merupakan kifarat dosa selama enam puluh tahun” Dan pada suatu riwayat: “Allah mengampuninya sebagaimana Dia mengampuni dosa Nabi Daud” (H.r. ad-Dailami, al-Firdaus bi Ma’tsur al-Khitab, III:142, hadis No. 4381, II:21 No. 2136, IV:386, No. 7122; Lihat pula Tanzih as-Syari’ah, II:165 No. 50; Maushu’ah al-Ahadits wal Atsar ad-Dha’ifah wal Maudhu’ah, VI:235 No. 14.953) Keterangan: Hadis-hadis di atas dengan berbagai variasi redaksinya adalah maudhu (palsu) karena diriwayatkan oleh seorang pendusta bernama Muhamad bin Sahl. (Lihat, Tadzkirrah al-Maudhu’at, hal. 119) B. selama 10 hari pertama مَا مِنْ أَيَّامٍ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ أَنْ يُتَعَبَّدَ لَهُ فِيهَا مِنْ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ ، يَعْدِلُ صِيَامُ كُلِّ يَوْمٍ مِنْهَا بِصِيَامِ سَنَةٍ ، وَقِيَامُ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْهَا بِقِيَامِ لَيْلَةِ الْقَدْرِ Tidak ada hari yang lebih dicintai Allah untuk beribadah padanya daripada 10 hari Dzulhijjah. Saum setiap hari padanya sebanding dengan shaum setahun. Dan qiyamul lail setiap malam padanya sebanding dengan qiyam lailatul qadr (ٍLihat, Sunan at-Tirmidzi, III:131; Syarh as-Sunnah, II:292). Dalam kitab al-‘Ilal al-Mutanahiyah, II:563, Hadis No. 925, dengan redaksi مَا مِنْ أَيَّامٍ أَحَبُّ إِلَى اللهِ أَنْ يُتَعَبَّدَ لَهُ فِيْهَا مِنْ عَشْرَةَ ذِي الْحِجَّةِ يُعَدُّ صِيَامُ كُلِّ يَوْمٍ مِنْهَا بِصِيَامِ سَنَةٍ وَقِيَامُ لَيْلَةٍ مِنْهَا بِقِيَامِ لَيْلَةِ الْقَدْرِ Keterangan: Imam at-Tirmidzi berkata, “Saya bertanya kepada Muhamad (al-Bukhari) tentang hadis ini, maka beliau tidak mengetahuinya selain dari jalur ini” Yahya bin Sa’id al-Qathan telah memperbincangkan Nahas bin Qahm dari aspek hapalannya. (Lihat, Sunan at-Tirmidzi, III:131) Hadis di atas daif karena pada sanadnya terdapat dua rawi yang daif: Pertama, Mas’ud bin Washil. Kata ad-Daraquthni, “Abu Daud at-Thayalisi menyatakan bahwa ia daif” (Lihat, Ilal ad-Daraquthni, IX:200). Kata Ibnu Hajar, “Layyin al-Hadits” (Lihat, Tahdzib at-Tahdzib, X:109; Taqrib at-Tahdzib, hal. 528) Kedua, Nahhas bin Qahm. Kata Ibnu Hiban, “Dia meriwayatkan hadis munkar dari orang-orang populer, menyalahi periwayatan para rawi tsiqat, tidak boleh dipakai hujjah” (Lihat, Tahdzib al-Kamal, XXX:28) Kata Ibnu Hajar, “dha’if” (Lihat, Taqrib at-Tahdzib, hal. 566) صِيَامُ أَوَّلِ يَوْمٍ مِنَ الْعَشْرِ يَعْدِلُ مِائَةَ سَنَةٍ وَالْيَوْمِ الثَّانِي يَعْدِلُ مِائَتَي سَنَةٍ فَإِنْ كَانَ يَوْمَ التَّرْوِيَةِ يَعْدِلُ أَلْفَ عَامٍ وَصِيَامُ يَوْمَ عَرَفَةَ يَعْدِلُ أَلْفَي عَامٍ “Shaum hari pertama dari 10 hari (Dzulhijjah) sebanding dengan 100 tahun. Hari kedua sebanding dengan 200 tahun, jika hari Tarwiyyah (8 Dzulhijjah) sebanding dengan 1000 tahun, dan shaum hari Arafah (9 Dzulhijjah) sebanding dengan 2000 tahun” (H.r. ad-Dailami, al-Firdaus bi Ma’tsur al-Khitab, II:396, hadis No. 3755) Keterangan: Hadis ini daif, bahkan maudhu’ (palsu) karena pada sanadnya terdapat rawi Muhamad bin Umar al-Muharram. Kata Abu Hatim, “Dia pemalsu hadis” (Lihat, ad-Dhu’afa wal Matrukin, III:96). Kata Ibn al-Jauzi, “Dia manusia paling dusta” (Lihat, al-Maudhu’at, II:198) C. Tanggal 18 Dzulhijjah مَنْ صَامَ يَوْمَ ثَمَانِيَّةَ عَشَرَ مِنْ ذِيْ الْحِجَّةِ كَتَبَ اللهُ لَهُ صِيَامَ سِتِّيْنَ شَهْرًا “Siapa yang shaum hari ke-18 Dzulhijjah, Allah pasti mencatat baginya (pahala) shaum 60 bulan” (Lihat, Kasyf al-Khifa wa Muzil al-Ilbas, II:258, hadis No. 2520; al-‘Ilal al-Mutanahiyah, I:226, No. 356; al-Abathil wal Manakir, II:302, No. 714) Keterangan: Hadis ini daif, bahkan maudhu’ (palsu). Kata Imam ad-Dzahabi, “ini hadis sangat munkar, bahkan palsu” (Lihat, Kasyf al-Khifa wa Muzil al-Ilbas, II:258) D. Hari Terakhir Bulan Dzulhijjah dan Hari Pertama Muharram مَنْ صَامَ آخِرَ يَوْمٍ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ وَأَوَّلَ يَوْمٍ مِنَ الْمُحَرَّمِ فَقَدْ خَتَمَ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ بِصَوْمٍ وَافْتَتَحَ السَّنَةَ الْمُسْتَقْبِلَةَ بِصَوْمٍ فَقَدْ جَعَلَ اللهُ لَهُ كَفَّارَةَ خَمْسِينَ سَنَةً. “Siapa yang shaum pada hari terakhir bulan Dzulhijah dan hari pertama bulan Muharam, maka ia telah menutup tahun lalu dengan shaum dan membuka tahun yang datang dengan shaum. Sungguh Allah telah menjadikan kifarat dosa selama lima puluh tahun baginya” (Lihat, al-Laali al-Mashnu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah, II:92; al-Maudhu’at, II:199; Tadzkirrah al-Maudhu’at, hal. 118; Tanzih as-Syari’ah, II:176). Dalam kitab al-Fawaid al-Majmu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah, hal. 96, No. 31 dengan sedikit perbedaan redaksi pada akhir hadis: فَقَدْ جَعَلَهُ اللهُ كَفَّارَةَ خَمْسِينَ سَنَةً Keterangan: Hadis ini daif, bahkan maudhu’ (palsu). Pada sanadnya terdapat dua rawi pendusta, yaitu Ahmad bin Abdullah al-Harawi dan Wahb bin Wahb. Kata Imam as-Suyuthi, “keduanya pendusta” (Lihat, al-Laali al-Mashnu’ah fi al-Ahadits al-Maudhu’ah, II:92) Kata Imam Ibn al-Jauzi, “Keduanya pendusta dan pemalsu hadis” (lihat, al-Maudhu’at, II:199) Kesimpulan: Shaum yang disyariatkan secara khusus pada bulan Dzulhijjah hanya shaum Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah

Rabu, 24 Oktober 2012

SYARIAT SHALAT JUM’AT BERTEPATAN DENGAN HARI IED (BAGIAN V-TAMAT)

Ketetapan shalat Zuhur bagi laki-laki yang telah melaksanakan shalat ied pada hari Jumat akan kita analisa melalui dua perspektif: mashadir ashliyyah (sumber hukum primer) dan mashadir taba’iyyah (sumber hukum sekunder).  Mashadir ashliyyah yang dimaksud adalah petunjuk Al-Quran dan Sunnah tentang kewajiban shalat Zuhur & shalat Jumat. Dalam menggali petunjuk itu digunakan teori taklifi dan wadh’i, yang telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan Mashadir taba’iyyah adalah ucapan atau amaliah shahabat. Dalam menggali petunjuk itu digunakan teori “posisi” umum para shahabat dalam tasyri’ (penetapan hukum)--sebagaimana telah dijelaskan di atas—juga beberapa contoh shahabat dalam kasus khusus, baik sebagai mukallaf (subjek hukum) shalat Jumat maupun mukallaf (subjek hukum) shalat Zuhur, khususnya di hari Jumat.

Perspektif Mashadir Ashliyyah

Dalam perspektif ini, apakah status shalat Zuhur bagi laki-laki yang telah melaksanakan shalat ied pada hari Jumat itu telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah atau tidak?

Apabila kita perhatikan kembali tarikh tasyri’ (sejarah perundang-undangan) shalat Zuhur & kewajiban shalat Jumat, sebagaimana telah dijelaskan di awal pembahasan, maka kita dapat menetapkan bahwa laki-laki yang telah melaksanakan shalat ied pada hari Jumat,  lalu ia memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, maka ketika itu ia tidak diwajibkan shalat Zuhur, karena ia sebagai mukallaf (subjek hukum) wajib shalat Jumat, bukan shalat Zuhur.

Ketetapan ini berdasarkan petunjuk umum syariat Jumat dalam Firman Allah (QS. Al-Jumu’ah:9) dan sabda Nabi
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
Dari Thariq bin Syihab, dari Nabi saw.. saw.. beliau bersabda, “Jum’at itu adalah hak yang wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah kecuali empat golongan; hamba sahaya, perempuan, anak-anak, dan yang sakit.” (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:347, No. hadis 1067, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, III:172, No. hadis 5368)

Dan petunjuk khusus syariat Jumat ketika bertepatan dengan ied dalam sejumlah hadis Nabi saw. sebagaimana telah dikemukakan secara lengkap pada edisi sebelumnya.

Petunjuk umum dan khusus itu kita peroleh dengan menggunakan teori taklifi dan wadh’i, yang juga telah dijelaskan sebelumnya.Berdasarkan teori taklifi dan wadh’i itu dapat dipetakan prosedur penetapan hukum status shalat Zuhur sebagai berikut:

Firman Allah (QS. Al-Jumu’ah:9) dan sabda Nabi
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
Dari Thariq bin Syihab, dari Nabi saw.. saw.. beliau bersabda, “Jum’at itu adalah hak yang wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah kecuali empat golongan; hamba sahaya, perempuan, anak-anak, dan yang sakit.” (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:347, No. hadis 1067, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, III:172, No. hadis 5368)

Analisa teori taklifi 
  • Dilihat dari segi sifat khithâb (titah), Firman Allah dan hadis itu dikategorikan khithâb ijab, yaitu menuntut agar shalat Jumat itu dilakukan.
  • Dilihat segi jenis mahkum bih (perbuatan subjek hukum), melaksanakan shalat Jumat hukumnya wajib atau fardhu.
  • Dilihat dari aspek jenis perbuatan yang dituntut, melaksanakan shalat Jumat dikategorikan wajib mu’ayyan, yaitu mesti dilakukan tanpa alternatif penggantian dengan ibadah lain.
  • Dilihat dari aspek mukallaf (subjek hukum) shalat Jumat adalah laki-laki muslim yang sehat lagi merdeka, baik ketika safar maupun muqim.
Dengan demikian, apabila mukallaf (subjek hukum) shalat Jumat sengaja meninggalkannya maka hukumnya berdosa dan tidak dapat diganti oleh shalat Zuhur, karena ia bukan mukallaf (subjek hukum) shalat Zuhur.

Berbeda halnya dengan laki-laki sakit yang tidak dapat menghadiri shalat Jumat, demikian pula kaum perempuan, karena mereka mukallaf (subjek hukum) shalat Zuhur, bukan shalat Jumat, maka pada hari Jumat waktu Zuhur, mereka diwajibkan shalat Zuhur.

Analisa teori wadh’i
  • Firman Allah dan sabda Nabi di atas dikategorikan hukum azimah, karena menjadikan keadaan biasa sebagai sebab berlakunya hukum wajib shalat Jumat, baik ketika safar maupun muqim, baik ketika bertepatan dengan hari ied—andaikata telah disyariatkan—maupun di luar ied.
  • Sehubungan dengan terjadi peristiwa ied jatuh pada hari Jumat (tahun 3 H), Nabi saw. bersabda, antara lain:
فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ

maka siapa yang mau (tidak melaksanakan shalat Jum’at), maka shalat ied ini mencukupkan dari (shalat) Jum’at, dan sesungguhnya kami akan melaksanakan shalat Jum’at.”

Atau dengan redaksi:
مَنْ شَاءَ أَنْ يَأْتِيَ الْجُمُعَةَ فَلْيَأْتِهَا وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتَخَلَّفَ فَلْيَتَخَلَّفْ
“Siapa yang akan melaksanakan shalat Jum’at maka datanglah, dan siapa yang akan meninggalkannya (tidak melaksanakannya), maka tinggalkanlah.”

Sabda Nabi itu dikategorikan hukum rukhsah, karena menjadikan keadaan khusus (shalat ied di hari Jumat) sebagai sebab berlakunya hukum kebolehan meninggalkan kewajiban shalat Jumat.
  • Ketentuan ini hanya berlaku bagi mukallaf (subjek hukum) wajib Jumat, yaitu laki-laki muslim yang sehat lagi merdeka, baik ketika safar maupun muqim, yang telah melaksanakan shalat ied.
  • Sementara bagi laki-laki dengan kriteria itu apabila ia tidak melakukan shalat ied tetap berlaku hukum azimah (keharusan) atau wajib mu'ayyan (tidak ada pilihan). 

Bagaimana dengan laki-laki sakit yang tidak dapat menghadiri shalat Jumat, demikian pula kaum perempuan? Bagi keduanya, baik ied hari Jumat maupun tidak, tidak merubah statusnya sebagai mukallaf (subjek hukum) shalat Zuhur, bukan shalat Jumat, karena itu pada hari Jumat waktu Zuhur, mereka diwajibkan shalat Zuhur.

Berdasarkan pendekatan teori taklifi dan wadh’i terhadap dalil-dalil di atas dapat diketahui bahwa mukallaf (subjek hukum) wajib Jumat, yaitu laki-laki yang sehat, apabila telah melaksanakan shalat ied pada hari Jumat hanya diberikan pilihan antara melakukan shalat Jumat atau meninggalkannya sebagai rukhsah (keringanan) baginya, bukan  antara melakukan shalat Jumat atau shalat Zhuhur.

Karena itu, menetapkan shalat Zuhur bagi mukallaf (subjek hukum) wajib Jumat yang telah melaksanakan shalat ied pada hari Jumat itu perlu berlandasan dalil, baik Al-Quran maupun Sunnah Nabi saw. Dan sejauh penelitian kami, tidak ditemukan dalil, baik Al-Quran maupun Sunnah Nabi saw. yang menunjukkan bahwa mukallaf (subjek hukum) wajib Jumat, yaitu laki-laki yang telah melaksanakan shalat ied pada hari Jumat, diberikan pilihan antara melakukan shalat Jumat atau shalat Zhuhur.

Perspektif Mashadir Taba’iyyah 

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa “posisi” umum para shahabat dalam tasyri’ (penetapan hukum) adalah sebagai pengamal, penjelas, dan penafsir terhadap hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah. Sementara terhadap masalah hukum yang tidak ada nashnya mereka sebaga pemberi fatwa berdasarkan hasil ijtihadnya.

Dalam konteks ini, kita mendapatkan beberapa contoh shahabat baik sebagai mukallaf (subjek hukum) shalat Jumat maupun mukallaf (subjek hukum) shalat Zuhur, khususnya di hari Jumat.

Sebagai mukallaf (subjek hukum) shalat Jumat—di luar hari ied—kita mendapatkan banyak hadis yang menunjukkan bagaimana mereka melaksanakan kewajiban Jumat itu, antara lain pada masa-masa awal shalat Jumat disyariatkan:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِذْ قَدِمَتْ عِيرٌ إِلَى الْمَدِينَةِ فَابْتَدَرَهَا أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى لَمْ يَبْقَ مَعَهُ إِلَّا اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا فِيهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ قَالَ وَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا }
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, “Ketika Nabi saw. berdiri menyampaikan khutbah pada hari Jumat, tiba-tiba datanglah suatu Kafilah dagang ke Madinah, maka para sahabat Rasulullah saw. (yang sedang mendengarkan khutbah itu) bergegas mendatanginya hingga tidak tersisa lagi orang yang bersama beliau kecuali dua belas orang. Di antara mereka ada Abu Bakar dan Umar. Maka turunlah ayat ini: "Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya..." (QS. Al-Jumuah:11). HR. Muslim

Demikian pula sebagai mukallaf (subjek hukum) shalat Zuhur, khususnya di hari Jumat, kita mendapatkan banyak hadis yang menunjukkan bagaimana mereka melaksanakan kewajiban shalat Zuhur itu, bukan melaksanakan shalat Jumat, antara lain para shahabat wanita
عَنْ أُمِّ هِشَامٍ بِنْتِ حَارِثَةَ بْنِ النُّعْمَانِ قَالَتْ لَقَدْ كَانَ تَنُّورُنَا وَتَنُّورُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاحِدًا سَنَتَيْنِ أَوْ سَنَةً وَبَعْضَ سَنَةٍ وَمَا أَخَذْتُ ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ إِلَّا عَنْ لِسَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَؤُهَا كُلَّ يَوْمِ جُمُعَةٍ عَلَى الْمِنْبَرِ إِذَا خَطَبَ النَّاسَ
Dari Ummu Hisyam binti Haritsah An Nu’am ia mengatakan, “Adalah Tungku alat masakku dan tungku alat masak Rasulullah berdekatan selama satu sampai dua tahun, dan aku tidak hafal surat qaf dan walqur’anul majid kecuali dari lisan Rasulullah saw. yang beliau baca setiap hari jum’at di atas mimbar bila berkhutbah pada orang-orang. H.r. Muslim

Ummu Hisyam menjelaskan hafal surat itu dari lisan Nabi yang berkhotbah Jumat karena sangat dekatnya rumah Nabi saw. yang rapat dengan mesjid dan rumahnya. Maka, Umu Hisyam sedang menjelaskan bahwa ia tidak turut salat jumat.

Sebagai mukallaf (subjek hukum) shalat Jumat—ketika hari ied—kita mendapatkan keterangan sebagian besar shahabat yang memilih shalat Jumat setelah melaksanakan shalat ied, seperti Umar, Usman, Ali. Namun kita pun mendapatkan keterangan pula yang menunjukkan terdapat shahabat lain yang memilih tidak melaksanakan shalat Jumat, seperti Ibnu Zubair.

Berdasarkan perspektif mashadir taba'iyyah (sumber hukum sekunder), yaitu “posisi” umum para shahabat dalam tasyri’ (penetapan hukum) dapat diketahui bahwa:
  • Mukallaf (subjek hukum) wajib Jumat—di luar hari ied—mereka senantiasa melaksanakan shalat Jumat.
  • Mukallaf (subjek hukum) wajib shalat Zuhur—meski di hari Jumat—mereka senantiasa melaksanakan shalat Zuhur.
  • Ketika hari ied jatuh di hari Jumat, mukallaf (subjek hukum) wajib Jumat—yang telah melaksanakan shalat ied—ada yang memilih shalat Jumat dan ada pula yang memilih untuk meninggalkannya sebagai rukhsah (keringanan) baginya.
Dengan demikian, sejauh penelitian kami, tidak ditemukan dalil dalam mashadir taba’iyyah (perbuatan shahabat), yang menunjukkan bahwa mukallaf (subjek hukum) wajib Jumat—yang telah melaksanakan shalat ied—ketika memilih tidak melakukan shalat Jumat, ia melaksanakan shalat Zhuhur.

Berbeda kasusnya dengan mukallaf (subjek hukum) wajib Jumat—ketika ia melakukan safar—kita menemukan dalil dalam mashadir taba’iyyah (perbuatan shahabat) yang menunjukkan pilihan antara melakukan shalat Jumat, seperti Ibnu Umar, atau shalat Zhuhur, ketika ia tidak melaksanakan shalat Jumat, seperti Ibnu Umar dan Anas bin Malik, sebagaimana diterangkan dalam hadis sebagai berikut:

عَنْ عَطَاءٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ إِذَا كَانَ بِمَكَّةَ فَصَلَّى الْجُمُعَةَ تَقَدَّمَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ تَقَدَّمَ فَصَلَّى أَرْبَعًا وَإِذَا كَانَ بِالْمَدِينَةِ صَلَّى الْجُمُعَةَ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى بَيْتِهِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَلَمْ يُصَلِّ فِي الْمَسْجِدِ فَقِيلَ لَهُ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُ ذَلِكَ.
Dari Atha, dari Ibnu Umar, ia (Atha) berkata, "Beliau (Ibnu Umar) berada di Mekah, lalu salat Jumat. (setelah selesai) ia melangkah ke depan untuk salat sunat dua rakaat, kemudian melangkah ke depan untuk salat sunat empat rakaat. Dan bila berada di Madinah ia salat Jumat, lalu kembali ke rumahnya, maka salat dua rakaat dan tidak salat di masjid. Maka ditanyakan kepadanya, lalu ia berkata, "Rasulullah saw.. melakukan hal itu (salat sunat bada Jumat di rumahnya). H.r. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:363

Sedangkan hadis tentang Ibnu Umar yang tidak melaksanakan Jumat ketika safar sebagai berikut:
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ذُكِرَ لَهُ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ زَيْدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ وَكَانَ بَدْرِيًّا مَرِضَ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ فَرَكِبَ إِلَيْهِ بَعْدَ أَنْ تَعَالَى النَّهَارُ وَاقْتَرَبَتْ الْجُمُعَةُ وَتَرَكَ الْجُمُعَةَ
Dari Nafi, sesungguhnya Ibnu Umar diterangkan kepada beliau bahwa Sa'id bin Zaid bin Amr bin Nufel, dan ia orang Badar, sakit pada hari Jumat Lalu Ibnu Umar berangkat untuk menengoknya menjelang siang, dan telah dekat waktu Jumat, dan Ibnu Umar tidak melaksanakan Jumat . H.r. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, 1997:820, kitabul maghazi, No. hadis 3990

Kesimpulan


Mukallaf (subjek hukum) wajib Jumat, yaitu laki-laki yang telah melaksanakan shalat ied, bila ia memilih untuk meninggalkan shalat Jumat tidak disyariatkan shalat Zuhur.

Selasa, 23 Oktober 2012

SYARIAT SHALAT JUM’AT BERTEPATAN DENGAN HARI IED (BAGIAN IV)


Metode Fahm Aqwal wa Af’al (Pemahaman perkataan & amal) Shahabat Nabi Saw.

Untuk memahami hadis-hadis tentang amal shahabat, khususnya Ibnu Zubair, berkaitan dengan syariat shalat Jumat bertepatan dengan hari ied, kita harus melihatnya dari perspektif “posisi” shahabat Nabi saw. sebagai generasi Islam pertama, yang meneruskan ajaran dan misi kerasulan, di mana mereka dalam menentukan hukum Islam selalu berpegang pada ketetapan syariat yang telah digariskan dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, baik secara qawli (sabda), fi’li (perbuatan) maupun taqriri (persetujuan). Dan apabila shahabat tidak menemukannya dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah itu, mereka berupaya untuk berijtihad, yakni mencurahkan segenap kemampuan dalam memperoleh hukum syariat yang tidak ditegaskan dalam Al-Quran dan Sunnah dengan cara istinbath (menetapkan kesimpulan hukum) dari Al-Quran dan Sunnah.

Kegiatan ijtihad dalam memutuskan suatu perkara atau dalam menghadapi suatu persoalan yang belum ada ketentuan hukumnya dalam Al-Quran dan Sunnah itu pada dasarnya telah mendapatkan izin dari Rasulullah saw. sendiri—sebagaimana diterangkan dalam hadis—ketika beliau mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman, sebagai berikut :

عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصَ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ وَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ
Dari beberapa orang penduduk Himsh, termasuk bagian dari sahabat Mu'adz bin Jabal, bahwa Rasulullah saw. ketika akan mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman beliau bersabda, "Bagaimana engkau akan memberikan keputusan apabila ada sebuah permasalahan hukum yang dihadapkan kepadamu?" Mu'adz menjawab, "Saya akan memutuskan menggunakan Kitab Allah (Al-Quran)." Beliau bersabda, "Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam Kitab Allah?" Mu'adz menjawab, " Saya akan memutuskan dengan sunnah Rasulullah saw." Beliau bersabda lagi, "Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam Sunnah Rasulullah saw dan dalam Kitab Allah?" Mu'adz menjawab, "Saya akan berijtihad menggunakan pendapat saya, dan saya tidak akan mengurangi." Kemudian Rasulullah saw. menepuk dadanya dan bersabda, "Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah untuk melakukan apa yang membuat ridha Rasulullah." (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, III:303, No. hadis 3592, At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III:616, No. hadis 1327, Ahmad, Musnad Ahmad, V:230, No. hadis 22.060, V:242, No. hadis 22.153, Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi, I:72, No. hadis 168, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, X:114, No. hadis 20.126, Abu Dawud Ath-Thayalisi, Musnad Ath-Thayalisi, I:76, No. hadis 559, dengan sedikit perbedaan redaksi. Dann redaksi di atas versi Abu Dawud)

Imam Al-Khathabi berkata:
يُرِيْدُ الإِجْتِهَادَ فِيْ رَدِّ الْقَضِيَّةِ مِنْ طَرِيْقِ الْقِيَاسِ إِلَى مَعْنَى الْكِتَابِ وَ السُّنَّةِ وَلَمْ يُرِدِ الرَّأْيَ الَّذِيْ يَسْنَحُ لَهُ مِنْ قِبَلِ نَفْسِهِ أَوْ يَخْطُرُ بِبَالِهِ مِنْ غَيْرِ أَصْلٍ مِنْ كِتَابٍ أَوْ سُنَّةٍ
“Ijtihad yang dimaksud oleh Mu’adz ialah akan mengembalikan suatu perkara dengan jalan qiyâs kepada makna Quran dan Sunnah, dan ia tidak bermaksud mengunakan pikiran yang terlintas di hatinya semata tanpa bersandar sama sekali kepada Al-Quran atau Sunnah.” (Lihat, Ma’âlim As-Sunnah Syarh Sunna Abu Dawud, IV:165)

Ibnul Qayyim berkata:
فَالصَّحَابَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ مَثَّلُوْا الْوَقَائِعَ بِنَظَائِرِهَا وَشَبَّهُوْهَا بِأَمْثَالِهَا وَرَدُّوْا بَعْضَهَا إِلَى بَعْضٍ فِيْ أَحْكَامِهَا
 “Para Shahabat Nabi saw. membandingkan peristiwa-peristiwa dengan peristiwa yang sama, dan mereka mempersamakan dengan perkara-perkara yang serupa dengannya, dan mereka mengembalikan sebagiannya kepada sebagian yang lain tentang hukum-hukumnya.” (Lihat, I’lâm Al-Muwaqqi’în, I:217)

Dari hadis Muadz di atas dapat dipahami bahwa shahabat telah mendapatkan izin untuk melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat Al-Quran dan Hadis yang dapat dijadikan sebagai dasarnya.

Dengan demikian, setelah Rasulullah saw. wafat, maka di atas pundak para sahabatlah kewajiban tasyri’ mesti mereka tegakkan. Kewajiban dimaksud adalah memberi penjelasan kepada umat Islam mengenai hal-hal yang memerlukan penjelasan dan penafsiran dari nash-nash Al-Quran dan Sunnah, dan menyebarluaskan di kalangan umat Islam apa yang mereka hafal dari ayat Al-Quran dan hadis Rasul, serta memberi fatwa hukum kepada orang-orang dalam peristiwa-peristiwa hukum dan urusan-urusan peradilan yang tidak ada nashnya.

Dalam bahasa lain, “posisi” ucapan dan perbuatan shahabat merupakan mashadir taba’iyyah (sumber hukum sekunder), bukan sebagai mashadir ashliyyah (sumber hukum primer), karena  mashadir ashliyyah hanya Al-Quran dan Sunnah. Karena itu, setiap ucapan dan perbuatan shahabat tersebut pada dasarnya selalu dan senantiasa berkisar di seputar mashadir ashliyyah dan tidak mungkin akan melanggarnya. Maka, dalam konteks inilah hadis-hadis tentang amal shahabat, khususnya Ibnu Zubair—tentang syariat shalat Jumat bertepatan dengan hari ied—harus dipahami dan ditetapkan.

Permasalahan I

Atha menjelaskan:
اجْتَمَعَ يَوْمُ جُمُعَةٍ وَيَوْمُ فِطْرٍ عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَقَالَ عِيدَانِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَجَمَعَهُمَا جَمِيعًا فَصَلَّاهُمَا رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةً لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ
“Hari Jum’at dan Iedul Fitri telah berkumpul pada hari yang sama di zaman Ibnu Zubair. Ibnu Zubair berkata, ‘Dua ied berkumpul pada hari yang sama. Lalu ia menjama’ keduanya, yaitu salat dua rakaat (salat ied) pada pagi hari, ia tidak menambah shalat apapun sampai ia salat Ashar.” HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:281, No. hadis 1072, Abdurrazaq, Al-Mushannaf, III:303, No. hadis 5725, Ibnu Al-Mundzir, Al-Awsath, VI:490, No. 2142, Al-Firyabi, Ahkam Al-‘Iedain, hlm 219.

Perkataan Atha:
لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ
“Ia (Ibnu Zubair) tidak menambah atas dua rakaat (shalat ied) hingga ia shalat Ashar.”

Menunjukkan bahwa Ibnu Zubair setelah mengimami shalat ied, pada waktu Jumat ia tidak shalat Jumat. Petunjuk itu lebih jelas kita peroleh dalam keterangan lain dari Atha sendiri:
صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِي يَوْمِ عِيدٍ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا
“Dari Atha bin Abu Rabah, ia berkata, “Ibnu Zubair salat mengimami kami pada hari ied di hari Jumat pada pagi hari, kemudian kami berangkat untuk Jumat tetapi beliau tidak datang menemui kami.” HR. Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, I:281, No. hadis 1071)

Dilihat dari “posisi” umum para shahabat dalam tasyri’ (penetapan hukum)—sebagaimana telah dijelaskan di atas—perbuatan Ibnu Zubair: tidak shalat Jumat setelah shalat ied, tentu saja bukan merupakan hasil ijtihadnya, namun sebagai bentuk pengamalan terhadap sunnah qawliah (sabda) Rasulullah saw. sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yaitu:
مَنْ شَاءَ أَنْ يَأْتِيَ الْجُمُعَةَ فَلْيَأْتِهَا وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتَخَلَّفَ فَلْيَتَخَلَّفْ
“Siapa yang akan melaksanakan shalat Jum’at maka datanglah, dan siapa yang akan meninggalkannya (tidak melaksanakannya), maka tinggalkanlah.”

Atau dengan redaksi:
فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُجْمِعَ مَعَنَا فَلْيُجْمِعْ وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهِ فَلْيَرْجِعْ
Maka siapa yang akan melaksanakan salat Jum’at bersama kami, datanglah, dan siapa yang akan kembali kepada keluarganya (tidak melaksanakannya), maka kembalilah.”

Sehubungan dengan itu, ketika perbuatan Ibnu Zubair itu dilaporkan kepada Ibnu Abbas, Ibnu Abbas menyatakan:
أَصَابَ السُّنَّةَ
“Ia telah sesuai dengan sunnah’.” HR. Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, I:281, No. hadis 1071)

Maksud perkataan Ibnu Abbas: “Ia telah sesuai dengan sunnah”, kata Ibnu Khuzaimah,
وَإِنَّمَا أَرَادَ تَرْكَهُ أَنْ يَجْمَعَ بِهِمْ بَعْدَمَا قَدْ صَلَّى بِهِمْ صَلاَةَ الْعِيدِ
“Yang ia maksud dengan: ‘Ibnu Zubair telah sesuai dengan sunnah’ tiada lain ia tidak melaksanakan shalat Jumat bersama mereka setelah ia shalat ied mengimami mereka.” (Lihat, Shahih Ibnu Khuzaimah, II:360)

Perbuatan Ibnu Zubair tersebut, berdasarkan teori hukum wadh’I (kategori azimah-rukhsah)—sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya—dapat kita petakan sebagai berikut: setelah melaksanakan shalat ied, Ibnu Zubair sebagai mukallaf (subjek hukum) wajib shalat Jumat dapat melakukan shalat Jumat atau meninggalkannya sebagai keringanan baginya. Dan ketika itu, ia memilih untuk meninggalkan shalat Jumat. Dengan perkataan lain, ketika itu ia memilih hukum rukhsah.

Pilihan ini tentu saja berbeda dengan Umar, Usman, dan Ali ketika mengalami peristiwa serupa pada periode kekhalifan masing-masing, di mana mereka memilih untuk melakukan shalat Jumat. Perbuatan mereka tersebut—berdasarkan teori hukum wadh’i—dikategorikan memilih hukum azimah.

Perlu ditegaskan kembali, bahwa kedua pilihan ini bukan merupakan hasil ijtihad para sahabat, namun sebagai bentuk pengamalan terhadap sunnah qawliah (sabda) Rasulullah saw. sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Karena itu, meski berbeda pilihan namun mereka sepakat bahwa shalat Jumat—bagi mukallaf (subjek hukum) wajib shalat Jumat yang telah melaksanakan shalat ied—hukumnya menjadi rukshah. (Lihat, Al-Mughni, II: 358)

Permasalahan II 

Apabila mukallaf (subjek hukum) wajib shalat Jumat yang telah melaksanakan shalat ied memilih untuk melakukan shalat Jumat, pada umumnya tidak menimbulkan kontroversi. Namun ketika memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, maka “biasanya” menimbulkan kontroversi. Yang unik, kontroversi itu bukan semata-mata meninggalkan shalat Jumatnya, namun haruskah ia melaksanakan shalat Zuhur ataukah tidak?

Sejauh pengetahuan kami, kontroversi itu tidak lepas dari penafsiran terhadap “perbuatan Ibnu Zubair” dalam laporan Atha—sebagaimana telah disampaikan teks hadisnya secara lengkap—khususnya tentang perkataan Atha:
لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ
“Ia (Ibnu Zubair) tidak menambah atas dua rakaat (shalat ied) hingga ia shalat Ashar.”

Dalam redaksi lain:
فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا
“tetapi ia tidak datang menemui kami”

Kalimat tersebut menimbulkan “misteri”: Apakah ketika Ibnu Zubair tidak melaksanakan shalat Jumat, ia juga tidak melaksanakan shalat Zuhur ataukah melaksanakan shalat Zuhur di rumahnya? Dalam mensikapi hal itu para ulama berbeda pendapat.

Imam Asy-Syaukani berkata:
قَوْلُهُ : ( لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ ) ظَاهِرُهُ أَنَّهُ لَمْ يُصَلِّ الظُّهْرَ وَفِيهِ أَنَّ الْجُمُعَةَ إذَا سَقَطَتْ بِوَجْهٍ مِنْ الْوُجُوهِ الْمُسَوِّغَةِ لَمْ يَجِبْ عَلَى مَنْ سَقَطَتْ عَنْهُ أَنْ يُصَلِّيَ الظُّهْرَ وَإِلَيْهِ ذَهَبَ عَطَاءٌ حُكِيَ ذَلِكَ عَنْهُ فِي الْبَحْرِ وَالظَّاهِرُ أَنَّهُ يَقُولُ بِذَلِكَ الْقَائِلُونَ بِأَنَّ الْجُمُعَةَ الْأَصْلُ وَأَنْتَ خَبِيرٌ بِأَنَّ الَّذِي افْتَرَضَهُ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى عِبَادِهِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ هُوَ صَلَاةُ الْجُمُعَةِ فَإِيجَابُ صَلَاةِ الظُّهْرِ عَلَى مَنْ تَرَكَهَا لِعُذْرٍ أَوْ لِغَيْرِ عُذْرٍ مُحْتَاجٌ إلَى دَلِيلٍ وَلَا دَلِيلَ يَصْلُحُ لِلتَّمَسُّكِ بِهِ عَلَى ذَلِكَ فِيمَا أَعْلَمْ
Artinya:  “Perkataannya (Atha):
لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ
“Ia (Ibnu Zubair) tidak menambah atas dua rakaat (shalat ied) hingga ia shalat Ashar.”
Zhahir perkataannya itu menunjukkan bahwa ia (Ibnu Zubair) tidak mengerjakan shalat Zhuhur. Dan dalam perkataannya itu menunjukkan bahwa shalat Jum'at jika gugur dengan salah satu aspek yang diperkenankan, maka tidak wajib atas orang yang gugur darinya untuk mengerjakan shalat zhuhur. Dengan ini Atha' berpendapat, sebagaimana hal itu diceritakan dalam kitab Al-Bahr. Dan tampak jelas bahwa orang-orang yang berkata demikian karena Jum'at adalah pokok. Dan engkau tahu bahwa yang diwajibkan oleh Allah Ta'ala bagi hamba-hamba-Nya pada hari Jum'at adalah shalat Jum'at, maka mewajibkan shalat zhuhur bagi siapa yang meninggalkan shalat Jum'at karena udzur atau tanpa udzur membutuhkan dalil, dan tidak ada dalil yang pantas untuk dipegang tentang hal itu sepanjang yang aku ketahui." (Lihat, Nail Al-Awthar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, V:480)

Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq berkata:
وَعَلَى الْقَوْل بِأَنَّ الْجُمُعَة الْأَصْل فِي يَوْمهَا وَالظُّهْر بَدَل فَهُوَ يَقْتَضِي صِحَّة هَذَا الْقَوْل لِأَنَّهُ إِذَا سَقَطَ وُجُوب الْأَصْل مَعَ إِمْكَان أَدَائِهِ سَقَطَ الْبَدَل ، وَظَاهِر الْحَدِيث أَيْضًا حَيْثُ رَخَّصَ لَهُمْ فِي الْجُمُعَة وَلَمْ يَأْمُرهُمْ بِصَلَاةِ الظُّهْر
“Dan berdasarkan pendapat bahwa shalat Jumat hukum asal pada harinya dan shalat zuhur hukum pengganti, maka hadis ini menunjukkan kebenaran pendapat ini, karena apabila kewajiban hokum asal telah gugur—meskipun dapat dilaksanakan—maka gugur pula hukum pengganti. Dan zhahir hadis itu juga menunjukkan bahwa ia memberikan rukhsah kepada mereka dalam meninggalkan shalat Jumat, dan ia tidak memerintahkan kepada mereka untuk shalat Zuhur.” (Lihat, ‘Awn Al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, III:408)

Kata Syekh Abu Hafsh Al-Jaza`iriy:
قَوْلُ عَطَاءٍ لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ  ظَاهِرُهُ أَنَّهُ لَمْ يُصَلِّ الظُّهْرَ
Perkataan Atha: “Ia (Ibnu Zubair) tidak menambah atas dua rakaat (shalat ied) hingga ia shalat Ashar.” Zhahir perkataannya itu menunjukkan bahwa ia (Ibnu Zubair) tidak mengerjakan shalat Zhuhur
إِذَنْ ظَاهِرُ حَدِيْثِ ابْنِ الزُّبَيْرِ عَلَى أَنَّهُ رَخَّصَ لَهُمْ فِي الْجُمْعَةِ وَلَمْ يَأْمُرْهُمْ بِصَلاَةِ الظُّهْرِ لأَنَّ الْجُمْعَةَ أَصْلٌ وَالظُّهْرَ بَدَلٌ فَإِذَا سَقَطَ وُجُوْبُ الأَصْلِ مَعَ إِمْكَانِ أَدَائِهِ سَقَطَ الْبَدَلُ
“Jika demikian, Zhahir hadis Ibnu Zubair menunjukkan bahwa ia memberikan rukhsah kepada mereka dalam meninggalkan shalat Jumat, dan ia tidak memerintahkan kepada mereka untuk shalat Zuhur, karena shalat Jumat adalah hokum asal sedangkan Zuhur hukum pengganti. Maka apabila kewajiban hokum asal telah gugur—meskipun dapat dilaksanakan—maka gugur pula hokum pengganti.” (Lihat, Tsalats Masa`il Fiqhiyyah, hlm. 18)

 Abu Abdullah ‘Abid bin Abdullah berkata:
وَظَاهِرُهُ أَنَّهُ لَمْ يُصَلِّ الظُّهْرَ إِكْتِفَاءً بِالرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ صَلاَّهُمَا بِالنَّاسِ بُكْرَةً
“Zhahir perkataannya itu menunjukkan bahwa ia (Ibnu Zubair) tidak mengerjakan shalat Zhuhur karena dipandang cukup dengan salat dua rakaat (salat ied) yang dilakukannya bersama orang-orang pada pagi hari.” (Lihat, Ijtima’ Al-‘Iedain, hlm. 2)

Meski demikian, terdapat ulama lain yang menyikapi berbeda, antara lain:

Imam Ash-Shan’ani berkata:
 قُلْت: وَلَا يَخْفَى أَنَّ عَطَاءً أَخْبَرَ أَنَّهُ لَمْ يَخْرُجْ ابْنُ الزُّبَيْرِ لِصَلَاةِ الْجُمُعَةِ وَلَيْسَ ذَلِكَ بِنَصٍّ قَاطِعٍ أَنَّهُ لَمْ يُصَلِّ الظُّهْرَ فِي مَنْزِلِهِ فَالْجَزْمُ بِأَنَّ مَذْهَبَ ابْنِ الزُّبَيْرِ سُقُوطُ صَلَاةِ الظُّهْرِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ يَكُونُ عِيدًا عَلَى مَنْ صَلَّى صَلَاةَ الْعِيدِ لِهَذِهِ الرِّوَايَةِ غَيْرُ صَحِيحٍ لِاحْتِمَالِ أَنَّهُ صَلَّى الظُّهْرَ فِي مَنْزِلِهِ بَلْ فِي قَوْلِ عَطَاءٍ إنَّهُمْ صَلَّوْا وُحْدَانًا أَيْ الظُّهْرَ مَا يُشْعِرُ بِأَنَّهُ لَا قَائِلَ بِسُقُوطِهِ وَلَا يُقَالُ : إنَّ مُرَادَهُ صَلَّوْا الْجُمُعَةَ وُحْدَانًا فَإِنَّهَا لَا تَصِحُّ إلَّا جَمَاعَةً إجْمَاعًا ثُمَّ الْقَوْلُ بِأَنَّ الْأَصْلَ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ صَلَاةُ الْجُمُعَةِ وَالظُّهْرُ بَدَلٌ عَنْهَا قَوْلٌ مَرْجُوحٌ بَلْ الظُّهْرُ هُوَ الْفَرْضُ الْأَصْلِيُّ الْمَفْرُوضُ لَيْلَةَ الْإِسْرَاءِ وَالْجُمُعَةُ مُتَأَخِّرٌ فَرْضُهَا ثُمَّ إذَا فَاتَتْ وَجَبَ الظُّهْرُ إجْمَاعًا فَهِيَ الْبَدَلُ عَنْهُ
“Menurut saya, bukan rahasia lagi bahwa Atha mengabarkan bahwa Ibnu Zubair tidak keluar untuk shalat Jumat, kabar itu bukanlah pernyataan tegas bahwa ia (Ibnu Zubair) tidak shalat Zuhur di rumahnya. Maka penetapan gugurnya shalat Zuhur pada hari Jumat yang bertepatan dengan Ied atas orang yang telah melaksanakan shalat ied sebagai pendapat Ibnu Zubair berdasarkan riwayat ini adalah tidak benar, karena dimungkinkan ia (Ibnu Zubair) shalat Zuhur di rumahnya. Bahkan pada perkataan Atha bahwa mereka shalat wuhdaanan (sendirian) yaitu shalat Zuhur, terdapat pentunjuk bahwa tidak ada yang berpendapat shalat Zuhur itu menjadi gugur. Dan tidak dapat dikatakan pula bahwa maksud “mereka shalat  sendirian itu” shalat Jumat karena telah disepakati bahwa shalat Jumat tidak sah kecuali dengan berjamaah.  Selanjutnya tentang pendapat bahwa hokum asal pada hari Jumat adalah shalat Jumat dan shalat Zuhur pengganti Jumat adalah pendapat yang lemah, bhakan shalat Zuhur adalah kewajiban asal yang difardhukan pada malam Isra, sementara shalat Jumat difardhukan terkemudian, lalu apabila shalat Jumat luput dilakukan maka wajib shalat Zuhur sebagai kesepakatan. Berarti shalat Jumatlah pengganti shalat Zuhur.” (Lihat, Subulus Salam Syarh Bulugh Al-Maram, II:422)

Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq, setelah menyampaikan pendapat Imam Asy-Syaukani dan Imam Ash-Shan’ani di atas, ia berkata:
قُلْت : هَذَا قَوْل بَاطِلٌ وَالصَّحِيح مَا قَالَهُ الْأَمِير الْيَمَانِيّ فِي سُبُل السَّلَامِ قَالَ اِبْن تَيْمِيَةَ فِي الْمُنْتَقَى بَعْد أَنْ سَاقَ الرِّوَايَة الْمُتَقَدِّمَة عَنْ اِبْن الزُّبَيْر قُلْت إِنَّمَا وَجْه هَذَا أَنَّهُ رَأَى تَقْدِمَة الْجُمُعَة قَبْل الزَّوَال فَقَدَّمَهَا وَاجْتَزَأَ بِهَا عَنْ الْعِيد اِنْتَهَى
“(Perkataan) ini adalah perkataan yang batal, dan yang benar apa yang dinyatakan oleh Al-Amir Al-Yamani (Imam As-Shan’ani) dalam kitabnya Subul As-Salam. Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Muntaqa Al-Akhbar berkata—setelah menyebutkan riwayat terdahulu dari Ibnu Zubair—menurut saya, ‘Aspek ini adalah ia berpendapat mendahulukan shalat Jumat sebelum tergelincir matahari, lalu ia mendahulukannya dan menganggap cukup dengan shalat Jumat dari shalat ied.’ Selesai.    ‘(Lihat, ‘Awn Al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, III:410)

Ibnu Abd Al-Barr, setelah menyebutkan riwayat Ibnu Zubair, berkata:
وَهذَا يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُوْنَ صَلَّى الظُّهْرَ ابْنُ الزُّبَيْرِ فِي بَيْتِهِ وَأَنَّ الرُّخْصَةَ وَرَدَتْ فِي تَرْكِ الإِجْتِمَاعَيْنِ لِمَا فِي ذلِكَ مِنَ الْمَشَقَّةِ لاَ أَنَّ الظُّهْرَ تَسْقُطُ
“Dan ini mengandung kemungkinan Ibnu Zubair shalat Zuhur di rumahnya dan rukhshah itu berlaku dalam meninggalkan kedua berjamaahnya karena terdapat kesulitan dalam hal itu, bukan berarti shalat Zuhur menjadi gugur. (Lihat, At-Tamhid Limaa fii Al-Muwatha min Al-Ma’ani wa Al-Asanid, X:276)

Mencermati kedua pendapat yang berbeda di atas tampak jelas bahwa perbuatan Ibnu Zubair dalam konteks status shalat Zuhur-nya dipandang ihtimal (mengandung kemungkinan), yaitu ia tidak melaksanakan shalat Zuhur, namun bisa jadi melaksanakannya. Karena mengandung kemungkinan, maka hadis tentang perbuatan Ibnu Zubair ini tidak dapat dijadikan hujjah tentang status shalat Zuhur bagi laki-laki yang telah melaksanakan shalat ied pada hari Jumat. Sikap ini sesuai dengan kaidah Ushul fiqih:
مَعَ الِاحْتِمَالِ يَسْقُطُ الِاسْتِدْلَالُ
“Penyertaan kemungkinan akan menggugurkan pengambilan dalil.”

Adapun pernyataan Atha—ketika Ibnu Zubair tidak keluar untuk mengimami shalat Jumat—bahwa:
فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا
“maka kami salat sendiri.”

Selain mengandung kemungkinan pula—apakah shalat mereka itu Zuhur atau shalat Jumat—tetap saja tidak dapat menganulir kemungkinan “perbuatan Ibnu Zubair” tersebut, karena pernyataan itu menjelaskan perbuatan Atha dan kawan-kawan (sebagai tabi’in), bukan perbuatan Ibnu Zubair ketika itu.

Di samping mengandung kemungkinan, “perbuatan Ibnu Zubair” itu merupakan mashadir taba’iyyah (sumber hukum sekunder), bukan sebagai mashadir ashliyyah (sumber hukum primer). Karena itu masalah  ketetapan shalat Zuhur bagi laki-laki yang telah melaksanakan shalat ied pada hari Jumat harus dikembalikan kepada mashadir ashliyyah (Al-Quran dan Sunnah), baik Qawli (sabda) maupun fi’li (perbuatan) sebagaimana telah disampaikan pada awal pembahasan.

Senin, 22 Oktober 2012

SYARIAT SHALAT JUM’AT BERTEPATAN DENGAN HARI IED (BAGIAN III)


Ied Hari Jumat Zaman Shahabat


Peristiwa Ied jatuh hari Jumat, selain terjadi pada masa Nabi saw. juga terjadi pada masa sahabat Rasul, yaitu masa kekhalifahan Umar bin Khathab, Usman bin Affan, Ali bin Abu Thalib dan Ibnu Zubair.


Peristiwa itu pada zaman kekhalifahan Umar, Usman, dan Ali diterangkan dalam riwayat sebagai berikut:

عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو عُبَيْدٍ مَوْلَى ابْنِ أَزْهَرَ أَنَّهُ شَهِدَ الْعِيدَ يَوْمَ الْأَضْحَى مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ النَّاسَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ نَهَاكُمْ عَنْ صِيَامِ هَذَيْنِ الْعِيدَيْنِ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَيَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ وَأَمَّا الْآخَرُ فَيَوْمٌ تَأْكُلُونَ مِنْ نُسُكِكُمْ قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدْ اجْتَمَعَ لَكُمْ فِيهِ عِيدَانِ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ الْعَوَالِي فَلْيَنْتَظِرْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ لَهُ قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُهُ مَعَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ النَّاسَ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَاكُمْ أَنْ تَأْكُلُوا لُحُومَ نُسُكِكُمْ فَوْقَ ثَلَاثٍ

Dari Az-Zuhri, ia berkata, “Abu Ubaid maula Abdurrahman bin Azhar telah menceritakan kepada kami bahwa ia pernah mengalami iedul adha bersama Umar bin Al-Khathab, maka ia (Umar) salat sebelum khutbah, lalu ia berkhutbah kepada orang-orang, ia berkata, ‘Wahai orang-orang, sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarang kalian dari shaum pada dua hari ied ied ini. Ied yang satu adalah hari berbuka dari shaum kalian, sedangkan ied yang lain adalah hari di mana kalian makan daging kurban kalian.’ Abu Ubaid berkata, ‘Kemudian aku mengalami ied bersama Usman bin Afan, yaitu pada hari Jumat, maka ia (Usman) salat sebelum khutbah, lalu ia berkhutbah kepada orang-orang, ia berkata, ‘Wahai orang-orang, sesungguhnya hari ini adalah hari bertemunya dua ied bagi kalian, maka siapa di antara penduduk ‘aliyah (kampung-kampung di sebelah Timur Madinah) yang hendak menunggu shalat Jumat, maka dipersilahkan untuk menunggunya, dan siapa yang hendak kembali (tidak melaksanakan shalat Jumat), sungguh aku telah mengizinkannya.’ Abu Ubaid berkata, ‘Aku mengalaminya pula bersama Ali bin Abu Thalib, maka ia salat sebelum khutbah, maka ia (Ali) salat sebelum khutbah, lalu ia berkhutbah kepada orang-orang, ia berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarang kalian memakan daging kurban lebih dari tiga hari’.” (H.r. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, V:2117, No. hadis 5251, Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hibban, VIII:367, No. hadis 3600, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, III:319, No. hadis 6086, Abu Ya’la, Al-Musnad, I:142, No. hadis 152, Al-Humaidi, Al-Musnad, I:7, No. hadis 8, dengan sedikit perbedaan redaksi)


Keterangan Abu Ubaid di atas menunjukkan bahwa ied yang dimaksud pada zaman Usman adalah Iedul Adha.  Adapun keterangan tentang peristiwa ied jatuh hari Jumat zaman Umar ditegaskan oleh Ibnu Zubair sebagaimana disebutkan dalam riwayat Ibnu Khuzaimah (Shahih Ibnu Khuzaimah, II:359) dan Ibnu Abu Syaibah (Al-Mushannaf, II:187). Namun dalam riwayat tersebut tidak dijelaskan apakah iedul fitri atau iedul Adha.


Sementara keterangan tentang peristiwa ied jatuh hari Jumat zaman Ali ditegaskan oleh Ali sendiri sebagaimana disebutkan dalam riwayat Abdurrazaq (Al-Mushannaf, III:305)  Dalam riwayat tersebut dijelaskan iedul fitri.


Sedangkan peristiwa ied jatuh hari Jumat zaman Ibnuz Zubair adalah iedul Fitri, yaitu hari Jumat, 1 Syawal 64 H/29 Juni 713 M (Lihat, Fathul Bari,  III:129). Penjelasan tentang itu kita peroleh melalui dua sumber: Pertama, Atha bin Abu Rabah (w. 114 H). Kedua, Wahab bin Kaisan (W. 127 / 129 H). Keduanya generasi tabi’in.


Keterangan Atha bin Abu Rabah (w. 114 H)


Keterangan Atha bin Abu Rabah tentang peristiwa ied jatuh hari Jumat di zaman Ibnuz Zubair diriwayatkan dengan beberapa redaksi sebagai berikut: 


Pertama, dengan redaksi:


اجْتَمَعَ يَوْمُ جُمُعَةٍ وَيَوْمُ فِطْرٍ عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَقَالَ عِيدَانِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَجَمَعَهُمَا جَمِيعًا فَصَلَّاهُمَا رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةً لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ

“Hari Jum’at dan Iedul Fitri telah berkumpul pada hari yang sama di zaman Ibnu Zubair. Ibnu Zubair berkata, ‘Dua ied berkumpul pada hari yang sama. Lalu ia menjama’ keduanya, yaitu salat dua rakaat (salat ied) pada pagi hari, ia tidak menambah shalat apapun sampai ia salat Ashar.”


Takhrij (penelusuran sumber) Hadis


Hadis di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, I:281, No. hadis 1072) melalui rawi Yahya bin Khalaf. Ia menerima dari Abu ‘Ashim, dari Ibnu Juraij, ia berkata, “Atha berkata…(seperti di atas)”


Hadis di atas diriwayatkan pula oleh Abdurrazaq (Al-Mushannaf, III:303, No. hadis 5725), Ibnu Al-Mundzir (Al-Awsath, VI:490, No. 2142), Al-Firyabi (Ahkam Al-‘Iedain, hlm 219) melalui jalur periwayatan yang sama, yaitu Ibnu Juraij dari Atha.


Namun dalam riwayat Abdurrazaq dan Ibnu Al-Mundzir dengan redaksi sebagai berikut:

قَالَ عَطَاءٌ: إِنِ اجْتَمَعَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ وَيَوْمُ الْفِطْرِ فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَلْيَجْمَعْهُمَا فَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ قَطُّ حَيْثُ يُصَلِّي صَلَاةَ الْفِطْرِ ثُمَّ هِيَ هِيَ حَتَّى الْعَصْرِ ثُمَّ أَخْبَرَنِي عِنْدَ ذَلِكَ قَالَ: اجْتَمَعَ يَوْمُ فِطْرٍ وَيَوْمُ جُمُعَةٍ فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فِي زَمَانِ ابْنِ الزُّبَيْرِ، فَقَالَ ابْنُ الزُّبَيْرِ: عِيدَانِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَجَمَعَهُمَا جَمِيعًا بِجَعْلِهِمَا وَاحِدًا، وَصَلَّى يَوْمَ الْجُمُعَةِ رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةَ صَلَاةَ الْفِطْرِ، ثُمَّ لَمْ يَزِدْ عَلَيْهَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ

Atha berkata, “Jika hari Jum’at dan Iedul Fitri berkumpul pada hari yang sama, maka hendaknya seseorang menjama’ keduanya, maka shalatlah dua rakaat saja di mana ia shalat iedul fitri, kemudian begini begini sehingga ia shalat Ashar.” Kata Ibnu Juraij, lalu ketika itu ia mengabarkan kepadaku, ia berkata, “Hari Iedul Fitri dan Jum’at berkumpul pada hari yang sama di zaman Ibnu Zubair. Ibnu Zubair berkata, ‘Dua ied berkumpul pada hari yang sama.’ Lalu ia menjama’ keduanya, dengan menggabungkan keduanya menjadi satu, dan ia salat dua rakaat (salat ied) hari Jumat pada pagi hari, lalu ia tidak menambah shalat apapun sampai ia salat Ashar.”


Kedudukan Hadis


Sebagian ulama menyatakan bahwa hadis ini dhaif karena terdapat rawi Ibnu Juraij, dia mudallis (menyamarkan sanad).

Abu Bakar Al-Atsram berkata, dari Ahmad bin Hanbal:

إِذَا قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ فُلاَنٌ وَقَالَ فُلاَنٌ وَأَجَزْتُ جَاءَ بِمَنَاكِيْرَ وَإِذَا قَالَ: أَخْبَرَنِيْ وَسَمِعْتُ فَحَسْبُكَ بِهِ

“Apabila Ibnu Juraij mengatakan qaala fulaan (Polan telah berkata) dan qaala fulaan, dan ajaztu (aku mengizinkan), maka ia mendatangkan riwayat-riwayat munkar. Dan apabila ia berkata akhbarani (telah mengabarkan kepadaku) dan sami’tu (aku telah mendengar), maka cukup untukmu dengannya.” (Lihat, Tarikh Baghdad, X:405, Tahdzib Al-Kamal fi Asma` Ar-Rijal, XVIII:348)


Yahya bin Sa’id berkata:

كَانَ ابْنُ جُرَيْجٍ صَدُوْقاً فَإِذَا قَالَ: حَدَّثَنِي فَهُوَ سِمَاعٌ وَإِذَا قَالَ أَخْبَرَنَا أَوْ أَخْبَرَنِي فَهُوَ قِرَاءَةٌ وَإِذَا قَالَ: قَالَ فَهُوَ شِبْهُ الرِّيْحِ

“Ibnu Juraij adalah orang yang shaduq (jujur), apabila ia berkata haddatsani (telah menceritakan kepadaku), maka ia sima’, dan apabila ia berkata akhbaranaa (telah mengabarkan kepada kami) atau akhbarani (telah mengabarkan kepadaku) maka ia qira`ah. Dan apabila ia mengatakan qaala (telah berkata) maka ia menyerupai angin (tidak bernilai).” (Lihat, Tahdzib Al-Kamal fi Asma` Ar-Rijal, XVIII:348)


Keterangan:

  • Sima merupakan salah satu metode tahammul al-hadits (penerimaan hadis), yaitu seorang guru membacakan hadis kepada murid-muridnya, baik dari hafalan maupun dari catatannya, sedangkan yang hadir mendengarkan dan mencatat apa yang didengarnya atau hanya mendengarkan saja. Sima’ merupakan metode tahammul yang paling awal dipergunakan oleh para perawi hadis, serta memiliki kedudukan yang paling tinggi dan paling akurat. (Lihat, Tautsiq al-Sunnah fi Qarnits Tsani al-Hijri, hal.185; Manhaj al-Naqd, hal. 214; Ushul al-Hadits, hal. 234-235)

  • Qira`ah merupakan salah satu metode tahammul al-hadits (penerimaan hadis), yaitu salah seorang murid membacakan hadis di hadapan seorang guru, baik dari hafalan maupun catatannya. Sedangkan guru menyimak bacaan itu. Kadang-kadang yang mengecek bukan gurunya, melainkan orang yang telah diberi kepercayaan olehnya. Metode ini oleh sebagian ulama disebut ‘ardh (penyodoran), karena murid yang menyodorkan bacaannya kepada guru. Qira`ah banyak dipergunakan setelah terjadinya tadwin al-hadits (kodifikasi hadis). Sedangkan dilihat dari segi peringkat, qira`ah di bawah sima’. (Ibid.)


Kata Ibn Hajar, “Ia melakukan tadlis (menyamarkan sanad) dan berbuat irsal (menyampaikan hadis langsung dari Nabi tanpa menyebut sahabat)” (Lihat, Taqrib at-Tahdzib, I:366, biografi No. 4317)


Dengan demikian, karena dalam periwayatan hadis ini Ibnu Juraij menggunakan kata ‘an (dari), maka menurut sebagian ulama hadis ini dinilai dha’if karena saqth min isnaad (terputus jalur periwayatannya).


Analisa Kami


Ibnu Juraij, namanya Abd al-Malik bin Abd al-‘Aziz bin Juraij. Lahir sekitar 70 H. dan sejaman dengan shigar al-shahabah (para sahabat muda), namun tidak pernah menerima hadis dari mereka. Imam Ahmad berkata, “Dia salah seorang perbendaharaan ilmu, ia bersama Ibn Abu ‘Arubah  termasuk ulama yang pertama kali menyusun beberapa kitab” (Lihat, Tadzkirah al-Huffazh, juz I, hal. 169-170)


Adapun yang dimaksud tadlis oleh Ibn Hajar tersebut bukan menyembunyikan rawi, melainkan berhubungan dengan shiyag al-ada (bentuk-bentuk penyampaian hadis), karena ia pernah meriwayatkan beberapa hadis yang diterima dari az-Zuhri secara ijazah (berdasarkan rekomendasi), namun diriwayatkannya dengan bentuk sima, yaitu haddatsana. Sehingga terkesan hadis itu diterimanya secara lansung dari az-Zuhri, padahal tidak demikian adanya. (Lihat, At-Tsiqat al-Ladzina Dhu’ifu fi Ba’dh Syuyukhihim, hal. 71-74)


Sehubungan dengan itu, Syekh Al-Albani menilai hadis di atas shahih, karena periwayatan Ibnu Juraij dari Atha—meskipun menggunakan kata qaala Atha—namun dapat dipastikan muttashil (bersambung), berdasarkan penjelasan dari Ibnu Juraij sendiri dalam riwayat Ibnu Abu Khaitsamah:

إِذَا قُلْتُ: قَالَ عَطَاءٌ فَأَنَا سَمِعْتُهُ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ أَقُلْ: سَمِعْتُ

“Apabila aku mengatakan, ‘Atha berkata.’ Maka aku mendengar langsung darinya meskipun aku tidak mengatakan, ‘sami’tu (aku mendengar)’.” (Lihat, Shahih Sunan Abu Dawud, IV:239)


Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hadis tentang Ied jatuh pada hari Jumat pada zaman Ibnu Zubair—riwayat Ibnu Juraij—derajatnya shahih.


Kedua, dengan redaksi:


صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِي يَوْمِ عِيدٍ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ

Dari Atha bin Abu Rabah, ia berkata, “Ibnu Zubair salat mengimami kami pada hari ied di hari Jumat pada pagi hari, kemudian kami berangkat untuk Jumat tetapi beliau tidak datang menemui kami, maka kami salat sendiri. Dan ketika itu Ibnu Abbas berada di Thaif, maka ketika ia dating kami menjelaskan perkara itu kepadanya, maka ia menjawab, ‘Ia telah sesuai dengan sunnah’.”


Takhrij (penelusuran sumber) Hadis


Hadis di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, I:281, No. hadis 1071) melalui rawi Muhammad bin Tharif Al-Bajali. Ia menerima dari Asbath, dari Al-A’masy, dari Atha bin Abu Rabbah .


Kedudukan Hadis


Imam An-Nawawi berkata:

إِسْنَادُهُ حَسَنٌ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ

“Sanadnya hasan sesuai dengan syarat Muslim.” (Lihat, Khulashah Ahkam fi Muhimmat As-Sunan wa Qawa`id Al-Islam, II:817)


Muhammad Syams Al-Haq Al-‘Azhim Abadi berkata:

الْحَدِيْثُ رِجَالُهُ رِجَالُ الصَّحِيْحِ

“Hadis itu para rawinya adalah para perawi shahih.” (Lihat, ‘Awn Al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, III:25)


Kata Syekh Al-Albani:

وَهذَا إِسْنَادٌ صَحِيْحٌ رِجَالُهُ كُلُّهُمْ ثِقَاتٌ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ وَلَمْ يُخْرِجْهُ

Hadis itu shahih.” (Lihat, Shahih Sunan Abu Dawud, IV:238)


Meski demikian, terdapat sebagian ulama menyatakan bahwa hadis ini dhaif karena terdapat rawi Al-A’masy, namanya Sulaiman bin Mihran, dia mudallis (menyamarkan sanad). Ibn Hajar berkata:

ثِقَةٌ حَافِظٌ عَارِفٌ بِالْقِرَاءَاتِ وَرَعٌ لكِنَّهُ يُدَلِّسُ

“Ia tsiqah (kredibel), hafizh, mengetahui berbagai qira`at, wara’, namun ia melakukan tadlis (menyamarkan sanad).” (Lihat, Taqrib at-Tahdzib, I:254, biografi No. 2615)


Dengan demikian, karena dalam periwayatan hadis ini Al-A’masy menggunakan kata ‘an (dari), maka menurut sebagian ulama hadis ini dinilai dha’if karena saqth min isnaad (terputus jalur periwayatannya).


Analisa Kami


Al-A’masy, namanya Sulaiman bin Mihran Al-Asadi Al-Kahili, Abu Muhammad Al-Kufi. Lahir 61-148 H/681-765 M). Ia seorang tabi’in muda, yang sejaman dengan shigar al-shahabah (para sahabat muda), namun tidak pernah menerima hadis dari mereka. (Lihat, Taqrib at-Tahdzib, I:254, biografi No. 2615, Al-A’lam, III:135)


Adapun yang dimaksud tadlis Al-A’masy oleh para ulama termasuk Ibn Hajar, bukan menyembunyikan rawi, melainkan berhubungan dengan shiyag al-ada (bentuk-bentuk penyampaian hadis), karena ia pernah meriwayatkan beberapa hadis yang diterima dari beberapa ulama, antara lain dalam kasus periwayatannya dari Abu Wa`il tentang wudhu, padahal ia menerimanya dari Al-Hasan bin ‘Amr Al-Faqimiy, tidak menerima langsung dari Abu Wa`il. Sehingga terkesan hadis itu diterimanya secara lansung dari Abu Wa`il, padahal tidak demikian adanya. (Lihat, Jami’ At-Tahshil fi Ahkam Al-Marasil, I:189)

Sehubungan dengan itu, Syekh Al-Albani menilai hadis di atas shahih, karena periwayatan Al-A’masy dari Atha—meskipun menggunakan bentuk periwayatan ‘an—namun menurut jumhur ulama dapat dipastikan muttashil (bersambung), sehingga didapatkan bukti yang kuat bahwa ia telah menyamarkannya. Selain itu, hadisnya diperkuat oleh periwayatan Ibnu Juraij dari Atha (sebagaimana telah dijelaskan di atas). (Lihat, Shahih Sunan Abu Dawud, IV:238)


Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hadis tentang Ied jatuh pada hari Jumat pada zaman Ibnu Zubair—riwayat Al-A’masy—derajatnya shahih.


Ketiga, dengan redaksi


اجْتَمَعَ عِيدَانِ فِي عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَصَلَّى بِهِمَ الْعِيدَ ثُمَّ صَلَّى بِهِمَ الْجُمُعَةَ صَلاَةَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا

“Dua Ied telah bersatu pada zaman Ibnu Zubair. Maka ia salat ied mengimami mereka, lalu pada waktu Jumat ia salat Zhuhur empat rakaat mengimami mereka.”


Takhrij (penelusuran sumber) Hadis


Hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah (Al-Mushannaf, II:187, No. hadis 5892) melalui rawi Husyaim, dari Manshur, dari Atha bin Abu Rabbah .


Kedudukan Hadis


Sebagian ulama menyatakan bahwa hadis ini dhaif karena terdapat rawi Husyaim bin Basyir Al-Wasithi, dia mudallis (menyamarkan sanad). Pernyataan itu disampaikan oleh sejumlah pakar hadis, antara lain Adz-Dzahabi (Siyar A’lam An-Nubala, VIII:289) As-Suyuthi (Asma` Al-Mudallisin, hlm. 102), Shalihuddin Abu Sa’id (Jami’ At-Tahshil fii Ahkam Al-Marasil, hlm. 111). Sehubungan dengan itu, Muhammad bin Sa’ad menyatakan:

كَانَ ثِقَةً كَثِيْرَ الْحَدِيْثِ ثَبْتًا يُدَلِّسُ كَثِيْرًا فَمَا قَالَ فِى حَدِيْثِهِ أَخْبَرنَا فَهُوَ حُجَّةٌ وَ مَا لَمْ يَقُلْ فِيْهِ أَخْبَرَنَا فَلَيْسَ بِشَيْءٍ

“Dia tsiqah (kredibel), banyak hadisnya, kuat, banyak melakukan tadlis. Apabila dia mengatakan dalam hadisnya akhbaranaa (telah mengabarkan kepada kami) maka dia dapat digunakan sebagai hujjah dan apabila dia tidak mengatakan dalam hadisnya akhbaranaa, maka dia tidak bernilai sama sekali.” (Lihat, At-Takmil fii Al-Jarh Wa At-Ta’dil, II:7)


Ibnu Hajar mengatakan:

هُشَيْمُ بنُ بَشِيْرِ الْوَاسِطِيُّ مِنْ أَتْبَاعِ التَّابِعِيْنَ مَشْهُوْرٌ بِالتَّدْلِيْسِ مَعَ ثِقَتِهِ

“Husyaim bin Basyir Al-Wasithi termasuk generasi tabi’ at-Tabi’in, meskipun dia tsiqah dia terkenal dengan tadlis (menyamarkan sanad).” (Lihat, Ta’rif Ahl At-Taqdis bi Maratib Al-Mawshufiin bi At-Tadlis, hlm. 47)


Dengan demikian, karena dalam periwayatan hadis ini Husyaim bin Basyir menggunakan kata ‘an (dari), maka menurut para ahli hadis, hadis ini dinilai dha’if karena saqth min isnaad (terputus jalur periwayatannya). Dan kami belum mendapatkan pertimbangan lain yang dapat menganulir tadlisnya, sebagaimana yang kami lakukan terhadap Ibnu Juraij dan Al-A’masy di atas.


Kedhaifan hadis ini diperkuat dengan melihat kandungan matannya, di mana dalam hadis ini Atha menerangkan bahwa “waktu Jumat Ibnu Zubair salat Zhuhur empat rakaat mengimami mereka.” Sementara dalam hadis-hadis di atas, menurut Atha pula bahwa Ibnu Zubair tidak datang ke mesjid untuk mengimami mereka.


Keterangan Wahab bin Kaisan (W. 127 / 129 H) 


Keterangan tentang peristiwa ied bertepatan dengan hari Jumat pada zaman Ibnu Zubair kita peroleh pula dari Wahab bin Kaisan, namun dalam keterangannya terdapat perbedaan versi dengan keterangan Atha di atas. Versi Wahab menunjukkan bahwa waktu pelaksanaan shalat iednya di siang hari, dan kaifiyat iednya dimulai oleh khutbah, kemudian salat ied. Sementara versi Atha, waktu pelaksanaanya di pagi hari,  dimulai oleh salat, kemudian khutbah (sebagaimana biasanya kaifiyat ied). Mengapa bisa terjadi perbedaan, padahal peristiwa ini hanya terjadi satu kali, yakni hari Jumat, 1 Syawal 64 H/29 Juni 713 M (Lihat, Fathul Bari,  III:129) Perbedaan ini menunjukkan bahwa pasti terdapat kesalahan pada salah satu di antara dua keterangan itu. Untuk mengetahui mana keterangan yang benar dan mana yang salah, kita analisa hadis Wahab sebagai berikut:


عَنْ وَهْبِ بْنِ كَيْسَانَ قَالَ اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَأَخَّرَ الْخُرُوجَ حَتَّى تَعَالَى النَّهَارُ ثُمَّ خَرَجَ فَخَطَبَ فَأَطَالَ الْخُطْبَةَ ثُمَّ نَزَلَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَلَمْ يُصَلِّ لِلنَّاسِ يَوْمَئِذٍ الْجُمُعَةَ فَذُكِرَ ذَلِكَ لِابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ

Dari Wahab bin Kaisan, ia berkata, “Dua ied (Hari Jum’at dan Iedul Fitri) telah berkumpul di zaman Ibnu Zubair, maka ia mengakhirkan pergi menuju ied hingga telah siang, kemudian ia keluar, lalu berkhutbah, dan memanjangkan khutbahnya, kemudian turun, lalu salat dua rakaat. Dan hari itu ia tidak salat Jumat mengimami orang-orang, lalu diterangkan pada Ibnu Abas, maka Ibnu Abas berkata, ‘Ia sesuai dengan sunah’.


Takhrij (penelusuran sumber) Hadis


Hadis di atas diriwayatkan oleh An-Nasai (As-Sunan Al-Kubra, I:552, No. hadis 1794, Sunan An-Nasai, III:194, No. hadis 1592) melalui rawi Muhammad bin Basyar. Dia menerima dari Yahya, dari Abdul Hamid bin Ja’far, dari Wahab bin Kaisan.


Hadis di atas diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Syaibah, Ibnu Khuzaimah, Al-Hakim, dan Ibnu Al-Mundzir dengan perbedaan redaksi, sebaga berikut:


Versi Ibnu Abu Syaibah:


عَنْ وَهْبِ بْنِ كَيْسَانَ قَالَ : اجْتَمَعَ عِيدَانِ فِي عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَأَخَّرَ الْخُرُوجَ ثُمَّ خَرَجَ فَخَطَبَ فَأَطَالَ الْخُطْبَةَ  ثُمَّ صَلَّى وَلَمْ يَخْرُجْ إِلَى الْجُمُعَةِ فَعَابَ ذَلِكَ أُنَاسٌ عَلَيْهِ ، فَبَلَغَ ذَلِكَ عِنْدَ ابْنِ عَبَّاسٍ ، فَقَالَ : أَصَابَ السُّنَّةَ . فَبَلَغَ ابْنَ الزُّبَيْرِ ، فَقَالَ : شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ عُمَرَ فَصَنَعَ كَمَا صَنَعْتُ

Dari Wahab bin Kaisan, ia berkata, “Dua ied (Hari Jum’at dan Iedul Fitri) telah berkumpul di zaman Ibnu Zubair, maka ia mengakhirkan pergi menuju ied, kemudian ia keluar, lalu berkhutbah, dan memanjangkan khutbahnya, kemudian salat. Dan ia tidak keluar untuk salat Jumat. Maka orang-orang mencela perbuatan Ibnu Zubair itu, lalu berita itu sampai kepada Ibnu Abas, maka Ibnu Abas berkata, ‘Ia sesuai dengan sunah.’ Berita itu sampai pula kepada Ibnu Zubair, maka ia berkata, “Saya mengalami ied bersama Umar, maka ia melakukan sebagaimana yang aku lakukan.”


Takhrij (penelusuran sumber) Hadis


Hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah (Al-Mushannaf, II:186, No. hadis 5886) melalui rawi Abu Khalid Al-Ahmar, dari Abdul Hamid bin Ja’far, dari Wahab bin Kaisan.


Versi Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim:


عَنْ وَهْبِ بْنِ كَيْسَانَ قَالَ : شَهِدْتُ ابْنَ الزُّبَيْرِ بِمَكَّةَ وَهُوَ أَمِيرٌ فَوَافَقَ يَوْمُ فِطْرٍ - أَوْ أَضْحًى - يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَأَخَّرَ الْخُرُوجَ حَتَّى ارْتَفَعَ النَّهَارُ فَخَرَجَ وَصَعِدَ الْمِنْبَرَ ، فَخَطَبَ وَأَطَالَ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَلَمْ يُصَلِّ الْجُمُعَةَ فَعَابَ عَلَيْهِ نَاسٌ مِنْ بَنِي أُمَيَّةَ ابْنِ عَبْدِ شَمْسٍ فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ أَصَابَ ابْنُ الزُّبَيْرِ السُّنَّةَ وَبَلَغَ ابْنَ الزُّبَيْرِ فَقَالَ : رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ إِذَا اجْتَمَعَ عِيدَانِ صَنَعَ مِثْلَ هَذَا.

Dari Wahab bin Kaisan, ia berkata, “Aku menyaksikan Ibnu Zubair di Mekah dan dia sebagai amir. Maka Iedul Fitri—atau Iedul Adha—bertepatan dengan hari Jum’at, maka ia mengakhirkan pergi menuju ied sehingga hari sudah siang, lalu ia keluar dan naik mimbar, kemudian ia berkhutbah, dan memanjangkan khutbahnya, kemudian salat dua rakaat. Dan ia tidak salat Jumat. Maka orang-orang dari Bani Umayyah bin Abd Syams mencela perbuatannya, lalu berita itu sampai kepada Ibnu Abas, maka Ibnu Abas berkata, ‘Ibnu Zubair telah sesuai dengan sunah.’ Berita itu sampai pula kepada Ibnu Zubair, maka ia berkata, “Saya melihat Umar, apabila dua ied bersatu, ia melakukan hal yang seperti ini.”


Takhrij (penelusuran sumber) Hadis


Hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (Shahih Ibnu Khuzaimah, II:360, No. hadis 1465) melalui tiga jalur periwayatan:

Pertama, melalui rawi Bundar. Kedua, melalui rawi Ya’qub bin Ibrahim Ad-Dawraqi. Keduanya menerima dari Yahya. Ketiga, melalui rawi Ahmad bin ‘Abdah, dari Sulaim bin Akhdhar. Yahya dan Sulaim menerima dari Abdul Hamid bin Ja’far Al-Anshari (Bani ‘Auf bin Tsa’labah), dari Wahab bin Kaisan.


Redaksi yang sama diriwayatkan oleh Al-Hakim (Al-Mustadrak ‘ala As-Shahihain, I:435, No. hadis 1097) melalui dua jalur periwayatan: Pertama, melalui rawi Abu Bakar bin Ishaq, dari Abu Al-Mutsanna, dari Musaddad. Kedua, melalui rawi Ahmad bin Ja’far Al-Qathi’I, dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dari Ahmad bin Hanbal. Keduanya (Musaddad dan Ahmad bin Hanbal) menerima dari Yahya bin Sa’id, dari Abdul Hamid bin Ja’far Al-Anshari, dari Wahab bin Kaisan.


Versi Ibnu Al-Mundzir:


عَنْ وَهْبِ بْنِ كَيْسَانَ قَالَ اجْتَمَعَ عِيدَانِ عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَأَخَّرَ الْخُرُوجَ حَتَّى تَعَالَى النَّهَارُ ثُمَّ خَرَجَ فَخَطَبَ فَأَطَالَ الْخُطْبَةَ ثُمَّ نَزَلَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَلَمْ يُصَلِّ لِلنَّاسِ الْجُمُعَةَ فَعَابَ ذَلِكَ عَلَيْهِ نَاسٌ مِنْ بَنِي أُمَيَّةَ ابْنِ عَبْدِ شَمْسٍ فَذُكِرَ ذَلِكَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ  فَذَكَرُوْا ذلِكَ لاِبْنِ الزُّبَيْرِ فَقَالَ : رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ إِذَا اجْتَمَعَ عَلَى عَهْدِهِ عِيدَانِ صَنَعَ كذا.

Dari Wahab bin Kaisan, ia berkata, “Dua ied (Hari Jum’at dan Iedul Fitri) telah berkumpul di zaman Ibnu Zubair, maka ia mengakhirkan pergi menuju ied hingga telah siang, kemudian ia keluar, lalu berkhutbah, dan memanjangkan khutbahnya, kemudian turun, lalu salat dua rakaat. Dan hari itu ia tidak salat Jumat mengimami orang-orang. Maka orang-orang dari Bani Umayyah bin Abd Syams mencela perbuatannya, lalu diterangkan pada Ibnu Abas, maka Ibnu Abas berkata, ‘Ia telah sesuai dengan sunah’. Lalu mereka menyampaikan hal itu kepada Ibnu Zubair, maka ia berkata, “Saya melihat Umar bin Khathab, apabila dua ied bersatu pada zamannya, ia melakukan hal yang seperti ini.”


Takhrij (penelusuran sumber) Hadis


Hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Al-Mundzir (Al-Awsath, IV:288)  melalui rawi Yahya bin Muhammad, dari Musaddad, dari Yahya, dari Abdul Hamid bin Ja’far, dari Wahab bin Kaisan.


Kedudukan Hadis


Meski diriwayatkan oleh beberapa mukharrij (pencatat hadis) dengan redaksi berbeda, namun semua jalur periwayatannya berporos pada rawi Abdul Hamid bin Ja’far Al-Anshari. Dia menerima dari Wahab bin Kaisan. Karena faktor rawi inilah para ulama hadis berbeda pendapat dalam menilai kedudukan hadis tersebut. Sebagian menilainya shahih, sementara yang lain menilainya dhaif.


Ulama yang menilainya shahih, antara lain: 

Kata Syekh Al-Bushiriy:

رَوَاهُ مُسَدَّدٌ وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ

“Hadis itu diriwayatkan oleh Musaddad dan para rawinya tsiqah (kredibel).” (Lihat, Ittihaf Al-Khirah Al-Muhirrah bi Zawa`id Al-Masanid Al-‘Asyrah, II:335)


Kata Syekh Al-Albani:

وَإِسْنَاده صَحِيْحٌ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ

“Dan sanadnya shahih sesuai syarat Muslim.” (Lihat, Shahih Sunan Abu Dawud, IV:239)


Sementara ulama yang menilainya dhaif ialah Syekh Abu Abdurrahman Fawzi Al-Humaidi Al-Atsari, karena rawi yang menjadi poros periwayatan hadis itu, yakni Abdul Hamid bin Ja’far Al-Anshari, dia telah dinyatakan dhaif oleh sebagian ahli ilmu. (Lihat, Qala`id Al-Marjan fii Takhrij Hadits Idza ijtama’a ‘iedaani, hlm. 13)

Ibnu Hibban berkata, “Ia seringkali keliru.” (Lihat, Tahdzib At-Tahdzib, VI:112) Kata Ibnu Hajar, “Seringkali ia ragu-ragu.”  (Lihat, Taqrib At-Tahdzib, I:333)


Berdasarkan penjelasan di atas, kami cenderung menilai bahwa pada pemberitaan Wahab bin Kaisan—tentang waktu pelaksanaan shalat ied Ibnu Zubair di siang hari, dan kaifiyat (tata cara) iednya dimulai oleh khutbah, kemudian salat ied—terdapat  kekeliruan yang bersumber dari rawi Abdul Hamid bin Ja’far, yang dinilai sering keliru oleh sebagian ahli hadis di atas. Kekeliruannya menyebabkan pemberitaan Wahab menyalahi fakta pengamalan Ibnu Zubair sebagaimana ditegaskan Ath bin Abu Rabah, yaitu: (a) waktu pelaksanaan shalatnya di pagi hari,  (b) dimulai oleh salat ied, (c) kemudian khutbah.


Kaifiyat ini sesuai dengan syariat shalat ied sebagaimana ditetapkan Nabi saw. dan pengamalan para khalifah setelah Nabi (Lihat, riwayat Al-Bukhari pada kitab Al-‘Idain, bab Al-Khutbah ba’da Al-’Ied (Khutbah setelah shalat ied). Bahkan kaifiyat ini telah diamanatkan oleh Ibnu Abbas kepada Ibnu Zubair sejak pertama kali ia memangku jabatan sebagai khalifah. Ibnu Juraij berkata:

وَأَخْبَرَنِي عَطَاءٌ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَرْسَلَ إِلَى ابْنِ الزُّبَيْرِ فِي أَوَّلِ مَا بُويِعَ لَهُ إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ بِالصَّلَاةِ يَوْمَ الْفِطْرِ إِنَّمَا الْخُطْبَةُ بَعْدَ الصَّلَاةِ

‘Dan Atha telah menghabarkan kepadaku bahwa Ibnu Abas telah mengirim (surat) kepada Ibnu Zubair pada awal kekhalifahannya, yaitu tidak ada adzan untuk salat pada hari Iedul Fitri, khutbah itu hanya dilaksanakan setelah salat. “(HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:18)


Sehubungan dengan itu  Ibnu Khuzaimah mengatakan:

قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ أَصَابَ ابْنُ الزُّبَيْرِ السُّنَّةَ يُحْتَمَلُ أَنْ يَكُونَ أَرَادَ سُنَّةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَجَائِزٌ أَنْ يَكُونَ أَرَادَ سُنَّةَ أَبِي بَكْرٍ ، أَوْ عُمَرَ ، أَوْ عُثْمَانَ ، أَوْ عَلِيٍّ ، وَلاَ أَخَالُ أَنَّهُ أَرَادَ بِهِ أَصَابَ السُّنَّةَ فِي تَقْدِيمِهِ الْخُطْبَةَ قَبْلَ صَلاَةِ الْعِيدِ ؛ لأَنَّ هَذَا الْفِعْلَ خِلاَفُ سُنَّةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَأَبِي بَكْرٍ ، وَعُمَرَ ، وَإِنَّمَا أَرَادَ تَرْكَهُ أَنْ يَجْمَعَ بِهِمْ بَعْدَمَا قَدْ صَلَّى بِهِمْ صَلاَةَ الْعِيدِ فَقَطْ دُونَ تَقْدِيمِ الْخُطْبَةِ قَبْلَ صَلاَةِ الْعِيدِ.

“Perkataan Ibnu Abbas, ‘Ibnu Zubair telah sesuai dengan sunnah’ dimungkinkan maksudnya adalah sunnah Nabi saw. dan boleh juga sunnah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Dan saya tidak menduga bahwa yang dimaksud ‘sesuai sunnah’ oleh Ibnu Abbas itu mendahulukan khutbah sebelum shalat ied, karena perbuatan ini menyalahi sunnah Nabi saw. Abu Bakar, dan Umar. Jadi yang dimaksud dengan: ‘Ibnu Zubair telah sesuai dengan sunnah’ tiada lain ia tidak melaksanakan shalat Jumat bersama mereka setelah ia shalat ied mengimami mereka, bukan ‘mendahulukan khutbah sebelum shalat ied.’ (Lihat, Shahih Ibnu Khuzaimah, II:360)


Kesimpulan 

Kaifiyat pelaksanaan ied—meski pada hari Jumat—tidak mengalami perubahan, yaitu dimulai oleh salat kemudian khutbah.

Rabu, 17 Oktober 2012

SYARIAT SHALAT JUM’AT BERTEPATAN DENGAN HARI IED (BAGIAN II)


Metode Fahm Al-Adillah (Pemahaman dalil-dalil)

Untuk memahami ketetapan syariat “baru” dalam taklif (syariat) shalat Jumat bagi laki-laki yang telah melaksanakan shalat Ied, kita tidak dapat—untuk tidak menyebut: tidak boleh—memahaminya secara parsial, namun harus secara integral dengan ketentuan umum syariat shalat Jumat yang terkandung dalam ayat Al-Quran (Surah Al-Jumu’ah:9) dan hadis Nabi riwayat Thariq bin Syihab di atas.

Untuk itu, penjelasan ayat Al-Quran dan berbagai hadis tersebut—dengan berbagai variasi redaksinya—perlu kita analisa melalui pendekatan dua model hukum: Pertama, taklifi. Kedua, wadh’i

Pertama, taklifi

Yang dimaksud dengan hukum taklifi ialah
خِطَابُ اللَّهِ الْمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِينَ بِالِاقْتِضَاءِأَوِ التَّخْيِيرِ
Khithâb (titah) Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang sebagai subjek hokum) baik berupa tuntutan maupun pilihan (untuk berbuat atau tidak berbuat).” (Lihat, Ma’alim Ushul Al-Fiqh ‘Inda Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah, hal. 290)

Dilihat dari segi sifat khithâb (titah Allah), hukum taklifi secara garis besar terbagi menjadi tiga bagian: Pertama, tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan. Apabila sifat tuntutan itu tegas atau keras disebut ijab. Namun apabila lunak disebut nadb. Kedua, tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan. Apabila sifat tuntutan itu tegas atau keras disebut Tahrim. Namun apabila lunak disebut karahah. Ketiga, pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat, disebut ibahah.

Sementara dilihat dari segi jenis mahkum bih (perbuatan subjek hukum), hukum taklifi secara garis besar juga terbagi menjadi tiga bagian: Pertama, perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan. Apabila sifat tuntutan itu tegas atau keras disebut wajib atau fardhu, dengan berbagai kategori hukum turunannya, seperi wajib kifayah-‘ain, wajib muwassa’-mudhayyaq, wajib muhaddad-ghair muhaddad, wajib mu’ayyan-mukhayyar. Namun apabila lunak disebut mandub, mustahab atau tathawwu’. Kedua, perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan. Apabila sifat tuntutan itu tegas atau keras disebut haram. Namun apabila lunak disebut makruh. Ketiga, Perbuatan yang diperkenankan dipilih untuk dikerjakan dan ditinggalkan, disebut mubah, ja`iz, atau halal.

Kelima macam hukum itu (wajib, mandub, haram, makruh, mubah) dikenal dengan sebutan Al-Ahkam Al-Kamsah.

Kedua, wadh’i

Yang dimaksud dengan hukum wadh’I ialah
خِطَابُ اللَّهِ الْمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِينَ بِالوَضْعِ
Khithâb (titah) Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang sebagai subjek hukum) berupa wadh’.” (Lihat, Ma’alim Ushul Al-Fiqh ‘Inda Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah, hal. 314)

Dalam difinisi lain:
خِطَابُ اللهِ تَعَالَى الْمُتَعَلِّقُ بِجَعْلِ الشَّيْئِ سَبَبًا لِفِعْلِ الْمُكَلَّفِ أَوْ شَرْطًا لَهُ أَوْ مَانِعًا مِنْهُ ، أَوْ صَحِيْحًا أَوْ فَاسِدًا أَوْ عَزِيْمَةً أَوْرُخْصَةً
Khithâb (titah) Allah yang berkaitan dengan menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi perbuatan mukallaf, atau shahih, fasid, azimah, atau rukhsah. (Lihat, Syarh Al-Mu’tamad, hal. 84)

Definisi di atas menunjukkan bahwa hukum wadh’i meliputi [1] sebab/illat, [2] syarat, [3] mani', [4] shahih-fasad/batal, [5] azimah-rukhshah. 

Sebagai contoh, Firman Allah Swt.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan.” Q.s. Al-Maidah:38

Ayat di atas dikategorikan hukum wadh’i, karena menjadikan pencurian sebagai sebab wajibnya potong tangan pencuri.

Firman Allah Swt.
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir.” Q.s. Al-Isra:78

Ayat di atas dikategorikan hukum wadh’i, karena menjadikan tergelincirnya matahari sebagai sebab wajibnya salat Zhuhur.

Nabi saw. Bersabda:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ
“Tidak sah shalat bagi orang yang tidak berwudhu.” HR. Abu Dawud

Sabda Nabi di atas dikategorikan hukum wadh’i, karena menjadikan wudhu’ sebagai syarat sahnya shalat.

Nabi saw. Bersabda:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟
“Bukankah wanita itu jika datang haid tidak boleh shalat dan shaum?” Muttafaq ‘Alaih

Sabda Nabi di atas dikategorikan hukum wadh’i, karena menjadikan haid sebagai mani’ (penghalang) wajibnya shalat dan shaum.

Sabda Nabi tentang  salat lima waktu (HR. Al-Bukhari-Muslim) dikategorikan hukum wadh’I (kategori azimah), karena menjadikan keadaan biasa sebagai sebab berlakunya hukum wajib shalat.

Firman Allah tentang mengqashar shalat ketika safar (QS. An-Nisa:101) dikategorikan hukum wadh’I (kategori rukhsah), karena menjadikan keadaan khusus (safar) sebagai sebab berlakunya hukum kebolehan menqashar shalat.

Aplikasi Teori Taklifi & Wadh’i

Teori hukum taklifi dan wadh’I di atas akan kita gunakan dalam menganalisa syariat shalat Jumat ketika bertepatan dengan hari ied, dengan tetap melibatkan tarikh tasyri’ sebagai “alat bantu” pemahamannya. Dalam konteks ini, analisa itu—sementara—tanpa  melibatkan amal shahabat ketika mereka mengalami kejadian serupa.

Sebelum terjadi peristiwa ied jatuh pada hari Jumat (tahun 3 H), shalat Jumat telah disyariatkan dengan turunnya ayat 9 surah Al-Jumu’ah
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Selain dengan firman Allah, syariat shalat Jumat itu dipertegas pula oleh Nabi saw. dengan sabda beliau:
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
Dari Thariq bin Syihab, dari Nabi saw.. saw.. beliau bersabda, “Jum’at itu adalah hak yang wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah kecuali empat golongan; hamba sahaya, perempuan, anak-anak, dan yang sakit.” (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:347, No. hadis 1067, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, III:172, No. hadis 5368)

Selain menegaskan hukum, sabda ini menetapkan pula mukallaf (subjek hukum) shalat Jumat, yaitu laki-laki muslim yang sehat lagi merdeka, baik ketika safar maupun muqim.

Berdasarkan teori taklifi, firman Allah dan sabda Nabi di atas adalah Khithâb (titah)  Allah yang menuntut agar shalat Jumat itu dilakukan. Dilihat dari segi sifat khithâb, tuntutan untuk melaksanakan shalat Jumat bersifat tegas—dengan indikasi fi’il amr (kata perintah fas’aw ilaa dzikrillah) dan kata waajib—maka firman Allah dan sabda Nabi itu dikategorikan khithâb ijab. Sedangkan atsar (akibat hukum) dari khithâb ijab disebut wujub. Sedangkan dilihat segi jenis mahkum bih (perbuatan subjek hukum), melaksanakan shalat Jumat hukumnya wajib atau fardhu.

Dilihat dari aspek jenis perbuatan yang dituntut, melaksanakan shalat Jumat dikategorikan wajib mu’ayyan, yaitu kewajiban yang hanya mempunyai satu tuntutan. Artinya, wajib mu’ayyan ini tidak ada alternatif lain kecuali memenuhi tuntutan itu. Dalam konteks syariat shalat Jumat, kewajiban shalat Jumat itu mesti dilakukan tanpa alternatif penggantian dengan ibadah lain. Adapun mukallaf (subjek hukum) shalat Jumat adalah laki-laki muslim yang sehat lagi merdeka, baik ketika safar maupun muqim.

Dengan demikian, diambil kesimpulan bahwa shalat Jumat hukumnya wajib mu’ayyan atau fardhu bagi laki-laki muslim yang sehat lagi merdeka, baik ketika safar maupun muqim. Apabila ditinggalkan maka hukumnya berdosa dan tidak dapat diganti oleh perbuatan lain.

Sedangkan berdasarkan teori wadh’i, firman Allah dan sabda Nabi di atas dikategorikan hukum azimah, karena menjadikan keadaan biasa sebagai sebab berlakunya hukum wajib shalat Jumat, baik ketika safar maupun muqim, baik ketika bertepatan dengan hari ied—andaikata telah disyariatkan—maupun di luar ied.

Namun ketika terjadi peristiwa ied jatuh pada hari Jumat (tahun 3 H), Nabi saw. menetapkan hukum shalat Jumat sebagai berikut:
فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
Dari Abu Huraerah, dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Sungguh telah bersatu pada hari ini dua ied, maka siapa yang mau (tidak melaksanakan shalat Jum’at), maka shalat ied ini mencukupkan dari (shalat) Jum’at, dan sesungguhnya kami akan melaksanakan shalat Jum’at.”

Atau dengan redaksi:
مَنْ شَاءَ أَنْ يَأْتِيَ الْجُمُعَةَ فَلْيَأْتِهَا وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتَخَلَّفَ فَلْيَتَخَلَّفْ
“Siapa yang akan melaksanakan shalat Jum’at maka datanglah, dan siapa yang akan meninggalkannya (tidak melaksanakannya), maka tinggalkanlah.”

Atau dengan redaksi:
فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُجْمِعَ مَعَنَا فَلْيُجْمِعْ وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهِ فَلْيَرْجِعْ
Maka siapa yang akan melaksanakan salat Jum’at bersama kami, datanglah, dan siapa yang akan kembali kepada keluarganya (tidak melaksanakannya), maka kembalilah.”

Berdasarkan teori wadh’i, sabda Nabi di atas—dengan variasi kalimatnya— dikategorikan hukum rukhsah, karena menjadikan keadaan khusus (shalat ied di hari Jumat) sebagai sebab berlakunya hukum kebolehan meninggalkan kewajiban shalat Jumat. Ketentuan ini hanya berlaku bagi mukallaf (subjek hukum) wajib Jumat, yaitu laki-laki muslim yang sehat lagi merdeka, baik ketika safar maupun muqim, yang telah melaksanakan shalat ied. Sementara bagi laki-laki dengan kriteria itu apabila ia tidak melakukan shalat ied tetap berlaku hukum azimah (keharusan) atau wajib mu'ayyan (tidak ada pilihan).

Pemahaman demikian itu—hemat kami—sejalan dengan pemahaman Zaid bin Arqam ketika dia menyatakan:
صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمْعَةِ فَقَالَ : مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ
“Beliau shalat ied, kemudian menetapkan rukhsah pada shalat Jumat, yaitu beliau bersabda, ‘siapa yang akan salat Jum’at, maka lakukanlah’.”

Atau dalam redaksi lain:
نَعَمْ صَلَّى الْعِيدَ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ
 “Benar, beliau shalat ied pada awal siang, lalu beliau memberikan rukhsah pada shalat Jumat.”

Atau dalam redaksi lain:
نَعَمْ صَلَّى الْعِيدَ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ فَقَالَ مَنْ شَاءَ أَنْ يُجَمِّعَ فَلْيُجَمِّعْ
“Benar, beliau shalat ied pada awal siang, lalu beliau memberikan rukhsah pada shalat Jumat, beliau bersabda, ‘Siapa yang akan shalat Jumat, maka lakukanlah’.”

Ditinjau dari segi keadaan hukum  asal (keharusan melaksanakan shalat Jumat) sesudah berlaku padanya rukhsah (boleh meninggalkan shalat Jumat), maka dalam metodologi hukum madzhab Hanafiyyah, rukhsah semacam ini dikategorikan rukhsah tarfih (رخصة الترفيه), yaitu rukhsah yang meringankan dari pelaksanaan hukum azimah tetapi hukum azimah berikut dalilnya masih tetap berlaku. Hanya pada waktu itu mukallaf (subjek hukum) wajib Jumat dapat melakukan atau meninggalkannya sebagai keringanan baginya. Artinya, laki-laki dengan kriteria di atas yang wajib Jumat dalam hukum azimah, dibolehkan meninggalkan shalat Jumat apabila telah melaksanakan shalat ied.

Pemahaman ini sesuai dengan sabda Nabi saw.
مَنْ شَاءَ أَنْ يَأْتِيَ الْجُمُعَةَ فَلْيَأْتِهَا وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتَخَلَّفَ فَلْيَتَخَلَّفْ
“Siapa yang akan melaksanakan shalat Jum’at maka datanglah, dan siapa yang akan meninggalkannya (tidak melaksanakannya), maka tinggalkanlah.”

Atau dengan redaksi:
فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُجْمِعَ مَعَنَا فَلْيُجْمِعْ وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهِ فَلْيَرْجِعْ
Maka siapa yang akan melaksanakan salat Jum’at bersama kami, datanglah, dan siapa yang akan kembali kepada keluarganya (tidak melaksanakannya), maka kembalilah.”

Sebagai catatan, dalam sabda Nabi di atas tidak sedikit pun disinggung shalat zhuhur bagi orang yang memilih tidak shalat Jumat. Hal itu dapat dimaklumi, karena waktu itu mukallaf (subjek hukum) wajib Jumat hanya diberikan pilihan antara melakukan shalat Jumat atau meninggalkannya sebagai keringanan baginya, bukan  antara melakukan shalat Jumat atau shalat Zhuhur.

Demikian kiranya metode pemahaman yang digunakan oleh Ibnu Zubair, ketika ia meninggalkan shalat Jumat—dan ia tidak shalat apapun—hingga tiba waktu Ashar, yang insya Allah akan disampaikan pada pembahasan selanjutnya.