Pages

Selasa, 28 Agustus 2012

KEDUDUKAN HADIS AHAD (4-Tamat)

Kehujjahan Hadis Ahad
Dari berbagai penjelasan yang telah disampaikan sebelumnya, kita dapat memahami bahwa pada asalnya sunah yang diterima oleh para sahabat dan generasi sesudahnya pasti berasal dari Rasul. Namun karena kondisi perkembangan isnad, maka pemberitaan sunah “diliputi” oleh dua keadaan; 1. qath’iyyul wurud, yaitu dapat dipastikan datangnya dari  Rasulullah. 2. zhaniyyul wurud, yaitu tidak dapat dipastikan datangnya dari Rasulullah.  Untuk menentukan kepastiannya perlu dilakukan penelitian.
Dengan memperhatikan kedua hal tersebut, hadis Mutawatir dapat dikategorikan qath’iyyul wurud. Sebab cara-cara penerimaan dan pemberitaan yang disampaikan oleh rawi-rawinya memberikan keyakinan bahwa berita itu berasal dari Rasulullah saw. Sedangkan hadis Ahad dikategorikan zhaniyyul wurud. Sebab cara-cara penerimaan dan pemberitaan yang disampaikan oleh rawi-rawinya tidak memberikan keyakinan secara pasti bahwa apa yang diberitakan itu berasal dari Rasulullah saw. Keadaan ini menunjukkan bahwa hadis ahad berada pada posisi yang belum jelas. Karena itu, untuk memastikan kebenarannya harus diteliti terlebih dahulu. Apabila dapat dipastikan berasal dari Rasulullah, maka hadis Ahad tersebut dikategorikan maqbul (hadisnya Shahih dan Hasan) dan keadaanya menjadi qathiyyul wurud. Sedangkan bila dapat dipastikan bukan berasal dari Rasulullah saw., maka hadis Ahad tersebut dikategorikan mardud (hadisnya dha’if). Untuk penelitian inilah diperlukan sejumlah perangkat ilmu yang disebut ilmu hadis.
Dari keterangan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa hadis ahad yang maqbul dapat dijadikan hujah dalam masalah akidah dan hukum, tanpa ada pemilahan.

Adapun orang yang menolak hadis ahad sebagai landasan persoalan akidah, namun menerima dalam persoalan hukum, semata-mata didasarkan argumentasi teoritis sebagai berikut: “hadis ahad menghasilkan zhan (dugaan), sedangkan yang zhanni tidak dapat dijadikan dalil bagi persoalan akidah”. Karena teori ini tidak dibangun di atas landasan dalil syar’I, maka tentu saja menjadi lemah untuk dijadikan sebuah argumentasi dalam penolakan kehujjahan hadis Ahad. Karena itu, argumentasi ini dapat dibantah dari dua aspek:
Pertama, berdasarkan dalil aqli, bahwa sesuatu yang bersifat zhanni tidak sama dengan syak (keraguan). Karena itu, hadis Ahad perlu diteliti sebelum dipastikan kebenarannya dari Rasulullah, bukan karena diragukan namun belum ada kepastian. Apabila dapat dipastikan berasal dari Rasulullah, maka hadis Ahad tersebut keadaanya menjadi qathiyyul wurud.
Kedua, berdasarkan dalil naqli (Alquran dan sunah)
A. Alquran, Allah Swt. berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
"Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu." (QS. Al-Hujuraat, 49: 6)
Ayat ini menunjukkan bahwa seseorang yang sudah jelas dalilnya, apabila ia membawa khabar apapun maka hujjah itu tegak bersamanya ketika itu juga.

B. As-Sunnah
a. antara lain Imam Al-Bukhari dalam Shahiih-nya pada kitaab Akhbarul Ahad telah membuat bab
1)    بَاب بَعْثِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الزُّبَيْرَ طَلِيعَةً وَحْدَهُ
Bab Nabi Saw. mengutus Az-Zubair seorang diri sebagai intelejen untuk mengawasi keadaan musuh.
2) بَاب مَا كَانَ يَبْعَثُ النَّبِيُّ (صلعم) مِنَ الْأُمَرَاءِ وَالرُّسُلِ وَاحِدًا بَعْدَ وَاحِدٍ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ بَعَثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دِحْيَةَ الْكَلْبِيَّ بِكِتَابِهِ إِلَى عَظِيمِ بُصْرَى أَنْ يَدْفَعَهُ إِلَى قَيْصَرَ
Bab para komandan dan delegasi yang diutus oleh Nabi saw. seorang demi seorang. Dan Ibnu Abbas berkata, “Nabi Saw. mengutus Dihyah Al-Kalbi untuk mengirimkan surat kepada pembesar Bushra agar disampaikannya kepada kaisar.”

Keterangan di atas menunjukkan bahwa jumlah orang yang diutus oleh Nabi tidak mencapai kategori mutawatir. Sekiranya penjelasan tentang agama, baik akidah  maupun hukum, harus berlandaskan berita mutawatir, pasti umat Islam ataupun umat di luar Islam tidak dibenarkan menerima dakwah dari utusan Rasul yang ahad (perorangan).

b. Rasul bersabda:
نَضَّرَ اللَّهُ امْرَأً سَمِعَ مِنَّا حَدِيثًا فَحَفِظَهُ حَتَّى يُبَلِّغَهُ غَيْرَهُ فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيهٍ
"Allah akan memperindah seseorang yang mendengar suatu hadis dari kami, lalu dia menghafalnya sehingga dia menyampaikannya kepada yang lainnya. Maka bisa jadi orang yang mengusung fiqih menyampaikan kepada orang yang lebih faqih darinya, dan bisa jadi orang yang mengusung fiqih tidak termasuk orang yang faqih." (HR. At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, juz 5: 33, No. hadis 2656)

Pada hadis di atas Nabi Saw. tidak memilah-milah antara hadis yang berkaitan dengan akidah maupun hukum, selain itu Nabi pun tidak mensyaratkan orang yang menyampaikan hadisnya itu secara kuantitatif, baik dalam kategori mutawatir maupun ahad. Dengan demikian, hadis yang  disampaikan seseorang itu menjadi hujjah yang wajib dipakai oleh umatnya, baik berkaitan dengan akidah maupun hukum.

Dengan demikian, orang-orang yang mengatakan bahwa hadis Ahad tidak dapat dijadikan landasan ketetapan aqidah, namun menerimanya dalam ketetapan hukum, pada hakikatnya telah membeda-bedakan antara akidah dan hukum. Maka pemilahan ini merupakan sikap yang menyalahi firman Allah Swt.:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukminah apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." (QS. Al-Ahzab, 33: 36)

Sumber: Ust Amin Mukhtar

Tidak ada komentar: