Keempat, Masharif (Sasaran) Zakat
Menurut Al-Quran, sasaran zakat atau yang lebih populer dengan sebutan mustahik (yang berhak menerima zakat) ada 8 ashnaf (golongan). Hal itu sebagaimana difirmankan Allah Swt:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنْ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk
jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai
suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.” QS. At-Taubah:60
Menurut Imam al-‘Aini, “Kata shadaqaat pada ayat di atas maksudnya zakat.” [1] Sementara menurut Syekh ‘Athiyyah Muhammad Salim, “Pada ayat di atas menggunakan kata shadaqaat (bentuk jamak), bukan shadaqah
(bentuk tunggal) karena dihubungkan kepada ragam harta yang wajib
dizakati, seperti zakat ternak, uang simpanan, dan perdagangan.” [2]
Petunjuk Ayat
Bila ayat di atas kita perhatikan secara seksama, setidaknya ada dua aspek yang perlu digaris bawahi; Pertama, kriteria ashnaf itu sendiri. Kedua, gaya bahasa (ushlub) Al-Quran dalam mengungkap sasaran zakat.
Pertama, Kriteria Ashnaf
kriteria ke-8 ashnaf itu dapat diterangkan secara sederhana sebagai berikut:
- Fuqara (Fakir)
- Masakin (Miskin)
- Amilin
- Mu’allaf
a. orang kafir yang ada harapan masuk Islam
b. orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah
- Riqab
- Gharimin
- Sabilillah
- Ibnu Sabil
Kedua, Ushlub (Gaya Bahasa) Al-Quran
Dalam mengungkap sasaran (masharif) zakat di atas Al-Quran menggunakan ushlub (gaya bahasa) sastra yang bernilai tinggi, yaitu pada ayat di atas terdapat dua huruf yang masing-masing mengiringi empat ashnaf pertama dan empat ashnaf kedua. ashnaf pertama diiringi huruf laam (li) dan ashnaf kedua diiringi huruf fie. Huruf laam mengiringi kalimat:
لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ
al-fuqaraa, al- masaakiin, al-’amiliin, dan al-muallaf quluubuhum, sebagai empat ashnaf pertama.Sedangkan huruf fie mengiringi kalimat:
وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ
ar-riqaab, al-ghaarimiin, sabiilillaah, dan ibnus sabiil, sebagai empat ashnaf kedua.
Penempatan kedua huruf tersebut (li dan fii) tentunya bukan suatu kebetulan, tetapi pasti mengandung nuktah
(rahasia halus) yang harus dikaji secara mendalam. Dan menurut hemat
kami, penempatan kedua huruf tersebut mengandung arti bahwa empat ashnaf pertama adalah para pemilik dari zakat tersebut, dalam arti mereka berhak mendapat bagian untuk dirinya sendiri.
Sementara empat ashnaf kedua mereka berhak menerima zakat untuk kemaslahatan yang berkaitan erat dengan “acara” mereka. Seperti al-ghaarimuun
(orang yang berhutang), mereka mendapat bagian dari zakat bukan untuk
dimiliki secara pribadi, tetapi untuk diserahkan kepada orang yang
menghutangkannya, sehingga mereka terbebas dari hutang itu. Demikian
pula dengan fie sabiilillaah, mereka mendapat
bagian dari zakat bukan semata-mata kepentingan pribadinya melainkan
tugas dan tanggung jawab dalam mengemban amanah Islam, yaitu untuk
memelihara berlakunya kebenaran (al-haq), kebaikan, dan kesempurnaan akhlak. Dengan perkataan lain, untuk menegakkan agama Islam.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa secara garis besar sasaran zakat itu terbagi menjadi dua bagian:
Bagian pertama, terdiri atas orang-orang yang berhak menerima zakat untuk dirinya sendiri, yaitu al-fuqaraa, al- masaakiin, al-’amiliin, dan al-muallaf quluubuhum. Sedangkan bagian kedua
terdiri atas orang-orang yang berhak menerima zakat bukan semata-mata
kepentingan pribadi melainkan untuk kemaslahatan “acara” mereka, yaitu ar-riqaab, al-ghaarimiin, sabiilillaah, dan ibnus sabiil.
Lebih jauh Imam az-Zamakhsyari berpandangan bahwa perpindahan dari huruf “li” pada empat ashnaf pertama kepada “fie” pada empat ashnaf
kedua mengandung rahasia, yaitu untuk memberitahukan bahwa empat
golongan kedua ini lebih layak untuk diprioritaskan daripada empat
golongan pertama, sebab “fie” merupakan wadah untuk menampung,
yang dengan itu Allah mengingatkan bahwa mereka lebih berhak atasnya dan
menjadikannya sebagai tempat harapan untuk mewujudkan kemaslahatan kaum
muslimin secara umum. [3]
Masalah sasaran zakat telah selesai kita bahas. Masih ada masalah
yang mesti kita kaji, yaitu wajibkah amil mendistribusikan zakat atau
muzakki (wajib zakat) menyerahkan zakat kepada semua ashnaf yang delapan, dan menyamaratakan prosentase zakat yang dibagikan di antara mereka?
Hemat kami, semua harta zakat boleh diberikan kepada sebagian sasaran
tertentu saja untuk mewujudkan kemaslahatan yang sesuai dengan syariat.
Di samping itu tidak ada kewajiban untuk menyamaratakan pemberian
tersebut kepada individu yang diberinya, tapi boleh melebihkan
prosentase bagian yang satu dengan yang lainya sesuai dengan kebutuhan,
karena kebutuhan itu berbeda antara yang satu dan yang lainya. Adapun
landasan syariatnya adalah sebagai berikut :
Pertama, dari Hudzaifah, tentang firman Allah Swt.:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا…
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat..” ia berkata:
إِنْ شِئْتَ جَعَلْتَهُ فِي صِنْفٍ وَاحِدٍ ، أَوْ صِنْفَيْنٍ ، أَوْ لِثَلاَثَةٍ
“Apabila engkau mau, tempatkanlah (salurkanlah) pada satu, dua, atau tiga ashnaf.”HR. Ath-Thabari. [4]
Dalam riwayat lain, ia berkata:
إِذَا وَضَعْتَهَا فِي صِنْفٍ وَاحِدٍ أَجْزَأَ عَنْكَ.
“Apabila engkau menyalurkan zakat pada satu ashnaf (sasaran) saja, maka hal itu cukup bagimu.” HR. Ath-Thabari. [5]
Kedua, Ibnu Abas berkata,
إِذَا وَضَعْتَهَا فِي صِنْفٍ وَاحِدٍ مِنْ
هَذِهِ الْأَصْنَافِ فَحَسْبُكَ إِنَّمَا قَالَ : إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ
لِلْفُقَرَاءِ ، وَكَذَا وَكَذَا لِأَنْ لاَ تَجْعَلَهَا فِيْ غَيْرِ هذِهِ
الأَصْنَافِ
“Apabila engkau menyalurkan zakat pada satu sasaran dari
sasaran-sasaran zakat (8 ashnaf), maka hal itu cukup bagimu. sedangkan
Firman Allah: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk para fakir,
demikian, dan demikian,” tiada lain maksudnya agar zakat itu jangan disalurkan kepada yang selain sasaran tersebut.” HR. Abdurrazaq dan Abu Ubaid al-Qasim bin Salam. [6]
Ketiga, pendapat di atas juga menjadi pegangan Umar bin Khatab, Sa’id bin jabir, ‘Atha, Abul ‘Aliyyah, dan Ibrahim an-Nakha’i. [7]
Keempat, Abu Tsaur berkata, “menurut pendapat kami,
permasalahan pembagian zakat, tidaklah ada, kecuali berdasarkan ijtihad
penguasa, maka mana di antara sasaran itu yang menurut penguasa lebih
banyak jumlahnya dan lebih membutuhkan, itulah yang harus diutamakan.
Dan mudah-mudahan dari tahun ke tahun zakat itu berpindah dari satu
sasaran kepada sasaran lain. Sasaran yang lebih membutuhkan dan lebih
banyak jumlahnya, senantiasa harus didahulukan dimanapun mereka berada.”
[8]
Kelima, kebolehan memberikan zakat pada seorang
mustahiq dari satu sasaran tidak ada bantahan dan tidak pula termasuk
syubhat. Adapun penyebutan 8 ashnaf di dalam Al-Qur’an, menurut
ath-Thabari, hanya sebagai pemberitahuan agar zakat tidak disalurkan
kepada pihak lain di luar yang 8 ashnaf itu, bukan mengharuskan dibagi
rata pada 8 ashnaf. [9]
Jika muncul pertanyaan, bukankah terdapat hadis yang membatasi
mustahiq zakat fitrah itu khusus untuk orang miskin? Jawabnya, hadis
yang dimaksud adalah sebagai berikut:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ
وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi yang saum dari ucapan sia-sia dan kotor dan sebagai makanan bagi orang miskin.” HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ad-Daraquthni. [10]
Hemat kami, hadis ini tidak tepat bila digunakan sebagai dalil yang mengecualian atau mengkhususkan (mukhashshis) bahwa zakat fitrah itu hanya untuk mustahiq miskin. Karena ungkapan Thu’matan lil masaakiin (sebagai makanan bagi orang miskin) dalam struktur kalimat di atas fungsinya bukan bayaan lit takhsiis (keterangan pengkhusus), melainkan bayaan lit tanshiish (keterangan penegas/prioritas) sesuai dengan situasi dan kondisi mustahiq di suatu daerah tertentu.
Pemahaman demikian merujuk kepada keterangan Nabi saw. pada lanjutan hadis itu:
مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ
زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ
مِنَ الصَّدَقَاتِ
Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat maka zakat fitrah itu
zakat yang diterima, dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat, maka
zakat fitrah termasuk shadaqah biasa.”
Di sini Nabi saw. menyatakan zakat fitrah termasuk bagian dari zakat
yang sudah dimaklumi. Ini menunjukkan bahwa mustahiq zakat fitrah sama
dengan mustahiq jenis zakat lainnya.
Gaya bahasa tanshiish (keterangan penegas/prioritas) digunakan pula oleh Nabi saw. ketika menetapkan kewajiban zakat harta (maal), sebagaimana diamanatkan pada Mu’adz bin Jabal. Kata Nabi saw.:
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ
عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ
وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
“Maka beritahu mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka zakat dalam harta mereka yang diambil dari orang kaya di antara mereka dan disalurkan kepada orang fakir di antara mereka.” HR. Al-Bukhari. [11]
Keterangan Nabi di atas tidak berarti membatasi mustahiq zakat maal
itu khusus untuk fakir, sehingga tidak berlaku untuk orang miskin dan
mustahiq lainnya.
Selain dengan hadis di atas, orang yang pendapat bahwa mustahiq zakat
fitrah itu khusus untuk orang miskin menggunakan pula hadis berikut
ini:
أَغْنُوْهُمْ عَنِ الطَّوَافِ فِي هَذَا الْيَوْمِ
“Cegahlah mereka agar tidak keliling (untuk minta-minta) pada hari ini.” HR. Ad-Daraquthni dan Ibnu ‘Addiy dengan sedikit perbedaan redaksi. [12]
Menurut para ahli hadis, hadis ini statusnya dha’if. Karena pada pada sanadnya terdapat rawi Abu Ma’syar Najiih. [13] Kata Imam Al-Bukhari, “Dia Munkar Al-Hadiits.” [14]
Dengan demikian, hadis ini tidak dapat dijadikan hujjah pengkhususan zakat fitrah untuk orang miskin.
Perlu disampaikan pula di sini bahwa selain tidak membatasi mustahiq
tertentu, Nabi saw. juga tidak membatasi prosentase hak ashnaf. Dalam
hal ini Ibnu Qudamah menjelaskan:
وَإِنْ اجْتَمَعَ فِي وَاحِدٍ أَسْبَابٌ
تَقْتَضِي الْأَخْذَ بِهَا ، جَازَ أَنْ يُعْطَى بِهَا ، فَالْعَامِلُ
الْفَقِيرُ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ عِمَالَتَهُ ، فَإِنْ لَمْ تُغْنِهِ فَلَهُ
أَنْ يَأْخُذَ مَا يَتِمُّ بِهِ غِنَاهُ ، فَإِنْ كَانَ غَازِيًا فَلَهُ
أَخْذُ مَا يَكْفِيه لِغَزْوِهِ ، وَإِنْ كَانَ غَارِمًا أَخَذَ مَا
يَقْضِي بِهِ غُرْمَهُ ؛ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ الْأَسْبَابِ
يَثْبُتُ حُكْمُهُ بِانْفِرَادِهِ ، فَوُجُودُ غَيْرِهِ لَا يَمْنَعُ
ثُبُوتَ حُكْمِهِ
“Dan jika pada salah satu terkumpul beberapa sebab yang
menghendaki (melegitimasi) pengambilan zakat berdasarkan sebab itu, maka
ia boleh diberi berdasarkan sebab itu. Misalkan amil yang faqir, ia
punya hak mengambil bagian zakatnya. Jika tidak dapat menutupi
kefakirannya, ia berhak mengambil pula untuk dapat memenuhi keperluannya
itu (sebagai hak faqir). Maka jika dia sebagai prajurit (fi
sabilillah), ia punya hak mengambil bagian zakat untuk keperluan
perangnya. Dan jika dia seorang gharim ia punya hak mengambil bagian
zakat untuk melunasi hutangnya. Karena tiap-tiap sebab itu ditetapkan
hukumnya berdasarkan sebab masing-masing (bukan karena sama orangnya,
tapi karena beda sebabnya). Adanya satu sebab tidak menghalangi tetapnya
hukum atas sebab yang lain.” [15]
Berbagai penjelasan di atas semoga dapat dijadikan pedoman, baik
untuk muzakki (wajib zakat) maupun ‘amil (pengurus zakat), sehingga
zakat yang disalurkan tidak salah sasaran dan lebih berdaya guna.
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
[1] Lihat, Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, VIII:238.
[2] Lihat, Syarh Bulugh al-Maram, II:383.
[3] Lihat, Al-Kasysyaaf ‘an Haqa’iq at-Tanziil wa ‘Uyun al-Aqawil fii Wujuh at-Ta’wil, II: 270.
[4] Lihat, Tafsir Ath-Thabari, VI : 404.
[5] Ibid.
[6] Lihat, HR. Abdurrazaq, Mushannaf Abdurrazaq, IV: 106, No. Hadis 7137; Abu Ubaid, Kitaab al-Amwaal, hlm. 688, No. Hadis 1839.
[7] Ibid.
[8] Lihat, Fiqh az-Zakaah, Dr. Yusuf Al-Qardhawi, hal. 667.
[9] Ibid.
[10] Lihat, HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:585, No. Hadis 1609; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:585, No. Hadis 1827; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:138, No. Hadis 1.
[11] Lihat, Shahih Al-Bukhari, II: 505, No. Hadis 1331
[12] Lihat, HR. Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II: 152, No. Hadis 67, Ibnu ‘Addiy, Al-Kamil fii Dhu’afaa ar-Rijal, VII: 55.
[13] Lihat, penjelasan Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Bulugh Al-Maraam Min Jam’I Adillah Al-Ahkaam, hlm. 131; Abdullah al-Ghassaniy dalam Takhrij al-Ahadits adh-Dhi’af Min Sunan ad-Daraquthni, hlm. 231
[14]Lihat, Al-Muhalla bi al-Atsar, II:432, Nashb Ar-Raayah Fii Takhriij Ahaadits Al-Hidaayah, IV:364.
[15]Lihat, al-Mughni, V:223.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar