Dari berbagai keterangan terdahulu dapat diambil suatu
kesimpulan historis kronologis bahwa pada awalnya Ahlul Haq dinamai
Ahlus Sunnah. Penamaan ini sebagai manifestasi kesetiaan mereka
mengikuti manhaj Alquran dan sunah dalam segala dimensinya, baik akidah,
ibadah, maupun suluk (akhlak). Di samping itu sebagai antitesis atas
gerakan inkar sunnah. Kemudian setelah munculnya Ahlul Ahwa` wal Bida',
pada nama itu disematkan pula al-Jama'ah (Ahlus Sunnah wal Jama'ah).
Mereka
dinamai pula Ahlul Hadits, Ashabul Hadits, atau Ahlul Atsar. Penamaan
itu sebagai antitesis atas Ahlul Kalam yang menganggap bahwa akal harus
didahulukan atas hadis Rasul dalam bidang akidah. Sedangkan penamaan
as-Salaf as-Shalih untuk menunjuk suatu komunitas ideal pada sebuah masa
terbaik yang pernah ada di muka bumi ini.
Berbagai nama itu telah dipergunakan sejak masa sahabat hingga puncak masa keemasan Islam (al-‘Ashr adz-Dzahabiy)
pada abad ke-3 H/ke-9 M. Sedangkan istilah as-Salafiyyah dan as-Salafiy
mulai diperkenalkan pada abad ke-4 H/ke-10 M, oleh sebagian dari
Hanabilah (pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal). Popularitas berbagai
nama itu tidak sama tergantung trend atau seiring dengan perkembangan
tantangan yang dihadapi dalam sejarah perjalanannya. Misalnya nama Ahlus
Sunnah wal Jam'aah menemukan momentum popularitasnya justru pada masa
Khalifah al-Mutawakkil dari dinasti Abasiyyah (233-247 H/847-861 M),
ketika terjadi pergulatan pemikiran yang tajam antara firqah-fiqah
kalamiyah mengenai masalah-masalah ushuludin, khususnya Alquran makhluk,
dan amalan bid'ah mendominasi masyarakat Islam. Waktu itu Ahlus Sunnah
wal Jam'aah populer di tangan Imam Ahmad, Imam al-Asy'ari dan Imam
al-Maturidi. Meskipun sempat mengalami reduksi dan transmisi dari
istilah umum untuk semua kaum muslimin yang mengikuti tuntunan Nabi saw.
dan para Sahabat, menjadi istilah khas, yaitu hanya dibatasi untuk
mazhab tertentu dalam akidah, fikih dan siyâsah.
Klaim
seperti ini bisa terjadi, karena masing-masing membangun klaim dengan
pijakan dan paradigma yang berbeda. Satu pihak menganggap Ahlus Sunnah
wal Jama'ah sebagai mazhab tertentu sehingga siapa saja yang tidak
mengikuti mazhab tersebut dianggap bukan Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Pihak
lain menganggap Ahlus Sunnah wal Jama'ah bukan sebagai mazhab tertentu,
tetapi sebagai tuntunan Nabi saw. yang harus diikuti, sehingga siapa
saja yang menyimpang dari tuntunan tersebut disebut Ahlul Bid‘ah, bukan
Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Dengan kata lain, Ahlus Sunnah wal Jama'ah
menurut Ahlul Hadits adalah istilah umum, bukan khusus untuk mazhab
tertentu. Sebaliknya, menurut Ahlul Kalam, Ahlus Sunnah wal Jama'ah
adalah istilah khas, yang merujuk pada mazhab tertentu.
Dalam teori usul fikih, istilah tersebut dapat dikategorikan sebagai haqîqah ‘urfiyyah (makna hakiki menurut konvensi). Ada yang khâshash, atau konvensi tertentu, seperti konvensi Ahli Kalam, sehingga istilah tersebut disebut haqîqah ‘urfiyyah khâshah ‘inda al-mutakallimîn. Namun, ada juga yang bersifat ‘âmmah, atau konvensi umum, sehingga bisa disebut haqîqah ‘urfiyyah ‘âmmah. Berdasarkan teori ini dapat disimpulkan, bahwa Ahlul Kalam menggunakan istilah tersebut dalam konteks haqîqah ‘urfiyyah khâshah, sementara Ahlul Hadits menggunakannya dalam konteks haqîqah ‘urfiyyah ‘âmmah.
Setelah
mengalami kemajuan yang sangat pesat, bahkan mampu mendominasi alam
pikiran dunia Islam. Popularitas nama Ahlus Sunnah wal Jama'ah mulai
menurun ketika mengalami pencemaran dalam masalah aqidah akibat ulah
sebagian asy'ariyyah dan maturidiyah (penganut kedua madzhab tersebut)
dalam mengajarkan akidah yang diselubungi khurafat dan faham kesufian.
Di samping itu, pada masa ini terjadi kemunduran dan degenerasi umat
Islam. Dikatakan masa kemunduran karena umat Islam sangat mundur dalam
berbagai bidang, baik keagamaan, politik, sosial, ekonomi, maupun moral.
Sementara itu, masyarakat muslim banyak menjadi penyembah kuburan nabi,
ulama, tokoh-tokoh tarekat, dan sufi untuk mengharapkan berkat anbia
(para nabi) dan aulia (para wali). Mereka sudah meninggalkan Alquran dan
sunnah Rasul, melakukan perbuatan syirik dan bid'ah di samping percaya
pada khurafat dan takhayul.
Dalam situasi seperti itulah
muncul ulama yang ingin membangun alam fikiran kaum muslimin dengan
menyadarkan mereka agar kembali pada Alquran dan sunnah sebagaimana yang
telah ditempuh Ahlus Sunnah wal jama'ah. Gerakan ini dicetuskan pada
abad ke-8. H/ke-14 M oleh Syekh Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul
Qayyim. Beliau menganjurkan umat Islam agar mengikuti dan menerapkan
ajaran salaf dalam kehidupan agamanya karena pola hidup ajaran salaf
adalah pola hidup yang sudah terbentuk oleh Alquran dan sunnah
Rasulullah saw.
Sifat gerakan ini tampak sekali dalam berbagai
bidang kehidupan, baik berkaitan dengan akidah, ibadah, maupun
mu'amalah. Ajaran yang paling menonjol dalam gerakan ini adalah: pintu
ijtihad tetap terbuka sepanjang masa; taklid buta tanpa mengetahui
sumbernya diharamkan; diperlukan kehati-hatian dalam berijtihad dan
berfatwa; perdebatan teologis (kalamiah) seperti muktazilah, jahmiyyah,
dan lainnya dihindarkan.
Dalam membangun gerakan ini
beliau bukan saja berupaya menghidupkan kembali ajaran salaf, tapi juga
lebih mempopulerkan nama as-Salafus Shaleh dan Thariqah Salafiyyah.
Demikian besarnya penekanan dan perhatian beliau pada ajaran Salaf,
sehingga tidak mengherankan jika dalam tulisan-tulisannya kita menemukan
istilah itu diungkap ratusan kali. Misalnya kata salafiyyah dalam kitab
Majmu' al-Fatawa disebut sebanyak 12 kali; al-Fatawa al-Kubra 2 kali; Darut Ta'arudh Bainal 'Aqli wan Naqli 8 kali; Iqtidha Shirathil Mustaqim 1 kali; Daqaiqiut Tafsir 2 kali; As-Shadafiyah 1 kali; Bayan Talbisil Jahmiyyah
1 kali. Sedangkan kata as-Salaf as-Shalih disebut sebanyak 31 kali yang
tersebar di berbagai karya tersebut. Ungkapan yang melimpah seperti ini
tidak kami temukan pada karya-karya ulama yang hidup sebelum Ibnu
Taimiyyah. Karena itu tidak berlebihan kiranya bila diambil kesimpulan
bahwa di tangan Ibnu Taimiyyah-lah istilah as-Salaf as-Shaleh dan
Salafiyyah menemukan momentum popularitasnya.
Pemikiran-pemikiran
Ibnu Taimiyah menjadi embrio dari gerakan salafiyyah di zaman modern
lewat tangan pembaharu salafiyyah di Jazirah Arab Syekh Muhammad bin
Abdul Wahhab (w. 1201 H/1787 M), yang muncul pada abad ke-12 H/ke-17 M,
sekitar 3 abad setelah wafatnya Ibnu Taimiyah.
Pemikiran
yang dicetuskan oleh Ibnu Abdul Wahhab untuk memperbaiki kedudukan umat
Islam timbul sebagai reaksi terhadap paham tauhid yang terdapat di
kalangan umat Islam waktu itu. Gerakan Ibn Abdul Wahhab didorong oleh
keinginan untuk memurnikan ajaran Islam, khususnya di bidang tauhid,
yang merupakan pokok ajaran Islam. Ia tidak berhasrat untuk mengubah
ajaran Islam atau mengadakan penafsiran baru tentang wahyu, melainkan
membawa misi pemberantasan unsur-unsur luar (bid’ah dan khurafat) yang
masuk ke dalam ajaran Islam serta mengajak umat Islam untuk kembali
kepada bentuk ajaran Islam yang murni. Yang di maksud dengan ajaran
Islam yang murni itu ialah Islam yang dianut dan di praktikkan pada
zaman Nabi Muhammad saw, para sahabat serta tabiin (sampai abad ke-3 H).
Sejalan dengan misi yang di bawanya, pemikiran Ibnu Abdul Wahhab hampir
seluruhnya bertemakan pemurnian tauhid.
Sumber: Ust Amin Mukhtar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar