Setelah Rasulullah saw. wafat, wasiat Rasul itu dipegang teguh
oleh para sahabatnya dengan cara memberikan perhatian terhadap
sunah-sunah Nabi dan berusaha keras untuk memperolehnya sebagaimana
sikap mereka terhadap Alquran. Mereka menghafalkan lafaz-lafaz hadis
atau maknanya, memahami dan mengetahui maksud tujuannya berdasarkan
petunjuk-petunjuk dari Rasul yang mereka dengar, perbuatan dan
persetujuannya yang mereka saksikan, dan berdasarkan pengetahuan mereka
mengenai situasi dan kondisi yang melatarbelakangi diucapkannya
hadis-hadis itu. Dan, hadis-hadis yang sulit dipahami atau tidak
diketahui maksudnya, mereka tanyakan langsung kepada sahabat yang lebih
kompeten di bidang itu.
Catatan:
Di samping
sikap sahabat yang demikian, pada masa itu sebenarnya mulai muncul pula
benih-benih anti sunnah, walaupun masih dalam bentuk personal, belum
menjadi pendapat kelompok dalam sebuah gerakan.
Demikian
tinggi perhatian dan kesungguhan mereka untuk menerima sunah Nabi saw.
hingga mereka bergiliran mendatangi sesama sahabat. Sikap para sahabat
yang demikian itu didasari oleh keyakinan bahwa [1] Rasul tidak
mengucapkan sesuatu atas dasar hawa nafsu atau kemauannya sendiri,
tetapi yang diucapkannya itu wahyu yang diwahyukan kepadanya, [2]
mencintai Rasul harus melebihi kecintaan mereka kepada diri sendiri, [3]
mempelajari sunnahnya akan mendapatkan kenikmatan rohani dan kepuasan
batin. Di samping itu, mereka memperoleh jamuan keimanan dan bekal
ketakwaan, dan mereka memandang bahwa hal tersebut merupakan jalan
menuju surga.
Karena itu tidaklah mengherankan bila kita
dapatkan para sahabat sangat serius dan memberikan perhatian penuh untuk
mendapatkan dan mendengarkan hadis. Dan, kenyataan demikian itu
merupakan aksioma yang tak terbantahkan. Demikian juga mereka berusaha
sungguh-sungguh untuk mengajarkan sunah yang mereka terima, karena
mereka yakin bahwa sunah itu merupakan (ajaran) agama yang wajib
disampaikan kepada tiap generasi.
Untuk itu mereka tidak
henti-hentinya melakukan upaya kaderisasi, sebagaimana telah diwasiatkan
oleh Rasulullah saw. untuk menyambut thulab al-‘ilm (para
santri) dengan baik. Abu Harun al-‘Abdi meriwayatkan, “Apabila kami
mendatangi Abu Sa’id al-Khudriyi, beliau senantiasa menyambut kami
dengan ucapan, ‘Marhaban bi washiyyatir Rasulillah (selamat
datang wasiat Rasul)’ Kami bertanya, ‘Apa wasiat Rasul itu’ Kata Abu
Said, ‘Rasul bersabda kepada kami, ‘Setelah aku meninggal akan datang
kepada kalian suatu generasi yang hendak mempelajari hadis. Karena itu
apabila mereka datang hendaklah kalian bersikap lemah lembut dan
ajarkanlah hadis kepada mereka’.” (Lihat, Al-Muhaddits Al-Fashil, hlm.176)
Dalam riwayat at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan redaksi:
وَإِنَّهُمْ سَيَأْتُونَكُمْ مِنْ أَقْطَارِ الْأَرْضِ يَتَفَقَّهُونَ فِي الدِّينِ فَإِذَا جَاءُوكُمْ فَاسْتَوْصُوا بِهِمْ خَيْرًا
Sesungguhnya
mereka akan datang kepada kalian dari berbagai penjuru bumi untuk
bertafaquhh fid din (memperdalam agama). Karena itu apabila mereka
mendatangi kalian hendaklah kalian menyambut mereka dengan baik. (Lihat, Sunan at-Tirmidzi, V:30; Sunan Ibnu Majah, I:91)
Dalam proses tahdziib
(memelihara) wasiat Rasul itu, para sahabat mengembangkan berbagai
cara, sistem, dan pola pemberdayaan yang beragam. Misalnya Jabir
mempunyai halaqah (majelis ilmu) di mesjid Nabawi, di sana ia
mendiktekan hadis pada murid-muridnya. Muhamad bin al-Hanafiyyah (W. 80
H/699 M), Muhamad bin Ali al-Baqir (W. 114 H/732 M), Wahab bin Munabbih
(W. 114 H/732 M), termasuk murid Jabir yang banyak belajar hadis
darinya. Atau Abu Bakar yang senantiasa berupaya mensuplai bahan makanan
bagi ashabus suffah (para santri penghuni asrama masjid Nabawi). (Lihat, Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu, hlm. 26-27)
Itulah kadar perhatian para sahabat terhadap washiyah Rasul. Mereka berani serta ikhlas mewakafkan dan mehibahkan waktu, tenaga, pikiran, dan harta guna tahdzib washiyah Rasul,
yakni mempersiapkan para kader ulama sebagai generasi penyambung dan
pelanjut perjuangan Rasul, sehingga kaum muslimin tidak kekurangan ahli
sebagai pembimbing mereka dalam mengikuti jejak langkah Rasul.
Karena sikap yang mulia itulah lahir penamaan Ahlus Sunnah bagi
kaum muslimin yang berpegang teguh pada sunnah Rasul. Ibnu Hazm (w. 456
H/1063 M) berkata, “Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang kami sebut
ahlul haq, dan selain mereka adalah ahlul bid’ah. Adapun ahlul haq itu
adalah para sahabat dan setiap orang yang mengikuti jejak mereka, yaitu
para tabi'in, kemudian ahlul hadits dan fuqaha dari generasi ke generasi
sampai masa kita sekarang ini”. (Lihat, al-Fashl fil Milal, II:90)
Sehubungan
dengan itu, Abu Al-Muzhaffar al-Isfarayaini (w. 471 H/1078 M) secara
tegas menyatakan bahwa “Mereka disebut ahlus sunnah karena mengikuti
sunnah Rasulullah saw.” (Lihat, Masalatut Taqrib baina Ahlus Sunnah was Syi’ah, I:26)
Keterangan serupa ditegaskan pula oleh Ibnu Taimiyyah (w. 728 H/1327 M). (Lihat, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, III:157)
Penamaan ini sudah digunakan sebelum terjadinya atau tidak ada keterkaitan dengan kejadian iftiraq (perpecahan umat dan munculnya Ahli bid'ah) pada akhir masa kekhalifahan Usman bin Afan (tahun 35 H/656 M).
Catatan:
Iftiraq
(perpecahan) itu sendiri mulai terjadi setelah Usman bin Affan Ra.
terbunuh. Walaupun pada masa itu belum terjadi perpecahan yang serius.
Namun ketika meletus fitnah di antara kaum muslimin pada masa
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib, barulah muncul kelompok Khawarij dan
Syi'ah. Sementara pada masa kekhalifahan Abu Bakar Ra. dan Umar Ra.,
bahkan pada masa kekhalifahan Usman Ra, belum terjadi sama sekali
perpecahan yang sebenarnya. Selanjutnya, para sahabat justru melakukan
penentangan terhadap perpecahan yang timbul. Janganlah dikira para
sahabat mengabaikan atau tidak tahu menahu tentang fenomena negatif ini.
Dan jangan pula disangka mereka kurang tanggap terhadap masalah
perpecahan ini, baik seputar masalah pemikiran, keyakinan, pendirian
maupun perbuatan. Bahkan mereka tampil terdepan menentang perpecahan
dengan gigih. Mereka telah teruji dengan baik dalam sepak terjang
menghadapi perpecahan tersebut dengan segala tekad dan kekuatan.
Bahwa penamaan ini sudah digunakan sebelum terjadinya atau tidak ada keterkaitan dengan kejadian iftiraq, tercermin pada ucapan sahabat Ibnu Abas sebagai berikut:
النَّظَرُ إِلَى الرَّجُلِ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ يَدْعُوْ إِلَى السُّنَّةِ وَيَنْهَى عَنِ الْبِدْعَةِ
"Memperhatikan seseorang dari Ahlus Sunnah berarti mengajak kepada sunah dan mencegah dari bid'ah" H.r. al-Lalika’i (Lihat, Syarh Ushul I'tiqad Ahlis Sunnah I:29, No. hadis 8)
Demikian pula dalam ucapan para tabi'in antara lain:
Ayyub as-Sakhtiyani (w.131 H/748 M) berkata,
إِنِّيْ أُخْبَرُ بِمَوْتِ الرَّجُلِ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ وَكَأَنِّيْ أَفْقِدُ بَعْضَ أَعْضَائِيْ
"Sesungguhnya
aku telah dikabari wafatnya seseorang dari ahlus sunnah, maka
seakan-akan aku telah kehilangan sebagian anggota tubuhku" (Ibid., I:46,
No. hadis 25)
Dalam kesempatan lain ia menyatakan :
إِنَّ مِنْ سَعَادَةِ الْحَدَثِ وَالأَعْجَمِيِّ أَنْ يُوَفِّقَهُمَا اللهُ لِعَالِمٍ مِنْ أَهْلِ السُّنَّةِ
“Sesungguhnya
di antara kebahagian bagi seorang hadats (pemuda) dan orang non Arab
adalah ketika Allah memberi taufik kepada mereka berdua untuk bertemu
dengan ulama Ahlus Sunnah” (Ibid., I:47, No. 26)
Fudhail bin Iyadh (w. 187 H/802 M) menyatakan:
إِنَّ
للهِ عِبَادًا يُحْيِيْ بِهِمُ الْبِلاَدَ ، وَهُمْ أَصْحَابُ السُّنَّةِ ،
وَمَنْ كَانَ يَعْقِلُ مَا يَدْخُلُ جَوْفَهُ مِنْ حِلِّهِ كَانَ مِنْ
حِزْبِ اللهِ
“Sesungguhnya Allah memiliki para hamba yang melalui
hamba-hamba itu Allah menghidupkan negeri-negeri. Mereka adalah Ashabus
Sunnah dan orang yang mengetahui apa yang masuk ke dalam
kerongkongannya, yaitu makanan halal. Mereka termasuk tentara Allah”
(Ibid., I:67, No. hadis 46)
Maksudnya, tidak memakan yang haram
termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang pernah dilakukan oleh
Nabi saw. dan para shahabat.
Sumber: Ust Amin Mukhtar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar