4. Terhadap Imamah dan Imam
Imamah, Khilafah, dan Imarah
merupakan beberapa istilah yang digunakan untuk menunjuk maksud yang
sama, sebagaimana dikemukakan Muhammad Najib Al-Muthi’iy dalam takmilah kitab al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab karya Imam An-Nawawi (17:517). Demikian pula menurut Syekh Muhammad Rasyid Ridha (Lihat, Al-Khilafah wa Al-Imamah, hlm. 101). Sehubungan dengan itu, Prof. Dr. Wuhbah az-Zuhaili menyatakan:
أَلاِمَامَةُ
الْعُظْمَى أَوِ الْخِلاَفَةُ أَوْ اِمَارَةُ الْمُؤْمِنِيْنَ كُلُّهَا
تُؤَدِّي مَعْنًى وَاحِدًا وَتَدُلُّ عَلَى وَظِيْفَةٍ وَاحِدَةٍ هِيَ
السُّلْطَةُ الْحُكُوْمِيَّةُ اْلعُلْيَا
“Imamah uzhma atau
khilafah atau imaratul mukminin semuanya memberikan satu makna dan
menunjukkan pada satu tugas, yaitu kekuasaan negara yang paling tinggi”.
(Lihat, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, VIII:6144)
Adapun secara definitif para ulama telah memberikan penjelasan sebagai berikut:
Menurut As-Sa’ad at-Taftazani:
الْخِلاَفَةُ رِئَاسَةٌ عَامَّةٌ فِي أَمْرِ الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا خِلاَفَةً عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Al-khilafah adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti (pelanjut) dari Nabi saw.” (Lihat, Al-khilaafah, hlm. 17)
Menurut Imam al-Mawardi:
أَلْاِمَامَةُ مَوْضُوْعَةٌ لِخِلاَفَةِ النُّبُوَّةِ فِي حِرَاسَةِ الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا
“Imamah itu diproyeksikan untuk melanjutkan nubuwwah (kenabian) dalam memelihara agama dan mengatur dunia.“ (Lihat, al-Ahkam al-Sulthaniyyah, hlm. 5)
Ibnu Khaldun memberikan batasan tentang imamah sebagai berikut:
هِيَ
حَمْلُ الْكَافَّةِ عَلَى مُقْتَضَى النَّظْرِ الشَّرْعِيِّ فِي
مَصَالِحِهِمْ الأُخْرَوِيَّةِ وَالدُّنْيَوِيَّةِ الرَّاجِعَةِ اِلَيْهَا
اِذْ أَنَّ أَحْوَالَ الدُّنْيَا تَرْجِعُ كُلُّهَا عِنْدَ الشَّارِعِ
اِلَى اعْتِبَارِهَا بِمَصَالِحِ الآخِرَةِ فَهِيَ { أَيْ الَخِلاَفَةُ }
فِي الْحَقِيْقَةِ خِلاَفَةٌ عَنْ صَاحِبِ الشَّرْعِ فِي حِرَاسَةِ
الدِّيْنِ وَسِيَاسَةِ الدُّنْيَا بِهِ
“Yaitu mengemban tugas
secara menyeluruh atas dasar tuntutan pandangan syar’i dalam
(mewujudkan) kemaslahatan mereka baik secara ukhrawi maupun duniawi yang
kembali padanya, karena menurut syari’ sesungguhnya masalah-masalah
dunia akan kembali seluruhnya kepada pertimbangan kemaslahatan akhirat,
maka dia itu pada hakikatnya merupakan khilafah dari shahibu syari’
(pemilik syariat) dalam memelihara agama dan mengurus dunia.” (Lihat, Muqaddimah Ibnu Khaldun, hlm. 190)
Dengan demikian, dilihat dari aspek makna substantif (hakiki) istilah imamah, khilafah, dan imarah memiliki maksud yang sama, yaitu pemegang sulthah (kekuasaan) dalam hirasatud din wa siyasatud dunya (melindungi agama dan mengatur dunia), meskipun istilah khilafah dan imamah lebih populer pemakaiannya dalam berbagai maraji’ (referensi) ulama fiqih daripada istilah imarah.
Sedangkan dilihat dari perkembangan arti kata imamah
mengalami perkembangan dari arti asli yaitu “kepemimpinan” kepada arti
lain yaitu pemerintahan. Perkembangan ini juga tidak lepas dari
penyebutan istilah-istilah itu dalam sejarah bagi seseorang atau
kelompok orang yang melaksanakan wewenang dalam hal mengurus kepentingan
masyarakat. Dalam sejarah Islam, istilah-istilah itu muncul sebagai
sebutan bagi lembaga politik untuk menggantikan fungsi kenabian dalam
urusan agama dan urusan politik.
Ahlus Sunnah berpendapat
bahwa menegakkan imamah adalah fardhu kifayah, yaitu umat secara
keseluruhan memiliki tanggung jawab untuk menunaikannya, meskipun sudah
cukup dalam penunaian ini adanya sebagian umat yang telah mewakili.
serta kewajiban kaum muslimin untuk merealisasikannya.
Ibnu Hazm
mengatakan, “Semua Ahlus sunnah, murjiah, syi’ah, dan khawarij
menyetujui atas wajibnya imamah. Umat wajib menaati imam yang adil yang
menegakkan pada mereka hukum-hukum Allah dan mengaturnya dengan
hukum-hukum syari’at yang dibawa oleh Rasulullah saw. “ (Lihat, Al-Fashl fii Al-Milal wa Al-Ahwa` wa An-Nihal, IV:87)
Ibnu
Taimiyyah mengatakan, ”Wajib diketahui bahwasanya mengatur urusan
manusia adalah di antara kewajiban agama terbesar, bahkan agama tidak
dapat ditegakkan kecuali dengan hal itu, karena sesungguhnya manusia
tidak dapat sempurna kemaslahatan mereka kecuali dengan hidup bersosial
untuk memenuhi kebutuhan sebagian yang satu dengan yang lain, dan dalam
kehidupan bersosial mereka mesti ada pemimpinnya, sehingga Nabi
bersabda, ‘Apabila tiga orang pergi dalam sebuah perjalanan, maka
angkatlah salah seorang di antara mereka menjadi pemimpin.’ (Lihat, I’tiqad Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah, hlm. 19)
Pembahasan lebih lengkap, lihat Al-Ahkam Ash-Shulthaniyyah karya Imam Al-Mawardi, hlm 5, dan Abu Ya’la, hlm. 19; Al-Fashl fii Al-Milal wa Al-Ahwa` wa An-Nihal,
IV:87; As-Siyasah As-Syar’iyyah karya Ibnu Taimiyyah, hlm. 161;
Muqaddimah Ibnu Khaldun, hlm. 191; dan Bada`I’ As-Salk karya Ibnu Azraq,
I:71
Kaum Syiah pun termasuk yang mewajibkan, namun
mereka punya pemahaman khusus dalam konotasi wajibnya, yaitu mereka
tidak melihat bahwa imamah wajib bagi umat, tetapi mengatakan imamah
wajib bagi Allah. Artinya, Allah yang berkewajiban mengangkat imam
sebagai mandataris-Nya di bumi. Karena itu, mempercayai imam yang
diangkat oleh Allah adalah wajib hukumnya. (Lihat, Maqaalat fii At-Tasyayyu’, XXII:10)
Karena itu pandangan mereka berbeda dengan Ahlu Sunnah, sebagai berikut:
- Ahlus sunnah berpendapat bahwa imam adalah manusia biasa dan dapat berasal dari mana saja selama sesuai dengan ketentuan syari’. Imam tidak luput dari kesalahan atau kekhilafahan (tidak ma’shum). Hal ini berbeda dengan keyakinan syiah bahwa imam harus ma’shum karena mereka menganggap imam sama kedudukannya dengan nabi bahkan dalam satu riwayat malah lebih tinggi dari nabi.
- Ahlus sunnah berpendapat bahwa imam adalah pemimpin yang dipilih oleh umat (muktasab) untuk kemaslahatan umum dengan tujuan menjamin dan melindungi dakwah serta kepentingan umat. Menegakkan imamah termasuk masalah furu’ bukan ushul (rukun agama). (Lihat, Khulashah ‘ilm Al-Kalam, hlm. 1-2)
Hal ini berbeda dengan keyakinan syiah
- Mereka berkeyakinan bahwa imamah adalah salah satu syarat mutlaq dari keimanan seorang muslim. Imamah adalah bagian dari pokok aqidah Syiah Itsna ‘asyariyah bukan merupakan cabang ajarannya.
- Mereka berkeyakinan bahwa seorang imam harus ditunjuk oleh Allah atau Rasul-Nya. Hal itu berangkat dari keyakinan mereka bahwa yang berhak mengangkat seorang imam adalah Allah, maka seorang imam harus mendapat mandat secara langsung dari Allah atau dari utusan Allah.
Dengan demikian tampak jelas bahwa Syiah menyamakan posisi imam dengan nabi dan rasul. Keduanya sama-sama bersifat ikhtiyari bukan muktasab.
Artinya bahwa seorang yang sudah dikehendaki oleh Allah untuk menjadi
seorang imam maka secara otomatis ia akan mempunyai kesiapan mental dan
ruhani yang diberikan oleh Allah. Hal juga berarti bahwa seorang yang
sudah memenuhi syarat untuk menjadi seorang imam tidak akan pernah bisa
menjadi imam selama ia tidak mempunyai surat mandataris dari Allah yang
diberikan melalui Rasul-Nya. (Lihat, Ar-Arba’in fii Ushul Ad-Din, hlm. 426-429)
5. Terhadap Ahlul Bait
Ahlul
Bait dalam pandangan Ahlus Sunnah adalah kerabat dan istri-istri Nabi.
Hal ini berdasarkan beberapa hadis, antara lain riwayat Muslim dari
sahabat Zaid bin Arqam. Dalam hadis itu dinyatakan istri-istrinya,
keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, keluarga Al-Abbas. Adapun
hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Dari Yazid bin Hayyan, dia berkata:
انْطَلَقْتُ
أَنَا وَحُصَيْنُ بْنُ سَبْرَةَ وَعُمَرُ بْنُ مُسْلِمٍ إِلَى زَيْدِ بْنِ
أَرْقَمَ فَلَمَّا جَلَسْنَا إِلَيْهِ قَالَ لَهُ حُصَيْنٌ لَقَدْ لَقِيتَ
يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا رَأَيْتَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- وَسَمِعْتَ حَدِيثَهُ وَغَزَوْتَ مَعَهُ وَصَلَّيْتَ خَلْفَهُ لَقَدْ
لَقِيتَ يَا زَيْدُ خَيْرًا كَثِيرًا حَدِّثْنَا يَا زَيْدُ مَا سَمِعْتَ
مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- - قَالَ - يَا ابْنَ أَخِى
وَاللَّهِ لَقَدْ كَبِرَتْ سِنِّى وَقَدُمَ عَهْدِى وَنَسِيتُ بَعْضَ
الَّذِى كُنْتُ أَعِى مِنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَمَا
حَدَّثْتُكُمْ فَاقْبَلُوا وَمَا لاَ فَلاَ تُكَلِّفُونِيهِ.
“Aku
pernah pergi bersama Hushain bin Sabrah dan Umar bin Muslim menuju rumah
Zaid bin Arqam Ra. Tatkala kami telah duduk di sisinya, Hushain
berkata, “Wahai Zaid, sungguh engkau telah meraih kebaikan yang banyak;
engkau telah melihat Rasulullah saw. mendengar hadis-hadis beliau,
pernah berperang bersama beliau, dan shalat di belakang beliau. Sungguh
engkau telah meraih kebaikan yang banyak, ceritakanlah kepada kami hadis
Rasulullah saw. wahai Zaid!’ Zaid Ra. menjawab, ‘Wahai anak saudaraku,
demi Allah aku sekarang sudah tua, masaku telah lewat, aku pun telah
lupa sebagian yang aku hafal dari Rasulullah saw. maka apa yang aku
ceritakan kepadamu terimalah, dan apa yang tidak aku ceritakan maka
janganlah kalian membebaniku.’
ثُمَّ قَالَ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- يَوْمًا فِينَا خَطِيبًا بِمَاءٍ يُدْعَى خُمًّا
بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ
وَوَعَظَ وَذَكَّرَ ثُمَّ قَالَ « أَمَّا بَعْدُ أَلاَ أَيُّهَا النَّاسُ
فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِىَ رَسُولُ رَبِّى فَأُجِيبَ
وَأَنَا تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ
الْهُدَى وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ ».
فَحَثَّ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ ثُمَّ قَالَ « وَأَهْلُ
بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ
فِى أَهْلِ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى ». فَقَالَ
لَهُ حُصَيْنٌ وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ
أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ
بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ بَعْدَهُ. قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ
آلُ عَلِىٍّ وَآلُ عَقِيلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ وَآلُ عَبَّاسٍ . قَالَ كُلُّ
هَؤُلاَءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ قَالَ نَعَمْ.
Kemudian Zaid berkata,
‘Pada suatu hari Rasulullah saw. pernah berkhutbah di hadapan kami di
suatu tempat berair yang disebut Khum, terletak antara Mekah dan
Madinah, beliau memuji Allah, menasehati, dan mengingatkan, lalu setelah
itu beliau bersabda, ‘Ketahuilah wahai sekalian manusia, aku hanyalah
manusia biasa, hampir datang seorang utusan Rabbku dan aku akan
memenuhinya, aku tinggalkan kalian dua pedoman, yang pertama Kitabullah,
di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, maka ambilah Kitabullah itu,
berpegang teguhlah terhadapnya.’ Beliau Lalu beliau menganjurkan kepada
kitab Allah dan menggemarkan terhadanya. Kemudian beliau bersabda, ‘Dan
terhadap ahli baitku, aku ingatkan kalian kepada Allah tentang ahli
baitku.’ Beliau mengulang ucapannya sampai tiga kali. Hushain berkata
kepadanya (Zaid), ‘Siapa ahli bait Nabi saw., wahai Zaid? Bukankah
istri-istrinya termasuk ahli baitnya?’ Zaid Ra menjawab, ‘Ya,
istri-istri beliau termasuk ahli bait Nabi saw., akan tetapi ahli
baitnya adalah orang-orang yang haram menerima shadaqah setelahnya.’
Hushain bertanya lagi, ‘Siapakah mereka?’ Zaid menjawab, ‘Mereka adalah
keluarga Ali, keluarga ‘Aqil, keluarga Ja’far, dan keluarga ‘Abbas.’
Hushain bertanya lagi, ‘Mereka semua haram menerima shadaqah?’ Zaid
menjawab, ‘Benar’.” (HR Muslim, Shahih Muslim, VII: 122, No. hadis 6378)
Ahlus Sunnah sangat menghormati dan menyayangi Ahlul Bait Nabi saw. karena menjaga washiyat Rasulullah tersebut:
أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي أُذَكِّرُكُمْ اللَّهَ فِي أَهْلِ بَيْتِي
“Aku mengingkatkan kalian kepada Allah tentang Ahli Baitku, Aku mengingkatkan kalian kepada Allah tentang Ahli Baitku, Aku mengingkatkan kalian kepada Allah tentang Ahli Baitku”
Imam
Ibnu Katsir berkata, “Tidak perlu diragukan wasiat untuk berbuat baik
kepada ahli bait dan pengagungan kepada mereka, karena mereka dari
keturunan yang suci, terlahir dari rumah yang paling mulia di muka bumi
ini secara kebanggaan dan nasab. Lebih-lebih apabila mereka mengikuti
sunnah nabawiyyah yang shahih, yang jelas, sebagaimana yang tercermin
pada pendahulu mereka seperti Al-Abbas dan keturunannya, Ali dan
keluarga serta keturunannya, semoga Allah meridhai mereka semua.”
(Lihat, Tafsir Ibnu Katsir, IV:113)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar