Saat itu, selain dengan sebutan Ahlus Sunnah, Ahlul Haq dinamai
pula al-Jama’ah, sehingga pada saat itu mereka populer dengan sebutan
Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Nama itu dipergunakan bagi mereka
setelah terjadinya fitnah pada akhir kekhalifahan Usman, yaitu timbulnya
perpecahan dan menyebarnya berbagai bid'ah dan aliran kalam (bidang
akidah).
Catatan:
Sebagaimana telah
diketahui bahwa awal mula munculnya bid'ah ialah bid'ah kaum khawarij
dan Rawafidh (Syi'ah). Bid'ah ini terjadi setelah timbulnya fitnah
Abdullah bin Saba' dan terbunuhnya Usman ra. Kaum khawarij telah
mengakafirkan Ali dan mereka menyatakan diri keluar dari kelompok Ali,
sedangkan kaum Rawafidh (Syi'ah) mengakui Imamah (kepemimpinan) Ali,
kema'shumannya, kenabiannya, dan bahkan sampai menuhankannya. Ketika
kaum Khawarij keluar dari Jamaah Islam dan Fitnah merajalela, maka kaum
muslimin sangat antusias untuk memelihara Jama'ah dan mereka menjauhkan
diri dari perpecahan. Ikrar kesepakatan itu tercetus pada tahun 41 H/661
M, ketika mereka mengangkat Mu'awiyah menjadi Khalifah setelah al-Hasan
mengundurkan diri, dan tahun tersebut mereka namakan tahun Jamaah.
Bid'ah-bid'ah tersebut terus berlanjut. Pada akhir masa sahabat, yakni
pada masa pemerintahan Ibnu Zubair dan Abdul Malik bin Marwan (65-86
H/685-705 M), timbullah Bid'ah Murji'ah dan Qodariyah. Kemudian pada
masa Tabi'in, yakni pada masa akhir pemerintahan Bani Umayyah (132 H/750
M), muncullah bid'ah Jahmiyah, Musyabihah, dan Mumatstsilah.
Nama
Ahlus Sunnah wal Jama'ah disematkan sebagai pembeda dari Ahlul Ahwaa`
wal Bida' (pengikut hawa nafsu dan ahli bidah). Hal itu tercermin dalam
perkataan Ibnu Abas ketika menjelaskan tentang tafsir firman Allah
Ta'ala :
يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوهٌ
"Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang muram…". [Ali-Imran : 105].
يَعْنِيْ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ حِيْنَ تَبْيَضُّ وُجُوْهُ أَهْلُ السُّنَّةِ
وَالْجَمَاعَةِ وَتَسْوَدُّ وُجُوْهُ أَهْلُ الْبِدْعَةِ وَالْفُرْقَةِ
"Yaitu
pada hari kiamat ketika wajah-wajah Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang putih
berseri dan wajah-wajah ahlul bid’ah wal furqah bermuram durja." H.r.
Al-Khatib al-Baghdadi dan Ibnu Abu Hatim. (Lihat, Fathul Qadir, I:371, ad-Durrul Mantsur, II:63)
Demikian pula dalam ucapan para ulama generasi pasca sahabat antara lain:
Sufyan ats-Tsawri (w. 161 H/777 M) berkata,
إِسْتَوْصُوْا بِأَهْلِ السُّنَّةِ خَيْرًا ، فَإِنَّهُمْ غُرَبَاءُ
Berbuatbaiklah terhadap Ahlus Sunnah karena mereka itu ghuraba (kaum yang dianggap asing)" (Ibid., I:65, No. 44)
Dalam kesempatan lain ia berkata:
إِذَا
بَلَغَكَ عَنْ رَجُلٍ بِالْمَشْرِقِ صَاحِبِ سُنَّةٍ وَآخَرَ
بِالْمَغْرِبِ ، فَابْعَثْ إِلَيْهِمَا بِالسَّلاَمِ وَادْعُ لَهُمَا ، مَا
أَقَلَّ أَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ
"Jika sampai (khabar)
kepadamu tentang seseorang di arah timur dan yang lain di arah barat,
maka kirimkanlah salam kepada keduanya dan do'akanlah mereka. Alangkah
sedikitnya Ahlus Sunnah wal Jama'ah". (Ibid., I:66, No. 45 dan Ibnul
Jauzi dalam Talbis Al-blis, hal. 9)
Al-Imam Malik (w. 179 H/795 M) pernah ditanya:
مَنْ
أَهْلُ السُّنَّةِ ؟ قَالَ أَهْلُ السُّنَّةِ الَّذِيْنَ لَيْسَ لَهُمْ
لَقَبٌ يُعْرَفُوْنَ بِهِ لاَجَهْمِيٌّ وَلاَ قَدَرِيٌّ وَلاَ رَافِضِيٌّ
"Siapakah
Ahlus Sunnah itu ?" Ia menjawab, "Ahlus Sunnah itu adalah orang-orang
yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah dikenal, yakni bukan
Jahmi, Qadari, dan bukan pula Rafidhi". (Lihat, Al-Intiqa fi Fadhailits Tsalatsatil Aimmatil Fuqaha, hal.35)
Mereka
disebut Ahlus Sunnah wal Jama'ah karena bersatu dalam Alquran, sunnah
Rasul, dan ijma’ sahabat. Hal itu sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu
Taimiyyah:
وَسُمُّوا أَهْلَ الْجَمَاعَةِ لأَنَّ الْجَمَاعَةَ هِيَ
الإِجْتِمَاعُ وَضِدُّهَا الْفِرْقَةُ وَإِنْ كَانَ لَفْظُ الْجَمَاعَةِ
قَدْ صَارَ إِسْمًا لِنَفْسِ الْقَوْمِ الْمُجْتَمِعِيْنَ وَالاِجْمَاعُ
هُوَ الأَصْلُ الثَّالِثُ الَّذِى يَعْتَمِدُ عَلَيْهِ فِى الْعِلْمِ
وَالدِّيْنِ وَهُمْ يَزِنُوْنَ بِهذِهِ الأُصُوْلِ الثَّلاَثَةِ جَمِيْعَ
مَا عَلَيْهِ النَّاسُ مِنْ أَقْوَالٍ وَأَعْمَالٍ بَاطِنَةً أَوْ
ظَاهِرَةً مِمَّا لَهُ تَعَلُّقٌ بِالدِّيْنِ وَالإِجْمَاعُ الَّذِى
يَنْضَبِطُ هُوَ مَا كَانَ عَلَيْهِ السَّلَفُ الصَّالِحُ إِذْ بَعْدَهُمْ
كَثُرَ الإِخْتِلاَفُ وَانْتَشَرَتِ الأُمَّةُ
"Mereka dinamakan
Ahlul Jama'ah karena jama'ah itu adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya
firqah. Meskipun lafaz jama'ah telah menjadi satu nama untuk
orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan pokok ketiga
yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka mengukur semua perkataan
dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan
dien dengan ketiga pokok ini (Alquran, Sunnah dan Ijma'). Dan ijma
yang ia yang dipegang oleh as-Salaf as-Shalih, karena setelah mereka
semakin banyak ikhtilaf dan tersebarnya umat."(Lihat, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, III:157)
Selain
dibedakan dari segi nama atau sebutan, mereka dibedakan pula dari segi
sikap selektif terhadap riwayat, yaitu pada masa itu mereka mulai
mengklasifikasikan siapa orang yang dapat diterima riwayatnya dan siapa
yang di tolak. Maka orang yang mengikuti Sunnah diterima riwayatnya,
sedangkan Ahli Bid'ah di tolak, kecuali dengan persyaratan yang ketat.
Ibnu Sirin (w. 110 H/728 M) berkata:
لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ
عَنِ الْإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ قَالُوا سَمُّوا لَنَا
رِجَالَكُمْ فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ
وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلَا يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ
“Para
sahabat tidak pernah bertanya tentang isnad (jalur periwayatan) ketika
menerima hadis, namun setelah terjadinya fitnah mereka selalu
mengatakan, ‘Sebutkan rijalnya kepada kami’ Kemudian diperiksa, hadis
yang rijalnya ahlus sunnah diterima, sedangkan hadis yang rijalnya
ahlul bid’ah ditolak” H.r. Muslim (Lihat, Shahih Muslim, I:10)
Istilah
Ahlus Sunnah wal Jama'ah semakin populer pada abad ke-3 H/ke-9 M, masa
pemerintahan Khalifah al-Mutawakkil dari dinasti Abasiyyah (233-247
H/847-861 M) yang berkuasa di Irak setelah al-Wasiq. Pada waktu itu
aliran Mu'tazilah berada dalam tahap kemunduran, setelah sebelumnya
mengalami masa kejayaan pada masa Khalifah al-Ma'mun (198-218 H/813-833
M) hingga al-Wasiq bin al-Mu'tashim (227-232 H/842-847 M). Popularitas
ini tidak terlepas dari peranan Imam Ahmad (w. 241 H/855), ulama yang
dengan tegas mempertahankan pendiriannya, berbeda dengan paham
mu'tazilah sebagai madzhab resmi negara, di samping andil gerakan
Asy’ariyyah dan Maturidiyah.
Catatan:
- Asy’ariyyah salah satu aliran terpenting dalam ilmu kalam. Nama aliran ini dinisbatkan kepada pendirinya Abu Hasan al-Asy’ari (260 – 324 H/873 – 935 M). Penisbatan ini mempunyai dua pengertian dilihat dari proses taubatan nashuha Imam al-asy'ari. Pertama, setelah keluar dari muktazilah ia beralih kepada Kullabiyyah (paham Abdullah bin Sa'id bin Kullab yang menetapkan 7 sifat Allah dan menafikan selainnya). Dalam konteks ini, asy'ariyyah pecahan dari madzhab muktazilah. Kedua, setelah keluar dari Kullabiyyah ia kembali kepada Ahlus Sunnah wal Jam'ah. Dalam konteks ini, asy'ariyyah sebagai pengikut dan pendukung Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
- Maturidiyah salah satu aliran ilmu kalam di Samarkand. Nama aliran ini dinisbatkan kepada pendirinya Muhamad bin Muhamad bin Mahmud atau yang lebih populer dengan sebutan Abu Manshur al-Maturidi (w. 944 M). Aliran ini muncul dalam rangka melawan paham-paham Mu’tazilah (Lihat, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, hal. 164-176)
Meski
demikian, penggunaan istilah itu kemudian mengalami reduksi sedemikian
rupa setelah diadopsi oleh Ahli Kalam hingga istilah ini hanya
diindentikan dengan kedua aliran tersebut. (Lihat, Qawaid al-Fiqh, I:197. Bandingkan dengan Tabsithul Aqaidil Islamiyah, hal. 299, At-Tabshut fi Ushulid Din, hal. 153, At-Tamhid oleh An-Nasafi, hal.2, Al-Farq Bainal Firaq, hal. 323, I'tiqadat Firaqil Muslimin wal Musyrikin, hal. 150)
Az-Zubaidi
mengatakan, "Jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan
mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah." (Lihat, Ittihafus Saadatil Muttaqin, II:6)
Abu
Udaibah mengatakan, "Ketahuilah bahwa pokok semua aqaid Ahlus Sunnah
wal Jama'ah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan al-Asy'ari dan
Imam Abu Manshur al-Maturidi." (Lihat, ar-Raudhatul Bahiyyah, hlm. 3)
Al-Ayji
mengatakan, "Adapun al-Firqatun Najiyah yang terpilih adalah
orang-orang yang Rasulullah saw. berkata tentang mereka: 'Mereka itu
adalah orang-orang yang berada di atas apa yang Aku dan para shahabatku
berada diatasnya'. Mereka itu adalah Asy'ariyah dan Salaf dari kalangan
Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah." (Lihat, al-Mawaqif, hal. 429)
Sumber: Ust Amin Mukhtar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar