Ittifaq (Kesepakatan) Ahlus Sunnah
1.Terhadap Alquran
Ahlus
Sunnah sepakat bahwa Alquran merupakan kitab Allah yang terpelihara
dari kekurangan maupun kesalahan. Ayat-ayatnya tetap sempurna, sama
seperti yang diwahyukan kepada Nabi saw. tanpa ada tambahan atau
kekurangan sedikitpun. Karena Allah sendiri yang berjanji akan
memeliharanya:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Alquran dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya. Q.s. Al-Hijr:9. (Penjelasan para ahli tafsir tentang ayat
tersebut dapat dibaca antara lain pada Tafsir Al-Qurthubi, X:65 dan Tafsir Ibnu Katsir, II:592)
Dalam
menafsirkan Alquran mereka mempergunakan metode sebagai berikut: 1).
Menafsirkan Alquran dengan Alquran, 2) dengan sunnah, bila tidak ada
keterangan Alquran, 3) dengan pendapat sahabat, bila tidak ada sunnah,
4) dengan ijma’ tabi’in, bila tidak ada pendapat sahabat (lihat, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, XIII:363), dan Mereka bersikap selektif terhadap periwayatan yang daif dan mawdhu (palsu) dalam penafsiran. (lihat, Al-Burhan fi Ulum Alquran, II:156)
2. Terhadap Sunnah
Ahlus
Sunnah bersepakat bahwa sunah Nabi saw. merupakan sumber kedua setelah
Alquran. Ia merupakan kumpulan dari ucapan, perbuatan, dan persetujuan (taqriir) Nabi saw. terhadap ucapan atau perbuatan shahabat.
Dilihat dari aspek fungsinya, Ahlu Sunnah sepakat bahwa:
Pertama, Sunnah berfungsi sebagai penegas hukum yang telah ditetapkan di dalam Alquran.
Dengan
demikian hukum tersebut ditetapkan oleh dua buah sumber, yakni Alquran
sebagai sumber yang menetapkan hukumnya dan Sunnah sebagai sumber yang
menegaskannya. Seperti perintah mendirikan salat ditetapkan hukumnya di
dalam Alquran:
{أَقِيمُوا الصَّلاَةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ}
“Dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat.” QS. Al-Baqarah:110
Kemudian dipertegas oleh sabda Rasulullah saw. ketika berdialog dengan seorang penduduk Nejd,
يَا
رَسُولَ اللهِ أَخْبِرْنِي مَا فَرَضَ اللهُ عَلَيَّ مِنَ الصَّلاَةِ ؟
قَالَ : اَلصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ. قَالَ :هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُ ؟ قَالَ :
لاَ، إِلاَّ أَنْ تَطَوَّعَ شَيْئاً.-متفق عليه-
“Wahai Rasulullah
beritahukanlah salat apa yang Allah fardukan kepadaku ?” Beliau
bersabda, “Salat lima waktu.” Ia berkata, “Apakah ada yang lainnya?”
Beliau bersabda, “Tidak ada, kecuali engkau melakukan yang sunnah.”
Muttafaq Alaih (Al-Bukhari-Muslim)
Kedua, Sunnah berfungsi sebagai mubayyin (penjelas) makna ayat-ayat Alquran. Ibnu Taimiyyah berkata:
وَالسُّنَّةُ تُفَسِّرُ الْقُرْآنَ وَهِيَ دَلَائِلُ الْقُرْآنِ أَيْ دَلَالَاتٌ عَلَى مَعْنَاهُ
“Dan sunnah itu menafsirkan Alquran, yaitu sebagai petunjuk bagi Alquran, maksudnya petunjuk atas maknanya.” (Lihat, Al-Khulashah Fi Bayani Ra`yi Syekh Al-Islam Ibnu Taimiyyah bir Raafidhah, hlm. 109)
Secara teknis, fungsi itu dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam:
a). Tafshiil al-ijmaal, yaitu menjelaskan secara terperinci makna ayat-ayat Alquran yang mujmal (global), seperti menjelaskan kaifiyat (tata cara) mendirikan shalat, menunaikan zakat, ibadah haji, dan lain-lain.
b) Takhshiish Al-‘Aam, yaitu mengecualikan keumuman makna ayat-ayat Alquran,
Misalnya sabda Nabi saw.:
لاَ يَرِثُ الْقَاتِلُ شَيْئًا
“Anak yang membunuh orang tuanya, tidak berhak mendapatkan waris sedikit pun.” HR. Abu Dawud (Lihat, Nailul Awthar, VI:74)
Sabda Nabi di atas mengecualikan ketentuan waris anak pada surah An-Nisa:
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
“Allah
mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak
perempuan…” (QS. An-Nisa:11)
c) Taqyiid al-ithlaaq, yaitu membatasi kemutlakan makna ayat-ayat Alquran, seperti Hadis Nabi saw.
أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُ بِالتَّيَمُّمِ لِلْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ. -رواه الترمذي-
“Bahwa Nabi saw. memerintahnya (Ammar bin Yasar) bertayammum untuk wajah dan dua telapak tangan.” H.r. At-Tirmidzi
Hadis Nabi di atas membatasi makna “yad (tangan)” pada ayat tentang tayamum
{فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَأَيْدِيْكُمْ مِنْهُ}
....(yaitu) kamu sapu muka-muka dan tangan-tangan dengannya...(QS. Al-Maidah:6
Ketiga,
Sunnah berfungsi menetapkan hukum yang tidak disebutkan dalam Alquran.
Seperti syariat tentang aqiqah, mengurus jenazah, dan lain-lain.
Sehubungan
dengan ketiga fungsi sunnah itu, Imam As-Syafi’I berkata, “Adakalanya
sunnah itu berfungsi mengukuhkan dan menegaskan suatu hukum yang
terdapat dalam Alquran, atau menjelaskan Alquran, atau sebagai dalil
atas nasakh, atau menciptakan suatu hukum yang tidak disebutkan oleh
Alquran.” (Lihat, Ar-Risalah Imam Asy-Syafi’I, hlm. 247)
Rujukan utama Sunnah
Adapun rujukan utama Ahlus Sunnah adalah al-kutubus sittah, meski pada awalnya, dari sejumlah karya yang diakui para ulama Ahlus Sunnah sebagai sumber pokok sunah Rasul ada lima, yakni Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi, dan Sunan al-Nasai. Kelima kitab itu dikenal dengan istilah al-kutub al-khamsah, al-ushul al-khamsah, atau al-sihah al-khamsah.
Sebelum abad VI hijriah, terdapat ulama yang menggabungkan al-Muwatha karya Imam Malik sebagai kitab keenam, berdasarkan pertimbangan bahwa kitab ini lebih sahih daripada Sunan Ibn Majah. Hal itu seperti dilakukan Abu al-Hasan Razin al-Mu’awiyah (W. 535 H/1140 M) pada kitabnya al-Tajrid li al-Shihah al-Sittah.
Pendapatnya kemudian diikuti oleh Ali bin Muhamad bin Muhamad Abd
al-Karim (W. 630 H/1232 M), atau yang lebih populer dengan sebutan Ibn
al-Atsir, pada kitabnya Jami’ al-Ushul fi Ahadis al-Rasul. Namun pada abad itu terdapat ulama lain yang memilih Sunan Ibn Majah untuk digabungkan ke dalam al-kutub al-khamsah, yaitu Muhamad bin Thahir al-Maqdisi (W. 507 H/1113 M) pada kitabnya Athraf al-Kutub al-Sittah. Kemudian diikuti oleh Abd al-Ghani bin Abd al-Wahid al-Maqdisi (W. 600 H/1203 M) pada kitabnya al-Kamal fi Asma al-Rijal. (Lihat, Muhamad bin Ismail al-Shan’ani, Subul al-Salam, I:11; Dr. Basyyar ‘Awad Ma’ruf, Tahqiq ‘ala Tahdzib al-Kamal fi Asma al-Rijal, I:38).
Pemilihan Sunan Ibn Majah daripada al-Muwatha, bukan dilihat dari segi kualitas hadis, melainkan karena sejumlah zawaid (hadis-hadis tambahan) yang tidak dimuat pada al-kutub al-khamsah. Menurut M. Fuad Abd al-Baqi, sebanyak 1.339 hadis (Lihat, Dr. ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadis, hal 327).
Dengan bergabungnya Sunan Ibn Majah, kitab yang dijadikan referensi itu menjadi enam. Dari sinilah awal kemunculan istilah al-kutub al-sittah, al-shahih al-sittah, atau al-ushul al-sittah, dalam pengertian hakiki, yakni enam kitab hadis. Sejak saat itu periwayatan mereka dikenal dengan istilah rawahu al-jama’ah atau rawahu al-sittah,
seperti dipergunakan Abu al-Qasim Ibn Asakir (W. 571 H/1175 M), Abd
al-Ghani, dan Jamal al-Din Yusuf al-Mizzi (W. 742 H/1341 M) pada
kitabnya Tahdzib al-Kamal fi Asma al-Rijal. Namun Abu
al-Barakat Abd al-Salam Abdullah bin Abu al-Qasim (W. 652 H/1254 M),
atau yang populer dengan sebutan Ibn Taimiyah (Kakek Taqiyyuddin Ibnu
Taimiyyah), pada kitabnya Muntaqa al-Akhbar Min Ahadis Sayyid al-Akhyar, mempergunakan istilah rawahu al-jama’ah itu untuk tujuh orang atau tujuh kitab, yakni al-kutub al-sittah ditambah Musnad Imam Ahmad. Sedangkan Ibn Hajar al-Asqalani (W. 852 H/), pada kitabnya Bulugh al-Maram min Adillah al-Ahkam, mempergunakan istilah al-sab’ah.
Pertimbangan Ibn Taimiyah menggabungkan Musnad Ahmad pada rahawu al-jama’ah, karena dilihat dari segi fiqh al-matn (pemahaman isi hadis), yakni sama dengan al-kutub al-sittah sebagai maraji’ ushul al-ahkam (prinsip-prinsip hukum). Dari penggunaan Ibn Taimiyah ini istilah al-kutub al-sittah dipahami secara majazi (kiasan), yaitu tujuh kitab hadis (enam kitab ditambah satu). Ketujuh kitab inilah yang kemudian populer dengan sebutan al-kutub al-sittah. Dari pengertian ini lahir istilah akhrajahu dan rawahu as-sab’ah. (Lihat, Ibnu Muchtar dkk, Majalah al Qudwah, No. 11, 2001, hal 34-35)
Dan
Ahlus Sunnah bersikap selektif terhadap periwayatan yang daif (lemah)
dan maudhu (palsu), dengan mengembangkan berbagai metode kajian dan
membuat kaidah-kaidah kritik, baik berkaitan dengan sanad (jalur
periwayatan) maupun matan (teks hadis).
3. Terhadap sahabat
(a) Kedudukan Sahabat
Ahlus
Sunnah berkeyakinan bahwa persahabatan dengan Nabi saw. merupakan
kemuliaan yang tiada tara bandingannya. Nabi memerintah untuk mencintai
mereka dan melarang mencela mereka:
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
Janganlah
kalian mencaci sahabatku, demi Allah seandainya salah seorang di antara
kamu menginfakan emas sebesar gunung uhud, maka hal itu tidak akan
sebanding dengan satu atau setengah mudpun dari mereka. H.r.
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, III:1343, No. hadis 3470
Washiyyat
Nabi saw. tentang para sahabat itu dipelihara dengan baik oleh Ahlus
sunnah, demikian pula terhadap nasehat-nasehat lainnya, antara lain:
(artinya) “Jika kalian melihat orang mencela para sahabatku, maka
katakanlah Allah melaknat kejahatannya” H.r. At-Tirmidzi. Kemudian sabda
beliau tentang keutamaan Abu Bakar, Umar, Usman, dan lain-lain.
Di samping itu memperhatikan firman Allah:
لَقَدْ
تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنصَارِ
الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ
يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ إِنَّهُ بِهِمْ
رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi,
orang muhajirin dan orang-orang Anshar. Q.s. At-Taubah:117. (lihat pula,
Q.s. An-Nur:55; dan lain-lain)
Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa mencaci-maki dan mengutuk sahabat adalah perbuatan orang munafik, berdasarkan firman Allah:
الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ
Orang-orang
munafik yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi
sedekah dengan sukarela dan mencela orang-orang yang tidak memperoleh
(untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya…Q.s. At-Taubah:79
Adapun
dalam mensikapi kejadian di antara para sahabat Nabi saw. Ahlus Sunnah
berkeyakinan bahwa itu semua adalah fitnah, yang Allah telah
membersihkan tangan kita daripadanya, lalu mengapa kita tidak
membersihkan lidah kita daripadanya? Allah telah menegaskan dalam kitab
suci-Nya:
تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ وَلَا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Itu
adalah umat yang lalu, baginya apa yang telah diusahakannya dan bagimu
apa yang sudah kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta
pertanggungjawaban tentang apa yang telah mereka kerjakan” Q.s.
Al-Baqarah:134 dan 141.
Ahlus sunnah meyakini bahwa Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali bin Abu Thalib adalah khulafaur Rasyidin setelah Rasulullah saw.
(b) Pendapat Sahabat
Semasa
RasululIah saw. masih hidup semua masalah yang muncul atau timbul dalam
masyarakat langsung ditanyakan para sahabat kepada RasululIah saw., dan
RasululIah saw. memberikan jawaban dan penyelesaiannya. Setelah
RasululIah saw. meninggal dunia, maka kelompok sahabat yang tergolong
ahli dalam mengistinbathkan hukum telah berusaha sungguh-sungguh
memecahkan persoalan tersebut, sehingga kaum muslimin dapat beramal
sesuai dengan fatwa-fatwa sahabat itu. Kemudian fatwa-fatwa sahabat ini
diriwayatkan oleh tabi'in, tabi'ut tabi'in dan orang-orang yang
sesudahnya, seperti meriwayatkan hadis. Karena itu timbul persoalan,
apakah pendapat sahabat itu dapat dijadikan hujjah atau tidak?
Sebagian ulama menyatakan bahwa ada dua macam pendapat sahabat yang dapat dijadikan hujjah, yaitu:
a.
Pendapat para sahabat yang diduga keras bahwa pendapat tersebut
sebenarnya berasal dari Rasulullah saw., karena pikiran tidak atau belum
dapat menjangkaunya, seperti ucapan Aisyiah Ra
لاَ يَمْكُثُ الحَمْلُ فىِ بَطْنِ أُمِّهِ أَكْثَرَ مِنْ سَنَتَيْنِ قَدْرَ مَا يَتَحَوَّلُ ظِلُّ المَعْزِلِ - رواه الدارقطني
"Kandungan
itu tidak akan lebih dari dua tahun dalam perut ibunya, (yaitu tidak
akan) lebih dari sepanjang bayang-bayang benda yang ditancapkannya." H.r. Ad-Daraquthni
b.
Pendapat sahabat yang tidak bertentangan dengan sahabat lainnya,
seperti pendapat tentang bahwa nenek mendapat seperenam (1/6) bagian
waris, yang dikemukakan oleh Abu Bakar, dan tidak ada sahabat yang tidak
sependapat dengannya.
Sedang pendapat sahabat yang tidak
disetujui oleh sahabat yang lain tidak dapat dijadikan hujjah. Pendapat
ini dianut oleh golongan Hanafiyah, Malikiyah dan hanabilah, dan
sebagian Syafi'iyah, namun didahulukan dari qiyas. Bahkan Ahmad bin
Hanbal mendahulukannya dari hadis mursal dan hadis dha'if. Dasar
pertimbangan para ulama tersebut antara lain:
عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ لَيْسَ أَحَدٌ إِلاَّ يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُتْرَكُ إِلاَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم
Dari
Mujahid, ia berkata, "Tidak ada seorangpun kecuali pendapatnya bisa
diambil dan ditolak kecuali Nabi saw." Kata Mujahid, "Demikianlah
pandangan ahli ilmu dari kalangan sahabat, seperti Abdullah bin Abas,
Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Abu Sa'id al-Khudri, Abu
Huraerah, Rafi' bin Khadij, dan lain-lain. (lihat, Hilyatul Auliya, III:330)
قَالَ
إِبْرَاهِيْمُ النَّخَعِيُّ وَمِنَ الْمَعْلُوْمِ أَنَّ كُلَّ أَحَدٍ
يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُرَدُّ إِلاَّ لِرَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه
وسلم
Kata Ibrahim an-Nakha’i (salah seorang murid Ibnu Mas’ud),
“Setiap pendapat seseorang bisa diambil dan ditolak, kecuali sabda
Rasulullah saw." (lihat, Tuhfatul Ahwadzi, IV:397)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar