Ibnu Abdul Wahhab memandang tauhid sebagai agama Islam itu
sendiri. Dia berpendapat, keesaan Allah diwahyukan dalam tiga bentuk. Pertama, tauhid ar-rububiyyah, penegasan keesaan Allah dan tindakan-Nya: Allah sendiri adalah Pencipta, Penyedia dan Penentu alam semesta. Kedua, tauhid al-asma’ wa al-sifat (keesaan nama dan sifat-sifat-Nya), yang berhubungan dengan sifat-sifat Allah. Kepunyaan-Nya-lah
semua yang ada di langit, semua yang ada di bumi, semua yang ada di
antara keduanya, dan semua yang ada di bawah tanah (Q.s. Thaha [20]: 6). Aspek ketiga, tauhid al-ilaahiyyah/uluhiyyah,
menjelaskan hanya Allah yang berhak di sembah. Penegasan “tidak ada
ilah kecuali Allah dan Muhamad sebagai utusan-Nya” berarti semua bentuk
ibadah seharusnya dipersembahkan semata kepada Allah; Muhamad tidak
untuk disembah, tetapi sebagai Nabi, dia seharusnya dipatuhi dan
diikuti.
Gerakan ini sangat tidak sepakat dengan “lawan-lawannya” mengenai masalah tawassul (perantara).
Bagi
Muhamad bin Abdul Wahhab, ibadah merujuk pada seluruh ucapan dan
tindakan –lahir dan batin- yang dikendaki dan diperintahkan oleh Allah.
Ibn Abdul Wahhab menulis bahwa peminta perlindungan kepada pohon, batu,
dan semacamnya adalah syirik. Dengan kata lain, tidak ada bantuan,
perlindungan, ataupun tempat berlindung kecuali Allah. Perantara oleh
pihak lain tidak dapat dilakukan kecuali siizin Allah atas orang yang
diminta menjadi perantara, seseorang yang benar-benar mengesakan Allah.
Kebiasaan mencari perantara dari orang suci yang telah meninggal adalah
terlarang, seperti halnya kesetiaan yang berlebihan tatkala mengunjungi
makam mereka. Memohon Nabi menjadi penghubung kepada Allah juga tidak
dapat diterima sebab Nabi tidak bisa memberi petunjuk kepada orang-orang
yang dia inginkan untuk memeluk Islam tanpa kehendak Allah; dia pun
tidak diperbolehkan memintakan ampun dari Allah bagi mereka yang syirik.
Doktrin
tawasul mendorong Ibnu Abdil Wahab untuk mengecam keras praktik-praktik
ziarah ke kuburan dan bangunan kubah di dekatnya, sesuatu yang sudah
umum dilakukan. Awalnya, Ibnu Abdil Wahhab membolehkan berziarah ke
kuburan, dengan syarat dilakukan sesuai dengan semangat Islam yang
sebenarnya, dan ini termasuk tindakan kebajikan serta patut dipuji. Akan
tetapi, Ibnu Abdil Wahab percaya bahwa banyak orang telah mengubah doa
bagi yang dikubur menjadi memanjatkan doa kepada yang dikubur; kuburan
telah berubah menjadi tempat orang berkumpul untuk menyembah. Pemuja
yang berlebihan terhadap jasad mereka yang memiliki reputasi suci
merupakan langkah pertama yang akan membawa orang-orang untuk kembali
menyembah berhala seperti pada masa lampau. Untuk menghindari perbuatan
syirik seperti ini, menurut Ibnu Abdil Wahab, seluruh makam yang
disucikan itu harus dihancurkan. Kaum Ibnu Abdil Wahab berpendapat,
kuburan harus dibangun sama rata dengan tanah, dan bahwa
tulisan-tulisan, prasasti, serta hiasan-hiasan, ataupun penerangan di
pekuburan tersebut harus dihindari. Kaum Ibnu Abdil Wahab juga percaya
bahwa mengaku sebagai muslim saja tidak cukup menjadi benteng agar
terhindar dari menjadi musyrik. Seseorang yang telah mengucapkan
syahadat, tetapi masih tetap mempraktikan syirik (seperti yang
didefinisikan oleh kaum Ibnu Abdil Wahab) seharusnya dicela sebagai
kafir dan seharusnya dibunuh.
Bid’ah merupakan bab lain
yang menjadi perhatian Ibnu Abdil Wahab. Bid’ah, menurut Ibnu Abdil
Wahab, adalah setiap ajaran atau tindakan yang tidak didasarkan pada
Alquran dan Sunnah Nabi, atau otoritas para sahabat Nabi. Ibn Abdil
Wahhab menyalahkan semua bentuk bid’ah dan menolak pendapat yang
mengatakan, bid’ah bisa jadi hasanah (baik dan patut dipuji).
Ibn Abdil Wahhab mengutip Alquran dan Sunnah Nabi untuk mendukung
pandangannya. Ibnu Abdil Wahab menolaknya sebagai bid’ah
tindakan-tindakan seperti memperingati kelahiran Nabi saw., meminta
perantara dari para wali, membaca al-Fatihah atas nama pendiri tarekat
sufi sesudah menunaikan salat lima waktu, dan mengulangi salat lima
waktu sesudah salat Jum’at pada bulan Ramadhan.
Konflik
antara ijtihad dan taklid adalah prinsip keenam yang menjadi perhatian
Ibnu Abdil Wahab. Menurut Ibnu Abdil Wahhab dan pengikutnya, Allah
memerintahkan orang untuk hanya mematuhi-Nya dan mengikuti ajaran Nabi.
Tuntutan Ibnu Abdil Wahab untuk mengikuti sepenuhnya Alquran dan Sunnah
bagi semua muslim adalah juga sebagai penolakan Ibnu Abdil Wahab
terhadap semua penafsiran imam mazhab empat –termasuk pandangan- mazhab
Ibnu Abdil Wahab sendiri, Hanbali, yang tidak sesuai dengan Alquran dan
Sunnah Nabi.
Sebagai upaya pemurnian tauhid ini, secara khusus Ibnu Abdil Wahhab menyusun kitab at-Tauhid
yang memuat pandangan-pandangannya sekitar tauhid, syirik, dan
lain-lain yang menyangkut masalah akidah Islam. Menurutnya kalimat laa ilaaha illa Allah (tidak ada ilah selain Allah) tidak cukup hanya diucapkan, tetapi harus di manifestasikan dengan laa ma’bud illa Allah (tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah).(Lihat, Kitab Tauhid alladzi Huwa Haqqullah ‘alal ‘ibad, hal. 1-90; al-Syekh Muhamad bin Abdul Wahhab, ‘Aqidatuhu al-Salafiyyah wa Da’watuhu al-Ishlahiyyah, hal. 1-90; Aqidah al-syekh Muhamad bin Abdul Wahhab al-Salafiyyah wa Atsaruha fi al-‘Alam al-Islami, I:1-970, II:1-588; al-Rasail al-Syakhshiyah li al-Syekh Muhamad bin Abdul Wahhab, hal 1-146)
Dari
konsep pemikiran di atas tampak jelas bahwa pada hakikatnya Ibnu Abdil
Wahab tidak membawa konsepsi pemikiran baru tentang Islam dan umat,
khususnya tentang aqidah. Ia melakukan reaktualisasi konsepsi pemikiran
Ibnu Taimiyah dalam bentuk yang berbeda. Cara persuasif yang dilakukan
Ibnu Taimiyah dalam mencetuskan pemikirannya dirasakan oleh Ibnu Abdil
Wahab tidak efektif. Maka ia mengambil sikap “keras dengan menggunakan
kekuatan”.
Ibnu Abdil Wahab, sebagaimana Ibnu Taimiyyah,
menggunakan prosedur-prosedur yang ketat untuk mengarahkan pembahasan
mengenai masalah-masalah doktrinal. Untuk menjawab pertanyaan yang
berhubungan dengan persoalan agama, mereka pertama-tama mencari
jawabannya pada ayat-ayat Alquran dan Hadis, dan menetapkan jawaban
sesuai dengan kedua sumber tersebut. Apabila rujukan tidak ditemukan
pada ayat-ayat tersebut, mereka mencari ijma (konsensus) di kalangan
as-salaf as-Shalih, khususnya para sahabat dan tabi’in, seta ijma para
ulama. Namun, ijma dibatasi hanya yang sejalan dengan Alquran dan hadis.
Meskipun
Ibnu Abdil Wahab mengikuti Madzhab Hanbali, mereka tidak menerima
pandangan-pandangannya sebagai jawaban yang final. Apabila terdapat
tafsiran Hanbali terbukti salah, pendapat itu harus ditinggalkan. Untuk
mendukung pendapat mereka, kaum Ibnu Abdil Wahab mengutip ayat-ayat
Alquran yang menunjukan bahwa Alquran dan hadis sebagai satu-satunya
dasar penetapan fiqih (hukum Islam). (Lihat, Bahtsun Hawla al-Syekh Muhamad bin Abdul Wahhab wa Harakatuh al-Mujaddiduh, hal. 1-31; Al-Mawsu’ah al-Muyassarah fi al-Adyan wa al-Madzahib, I:164-172)
Gerakan
Ibnu Abdil Wahab kemudian menjadi kekuatan keagamaan dan politik yang
dominan di Jazirah Arab pada sekitar 1746 M, ketika al-Sa’ud memadukan
kekuatan politik dan ajaran Ibnu Abdil Wahab. Satu demi satu kerajaan
jatuh oleh serangan kekuatan Arab Saudi. Pada 1773 M, kerajaan Riyadh
jatuh dan kekayaannya digabungkan oleh bendaharawan al-Dar’iyah,
al-Sa’ud dan Ibnu Abdil Wahhab. Dengan jatuhnya Riyadh, sebuah tantangan
barupun berdiri di Jazirah Arab, yang mengantarkan periode pertama
Negara Arab Saudi dan memantapkan gerakan Ibnu Abdil Wahab sebagai
kekuatan keagamaan dan politik terkuat di Jazirah Arab selama abad ke-19
dan awal abad ke-20.
Meskipun konsepsi dakwah yang
diperjuangkan Ibnu Abdil Wahhab adalah dakwah salafiyyah, namun istilah
yang populer waktu itu bukan salafiy tapi wahaby atau wahabiyyah,
meskipun istilah itu pada awalnya diberikan oleh para penentang
gerakan ini. Karena para pengikut Ibnu Abdil Wahhab sendiri menyebut
diri mereka dengan nama al-muslimun atau al-muwahhidun,
yang bermakna pendukung ajaran yang memurnikan ketauhidan Allah. Mereka
juga menyebut diri mereka sebagai pengikut madzhab Hanbali atau Ahlus
Salaf.
Semangat Salaf, kembali pada Alquran dan sunnah
serta berijtihad dilanjutkan oleh para imam salafiyyah modern, antara
lain Jamaluddin al-Afghani (1838-1897), Syekh Muhamad Abduh (1849-1905),
Syekh Muhamad Rasyid Ridha (1865-1935), pendiri majalah al-Manar,
penulis Tafsir al-Manar. Ia banyak terwarnai gurunya Syekh Muhamad
Abduh, yang membuatnya tidak terlalu banyak dilirik oleh kaum Salafiyun
modern. Gerakan ini akhirnya menembus semua negara Islam dan negara yang
berpenduduk muslim, seperti Indonesia yang waktu itu sedang berada di
bawah cengkraman kaum kolonial. Gerakan ini seterusnya menyebar ke
hampir seluruh pelosok tanah air sehingga menggetarkan kaum penjajah,
melalui para tokoh panutan umat, antara lain K.H Ahmad Dahlan dengan
organisasi Muhammadiyah-nya, Syekh Ahmad Syorkati, dengan organisasi
al-Irsyad-nya, dan A.Hasan dengan organisasi Persis-nya.
Dari
berbagai keterangan di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Ahlul
Haq merupakan identitas bagi mereka yang mengikuti akidah Islam yang
benar, komitmen dengan manhaj Rasulullah saw bersama para sahabat Nabi,
para tabi’in, dan semua generasi yang mengikuti petunjuk dan kehidupan
mereka hingga hari kiamat.
Para imam mereka tidak
mempunyai tokoh panutan yang mereka ikuti selain Rasulullah saw. Mereka
adalah manusia yang paling tahu terhadap berbagai macam ucapan dan
keadaan beliau, dan yang paling jeli dalam membedakan mana yang shahih
dan mana yang tidak shahih. Imam-imam mereka adalah orang yang paling
faqih (faham) tentangnya dan yang paling mengerti dengan makna-maknanya.
Dan mereka juga merupakan manusia yang paling setia dalam mengikutinya.
Mereka mencintai orang yang mencintainya, dan memusuhi orang yang
memusuhinya. Mereka tidak menisbatkan (diri) kepada suatu pendapat yang
bersumber dari akal pikiran dan perasaan, dan tidak menjadikannya
sebagai kaidah dalam agama mereka, apabila pendapat tersebut tidak
terdapat di dalam risalah yang dibawa oleh Rasulullah saw. Bahkan mereka
menjadikan risalah Rasulullah saw. sebagai asas yang mereka yakini
kebenarannya.
Mereka akan tetap eksis dan senantiasa
mendapatkan pertolongan dari Allah hingga hari Kiamat. Mereka dinamai
Ahlus Sunnah wal Jama’ah, al-Firqatun Najiyah, Thaifah Manshurah, Ahlul
Hadits was Sunnah, Ashabul Hadits, Ahlul Atsar, as-Salaf as- Shalih,
Salafiyyah, dan Salafiy.
Sumber: Ust Amin Mukhtar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar