Pages

Senin, 15 Oktober 2012

SYARIAT SEPUTAR IEDUL ADHA (BAGIAN III)


Tugas, Kewenangan  & Hak Panitia 

Bila kita perhatikan firman Allah dan hadis-hadis Nabi saw. tentang “perintah” memakan dan menyedekahkan hewan qurban, maka kita akan mendapatkan petunjuk bahwa khithab (sasaran) “perintah” itu ditujukan kepada Qurbani, misalkan dalam firman Allah Swt.
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara (sangat fakir).” QS.Al-Hajj:28
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ
“maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” QS.Al-Hajj:36

Demikian pula sasaran “perintah” tersebut dalam hadis-hadis Nabi saw., misalkan
فَكُلُوا وَتَزَوَّدُوا وَادَّخِرُوا مَا شِئْتُمْ
“Sekarang makan dan berbekallah dengannya serta simpanlah sekehendak kalian.’ (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, III:57, No. hadis 11.560)
كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا
"Makanlah daging kurban tersebut dan bagilah sebagiannya kepada orang lain serta simpanlah sebagian yang lain.” (HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, V:2115, No. hadis 5249, Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, XIII:253, No. hadis 5248, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IX:292, No. hadis 19.000)
فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُوْدِهَا وَلاَ تَبِيْعُواهَا وَاِنْ أُطْعِمْتُمْ مِنْ لُحُوْمِهَا فَكُلُوا إِنْ شِئْتُمْ
 “Makanlah, sedekahkanlah, dan manfaatkanlah kulitnya, dan jangan dijual, kalau kamu diberi daging kurban, maka makanlah jika kamu mau." (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, IV:15, No. hadis 16.311, 16.312)

Berbagai kalimat di atas, baik yang tercantum dalam ayat Al-Quran maupun hadis Nabi saw., menunjukkan bahwa pada dasarnya pelaksanaan ketentuan syariat Qurban dan kaifiyat (mekanisme) pengelolaan hewan qurban menjadi tugas dan kewenangan penuh Qurbani, termasuk dalam menentukan bagian hak dirinya sebagai Qurbani.

Dalam konteks ini, dibentuk atau tidaknya jami’ atau panitia Qurban tidak berhubungan dengan petunjuk syar’i, melainkan tergantung kebutuhan atas dasar pertimbangan maslahat, apabila Qurbani tidak sanggup atau tidak berkenan mengelolanya sendiri.

Karena itu, apabila Qurbani menitipkan pengurusan hewannya kepada panitia, maka pelaksanaan ketentuan syariat dan kaifiyat (mekanisme) pengelolaan hewan qurban itu menjadi tugas dan kewenangan panitia. Karena panitia mendapat wakalah (mandat) dari Qurbani, maka dalam konteks ini tergantung bentuk wakalah-nya, apakah muthlaqah (bebas) atau muqayyadah (terikat). Apabila muthlaqah maka kewenangan sepenuhnya berada ”di tangan” panitia, termasuk dalam menentukan bagian hak Qurbani dan menetapkan status kulit. Namun apabila muqayyadah maka kewenangan itu terikat dengan aspek-aspek yang dimandatkannya. Konsep wakalah pengelolaan hewan qurban itu tampak jelas dalam hadis-hadis sebagaimana telah diterangkan di atas. Dan untuk mempertegas hal itu, kita analisa kembali hadis-hadis yang dimaksud, sebagai berikut:
وَأَمَرَهُ أَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلاَلَهَا فِي الْمَسَاكِينِ وَلاَ يُعْطِيَ فِي جِزَارَتِهَا مِنْهَا شَيْئًا.
”Dan beliau menyuruhnya (Ali) agar dia membagibagikan seluruh bagiannya (kurbannya) baik berupa daging, kulit maupun pelananya kepada orang-orang miskin. Dan dagingnya tidak boleh diberikan kepada tukang potong sedikitpun sebagai upah.” (HR. Muslim, Shahih Muslim, II:954, No. hadis 1317, An-Nasai, As-Sunan Al-Kubra, II:455, No. hadis 4143, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, V:241, No. hadis 10.022, Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid, I:51, No. hadis 64)

Dalam riwayat lain dengan redaksi:
أَمَرَهُ أَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلاَلَهَا لِلْمَسَاكِينِ
“Beliau menyuruhnya agar dia membagibagikan seluruh bagiannya (kurbannya) baik berupa daging, kulit maupun pelananya kepada orang-orang miskin." (HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, II:1054, No. hadis 3157, Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:295, No. hadis 2920, Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, IX:330, No. hadis 4022)

Nabi saw. bersabda kepada Ali:
اقْسِمْ لُحُومَهَا بَيْنَ النَّاسِ وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا وَلَا تُعْطِيَنَّ جَازِرًا مِنْهَا شَيْئًا
"Bagikanlah kepada orangorang, dagingnya, kulitnya dan pelananya, dan jangan kamu beri orang yang menyembelih (penjagal) sedikitpun." (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:160, No. hadis 1374) 
Dalam riwayat lain dengan redaksi:
اقْسِمْ لُحُومَهَا وَجِلَالَهَا وَجُلُودَهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلَا تُعْطِيَنَّ جَزَّارًا مِنْهَا شَيْئًا وَخُذْ لَنَا مِنْ كُلِّ بَعِيرٍ حُذْيَةً مِنْ لَحْمٍ ثُمَّ اجْعَلْهَا فِي قِدْرٍ وَاحِدَةٍ حَتَّى نَأْكُلَ مِنْ لَحْمِهَا وَنَحْسُوَ مِنْ مَرَقِهَا فَفَعَلَ
“Bagikanlah dagingnya, pelananya dan kulitnya kepada orang-orang dan jangan engkau memberikan sedikit pun kepada tukang potongnya. Ambilkan untuk kami sepotong daging dari setiap ekor itu, kemudian masukkan ke dalam satu periuk sehingga kami memakan dari dagingnya dan minum dari kuahnya." Maka Ali pun melaksanakannya. (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:260, No. hadis 2359)

Dari hadis-hadis di atas tampak jelas bahwa Ali sebagai panitia/Jami’ Qurban mendapat wakalah (mandat) dari Nabi saw. sebagai Qurbani secara muqayyadah (terikat), yaitu pada satu riwayat membagi-bagikan seluruh bagian hewan kurban, baik berupa daging, kulit maupun pelananya. Sementara Qurbani tidak mengambil bagian yang menjadi haknya. Sedangkan pada riwayat lainnya membagikan sebagian daging hewan, pelananya dan kulitnya. Adapun dalam menetapkan ukuran hak Qurbani Nabi saw.  menyerahkan kewenangan sepenuhnya kepada panitia. Beliau hanya mengatakan:
وَخُذْ لَنَا مِنْ كُلِّ بَعِيرٍ حُذْيَةً مِنْ لَحْمٍ ثُمَّ اجْعَلْهَا فِي قِدْرٍ وَاحِدَةٍ حَتَّى نَأْكُلَ مِنْ لَحْمِهَا وَنَحْسُوَ مِنْ مَرَقِهَا
“Ambilkan untuk kami sepotong daging dari setiap ekor itu, kemudian masukkan ke dalam satu periuk sehingga kami memakan dari dagingnya dan minum dari kuahnya." (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:260, No. hadis 2359)

Hadis ini menjadi dalil bahwa panitia memiliki kewenangan dalam menetapkan ukuran hak Qurbani dan Non Qurbani, termasuk hak anggota panitia itu sendiri.
Selain mendapatkan mandat dari Qurbani, panitia mendapatkan pula amanat syariat berupa larangan  memberikan bagian hewan kurban kepada tukang potong sedikitpun sebagai upah. Namun apabila dia termasuk mustahiq non Qurbani maka tidak mengapa bagian hewan kurban diberikan kepadanya. (Lihat, Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, III:556)  Adapun untuk “pos” upah, maka Ali menetapkan mekanisme tersendiri, yaitu: “Kami suka memberinya (upah) dari kami sendiri. “ Secara mekanisme, untuk menutupi “pos” ini (upah) khususnya dan biaya operasional umumnya, apabila pimpinan & anggota panitia tidak memiliki biaya dari kocek pribadi masing-masing, maka dibenarkan untuk meminta dana tambahan berupa shadaqah/infak dari Qurbani.

Memperjual-belikan hasil sembelihan

عَنْ قَتَادَةَ بْنِ النُّعْمَانِ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ (فِى حَجَّةِ الْوَدَاعِ) فَقَالَ : إِنِّى كُنْتُ أَمَرَتُكُمْ اَنْ لاَ تَأْكُلُوا اْلأَضَاحِيَ فَوْقَ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ لِتَسَعَكُمْ وَإِنِّى أُحِلُّهُ لَكُمْ فَكُلُوا مِنْهُ مَا شِئْتُمْ وَلاَ تَبِيْعُوا لُحُومَ الْهَدْيَ وَاْلأَضَاحِي فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُوْدِهَا وَلاَ تَبِيْعُواهَا وَاِنْ أُطْعِمْتُمْ مِنْ لُحُوْمِهَا فَكُلُوا إِنْ شِئْتُمْ

Dari Qatadah bin Nu'man, "Bahwa sesungguhnya Nabi saw. berdiri (diwaktu haji wada'), maka beliau bersabda, "Kami pernah memerintahkan kamu agar tidak memakan daging kurban lebih dari tiga hari, supaya daging itu merata diterima , dan sekarang sungguh aku membolehkannya, maka silahkan makan sekehendak kamu, dan janganlah menjual daging hadyu atau kurban, makanlah, sedekahkanlah, dan manfaatkanlah kulitnya, dan jangan dijual, kalau kamu diberi daging kurban, maka makanlah jika kamu mau." (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, IV:15, No. hadis 16.311, 16.312)

Berdasarkan kalimat:
وَلاَ تَبِيْعُوا لُحُومَ الْهَدْيَ وَاْلأَضَاحِي
“dan janganlah menjual daging hadyu atau kurban.”
وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُوْدِهَا وَلاَ تَبِيْعُوهَا
 “Manfaatkanlah kulitnya, dan jangan dijual.” (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, IV:15, No. hadis 16.311, 16.312)

Kita mendapatkan petunjuk bahwa khithab (sasaran) “larangan menjual” itu ditujukan kepada Qurbani.
Dengan demikian, pada dasarnya Qurbani tidak diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan sembelihan, baik daging, kulit, kepala, tengkleng, bulu, tulang maupun bagian yang lain. Sehubungan dengan itu, Imam Al-Qurthubi berkata:
فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ جُلُودَ الْهَدْيِ وَجِلَالِهَا لَا تُبَاعُ لِعَطْفِهِمَا عَلَى اللَّحْمِ وَإِعْطَائِهِمَا حُكْمَهُ وَقَدْ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ لَحْمَهَا لَا يُبَاعُ فَكَذَا الْجُلُودُ وَالْجِلَالُ .
“Pada hadis itu terdapat dalil bahwa kulit hadyu dan pelananya tidak boleh dijual, karena penyebutan keduanya dihubungkan dengan larangan menjual daging dan hokum keduanya sama dengan hokum menjual daging. Dan sungguh mereka (para ulama) telah sepakat bahwa dagingnya tidak boleh dijual, maka begitu pula kulit dan pelananya.” (Lihat, Bustan Al-Ahbar Mukhtashar Nail Al-Awthar, II:422)

Ketentuan ini berlaku pula bagi panitia yang mendapatkan wakalah muqayyadah (mandat terikat) dari Qurbani, sebagaimana ditujunkkan dalam hadis-hadis di atas:
وَأَمَرَهُ أَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلاَلَهَا فِي الْمَسَاكِينِ
”Dan beliau menyuruhnya (Ali) agar dia membagibagikan seluruh bagiannya (kurbannya) baik berupa daging, kulit maupun pelananya kepada orang-orang miskin.” (HR. Muslim, Shahih Muslim, II:954, No. hadis 1317, An-Nasai, As-Sunan Al-Kubra, II:455, No. hadis 4143, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, V:241, No. hadis 10.022, Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid, I:51, No. hadis 64)

أَمَرَهُ أَنْ يَقْسِمَ بُدْنَهُ كُلَّهَا لُحُومَهَا وَجُلُودَهَا وَجِلاَلَهَا لِلْمَسَاكِينِ
“Beliau menyuruhnya agar dia membagibagikan seluruh bagiannya (kurbannya) baik berupa daging, kulit maupun pelananya kepada orang-orang miskin." (HR. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, II:1054, No. hadis 3157, Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:295, No. hadis 2920, Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, IX:330, No. hadis 4022)

 اقْسِمْ لُحُومَهَا بَيْنَ النَّاسِ وَجُلُودَهَا وَجِلَالَهَا
"Bagikanlah kepada orangorang, dagingnya, kulitnya dan pelananya.” (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:160, No. hadis 1374)

  اقْسِمْ لُحُومَهَا وَجِلَالَهَا وَجُلُودَهَا بَيْنَ النَّاسِ
“Bagikanlah dagingnya, pelananya dan kulitnya kepada orang-orang.” (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:260, No. hadis 2359)

Dari hadis-hadis di atas tampak jelas bahwa Ali sebagai panitia/Jami’ Qurban mendapat wakalah (mandat) dari Nabi saw. sebagai Qurbani secara muqayyadah (terikat), yaitu membagi-bagikan seluruh bagian hewan kurban, baik berupa daging, kulit maupun pelananya.

Dengan adanya wakalah muqayyadah (mandat terikat) dari Qurbani itu, maka panitia tidak diperbolehkan memperjual-belikan bagian hewan sembelihan, termasuk kulit.

Tetapi apabila bagian hewan sembelihan itu telah beralih status menjadi hak milik seseorang non Qurbani, maka terserah pemiliknya apakah untuk dimakan, dikornetkan, diberikan kepada yang lain, dimanfaatkan, maupun dijual. Hal itu sebagaimana disabdakan Nabi saw.
وَاِنْ أُطْعِمْتُمْ مِنْ لُحُوْمِهَا فَكُلُوا إِنْ شِئْتُمْ
 “Kalau kamu diberi daging kurban, maka makanlah jika kamu mau." (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, IV:15, No. hadis 16.311, 16.312)

Kata Imam Asy-Syawkani, “Sabda Nabi saw.
وَاِنْ أُطْعِمْتُمْ مِنْ لُحُوْمِهَا فَكُلُوا إِنْ شِئْتُمْ
  ‘Kalau kamu diberi daging kurban, maka makanlah jika kamu mau.’
فِيْهِ دَلِيْلٌ عَلَى أَنَّهُ يَجُوْزُ لِمَنْ أَطْعَمَهُ غَيْرُهُ مِنْ لَحْمِ الأُضْحِيَّةِ أَنْ يَأْكُلَ كَيْفَ شَاءَ وَإِنْ كَانَ غَنِيًّا
Padanya terdapat dalil bahwa dibolehkan bagi seseorang yang diberi daging kurban oleh orang lain untuk memakan sesuka hatinya meskipun ia orang kaya. “ (Lihat, Nail Al-Awthar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, VIII:337)

Dengan demikian, tentang kulit—yang biasanya dianggap menimbulkan masalah—bagi orang yang menerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena ini sudah menjadi haknya. Sedangkan menjual kulit yang dilarang adalah menjual kulit sebelum dibagikan atau dialihstatuskan.

Karena itu, apabila panitia mendapat wakalah muthlaqah (mandat bebas) maka perlu menetapkan status kulit itu, apakah akan dialihstatuskan menjadi hak anggota panitia atau hak non Qurbani lainnya. Apabila sudah jelas statusnya, penerima kulit dibolehkan memanfaatkan kulit sesuai keinginannya, baik dijual maupun untuk pemanfaatan lainnya, karena status barang itu sudah menjadi haknya.

Tidak ada komentar: