Pages

Selasa, 23 Oktober 2012

SYARIAT SHALAT JUM’AT BERTEPATAN DENGAN HARI IED (BAGIAN IV)


Metode Fahm Aqwal wa Af’al (Pemahaman perkataan & amal) Shahabat Nabi Saw.

Untuk memahami hadis-hadis tentang amal shahabat, khususnya Ibnu Zubair, berkaitan dengan syariat shalat Jumat bertepatan dengan hari ied, kita harus melihatnya dari perspektif “posisi” shahabat Nabi saw. sebagai generasi Islam pertama, yang meneruskan ajaran dan misi kerasulan, di mana mereka dalam menentukan hukum Islam selalu berpegang pada ketetapan syariat yang telah digariskan dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah, baik secara qawli (sabda), fi’li (perbuatan) maupun taqriri (persetujuan). Dan apabila shahabat tidak menemukannya dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah itu, mereka berupaya untuk berijtihad, yakni mencurahkan segenap kemampuan dalam memperoleh hukum syariat yang tidak ditegaskan dalam Al-Quran dan Sunnah dengan cara istinbath (menetapkan kesimpulan hukum) dari Al-Quran dan Sunnah.

Kegiatan ijtihad dalam memutuskan suatu perkara atau dalam menghadapi suatu persoalan yang belum ada ketentuan hukumnya dalam Al-Quran dan Sunnah itu pada dasarnya telah mendapatkan izin dari Rasulullah saw. sendiri—sebagaimana diterangkan dalam hadis—ketika beliau mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman, sebagai berikut :

عَنْ أُنَاسٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصَ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلَا آلُو فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ وَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ
Dari beberapa orang penduduk Himsh, termasuk bagian dari sahabat Mu'adz bin Jabal, bahwa Rasulullah saw. ketika akan mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman beliau bersabda, "Bagaimana engkau akan memberikan keputusan apabila ada sebuah permasalahan hukum yang dihadapkan kepadamu?" Mu'adz menjawab, "Saya akan memutuskan menggunakan Kitab Allah (Al-Quran)." Beliau bersabda, "Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam Kitab Allah?" Mu'adz menjawab, " Saya akan memutuskan dengan sunnah Rasulullah saw." Beliau bersabda lagi, "Seandainya engkau tidak mendapatkan dalam Sunnah Rasulullah saw dan dalam Kitab Allah?" Mu'adz menjawab, "Saya akan berijtihad menggunakan pendapat saya, dan saya tidak akan mengurangi." Kemudian Rasulullah saw. menepuk dadanya dan bersabda, "Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah untuk melakukan apa yang membuat ridha Rasulullah." (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, III:303, No. hadis 3592, At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III:616, No. hadis 1327, Ahmad, Musnad Ahmad, V:230, No. hadis 22.060, V:242, No. hadis 22.153, Ad-Darimi, Sunan Ad-Darimi, I:72, No. hadis 168, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, X:114, No. hadis 20.126, Abu Dawud Ath-Thayalisi, Musnad Ath-Thayalisi, I:76, No. hadis 559, dengan sedikit perbedaan redaksi. Dann redaksi di atas versi Abu Dawud)

Imam Al-Khathabi berkata:
يُرِيْدُ الإِجْتِهَادَ فِيْ رَدِّ الْقَضِيَّةِ مِنْ طَرِيْقِ الْقِيَاسِ إِلَى مَعْنَى الْكِتَابِ وَ السُّنَّةِ وَلَمْ يُرِدِ الرَّأْيَ الَّذِيْ يَسْنَحُ لَهُ مِنْ قِبَلِ نَفْسِهِ أَوْ يَخْطُرُ بِبَالِهِ مِنْ غَيْرِ أَصْلٍ مِنْ كِتَابٍ أَوْ سُنَّةٍ
“Ijtihad yang dimaksud oleh Mu’adz ialah akan mengembalikan suatu perkara dengan jalan qiyâs kepada makna Quran dan Sunnah, dan ia tidak bermaksud mengunakan pikiran yang terlintas di hatinya semata tanpa bersandar sama sekali kepada Al-Quran atau Sunnah.” (Lihat, Ma’âlim As-Sunnah Syarh Sunna Abu Dawud, IV:165)

Ibnul Qayyim berkata:
فَالصَّحَابَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ مَثَّلُوْا الْوَقَائِعَ بِنَظَائِرِهَا وَشَبَّهُوْهَا بِأَمْثَالِهَا وَرَدُّوْا بَعْضَهَا إِلَى بَعْضٍ فِيْ أَحْكَامِهَا
 “Para Shahabat Nabi saw. membandingkan peristiwa-peristiwa dengan peristiwa yang sama, dan mereka mempersamakan dengan perkara-perkara yang serupa dengannya, dan mereka mengembalikan sebagiannya kepada sebagian yang lain tentang hukum-hukumnya.” (Lihat, I’lâm Al-Muwaqqi’în, I:217)

Dari hadis Muadz di atas dapat dipahami bahwa shahabat telah mendapatkan izin untuk melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat Al-Quran dan Hadis yang dapat dijadikan sebagai dasarnya.

Dengan demikian, setelah Rasulullah saw. wafat, maka di atas pundak para sahabatlah kewajiban tasyri’ mesti mereka tegakkan. Kewajiban dimaksud adalah memberi penjelasan kepada umat Islam mengenai hal-hal yang memerlukan penjelasan dan penafsiran dari nash-nash Al-Quran dan Sunnah, dan menyebarluaskan di kalangan umat Islam apa yang mereka hafal dari ayat Al-Quran dan hadis Rasul, serta memberi fatwa hukum kepada orang-orang dalam peristiwa-peristiwa hukum dan urusan-urusan peradilan yang tidak ada nashnya.

Dalam bahasa lain, “posisi” ucapan dan perbuatan shahabat merupakan mashadir taba’iyyah (sumber hukum sekunder), bukan sebagai mashadir ashliyyah (sumber hukum primer), karena  mashadir ashliyyah hanya Al-Quran dan Sunnah. Karena itu, setiap ucapan dan perbuatan shahabat tersebut pada dasarnya selalu dan senantiasa berkisar di seputar mashadir ashliyyah dan tidak mungkin akan melanggarnya. Maka, dalam konteks inilah hadis-hadis tentang amal shahabat, khususnya Ibnu Zubair—tentang syariat shalat Jumat bertepatan dengan hari ied—harus dipahami dan ditetapkan.

Permasalahan I

Atha menjelaskan:
اجْتَمَعَ يَوْمُ جُمُعَةٍ وَيَوْمُ فِطْرٍ عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَقَالَ عِيدَانِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَجَمَعَهُمَا جَمِيعًا فَصَلَّاهُمَا رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةً لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ
“Hari Jum’at dan Iedul Fitri telah berkumpul pada hari yang sama di zaman Ibnu Zubair. Ibnu Zubair berkata, ‘Dua ied berkumpul pada hari yang sama. Lalu ia menjama’ keduanya, yaitu salat dua rakaat (salat ied) pada pagi hari, ia tidak menambah shalat apapun sampai ia salat Ashar.” HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:281, No. hadis 1072, Abdurrazaq, Al-Mushannaf, III:303, No. hadis 5725, Ibnu Al-Mundzir, Al-Awsath, VI:490, No. 2142, Al-Firyabi, Ahkam Al-‘Iedain, hlm 219.

Perkataan Atha:
لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ
“Ia (Ibnu Zubair) tidak menambah atas dua rakaat (shalat ied) hingga ia shalat Ashar.”

Menunjukkan bahwa Ibnu Zubair setelah mengimami shalat ied, pada waktu Jumat ia tidak shalat Jumat. Petunjuk itu lebih jelas kita peroleh dalam keterangan lain dari Atha sendiri:
صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِي يَوْمِ عِيدٍ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا
“Dari Atha bin Abu Rabah, ia berkata, “Ibnu Zubair salat mengimami kami pada hari ied di hari Jumat pada pagi hari, kemudian kami berangkat untuk Jumat tetapi beliau tidak datang menemui kami.” HR. Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, I:281, No. hadis 1071)

Dilihat dari “posisi” umum para shahabat dalam tasyri’ (penetapan hukum)—sebagaimana telah dijelaskan di atas—perbuatan Ibnu Zubair: tidak shalat Jumat setelah shalat ied, tentu saja bukan merupakan hasil ijtihadnya, namun sebagai bentuk pengamalan terhadap sunnah qawliah (sabda) Rasulullah saw. sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, yaitu:
مَنْ شَاءَ أَنْ يَأْتِيَ الْجُمُعَةَ فَلْيَأْتِهَا وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتَخَلَّفَ فَلْيَتَخَلَّفْ
“Siapa yang akan melaksanakan shalat Jum’at maka datanglah, dan siapa yang akan meninggalkannya (tidak melaksanakannya), maka tinggalkanlah.”

Atau dengan redaksi:
فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُجْمِعَ مَعَنَا فَلْيُجْمِعْ وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهِ فَلْيَرْجِعْ
Maka siapa yang akan melaksanakan salat Jum’at bersama kami, datanglah, dan siapa yang akan kembali kepada keluarganya (tidak melaksanakannya), maka kembalilah.”

Sehubungan dengan itu, ketika perbuatan Ibnu Zubair itu dilaporkan kepada Ibnu Abbas, Ibnu Abbas menyatakan:
أَصَابَ السُّنَّةَ
“Ia telah sesuai dengan sunnah’.” HR. Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, I:281, No. hadis 1071)

Maksud perkataan Ibnu Abbas: “Ia telah sesuai dengan sunnah”, kata Ibnu Khuzaimah,
وَإِنَّمَا أَرَادَ تَرْكَهُ أَنْ يَجْمَعَ بِهِمْ بَعْدَمَا قَدْ صَلَّى بِهِمْ صَلاَةَ الْعِيدِ
“Yang ia maksud dengan: ‘Ibnu Zubair telah sesuai dengan sunnah’ tiada lain ia tidak melaksanakan shalat Jumat bersama mereka setelah ia shalat ied mengimami mereka.” (Lihat, Shahih Ibnu Khuzaimah, II:360)

Perbuatan Ibnu Zubair tersebut, berdasarkan teori hukum wadh’I (kategori azimah-rukhsah)—sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya—dapat kita petakan sebagai berikut: setelah melaksanakan shalat ied, Ibnu Zubair sebagai mukallaf (subjek hukum) wajib shalat Jumat dapat melakukan shalat Jumat atau meninggalkannya sebagai keringanan baginya. Dan ketika itu, ia memilih untuk meninggalkan shalat Jumat. Dengan perkataan lain, ketika itu ia memilih hukum rukhsah.

Pilihan ini tentu saja berbeda dengan Umar, Usman, dan Ali ketika mengalami peristiwa serupa pada periode kekhalifan masing-masing, di mana mereka memilih untuk melakukan shalat Jumat. Perbuatan mereka tersebut—berdasarkan teori hukum wadh’i—dikategorikan memilih hukum azimah.

Perlu ditegaskan kembali, bahwa kedua pilihan ini bukan merupakan hasil ijtihad para sahabat, namun sebagai bentuk pengamalan terhadap sunnah qawliah (sabda) Rasulullah saw. sebagaimana telah dijelaskan di atas.

Karena itu, meski berbeda pilihan namun mereka sepakat bahwa shalat Jumat—bagi mukallaf (subjek hukum) wajib shalat Jumat yang telah melaksanakan shalat ied—hukumnya menjadi rukshah. (Lihat, Al-Mughni, II: 358)

Permasalahan II 

Apabila mukallaf (subjek hukum) wajib shalat Jumat yang telah melaksanakan shalat ied memilih untuk melakukan shalat Jumat, pada umumnya tidak menimbulkan kontroversi. Namun ketika memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, maka “biasanya” menimbulkan kontroversi. Yang unik, kontroversi itu bukan semata-mata meninggalkan shalat Jumatnya, namun haruskah ia melaksanakan shalat Zuhur ataukah tidak?

Sejauh pengetahuan kami, kontroversi itu tidak lepas dari penafsiran terhadap “perbuatan Ibnu Zubair” dalam laporan Atha—sebagaimana telah disampaikan teks hadisnya secara lengkap—khususnya tentang perkataan Atha:
لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ
“Ia (Ibnu Zubair) tidak menambah atas dua rakaat (shalat ied) hingga ia shalat Ashar.”

Dalam redaksi lain:
فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْنَا
“tetapi ia tidak datang menemui kami”

Kalimat tersebut menimbulkan “misteri”: Apakah ketika Ibnu Zubair tidak melaksanakan shalat Jumat, ia juga tidak melaksanakan shalat Zuhur ataukah melaksanakan shalat Zuhur di rumahnya? Dalam mensikapi hal itu para ulama berbeda pendapat.

Imam Asy-Syaukani berkata:
قَوْلُهُ : ( لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ ) ظَاهِرُهُ أَنَّهُ لَمْ يُصَلِّ الظُّهْرَ وَفِيهِ أَنَّ الْجُمُعَةَ إذَا سَقَطَتْ بِوَجْهٍ مِنْ الْوُجُوهِ الْمُسَوِّغَةِ لَمْ يَجِبْ عَلَى مَنْ سَقَطَتْ عَنْهُ أَنْ يُصَلِّيَ الظُّهْرَ وَإِلَيْهِ ذَهَبَ عَطَاءٌ حُكِيَ ذَلِكَ عَنْهُ فِي الْبَحْرِ وَالظَّاهِرُ أَنَّهُ يَقُولُ بِذَلِكَ الْقَائِلُونَ بِأَنَّ الْجُمُعَةَ الْأَصْلُ وَأَنْتَ خَبِيرٌ بِأَنَّ الَّذِي افْتَرَضَهُ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى عِبَادِهِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ هُوَ صَلَاةُ الْجُمُعَةِ فَإِيجَابُ صَلَاةِ الظُّهْرِ عَلَى مَنْ تَرَكَهَا لِعُذْرٍ أَوْ لِغَيْرِ عُذْرٍ مُحْتَاجٌ إلَى دَلِيلٍ وَلَا دَلِيلَ يَصْلُحُ لِلتَّمَسُّكِ بِهِ عَلَى ذَلِكَ فِيمَا أَعْلَمْ
Artinya:  “Perkataannya (Atha):
لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ
“Ia (Ibnu Zubair) tidak menambah atas dua rakaat (shalat ied) hingga ia shalat Ashar.”
Zhahir perkataannya itu menunjukkan bahwa ia (Ibnu Zubair) tidak mengerjakan shalat Zhuhur. Dan dalam perkataannya itu menunjukkan bahwa shalat Jum'at jika gugur dengan salah satu aspek yang diperkenankan, maka tidak wajib atas orang yang gugur darinya untuk mengerjakan shalat zhuhur. Dengan ini Atha' berpendapat, sebagaimana hal itu diceritakan dalam kitab Al-Bahr. Dan tampak jelas bahwa orang-orang yang berkata demikian karena Jum'at adalah pokok. Dan engkau tahu bahwa yang diwajibkan oleh Allah Ta'ala bagi hamba-hamba-Nya pada hari Jum'at adalah shalat Jum'at, maka mewajibkan shalat zhuhur bagi siapa yang meninggalkan shalat Jum'at karena udzur atau tanpa udzur membutuhkan dalil, dan tidak ada dalil yang pantas untuk dipegang tentang hal itu sepanjang yang aku ketahui." (Lihat, Nail Al-Awthar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, V:480)

Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq berkata:
وَعَلَى الْقَوْل بِأَنَّ الْجُمُعَة الْأَصْل فِي يَوْمهَا وَالظُّهْر بَدَل فَهُوَ يَقْتَضِي صِحَّة هَذَا الْقَوْل لِأَنَّهُ إِذَا سَقَطَ وُجُوب الْأَصْل مَعَ إِمْكَان أَدَائِهِ سَقَطَ الْبَدَل ، وَظَاهِر الْحَدِيث أَيْضًا حَيْثُ رَخَّصَ لَهُمْ فِي الْجُمُعَة وَلَمْ يَأْمُرهُمْ بِصَلَاةِ الظُّهْر
“Dan berdasarkan pendapat bahwa shalat Jumat hukum asal pada harinya dan shalat zuhur hukum pengganti, maka hadis ini menunjukkan kebenaran pendapat ini, karena apabila kewajiban hokum asal telah gugur—meskipun dapat dilaksanakan—maka gugur pula hukum pengganti. Dan zhahir hadis itu juga menunjukkan bahwa ia memberikan rukhsah kepada mereka dalam meninggalkan shalat Jumat, dan ia tidak memerintahkan kepada mereka untuk shalat Zuhur.” (Lihat, ‘Awn Al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, III:408)

Kata Syekh Abu Hafsh Al-Jaza`iriy:
قَوْلُ عَطَاءٍ لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ  ظَاهِرُهُ أَنَّهُ لَمْ يُصَلِّ الظُّهْرَ
Perkataan Atha: “Ia (Ibnu Zubair) tidak menambah atas dua rakaat (shalat ied) hingga ia shalat Ashar.” Zhahir perkataannya itu menunjukkan bahwa ia (Ibnu Zubair) tidak mengerjakan shalat Zhuhur
إِذَنْ ظَاهِرُ حَدِيْثِ ابْنِ الزُّبَيْرِ عَلَى أَنَّهُ رَخَّصَ لَهُمْ فِي الْجُمْعَةِ وَلَمْ يَأْمُرْهُمْ بِصَلاَةِ الظُّهْرِ لأَنَّ الْجُمْعَةَ أَصْلٌ وَالظُّهْرَ بَدَلٌ فَإِذَا سَقَطَ وُجُوْبُ الأَصْلِ مَعَ إِمْكَانِ أَدَائِهِ سَقَطَ الْبَدَلُ
“Jika demikian, Zhahir hadis Ibnu Zubair menunjukkan bahwa ia memberikan rukhsah kepada mereka dalam meninggalkan shalat Jumat, dan ia tidak memerintahkan kepada mereka untuk shalat Zuhur, karena shalat Jumat adalah hokum asal sedangkan Zuhur hukum pengganti. Maka apabila kewajiban hokum asal telah gugur—meskipun dapat dilaksanakan—maka gugur pula hokum pengganti.” (Lihat, Tsalats Masa`il Fiqhiyyah, hlm. 18)

 Abu Abdullah ‘Abid bin Abdullah berkata:
وَظَاهِرُهُ أَنَّهُ لَمْ يُصَلِّ الظُّهْرَ إِكْتِفَاءً بِالرَّكْعَتَيْنِ اللَّتَيْنِ صَلاَّهُمَا بِالنَّاسِ بُكْرَةً
“Zhahir perkataannya itu menunjukkan bahwa ia (Ibnu Zubair) tidak mengerjakan shalat Zhuhur karena dipandang cukup dengan salat dua rakaat (salat ied) yang dilakukannya bersama orang-orang pada pagi hari.” (Lihat, Ijtima’ Al-‘Iedain, hlm. 2)

Meski demikian, terdapat ulama lain yang menyikapi berbeda, antara lain:

Imam Ash-Shan’ani berkata:
 قُلْت: وَلَا يَخْفَى أَنَّ عَطَاءً أَخْبَرَ أَنَّهُ لَمْ يَخْرُجْ ابْنُ الزُّبَيْرِ لِصَلَاةِ الْجُمُعَةِ وَلَيْسَ ذَلِكَ بِنَصٍّ قَاطِعٍ أَنَّهُ لَمْ يُصَلِّ الظُّهْرَ فِي مَنْزِلِهِ فَالْجَزْمُ بِأَنَّ مَذْهَبَ ابْنِ الزُّبَيْرِ سُقُوطُ صَلَاةِ الظُّهْرِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ يَكُونُ عِيدًا عَلَى مَنْ صَلَّى صَلَاةَ الْعِيدِ لِهَذِهِ الرِّوَايَةِ غَيْرُ صَحِيحٍ لِاحْتِمَالِ أَنَّهُ صَلَّى الظُّهْرَ فِي مَنْزِلِهِ بَلْ فِي قَوْلِ عَطَاءٍ إنَّهُمْ صَلَّوْا وُحْدَانًا أَيْ الظُّهْرَ مَا يُشْعِرُ بِأَنَّهُ لَا قَائِلَ بِسُقُوطِهِ وَلَا يُقَالُ : إنَّ مُرَادَهُ صَلَّوْا الْجُمُعَةَ وُحْدَانًا فَإِنَّهَا لَا تَصِحُّ إلَّا جَمَاعَةً إجْمَاعًا ثُمَّ الْقَوْلُ بِأَنَّ الْأَصْلَ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ صَلَاةُ الْجُمُعَةِ وَالظُّهْرُ بَدَلٌ عَنْهَا قَوْلٌ مَرْجُوحٌ بَلْ الظُّهْرُ هُوَ الْفَرْضُ الْأَصْلِيُّ الْمَفْرُوضُ لَيْلَةَ الْإِسْرَاءِ وَالْجُمُعَةُ مُتَأَخِّرٌ فَرْضُهَا ثُمَّ إذَا فَاتَتْ وَجَبَ الظُّهْرُ إجْمَاعًا فَهِيَ الْبَدَلُ عَنْهُ
“Menurut saya, bukan rahasia lagi bahwa Atha mengabarkan bahwa Ibnu Zubair tidak keluar untuk shalat Jumat, kabar itu bukanlah pernyataan tegas bahwa ia (Ibnu Zubair) tidak shalat Zuhur di rumahnya. Maka penetapan gugurnya shalat Zuhur pada hari Jumat yang bertepatan dengan Ied atas orang yang telah melaksanakan shalat ied sebagai pendapat Ibnu Zubair berdasarkan riwayat ini adalah tidak benar, karena dimungkinkan ia (Ibnu Zubair) shalat Zuhur di rumahnya. Bahkan pada perkataan Atha bahwa mereka shalat wuhdaanan (sendirian) yaitu shalat Zuhur, terdapat pentunjuk bahwa tidak ada yang berpendapat shalat Zuhur itu menjadi gugur. Dan tidak dapat dikatakan pula bahwa maksud “mereka shalat  sendirian itu” shalat Jumat karena telah disepakati bahwa shalat Jumat tidak sah kecuali dengan berjamaah.  Selanjutnya tentang pendapat bahwa hokum asal pada hari Jumat adalah shalat Jumat dan shalat Zuhur pengganti Jumat adalah pendapat yang lemah, bhakan shalat Zuhur adalah kewajiban asal yang difardhukan pada malam Isra, sementara shalat Jumat difardhukan terkemudian, lalu apabila shalat Jumat luput dilakukan maka wajib shalat Zuhur sebagai kesepakatan. Berarti shalat Jumatlah pengganti shalat Zuhur.” (Lihat, Subulus Salam Syarh Bulugh Al-Maram, II:422)

Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haq, setelah menyampaikan pendapat Imam Asy-Syaukani dan Imam Ash-Shan’ani di atas, ia berkata:
قُلْت : هَذَا قَوْل بَاطِلٌ وَالصَّحِيح مَا قَالَهُ الْأَمِير الْيَمَانِيّ فِي سُبُل السَّلَامِ قَالَ اِبْن تَيْمِيَةَ فِي الْمُنْتَقَى بَعْد أَنْ سَاقَ الرِّوَايَة الْمُتَقَدِّمَة عَنْ اِبْن الزُّبَيْر قُلْت إِنَّمَا وَجْه هَذَا أَنَّهُ رَأَى تَقْدِمَة الْجُمُعَة قَبْل الزَّوَال فَقَدَّمَهَا وَاجْتَزَأَ بِهَا عَنْ الْعِيد اِنْتَهَى
“(Perkataan) ini adalah perkataan yang batal, dan yang benar apa yang dinyatakan oleh Al-Amir Al-Yamani (Imam As-Shan’ani) dalam kitabnya Subul As-Salam. Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Muntaqa Al-Akhbar berkata—setelah menyebutkan riwayat terdahulu dari Ibnu Zubair—menurut saya, ‘Aspek ini adalah ia berpendapat mendahulukan shalat Jumat sebelum tergelincir matahari, lalu ia mendahulukannya dan menganggap cukup dengan shalat Jumat dari shalat ied.’ Selesai.    ‘(Lihat, ‘Awn Al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, III:410)

Ibnu Abd Al-Barr, setelah menyebutkan riwayat Ibnu Zubair, berkata:
وَهذَا يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُوْنَ صَلَّى الظُّهْرَ ابْنُ الزُّبَيْرِ فِي بَيْتِهِ وَأَنَّ الرُّخْصَةَ وَرَدَتْ فِي تَرْكِ الإِجْتِمَاعَيْنِ لِمَا فِي ذلِكَ مِنَ الْمَشَقَّةِ لاَ أَنَّ الظُّهْرَ تَسْقُطُ
“Dan ini mengandung kemungkinan Ibnu Zubair shalat Zuhur di rumahnya dan rukhshah itu berlaku dalam meninggalkan kedua berjamaahnya karena terdapat kesulitan dalam hal itu, bukan berarti shalat Zuhur menjadi gugur. (Lihat, At-Tamhid Limaa fii Al-Muwatha min Al-Ma’ani wa Al-Asanid, X:276)

Mencermati kedua pendapat yang berbeda di atas tampak jelas bahwa perbuatan Ibnu Zubair dalam konteks status shalat Zuhur-nya dipandang ihtimal (mengandung kemungkinan), yaitu ia tidak melaksanakan shalat Zuhur, namun bisa jadi melaksanakannya. Karena mengandung kemungkinan, maka hadis tentang perbuatan Ibnu Zubair ini tidak dapat dijadikan hujjah tentang status shalat Zuhur bagi laki-laki yang telah melaksanakan shalat ied pada hari Jumat. Sikap ini sesuai dengan kaidah Ushul fiqih:
مَعَ الِاحْتِمَالِ يَسْقُطُ الِاسْتِدْلَالُ
“Penyertaan kemungkinan akan menggugurkan pengambilan dalil.”

Adapun pernyataan Atha—ketika Ibnu Zubair tidak keluar untuk mengimami shalat Jumat—bahwa:
فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا
“maka kami salat sendiri.”

Selain mengandung kemungkinan pula—apakah shalat mereka itu Zuhur atau shalat Jumat—tetap saja tidak dapat menganulir kemungkinan “perbuatan Ibnu Zubair” tersebut, karena pernyataan itu menjelaskan perbuatan Atha dan kawan-kawan (sebagai tabi’in), bukan perbuatan Ibnu Zubair ketika itu.

Di samping mengandung kemungkinan, “perbuatan Ibnu Zubair” itu merupakan mashadir taba’iyyah (sumber hukum sekunder), bukan sebagai mashadir ashliyyah (sumber hukum primer). Karena itu masalah  ketetapan shalat Zuhur bagi laki-laki yang telah melaksanakan shalat ied pada hari Jumat harus dikembalikan kepada mashadir ashliyyah (Al-Quran dan Sunnah), baik Qawli (sabda) maupun fi’li (perbuatan) sebagaimana telah disampaikan pada awal pembahasan.

Tidak ada komentar: