Pages

Rabu, 17 Oktober 2012

SYARIAT SHALAT JUM’AT BERTEPATAN DENGAN HARI IED (BAGIAN II)


Metode Fahm Al-Adillah (Pemahaman dalil-dalil)

Untuk memahami ketetapan syariat “baru” dalam taklif (syariat) shalat Jumat bagi laki-laki yang telah melaksanakan shalat Ied, kita tidak dapat—untuk tidak menyebut: tidak boleh—memahaminya secara parsial, namun harus secara integral dengan ketentuan umum syariat shalat Jumat yang terkandung dalam ayat Al-Quran (Surah Al-Jumu’ah:9) dan hadis Nabi riwayat Thariq bin Syihab di atas.

Untuk itu, penjelasan ayat Al-Quran dan berbagai hadis tersebut—dengan berbagai variasi redaksinya—perlu kita analisa melalui pendekatan dua model hukum: Pertama, taklifi. Kedua, wadh’i

Pertama, taklifi

Yang dimaksud dengan hukum taklifi ialah
خِطَابُ اللَّهِ الْمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِينَ بِالِاقْتِضَاءِأَوِ التَّخْيِيرِ
Khithâb (titah) Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang sebagai subjek hokum) baik berupa tuntutan maupun pilihan (untuk berbuat atau tidak berbuat).” (Lihat, Ma’alim Ushul Al-Fiqh ‘Inda Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah, hal. 290)

Dilihat dari segi sifat khithâb (titah Allah), hukum taklifi secara garis besar terbagi menjadi tiga bagian: Pertama, tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan. Apabila sifat tuntutan itu tegas atau keras disebut ijab. Namun apabila lunak disebut nadb. Kedua, tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan. Apabila sifat tuntutan itu tegas atau keras disebut Tahrim. Namun apabila lunak disebut karahah. Ketiga, pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat, disebut ibahah.

Sementara dilihat dari segi jenis mahkum bih (perbuatan subjek hukum), hukum taklifi secara garis besar juga terbagi menjadi tiga bagian: Pertama, perbuatan yang dituntut untuk dikerjakan. Apabila sifat tuntutan itu tegas atau keras disebut wajib atau fardhu, dengan berbagai kategori hukum turunannya, seperi wajib kifayah-‘ain, wajib muwassa’-mudhayyaq, wajib muhaddad-ghair muhaddad, wajib mu’ayyan-mukhayyar. Namun apabila lunak disebut mandub, mustahab atau tathawwu’. Kedua, perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan. Apabila sifat tuntutan itu tegas atau keras disebut haram. Namun apabila lunak disebut makruh. Ketiga, Perbuatan yang diperkenankan dipilih untuk dikerjakan dan ditinggalkan, disebut mubah, ja`iz, atau halal.

Kelima macam hukum itu (wajib, mandub, haram, makruh, mubah) dikenal dengan sebutan Al-Ahkam Al-Kamsah.

Kedua, wadh’i

Yang dimaksud dengan hukum wadh’I ialah
خِطَابُ اللَّهِ الْمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلَّفِينَ بِالوَضْعِ
Khithâb (titah) Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf (orang sebagai subjek hukum) berupa wadh’.” (Lihat, Ma’alim Ushul Al-Fiqh ‘Inda Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah, hal. 314)

Dalam difinisi lain:
خِطَابُ اللهِ تَعَالَى الْمُتَعَلِّقُ بِجَعْلِ الشَّيْئِ سَبَبًا لِفِعْلِ الْمُكَلَّفِ أَوْ شَرْطًا لَهُ أَوْ مَانِعًا مِنْهُ ، أَوْ صَحِيْحًا أَوْ فَاسِدًا أَوْ عَزِيْمَةً أَوْرُخْصَةً
Khithâb (titah) Allah yang berkaitan dengan menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi perbuatan mukallaf, atau shahih, fasid, azimah, atau rukhsah. (Lihat, Syarh Al-Mu’tamad, hal. 84)

Definisi di atas menunjukkan bahwa hukum wadh’i meliputi [1] sebab/illat, [2] syarat, [3] mani', [4] shahih-fasad/batal, [5] azimah-rukhshah. 

Sebagai contoh, Firman Allah Swt.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan.” Q.s. Al-Maidah:38

Ayat di atas dikategorikan hukum wadh’i, karena menjadikan pencurian sebagai sebab wajibnya potong tangan pencuri.

Firman Allah Swt.
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir.” Q.s. Al-Isra:78

Ayat di atas dikategorikan hukum wadh’i, karena menjadikan tergelincirnya matahari sebagai sebab wajibnya salat Zhuhur.

Nabi saw. Bersabda:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لاَ وُضُوءَ لَهُ
“Tidak sah shalat bagi orang yang tidak berwudhu.” HR. Abu Dawud

Sabda Nabi di atas dikategorikan hukum wadh’i, karena menjadikan wudhu’ sebagai syarat sahnya shalat.

Nabi saw. Bersabda:
أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟
“Bukankah wanita itu jika datang haid tidak boleh shalat dan shaum?” Muttafaq ‘Alaih

Sabda Nabi di atas dikategorikan hukum wadh’i, karena menjadikan haid sebagai mani’ (penghalang) wajibnya shalat dan shaum.

Sabda Nabi tentang  salat lima waktu (HR. Al-Bukhari-Muslim) dikategorikan hukum wadh’I (kategori azimah), karena menjadikan keadaan biasa sebagai sebab berlakunya hukum wajib shalat.

Firman Allah tentang mengqashar shalat ketika safar (QS. An-Nisa:101) dikategorikan hukum wadh’I (kategori rukhsah), karena menjadikan keadaan khusus (safar) sebagai sebab berlakunya hukum kebolehan menqashar shalat.

Aplikasi Teori Taklifi & Wadh’i

Teori hukum taklifi dan wadh’I di atas akan kita gunakan dalam menganalisa syariat shalat Jumat ketika bertepatan dengan hari ied, dengan tetap melibatkan tarikh tasyri’ sebagai “alat bantu” pemahamannya. Dalam konteks ini, analisa itu—sementara—tanpa  melibatkan amal shahabat ketika mereka mengalami kejadian serupa.

Sebelum terjadi peristiwa ied jatuh pada hari Jumat (tahun 3 H), shalat Jumat telah disyariatkan dengan turunnya ayat 9 surah Al-Jumu’ah
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Selain dengan firman Allah, syariat shalat Jumat itu dipertegas pula oleh Nabi saw. dengan sabda beliau:
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
Dari Thariq bin Syihab, dari Nabi saw.. saw.. beliau bersabda, “Jum’at itu adalah hak yang wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah kecuali empat golongan; hamba sahaya, perempuan, anak-anak, dan yang sakit.” (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:347, No. hadis 1067, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, III:172, No. hadis 5368)

Selain menegaskan hukum, sabda ini menetapkan pula mukallaf (subjek hukum) shalat Jumat, yaitu laki-laki muslim yang sehat lagi merdeka, baik ketika safar maupun muqim.

Berdasarkan teori taklifi, firman Allah dan sabda Nabi di atas adalah Khithâb (titah)  Allah yang menuntut agar shalat Jumat itu dilakukan. Dilihat dari segi sifat khithâb, tuntutan untuk melaksanakan shalat Jumat bersifat tegas—dengan indikasi fi’il amr (kata perintah fas’aw ilaa dzikrillah) dan kata waajib—maka firman Allah dan sabda Nabi itu dikategorikan khithâb ijab. Sedangkan atsar (akibat hukum) dari khithâb ijab disebut wujub. Sedangkan dilihat segi jenis mahkum bih (perbuatan subjek hukum), melaksanakan shalat Jumat hukumnya wajib atau fardhu.

Dilihat dari aspek jenis perbuatan yang dituntut, melaksanakan shalat Jumat dikategorikan wajib mu’ayyan, yaitu kewajiban yang hanya mempunyai satu tuntutan. Artinya, wajib mu’ayyan ini tidak ada alternatif lain kecuali memenuhi tuntutan itu. Dalam konteks syariat shalat Jumat, kewajiban shalat Jumat itu mesti dilakukan tanpa alternatif penggantian dengan ibadah lain. Adapun mukallaf (subjek hukum) shalat Jumat adalah laki-laki muslim yang sehat lagi merdeka, baik ketika safar maupun muqim.

Dengan demikian, diambil kesimpulan bahwa shalat Jumat hukumnya wajib mu’ayyan atau fardhu bagi laki-laki muslim yang sehat lagi merdeka, baik ketika safar maupun muqim. Apabila ditinggalkan maka hukumnya berdosa dan tidak dapat diganti oleh perbuatan lain.

Sedangkan berdasarkan teori wadh’i, firman Allah dan sabda Nabi di atas dikategorikan hukum azimah, karena menjadikan keadaan biasa sebagai sebab berlakunya hukum wajib shalat Jumat, baik ketika safar maupun muqim, baik ketika bertepatan dengan hari ied—andaikata telah disyariatkan—maupun di luar ied.

Namun ketika terjadi peristiwa ied jatuh pada hari Jumat (tahun 3 H), Nabi saw. menetapkan hukum shalat Jumat sebagai berikut:
فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
Dari Abu Huraerah, dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda, “Sungguh telah bersatu pada hari ini dua ied, maka siapa yang mau (tidak melaksanakan shalat Jum’at), maka shalat ied ini mencukupkan dari (shalat) Jum’at, dan sesungguhnya kami akan melaksanakan shalat Jum’at.”

Atau dengan redaksi:
مَنْ شَاءَ أَنْ يَأْتِيَ الْجُمُعَةَ فَلْيَأْتِهَا وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتَخَلَّفَ فَلْيَتَخَلَّفْ
“Siapa yang akan melaksanakan shalat Jum’at maka datanglah, dan siapa yang akan meninggalkannya (tidak melaksanakannya), maka tinggalkanlah.”

Atau dengan redaksi:
فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُجْمِعَ مَعَنَا فَلْيُجْمِعْ وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهِ فَلْيَرْجِعْ
Maka siapa yang akan melaksanakan salat Jum’at bersama kami, datanglah, dan siapa yang akan kembali kepada keluarganya (tidak melaksanakannya), maka kembalilah.”

Berdasarkan teori wadh’i, sabda Nabi di atas—dengan variasi kalimatnya— dikategorikan hukum rukhsah, karena menjadikan keadaan khusus (shalat ied di hari Jumat) sebagai sebab berlakunya hukum kebolehan meninggalkan kewajiban shalat Jumat. Ketentuan ini hanya berlaku bagi mukallaf (subjek hukum) wajib Jumat, yaitu laki-laki muslim yang sehat lagi merdeka, baik ketika safar maupun muqim, yang telah melaksanakan shalat ied. Sementara bagi laki-laki dengan kriteria itu apabila ia tidak melakukan shalat ied tetap berlaku hukum azimah (keharusan) atau wajib mu'ayyan (tidak ada pilihan).

Pemahaman demikian itu—hemat kami—sejalan dengan pemahaman Zaid bin Arqam ketika dia menyatakan:
صَلَّى الْعِيدَ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمْعَةِ فَقَالَ : مَنْ شَاءَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُصَلِّ
“Beliau shalat ied, kemudian menetapkan rukhsah pada shalat Jumat, yaitu beliau bersabda, ‘siapa yang akan salat Jum’at, maka lakukanlah’.”

Atau dalam redaksi lain:
نَعَمْ صَلَّى الْعِيدَ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ
 “Benar, beliau shalat ied pada awal siang, lalu beliau memberikan rukhsah pada shalat Jumat.”

Atau dalam redaksi lain:
نَعَمْ صَلَّى الْعِيدَ أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رَخَّصَ فِي الْجُمُعَةِ فَقَالَ مَنْ شَاءَ أَنْ يُجَمِّعَ فَلْيُجَمِّعْ
“Benar, beliau shalat ied pada awal siang, lalu beliau memberikan rukhsah pada shalat Jumat, beliau bersabda, ‘Siapa yang akan shalat Jumat, maka lakukanlah’.”

Ditinjau dari segi keadaan hukum  asal (keharusan melaksanakan shalat Jumat) sesudah berlaku padanya rukhsah (boleh meninggalkan shalat Jumat), maka dalam metodologi hukum madzhab Hanafiyyah, rukhsah semacam ini dikategorikan rukhsah tarfih (رخصة الترفيه), yaitu rukhsah yang meringankan dari pelaksanaan hukum azimah tetapi hukum azimah berikut dalilnya masih tetap berlaku. Hanya pada waktu itu mukallaf (subjek hukum) wajib Jumat dapat melakukan atau meninggalkannya sebagai keringanan baginya. Artinya, laki-laki dengan kriteria di atas yang wajib Jumat dalam hukum azimah, dibolehkan meninggalkan shalat Jumat apabila telah melaksanakan shalat ied.

Pemahaman ini sesuai dengan sabda Nabi saw.
مَنْ شَاءَ أَنْ يَأْتِيَ الْجُمُعَةَ فَلْيَأْتِهَا وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتَخَلَّفَ فَلْيَتَخَلَّفْ
“Siapa yang akan melaksanakan shalat Jum’at maka datanglah, dan siapa yang akan meninggalkannya (tidak melaksanakannya), maka tinggalkanlah.”

Atau dengan redaksi:
فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُجْمِعَ مَعَنَا فَلْيُجْمِعْ وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى أَهْلِهِ فَلْيَرْجِعْ
Maka siapa yang akan melaksanakan salat Jum’at bersama kami, datanglah, dan siapa yang akan kembali kepada keluarganya (tidak melaksanakannya), maka kembalilah.”

Sebagai catatan, dalam sabda Nabi di atas tidak sedikit pun disinggung shalat zhuhur bagi orang yang memilih tidak shalat Jumat. Hal itu dapat dimaklumi, karena waktu itu mukallaf (subjek hukum) wajib Jumat hanya diberikan pilihan antara melakukan shalat Jumat atau meninggalkannya sebagai keringanan baginya, bukan  antara melakukan shalat Jumat atau shalat Zhuhur.

Demikian kiranya metode pemahaman yang digunakan oleh Ibnu Zubair, ketika ia meninggalkan shalat Jumat—dan ia tidak shalat apapun—hingga tiba waktu Ashar, yang insya Allah akan disampaikan pada pembahasan selanjutnya.

Tidak ada komentar: