Pages

Rabu, 24 Oktober 2012

SYARIAT SHALAT JUM’AT BERTEPATAN DENGAN HARI IED (BAGIAN V-TAMAT)

Ketetapan shalat Zuhur bagi laki-laki yang telah melaksanakan shalat ied pada hari Jumat akan kita analisa melalui dua perspektif: mashadir ashliyyah (sumber hukum primer) dan mashadir taba’iyyah (sumber hukum sekunder).  Mashadir ashliyyah yang dimaksud adalah petunjuk Al-Quran dan Sunnah tentang kewajiban shalat Zuhur & shalat Jumat. Dalam menggali petunjuk itu digunakan teori taklifi dan wadh’i, yang telah dijelaskan sebelumnya. Sedangkan Mashadir taba’iyyah adalah ucapan atau amaliah shahabat. Dalam menggali petunjuk itu digunakan teori “posisi” umum para shahabat dalam tasyri’ (penetapan hukum)--sebagaimana telah dijelaskan di atas—juga beberapa contoh shahabat dalam kasus khusus, baik sebagai mukallaf (subjek hukum) shalat Jumat maupun mukallaf (subjek hukum) shalat Zuhur, khususnya di hari Jumat.

Perspektif Mashadir Ashliyyah

Dalam perspektif ini, apakah status shalat Zuhur bagi laki-laki yang telah melaksanakan shalat ied pada hari Jumat itu telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah atau tidak?

Apabila kita perhatikan kembali tarikh tasyri’ (sejarah perundang-undangan) shalat Zuhur & kewajiban shalat Jumat, sebagaimana telah dijelaskan di awal pembahasan, maka kita dapat menetapkan bahwa laki-laki yang telah melaksanakan shalat ied pada hari Jumat,  lalu ia memilih untuk meninggalkan shalat Jumat, maka ketika itu ia tidak diwajibkan shalat Zuhur, karena ia sebagai mukallaf (subjek hukum) wajib shalat Jumat, bukan shalat Zuhur.

Ketetapan ini berdasarkan petunjuk umum syariat Jumat dalam Firman Allah (QS. Al-Jumu’ah:9) dan sabda Nabi
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
Dari Thariq bin Syihab, dari Nabi saw.. saw.. beliau bersabda, “Jum’at itu adalah hak yang wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah kecuali empat golongan; hamba sahaya, perempuan, anak-anak, dan yang sakit.” (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:347, No. hadis 1067, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, III:172, No. hadis 5368)

Dan petunjuk khusus syariat Jumat ketika bertepatan dengan ied dalam sejumlah hadis Nabi saw. sebagaimana telah dikemukakan secara lengkap pada edisi sebelumnya.

Petunjuk umum dan khusus itu kita peroleh dengan menggunakan teori taklifi dan wadh’i, yang juga telah dijelaskan sebelumnya.Berdasarkan teori taklifi dan wadh’i itu dapat dipetakan prosedur penetapan hukum status shalat Zuhur sebagai berikut:

Firman Allah (QS. Al-Jumu’ah:9) dan sabda Nabi
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِي جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَرِيضٌ
Dari Thariq bin Syihab, dari Nabi saw.. saw.. beliau bersabda, “Jum’at itu adalah hak yang wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah kecuali empat golongan; hamba sahaya, perempuan, anak-anak, dan yang sakit.” (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:347, No. hadis 1067, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, III:172, No. hadis 5368)

Analisa teori taklifi 
  • Dilihat dari segi sifat khithâb (titah), Firman Allah dan hadis itu dikategorikan khithâb ijab, yaitu menuntut agar shalat Jumat itu dilakukan.
  • Dilihat segi jenis mahkum bih (perbuatan subjek hukum), melaksanakan shalat Jumat hukumnya wajib atau fardhu.
  • Dilihat dari aspek jenis perbuatan yang dituntut, melaksanakan shalat Jumat dikategorikan wajib mu’ayyan, yaitu mesti dilakukan tanpa alternatif penggantian dengan ibadah lain.
  • Dilihat dari aspek mukallaf (subjek hukum) shalat Jumat adalah laki-laki muslim yang sehat lagi merdeka, baik ketika safar maupun muqim.
Dengan demikian, apabila mukallaf (subjek hukum) shalat Jumat sengaja meninggalkannya maka hukumnya berdosa dan tidak dapat diganti oleh shalat Zuhur, karena ia bukan mukallaf (subjek hukum) shalat Zuhur.

Berbeda halnya dengan laki-laki sakit yang tidak dapat menghadiri shalat Jumat, demikian pula kaum perempuan, karena mereka mukallaf (subjek hukum) shalat Zuhur, bukan shalat Jumat, maka pada hari Jumat waktu Zuhur, mereka diwajibkan shalat Zuhur.

Analisa teori wadh’i
  • Firman Allah dan sabda Nabi di atas dikategorikan hukum azimah, karena menjadikan keadaan biasa sebagai sebab berlakunya hukum wajib shalat Jumat, baik ketika safar maupun muqim, baik ketika bertepatan dengan hari ied—andaikata telah disyariatkan—maupun di luar ied.
  • Sehubungan dengan terjadi peristiwa ied jatuh pada hari Jumat (tahun 3 H), Nabi saw. bersabda, antara lain:
فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ

maka siapa yang mau (tidak melaksanakan shalat Jum’at), maka shalat ied ini mencukupkan dari (shalat) Jum’at, dan sesungguhnya kami akan melaksanakan shalat Jum’at.”

Atau dengan redaksi:
مَنْ شَاءَ أَنْ يَأْتِيَ الْجُمُعَةَ فَلْيَأْتِهَا وَمَنْ شَاءَ أَنْ يَتَخَلَّفَ فَلْيَتَخَلَّفْ
“Siapa yang akan melaksanakan shalat Jum’at maka datanglah, dan siapa yang akan meninggalkannya (tidak melaksanakannya), maka tinggalkanlah.”

Sabda Nabi itu dikategorikan hukum rukhsah, karena menjadikan keadaan khusus (shalat ied di hari Jumat) sebagai sebab berlakunya hukum kebolehan meninggalkan kewajiban shalat Jumat.
  • Ketentuan ini hanya berlaku bagi mukallaf (subjek hukum) wajib Jumat, yaitu laki-laki muslim yang sehat lagi merdeka, baik ketika safar maupun muqim, yang telah melaksanakan shalat ied.
  • Sementara bagi laki-laki dengan kriteria itu apabila ia tidak melakukan shalat ied tetap berlaku hukum azimah (keharusan) atau wajib mu'ayyan (tidak ada pilihan). 

Bagaimana dengan laki-laki sakit yang tidak dapat menghadiri shalat Jumat, demikian pula kaum perempuan? Bagi keduanya, baik ied hari Jumat maupun tidak, tidak merubah statusnya sebagai mukallaf (subjek hukum) shalat Zuhur, bukan shalat Jumat, karena itu pada hari Jumat waktu Zuhur, mereka diwajibkan shalat Zuhur.

Berdasarkan pendekatan teori taklifi dan wadh’i terhadap dalil-dalil di atas dapat diketahui bahwa mukallaf (subjek hukum) wajib Jumat, yaitu laki-laki yang sehat, apabila telah melaksanakan shalat ied pada hari Jumat hanya diberikan pilihan antara melakukan shalat Jumat atau meninggalkannya sebagai rukhsah (keringanan) baginya, bukan  antara melakukan shalat Jumat atau shalat Zhuhur.

Karena itu, menetapkan shalat Zuhur bagi mukallaf (subjek hukum) wajib Jumat yang telah melaksanakan shalat ied pada hari Jumat itu perlu berlandasan dalil, baik Al-Quran maupun Sunnah Nabi saw. Dan sejauh penelitian kami, tidak ditemukan dalil, baik Al-Quran maupun Sunnah Nabi saw. yang menunjukkan bahwa mukallaf (subjek hukum) wajib Jumat, yaitu laki-laki yang telah melaksanakan shalat ied pada hari Jumat, diberikan pilihan antara melakukan shalat Jumat atau shalat Zhuhur.

Perspektif Mashadir Taba’iyyah 

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa “posisi” umum para shahabat dalam tasyri’ (penetapan hukum) adalah sebagai pengamal, penjelas, dan penafsir terhadap hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah. Sementara terhadap masalah hukum yang tidak ada nashnya mereka sebaga pemberi fatwa berdasarkan hasil ijtihadnya.

Dalam konteks ini, kita mendapatkan beberapa contoh shahabat baik sebagai mukallaf (subjek hukum) shalat Jumat maupun mukallaf (subjek hukum) shalat Zuhur, khususnya di hari Jumat.

Sebagai mukallaf (subjek hukum) shalat Jumat—di luar hari ied—kita mendapatkan banyak hadis yang menunjukkan bagaimana mereka melaksanakan kewajiban Jumat itu, antara lain pada masa-masa awal shalat Jumat disyariatkan:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ بَيْنَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِذْ قَدِمَتْ عِيرٌ إِلَى الْمَدِينَةِ فَابْتَدَرَهَا أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى لَمْ يَبْقَ مَعَهُ إِلَّا اثْنَا عَشَرَ رَجُلًا فِيهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ قَالَ وَنَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا }
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, “Ketika Nabi saw. berdiri menyampaikan khutbah pada hari Jumat, tiba-tiba datanglah suatu Kafilah dagang ke Madinah, maka para sahabat Rasulullah saw. (yang sedang mendengarkan khutbah itu) bergegas mendatanginya hingga tidak tersisa lagi orang yang bersama beliau kecuali dua belas orang. Di antara mereka ada Abu Bakar dan Umar. Maka turunlah ayat ini: "Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya..." (QS. Al-Jumuah:11). HR. Muslim

Demikian pula sebagai mukallaf (subjek hukum) shalat Zuhur, khususnya di hari Jumat, kita mendapatkan banyak hadis yang menunjukkan bagaimana mereka melaksanakan kewajiban shalat Zuhur itu, bukan melaksanakan shalat Jumat, antara lain para shahabat wanita
عَنْ أُمِّ هِشَامٍ بِنْتِ حَارِثَةَ بْنِ النُّعْمَانِ قَالَتْ لَقَدْ كَانَ تَنُّورُنَا وَتَنُّورُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاحِدًا سَنَتَيْنِ أَوْ سَنَةً وَبَعْضَ سَنَةٍ وَمَا أَخَذْتُ ق وَالْقُرْآنِ الْمَجِيدِ إِلَّا عَنْ لِسَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَؤُهَا كُلَّ يَوْمِ جُمُعَةٍ عَلَى الْمِنْبَرِ إِذَا خَطَبَ النَّاسَ
Dari Ummu Hisyam binti Haritsah An Nu’am ia mengatakan, “Adalah Tungku alat masakku dan tungku alat masak Rasulullah berdekatan selama satu sampai dua tahun, dan aku tidak hafal surat qaf dan walqur’anul majid kecuali dari lisan Rasulullah saw. yang beliau baca setiap hari jum’at di atas mimbar bila berkhutbah pada orang-orang. H.r. Muslim

Ummu Hisyam menjelaskan hafal surat itu dari lisan Nabi yang berkhotbah Jumat karena sangat dekatnya rumah Nabi saw. yang rapat dengan mesjid dan rumahnya. Maka, Umu Hisyam sedang menjelaskan bahwa ia tidak turut salat jumat.

Sebagai mukallaf (subjek hukum) shalat Jumat—ketika hari ied—kita mendapatkan keterangan sebagian besar shahabat yang memilih shalat Jumat setelah melaksanakan shalat ied, seperti Umar, Usman, Ali. Namun kita pun mendapatkan keterangan pula yang menunjukkan terdapat shahabat lain yang memilih tidak melaksanakan shalat Jumat, seperti Ibnu Zubair.

Berdasarkan perspektif mashadir taba'iyyah (sumber hukum sekunder), yaitu “posisi” umum para shahabat dalam tasyri’ (penetapan hukum) dapat diketahui bahwa:
  • Mukallaf (subjek hukum) wajib Jumat—di luar hari ied—mereka senantiasa melaksanakan shalat Jumat.
  • Mukallaf (subjek hukum) wajib shalat Zuhur—meski di hari Jumat—mereka senantiasa melaksanakan shalat Zuhur.
  • Ketika hari ied jatuh di hari Jumat, mukallaf (subjek hukum) wajib Jumat—yang telah melaksanakan shalat ied—ada yang memilih shalat Jumat dan ada pula yang memilih untuk meninggalkannya sebagai rukhsah (keringanan) baginya.
Dengan demikian, sejauh penelitian kami, tidak ditemukan dalil dalam mashadir taba’iyyah (perbuatan shahabat), yang menunjukkan bahwa mukallaf (subjek hukum) wajib Jumat—yang telah melaksanakan shalat ied—ketika memilih tidak melakukan shalat Jumat, ia melaksanakan shalat Zhuhur.

Berbeda kasusnya dengan mukallaf (subjek hukum) wajib Jumat—ketika ia melakukan safar—kita menemukan dalil dalam mashadir taba’iyyah (perbuatan shahabat) yang menunjukkan pilihan antara melakukan shalat Jumat, seperti Ibnu Umar, atau shalat Zhuhur, ketika ia tidak melaksanakan shalat Jumat, seperti Ibnu Umar dan Anas bin Malik, sebagaimana diterangkan dalam hadis sebagai berikut:

عَنْ عَطَاءٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ إِذَا كَانَ بِمَكَّةَ فَصَلَّى الْجُمُعَةَ تَقَدَّمَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ تَقَدَّمَ فَصَلَّى أَرْبَعًا وَإِذَا كَانَ بِالْمَدِينَةِ صَلَّى الْجُمُعَةَ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى بَيْتِهِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَلَمْ يُصَلِّ فِي الْمَسْجِدِ فَقِيلَ لَهُ فَقَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُ ذَلِكَ.
Dari Atha, dari Ibnu Umar, ia (Atha) berkata, "Beliau (Ibnu Umar) berada di Mekah, lalu salat Jumat. (setelah selesai) ia melangkah ke depan untuk salat sunat dua rakaat, kemudian melangkah ke depan untuk salat sunat empat rakaat. Dan bila berada di Madinah ia salat Jumat, lalu kembali ke rumahnya, maka salat dua rakaat dan tidak salat di masjid. Maka ditanyakan kepadanya, lalu ia berkata, "Rasulullah saw.. melakukan hal itu (salat sunat bada Jumat di rumahnya). H.r. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:363

Sedangkan hadis tentang Ibnu Umar yang tidak melaksanakan Jumat ketika safar sebagai berikut:
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ذُكِرَ لَهُ أَنَّ سَعِيدَ بْنَ زَيْدِ بْنِ عَمْرِو بْنِ نُفَيْلٍ وَكَانَ بَدْرِيًّا مَرِضَ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ فَرَكِبَ إِلَيْهِ بَعْدَ أَنْ تَعَالَى النَّهَارُ وَاقْتَرَبَتْ الْجُمُعَةُ وَتَرَكَ الْجُمُعَةَ
Dari Nafi, sesungguhnya Ibnu Umar diterangkan kepada beliau bahwa Sa'id bin Zaid bin Amr bin Nufel, dan ia orang Badar, sakit pada hari Jumat Lalu Ibnu Umar berangkat untuk menengoknya menjelang siang, dan telah dekat waktu Jumat, dan Ibnu Umar tidak melaksanakan Jumat . H.r. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, 1997:820, kitabul maghazi, No. hadis 3990

Kesimpulan


Mukallaf (subjek hukum) wajib Jumat, yaitu laki-laki yang telah melaksanakan shalat ied, bila ia memilih untuk meninggalkan shalat Jumat tidak disyariatkan shalat Zuhur.

Tidak ada komentar: