Pages

Minggu, 16 September 2012

SIAPAKAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH? (BAGIAN XI)

Sebagai catatan tambahan bahwa perkembangan berbagai madzhab itu, selain didukung oleh fuqaha (mujtahid), serta para pengikut mereka, juga mendapat pengaruh dan dukungan dari kekuasaan politik. Misalnya, Madzhab Hanafi mulai berkembang ketika Abu Yusuf, murid Abu Hanifah, diangkat menjadi qadhi dalam pemerintahan tiga khalifah Abbasiyah: Al-Mahdi bin Mansyur (berkuasa 158-169 H/755-785 M), Al-Hadi bin Mahdi (berkuasa 169-170 H/785-786 M), dan Harun Ar-Rasyid (berkuasa 170-193 H/786-809 M). Al-Kharaj adalah kitab yang disusun atas permintaan Harun Al-Rasyid. Kitab ini adalah rujukan utama madzhab Hanafi. Madzhab Maliki berkembang di khilafah Timur atas dukungan Al-Manshur (berkuasa 136-158 H/754-755 M) dan di khilafah Barat atas dukungan Yahya bin Yahya ketika diangkat menjadi qadhi oleh para khalifah Andalusia. Di Afrika, al-Mu'iz Badis mewajibkan seluruh penduduk untuk mengikuti madzhab Maliki.

Adapun Madzhab Syafi'i membesar di Mesir ketika Shalahuddin al-Ayyubi merebut negeri itu (tahun 583 H/1187 M).
Sementara Madzhab Hanbali menjadi kuat pada masa pemerintahan Al-Mutawakkil (berkuasa 232-247 H/847-861 M). Waktu itu al-Mutawakkil tidak mengangkat seorang qadhi kecuali dengan persetujuan Imam Ahmad ibn Hanbal.

Dalam menyimpulkan semua ini, Syah Wali Ad-Dahlawi menyatakan: "Bila pengikut suatu madzhab menjadi masyhur dan diberi wewenang untuk menetapkan keputusan hukum dan memberikan fatwa, dan tulisan mereka terkenal di masyarakat, lalu orang mempelajari madzhab itu terang-terangan. Dengan begitu, tersebarlah madzhabnya di seluruh penjuru bumi. Bila para pengikut madzhab itu lemah dan tidak memperoleh posisi sebagai hakim dan tidak berwewenang memberi fatwa, maka orang tak ingin mempelajari madzhabnya. Lalu madzhab itu pun hilang setelah beberapa lama."

Karena itu dapat dimengerti apabila dari 13 madzhab fiqih yang masih eksis dan berkembang adalah empat madzhab, yaitu Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali.

Berikut ini akan dijelaskan secara garis besar sumber dan metode empat madzhab itu sehingga kita dapat memahami dasar lahirnya berbagai madzhab itu serta mengetahui aspek yang menyamakan dan membedakan antara satu madzhab dengan madzhab lainnya.

(1) Madzhab Hanafi

Dalam konteks aliran fikih, Madzhab Hanafi berarti fikih dan ushul fiqh Imam Abu Hanifah. Namanya An-Nu’man bin Tsabit. Beliau lahir di Kufah tahun 80 H/699 M dan wafat di Baghdad tahun 150 H/767 M, dalam usia 70 tahun. Oleh Ibnu Hajar, beliau dikategorikan thabaqat (generasi ke-6), yaitu sezaman dengan salah seorang sahabat Rasul, namun tidak pernah bertemu. Menurut Imam Nawawi, sezaman dengan 4 shahabat Rasul yang paling akhir wafat, yaitu Anas bin Malik, Abdullah bin Abu Aufa, Sahl bin Sa’ad, dan Abut Thufail.
Setelah berkembangnya madzhab Abu Hanifah, beliau populer dengan sebutan Imam Hanafi. (Lihat, Mukadimah Tuhfatul Ahwadzi, juz 1, hal. 171)

Abu Hanifah thalab al-ilm (menuntut ilmu) dan hadis dari 76 ulama, di antaranya Atha bin Abu Rabbah, Amir as-Sya’bi, ‘Ikrimah maula Ibnu Abbas. Khusus dalam bidang fikih, Abu Hanifah berguru kepada Hammad bin Abu Sulaiman, ahli fikih di Kufah yang populer waktu itu, selama 18 tahun, hingga dipercaya menjadi asistennya. Dari Hammad beliau belajar fikih ulama Irak yang merujuk kepada fikih Ali bin Abu Thalib dan Ibnu Mas’ud.

Sedangkan murid (Hanafiyyun) yang belajar kepada Abu Hanifah sebanyak 97 orang, namun yang paling dekat sarta dipercaya menjadi asistennya ada 4 orang,   (1) Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari, yang populer disebut Abu Yusuf, serta peletak dasar usul fiqh Madzhab Hanafi, (2) Muhamad bin Hasan As-Syaibani, (3) Zufar bin Hudzail, (4) Hasan bin Ziyad.

Adapun tentang sumber Hukum dan metode yang digunakan oleh madzhab Hanafi dalam menetapkan hukum adalah sebagai berikut: Al-Quran, sunnah, ijma’ serta fatwa-fatwa sahabat. Namun jika tidak ditemukan dalam 4 sumber itu, beliau dan para muridnya menetapkan dasar dan metode tersendiri yang terkenal disebut (1) istihsân, (2) qiyâs, dan (3) urf.

(1) Istihsân

Istihsân secara bahasa adalah derivat (musytaq) dari kata al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsân sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun  hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain. (Lihat, Lisan Al-‘Arab, XIII:117)

Adapun menurut istilah, Istihsân memiliki banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih, di antaranya adalah:
  •  “Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.” Definisi ini versi Al-Karkhy—salah seorang ulama Hanafiyah—dan kemudian dipilih pula oleh Ibnu Qudamah Al-Hanbaly. (Lihat, Kasyf Al-Asrar, IV:3, Rawdhah An-Nazhir wa Jannah Al-Manazhir, I:497
  •  “Meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyâs tertentu menuju qiyâs yang lebih kuat darinya.” (Lihat, Al-Istihsan, hal. 1)
  • “Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil.” (Lihat, Al-Istihsan, hal. 1)
Dari definisi-definisi tersebut, kita dapat melihat bahwa inti dari Istihsân adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.

Dengan demikian, Istihsân meski dalam aspek tertentu mirip dengan qiyâs namun pada aspek lainnya terdapat perbedaan di antara keduanya. Pada qiyâs ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat (sebab, motif hukum) dengan peristiwa pertama.

Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu. Dengan perkataan lain bahwa pada qiyâs yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan 'illat dari dua peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.

Dasar Hukum Istihsân versi Madzhab Hanafi

Menurut madzhab hanafi, Istihsân sebenarnya semacam qiyâs, yaitu memenangkan qiyâs khafi (samar) atas qiyâs jali (jelas, terang) atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyâs jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan Istihsân itu dibolehkan pula karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Di samping Madzhab Hanafi, madzhab lain yang menggunakan Istihsân ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hanbali.

Sedangkan yang menentang Istihsân dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi'i. Istihsân menurut mereka adalah menetapkan hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam As-Syafi'i dalam ungkapannya yang terkenal menyatakan:
مَنْ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ
“Siapa saja yang menetapkan hukum dengan dasar istihsân sungguh ia telah menetapkan sendiri hukum syara'” (Lihat, Ar-Risalah, hal. 507, Al-Umm, VII:270)

Dalam redaksi lain:
مَنِ اسْتَصْلَحَ فَقَدَ شَرَّعَ كَمَنِ اسْتَحْسَنَ وَالإِسْتِصْلاَحُ كَالإِسْتِحْسَانِ مُتَابَعَةٌ لِلْهَوَى
Siapa saja yang menetapkan hukum dengan dasar maslahat berarti sama pula halnya dengan orang menetapkan hukum dengan istihsân, maka orang tersebut telah menetapkan hukum dengan hawa nafsu. (Lihat, Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî, hal. 89)

Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian Istihsân menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa Istihsân menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari Istihsân menurut pendapat Madzhab Syafi'i.

Menurut Madzhab Hanafi, Istihsân itu semacam qiyâs, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi'i, Istihsân itu timbul karena rasa “kurang enak”, kemudian pindah kepada “rasa yang lebih enak”. Seandainya Istihsân itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu, Imam Asy-Syathibi menyatakan, "orang yang menetapkan hukum berdasarkan Istihsân tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah swt. menciptakan syariat dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara' yang umum." (Lihat, Al-Muwâfaqât fi Ushul Al-Ahkam, V:194)

Ditinjau dari segi pengertian Istihsân menurut ulama ushul fiqh di atas, maka Istihsân itu terbagi atas dua macam:

Pertama, berpindah dari qiyâs jali kepada qiyâs khafi, karena ada dalil yang mengharuskan perpindahan itu. Dalam hal ini Madzhab Hanafi mengajukan contoh studi kasus:
  • Apabila seseorang mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwakafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar Istihsân. Menurut qiyâs jali, hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyâskan wakaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila wakaf diqiyâskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut Istihsân hak tersebut diperoleh dengan mengqiyâskan wakaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan wakaf. Yang penting pada wakaf ialah agar barang yang diwakafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika wakaf itu diqiyâskan kepada jual beli (qiyâs jali), maka tujuan wakaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari ashal (dasar)nya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini menunjukkan adanya persamaan 'illat (sebab, motif hukum), yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyâsnya adalah qiyâs khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan wakaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyâs jali kepada qiyâs khafi, yang disebut Istihsân.
  • Sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang, burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan Istihsân. Menurut qiyâs jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyâskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Menurut qiyâs khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang buas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab dimakan oleh paruhnya, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini, keadaan tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyâs jali kepada qiyâs khafi, yang disebut Istihsân.
Kedua, berpindah dari hukum kulli (keseluruhan) kepada hukum juz`i (parsial), karena ada dalil yang mengharuskannya. Istihsân jenis ini oleh Madzhab Hanafi disebut Istihsân darurat, karena perpindahan itu dilakukan dengan sebab suatu kepentingan atau kedaruratan. Dalam hal ini Madzhab Hanafi mengajukan contoh studi kasus:
  • Syariat melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk segala macam jual beli dan perjanjian. Hukum demikian disebut hukum kuIIi. Tetapi syariat memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang secara cash and carry (kontan) dibayar di muka, namun barangnya itu akan dikirim kemudian (secara tempo), sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (bai’ As-salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada bai’ As-salam itu merupakan pengecualian (istitsna) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz`i, karena keadaan menghendaki demikian dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.
  • Menurut hukum kulli, seorang pemboros yang memiliki harta berada di bawah perwalian seseorang, karena itu ia tidak dapat melakukan transaksi hartanya tanpa izin walinya. Dalam hal ini dikecualian transaksi yang berupa wakaf. Orang pemboros itu dapat melakukan atas namanya sendiri, karena dengan wakaf itu hartanya terpelihara dari kehancuran dan sesuai dengan tujuan diadakannya perwalian, yaitu untuk memelihara hartanya. Hukum demikian disebut hukum juz`i.

Demikian gambaran sekilas dasar hukum dan metode istihsân yang digunakan Madzhab Hanafi dalam penetapan hukum. Dengan gambaran ini, diharapkan kita dapat mengetahui aspek yang membedakan madzhab ini dengan tiga madzhab lainnya.

Sumber Ust Amin Mukhtar

Tidak ada komentar: