Pages

Senin, 15 Oktober 2012

SYARIAT SEPUTAR IEDUL ADHA (BAGIAN IV-TAMAT)


Kornetisasi Daging Qurban 

Pada sub tema: Pembagian Daging Qurban telah disampaikan beberapa keterangan, baik dari Al-Quran (QS. Al-Hajj:28 & 36) maupun hadis-hadis Nabi saw. tentang pelaksanaan ketentuan syariat Qurban dan kaifiyat (mekanisme) pengelolaan hewan qurban setelah disembelih.

Berbagai keterangan tersebut menunjukkan bahwa pada dasarnya pelaksanaan ketentuan syariat Qurban dan kaifiyat (mekanisme) pengelolaan hewan qurban menjadi tugas dan kewenangan penuh Qurbani, termasuk dalam menentukan bagian hak dirinya sebagai Qurbani.
Di dalam Al-Quran, tugas dan kewenangan itu diungkap dengan kalimat:
فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا
”Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan” QS.Al-Hajj:28 & 36.
Sementara di dalam hadis diungkap dengan kalimat:
كُلُوا وَأَطْعِمُوا وَادَّخِرُوا
“Makanlah, bagikanlah, dan simpanlah.” Redaksi Salamah
فَكُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَاسْتَمْتِعُوا بِجُلُوْدِهَا
“Makanlah, sedekahkanlah, dan manfaatkanlah kulitnya.” Redaksi Qatadah
فَكُلُوا وَادَّخِرُوا وَتَصَدَّقُوا
“Maka makanlah, simpanlah, dan bagikanlah” Redaksi Abdullah bin Waqid.

Selain menunjukkan tugas dan kewenangan, ayat Al-Quran dan hadis-hadis itu juga menunjukkan hak-hak mustahiq (qurbani dan non qurbani).

Penggunaan kalimat dalam hadis-hadis itu: kuluu (makanlah) dan iddakhiru (awetkanlah) berkaitan dengan hak qurbani. Selebih dari itu sudah menjadi bagian wa tashaddaquu (sadaqahkanlah), yaitu hak orang lain (si penerima). Itulah sebabnya mengapa kata-kata kuluu (makanlah), wad dakhiruu (dan awetkanlah) disebut secara terpisah dengan kata wa tashaddaquu (dan sadaqahkanlah), hal itu untuk menunjukkan hak masing-masing. Karena itu hadis tersebut memberikan kewenangan kepada qurbani untuk mengelola  daging qurban yang menjadi haknya, tanpa punya kewenangan untuk ikut campur dalam pengelolaan daging yang dishadaqahkannya. Karena pengelolaan  daging qurban bagian  dari wa tashaddaqu (sadaqahkanlah), menjadi kewenangan penerima shadaqah, apakah untuk dimakan (disate, dikornetkan, diabon) atau diberikan kepada yang lain, termasuk dijual.

Sehubungan dengan itu, ketika Qurbani mendapatkan tugas wa tashaddaqu (dan sadaqahkanlah)  hendaknya ia membagikan daging kurban itu apa adanya--dalam keadaan mentah—dan tidak berwenang membagikannya dalam keadaan masak, misalnya disate, dikornetkan, atau diabon, karena ”memasak” bagian  dari wa tashaddaqu (sadaqahkanlah) sudah menjadi menjadi kewenangan orang lain sebagai penerima shadaqah.

Ketentuan ini berlaku pula bagi panitia, bila Qurbani menitipkan pengurusan hewan dan menyerahkan kewenangan pengelolaannya kepada panitia. Artinya,  panitia pun tidak berwenang membagikan daging kurban dalam keadaan masak, baik ”pos” kuluu (makanlah) sebagai hak Qurbani, maupun ”pos” wa tashaddaqu (sadaqahkanlah) sebagai hak non Qurbani. Kecuali panitia mendapatkan mandat dari Qurbani atau non Qurbani untuk  ”memasak” bagian  masing-masing dari kedua belah pihak. Hal itu seperti yang dimandatkan oleh Nabi saw. kepada Ali bin Abu Thalib:
وَخُذْ لَنَا مِنْ كُلِّ بَعِيرٍ حُذْيَةً مِنْ لَحْمٍ ثُمَّ اجْعَلْهَا فِي قِدْرٍ وَاحِدَةٍ حَتَّى نَأْكُلَ مِنْ لَحْمِهَا وَنَحْسُوَ مِنْ مَرَقِهَا
“Bagikanlah dagingnya, pelananya dan kulitnya kepada orang-orang dan jangan engkau memberikan sedikit pun kepada tukang potongnya. Ambilkan untuk kami sepotong daging dari setiap ekor itu, kemudian masukkan ke dalam satu periuk sehingga kami memakan dari dagingnya dan minum dari kuahnya." (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, I:260, No. hadis 2359)
Sementara terkait dengan hak non Qurbani Nabi pun tidak ikut campur dalam pengelolaannya, beliau hanya bersabda kepada Ali:
اقْسِمْ لُحُومَهَا وَجِلَالَهَا وَجُلُودَهَا بَيْنَ النَّاسِ“
Bagikanlah dagingnya, pelananya dan kulitnya kepada orang-orang.

Karena itu kita tidak akan mendapatkan keterangan bahwa pada zaman Nabi saw. daging kurban dibagikan dalam keadaan masak, padahal masak-memasak daging pada waktu itu sudah biasa dilakukan. Tapi kenapa Nabi dan para sahabatnya membagikannya dalam keadaan mentah. Apakah tidak terpikirkan oleh Nabi pada waktu itu? Jadi, hendaknya daging kurban itu dibagikan dalam keadaan mentah, sebagaimana aqiqah, karena keduanya termasuk nusuk.

Dengan demikian, jika Qurbani maupun panitia membagikan daging kurban dalam keadaan masak—padahal tidak mendapatkan mandat dari orang yang berhak—baik dengan cara dikornetkan, diabonkan, maupun dengan cara lainnya, telah melanggar hak orang lain (penerima daging tersebut).

Oleh karena itu panitia yang mengkornetkan daging kurban sebagai amanat umat adalah khianat dan tidak bertanggung jawab. Apalagi kalau yang menjadi kepentingannya adalah laba atau keuntungan dari kelebihan harga binatang kurban dan dari proses kornetisasi. Yang lebih ironis lagi, akibat cara di atas banyak daging qurban yang baru sampai kepada penerima yang berhak setelah lebih dari lima bulan. Astaghfirullahal ‘azhim

Hadis Dhaif & Amal Tanpa Dalil Sekitar Qurban 

Selain hadis-hadis shahih yang telah disampaikan pada beberapa bagian terdahulu, kita pun mendapatkan hadis-hadis dhaif dan hadis tanpa sumber yang jelas di seputar kurban, termasuk amaliah yang biasa dilakukan namun tanpa sandaran dalil yang jelas. Hadis-hadis dan amaliah itu antara lain sebagai berikut:

A. Menasehati Hewan Qurban, Bunga Rampe, Cermin, Sisir

Pada sebagian muslim terdapat kebiasaan sebelum menyembelih hewan qurban, yaitu dilaksanakan acara dan upacara ritual seperti menyediakan sewadah air, bunga-bunga rampai, sisir, cermin, dan kain kapan, lalu kambing diusap-usap dan dinasehati agar bersabar, padahal sejauh pengetahuan kami, acara dan upacara seperti itu merupakan pengaruh dari agama kultur (luar Islam). Sementara menurut syariat Islam, Rasulullah saw. memberikan contoh ketika menyembelih qurban sebagaimana diterangkan dalam hadis berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِكَبْشٍ أَقْرَنَ يَطَأُ فِي سَوَادٍ وَيَنْظُرُ فِي سَوَادٍ وَيَبْرُكُ فِي سَوَادٍ فَأُتِيَ بِهِ لِيُضَحِّيَ بِهِ ثُمَّ قَالَ يَا عَائِشَةُ هَلُمِّي الْمُدْيَةَ ثُمَّ قَالَ اسْتَحِدِّيهَا بِحَجَرٍ فَفَعَلَتْ ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ وَقَالَ بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ ثُمَّ ضَحَّى بِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
Dari Aisyah Ra. istri Nabi saw. Sesungguhnya Rasulullah saw. memerintah membawa kibas yang bertanduk yang kakinya hitam dan perutnya hitam dan sekeliling matanya hitam, kemudian didatangkan kepadanya untuk disembelih, lalu beliau bersabda kepada Aisyah, “Ya Aisyah bawakanlah pisau.” Kemudian beliau bersabda lagi, “Asahlah pisau itu dengan batu.” Lalu Aisyah mengerjakannya, kemudian beliau mengambil pisau itu dan membaringkan kambing itu, lalu menyembelihnya dan berkata, “Bismillaah, ya Allah terimalah dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad, lalu beliau berkurban dengannya. (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, VI:78, No. hadis 24.535, Muslim, Shahih Muslim, III:1558, No. hadis 1967, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, III:94, No. hadis 2792)

Dengan demikian, cara-cara dan upacara sebelum menyembelih binatang qurban seperti tersebut di atas merupakan bid’ah.

B. Menghadapkan Hewan Qurban Ke Qiblat Dan Membaca Doa Wajahtu Ketika Menyembelih

Dalam penyembelihan binatang qurban, masih ada di antara kaum muslimin yang berkeyakinan bahwa ketika binatang qurban itu hendak disembelih, mesti dihadapkan  ke arah kiblat dan membaca wajahtu wajhiya lilladzi fataras samawati wal ardi…wa ana awwalu muslimin. Keyakinan itu berlandaskan hadis sebagai berikut :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَبَحَ يَوْمَ الْعِيدِ كَبْشَيْنِ ثُمَّ قَالَ حِينَ وَجَّهَهُمَا إِنِّي وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِي فَطَرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ بِسْمِ اللَّهِ اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُمَّ مِنْكَ وَلَكَ عَنْ مُحَمَّدٍ وَأُمَّتِهِ.
Dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah saw. berqurban dengan dua kibas pada hari ied (adha). Ketika beliau menghadapkan keduanya (untuk disembelih) beliau membaca, ‘Wajahtu wajhiya lil ladzi fatharas samawati wal ardha hanifan musliman wama ana minal musyrikin. Inna shalati wanusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin. Laa syarikalahu wa bidzalika umirtu  wa ana awalul muslimin. Bismillaah Allahu Akbar, Allaahumma minka wa laka ‘an muhammadin wa ummatihi. (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, III:375, No. hadis 15.064, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, II:1043, No. hadis 3121, Al-Hakim, Al-Mustadrak fii As-Shahihain, I:639, No. hadis 1716,  Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IX:287, No. hadis 18.968, Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:287, No. hadis 2899)

Status hadis

Hadis ini dhaif, karena bersumber dari dua rawi yang dhaif, yaitu (a) Muhammad bin Ishaq, dan (b) Abu Ayyas Az-Zuraqi. Ibnu Hajar berkata, “Muhammad bin Ishaq seorang rawi yang shaduq (jujur), tapi suka memalsu hadits.” Dan Abu Ayyas, ia seorang rawi yang tidak di kenal. (Lihat, Tahdzib Al-Kamal fi Asma` Ar-Rijal, XXIV:422-429, Al-Fath Ar-Rabbani, XIV:62).
 
C. Bintang Qurban Kendaraan Ke Surga Di Atas Shirat

عَظِّمُوْا ضَحَايَاكُمْ فَإِنَّهَا عَلَى الصِّرَاطِ مَطَايَاكُمْ
“Berqurbanlah kalian dengan binatang yang besar dan kuat, karena binatang itu  adalah kendaraanmu pada shirathal mustaqim (jalan menuju surga).”

Status hadis

Menurut Ibnu Shalah, “Ini adalah hadis yang tidak dikenal dan tidak kuat.” Kata Syekh Al-Albani, “Laa ashla lahu bihaadzal lafzh (dengan redaksi ini tidak ada sumber asalnya).” (Lihat, Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa Al-Mawdhu’ah, I:173)

Dalam redaksi lain:
إِسْتَفْرِهُوْا ضَحَايَاكُمْ فَإِنَّهَا مَطَايَاكُمْ عَلىَ الصِّرَاطِ
“Pilihlah oleh kalian binatang Qurban yang kuat dan tangkas, karena binatang itu adalah kendaraanmu pada shirathal mustaqim (jalan menuju surga).”

Status hadis

Kata Syekh Al-Albani, “Dha’iif jiddan (sangat dhaif).” Karena pada sanadnya terdapat dua rawi yang dhaif:
  • Yahya bin Ubaidullah. Kata Abu Hatim, “Dha’if Al-Hadits, munkar Al-Hadits jiddan (hadisnya sangat diingkari).” Menurut Muslim dan An-Nasai, “Matruk Al-Hadits (Hadisnya ditinggalkan karena ia tertuduh dusta).”
  • Ubaidullah bin Abdullah bin Mauhab (ayah Yahya di atas). Kata Asy-Syafi’I dan Ahmad, “Laa yu’rafu (tidak dikenal).” (Lihat, Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa Al-Mawdhu’ah, III:411) 

D. Setiap Bulu Qurban Akan Menjadi Kebaikan

عَنْ زَيْدِ بْنِ أَرْقَمَ قَالَ قُلْتُ أَوْ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا هَذِهِ الْأَضَاحِيُّ قَالَ سُنَّةُ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ قَالُوا مَا لَنَا مِنْهَا قَالَ بِكُلِّ شَعْرَةٍ حَسَنَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ فَالصُّوفُ قَالَ بِكُلِّ شَعْرَةٍ مِنْ الصُّوفِ حَسَنَةٌ
Dari Zaid bin Arqam, ia berkata, “Saya berkata atau mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah apa kurban itu?’ Rasul menjawab, ‘Sunnah Bapak kalian Ibrahim.’ Mereka bertanya lagi, ‘Apa kebaikan bagi kita pada kurban itu?’ Rasul menjawab, ‘Pada setiap lembar bulu ada kebaikan.’ Mereka bertanya lagi, ‘Kalau kulitnya wahai Rasulullah ?’ Rasul menjawab, ‘Pada setiap lembar bulu pada kulit itu ada kebaikan’.” (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, IV:368, No. hadis 19.302, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, II:1045, No. hadis 3127, Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘Ala As-Shahihain, II:422, No. hadis 3467, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IX:261, No. hadis 18.796, Ath-Thabrani, Al-Mu’jam Al-Kabir, V:197, No. hadis 5075. Semua jalur periwayatannya melalui rawi  ‘Aidzullah bin Abdullah Al-Mujasyi’iy, dari Abu Dawud As-Sabi’iy, dari Zaid bin Arqam)

Status hadis

Hadis di atas dhaif, bahkan maudhu’ (palsu) karena kedhaifan dua rawi:
  • Aidzullah bin Abdullah Al-Mujasyi’iy. Kata Abu Hatim, “Dia munkar Al-Hadits.”
  • Abu Dawud As-Sabi’iy. Namanya Nufai’ bin al-Harits al-A’ma. Kata Adz-Dzahabi, ”Dia memalsukan hadis.” Kata Ibnu Hibban, ”Tidak boleh meriwayatkan hadis darinya.” (Lihat, Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah wa Al-Mawdhu’ah, II:14) 
Sehubungan dengan itu, Prof. Dr. Syu’aib al-Arnauth berkata, ”Sanadnya sangat dha’if. Abu Dawud, yaitu Nufai’ bin al-Harits al-A’ma al-Kufi matruk (tertuduh dusta), dan rawi ’Aidzullah al-Mujasyi daif” (Lihat, Tahqiq ’ala Musnad Ahmad, IV:368)

E. Menyaksikan Penyembelihan Hewan Qurban

عَنْ أَبيِ سَعِيْدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ الله عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم لِفَاطِمَةَ عَلَيْهَا الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ  قُوْمِي إِلَى أُضْحِيَتِكَ فَاشْهَدِيْهَا فَإِنَّ لَكَ بِأَوَّلِ قَطْرَةٍ تَقْطُرُ مِنْ دَمِهَا يُغْفَرُ لَكِ مَا سَلَفَ مِنْ ذُنُوْبِكِ قَالَتْ يَا َرسُوْلَ الله هَذَا لَنَا أَهْلُ اْلبَيْتِ خَاصَّةً أَوْ لَنَا وَلِلْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً قَالَ بَلْ لَنَا وَلِلْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً. رواه الحاكم
Dari Abu Said Al-Khudriy, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda kepada Fatimah, “Berdirilah kamu untuk sembelihanmu dan saksikanlah ia. Karena sesungguhnya bagimu dengan tetesan darah yang pertama keluar akan menjadi penghapus dosamu yang terdahulu.” Fatimah mengatakan, “Wahai Rasulullah, apakah hal ini berlaku untuk kami Ahlul Bait saja atau bagi kami dan muslimin semuanya?” Beliau menjawab, “Bahkan untuk kami dan bagi semua muslimin.” HR. Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘Ala As-Shahihain, IV:247, No. hadis 7525.
Al-Hakim meriwayatkan pula hadis itu dari Imran bin Hushain dengan redaksi yang lebih panjang. (Lihat, Al-Mustadrak ‘Ala As-Shahihain, IV:247, No. hadis 7524)

Status hadis

Hadis di atas dhaif, karena pada sanadnya terdapat rawi ‘Athiyyah. Kata Abu Hatim, “Sesungguhnya hadis itu hadis yang munkar.” Sementara yang bersumber dari Imran bin Hushain juga dhaif, karena pada sanadnya terdapat rawi Abu Hamzah Ats-Tsamali. Namanya Tsabit bin Abu Shafiyah. Kata Ibnu Hajar, “Dia sangat lemah.” Kata Ibnu Hajar pula, hadis itu diriwayatkan pula oleh Al-Baihaqi dari Ali, dan pada sanadnya terdapat rawi Amr bin Khalid Al-Wasithi, dan dia matruk (tertuduh dusta).” (Lihat, Talkhis Al-Habir fii Ahadits Ar-Raafi’I Al-Kabir, IV:143)

Adapun redaksi versi  Al-Baihaqi sebagai berikut:
عَنْ عَلِيٍّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ الله عنه أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عليه وَسَلَّمَ قَالَ لِفَاطِمَةَ  يَا فَاطِمَةَ قُوْمِي فَأَشْهِدِي أُضْحِيَتَكِ أَمَّا إِنَّ لَكِ بِأَوَّلِ قَطْرَةٍ تَقْطُرُ مِنْ دَمِهَا مَغْفِرَةً لِكُلِّ ذَنْبٍ أَمَّا إِنَّهُ يُجَاءُ بِهَا يَوْمَ اْلقِيَامَةِ بِلُحُوْمِهَا وَدِمَائِهَا سَبْعِيْنَ ضِعْفًا حَتَّى تُوْضَعَ فِي مِيْزَاِنكَ. رواه البيهقى
Dari Ali bin Abu Thalib, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda kepada Fatimah, “Berdirilah dan saksikanlah binatang sembelihanmu, sesungguhnya bagimu dengan tetesan darah yang pertama kali keluar akan menjadi penghapus setiap dosa yang terdahulu. Sesungguhnya ia akan didatangkan dengan daging dan darahnya pada hari kiamat tujuh puluh kali lipat sampai diletakan pada timbanganmu. (HR. Al- Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IX:283, No. hadis 18.943)

Tidak ada komentar: