Sebagaimana yang kita maklumi bahwa Iedul Adha di tahun ini, 10
Dzulhijjah 1433 H, diduga kuat akan jatuh pada hari Jumat bertepatan
dengan 26 Oktober 2012. Sehubungan dengan itu terdapat tiga hal yang
penting untuk dibahas:
Pertama, kedudukan Hadis: “Ied Jatuh Pada
Hari Jumat. Masalah ini perlu ditegaskan kembali sehubungan dengan
pandangan sebagian kalangan yang menilai hadis yang berkenaan dengan itu
statusnya dhaif.
Kedua, kedudukan shalat Jumat bila bertepatan dengan Ied.
Ketiga, peristiwa Ied
jatuh pada hari Jumat pada masa kekhalifahan Ibnu Zubair dan praktek
shalat yang dilakukan oleh beliau ketika itu.
Ied Zaman Nabi saw.
Berdasarkan analisa sejarah dan riwayah dapat diketahui bahwa
sepanjang hayat Rasulullah saw., beliau telah mengalami iedul fitri dan
iedul Adha sebanyak sembilan kali. Iedul Fitri perdana Nabi terjadi pada
hari Senin, 1 Syawal 2 H/26 Maret 624 M. Sedangkan Iedul Adha perdana
terjadi pada (sekitar) 10 Dzulhijjah 2 H/Juni 624 M. Adapun iedul fitri
terakhir terjadi pada Senin, 1 Syawal 10 H/30 Desember 631 M. Sedangkan
Iedul Adha pada (sekitar) 10 Dzulhijjah 10 H/Maret 632 M.
Dari jumlah sebanyak itu (Sembilan kali iedul fitri dan adha) hanya
satu kali terjadi hari ied pada hari Jumat, yaitu Iedul Fitri 1 Syawal 3
H yang bertepatan dengan 15 Maret 625 M.
Informasi tentang peristiwa Ied jatuh pada hari Jumat pada zaman Rasulullah, bersumber dari empat sahabat:
Pertama, Abu Huraerah
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ
قَالَ قَدِ اجْتَمعَ في يَوْمِكُمْ هذَا عِيدَانِ فَمَنْ شَاءَ أَجْزَأَهُ
مِنَ الْجُمُعَةِ وَإِنَّا مُجَمِّعُونَ
Dari Abu Huraerah, dari Rasulullah saw. bahwa beliau bersabda,
“Sungguh telah bersatu pada hari ini dua ied, maka siapa yang mau (tidak
melaksanakan shalat Jum’at), maka shalat ied ini mencukupkan dari
(shalat) Jum’at, dan sesungguhnya kami akan melaksanakan shalat Jum’at.”
Takhrij (penelusuran sumber) Hadis
Hadis di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud (Sunan Abu Dawud, I:281, No. 1073), Ibnu Majah (Sunan Ibnu Majah, I:416, No. 1311), Al-Baihaqi (As-Sunan Al-Kubra, III:318, No. hadis 6082), Al-Hakim (Al-Mustadrak ‘ala As-Shahihain, I:425, No. 1064), Ibnul Jarud (Al-Muntaqa,
I:84, No. hadis 302), dengan sedikit perbedaan redaksi, melalui jalur
periwayatan yang sama, yaitu rawi Baqiyyah bin Al-Walid. Ia menerima
dari Syu’bah, dari Al-Mughirah bin Miqsam Ad-Dhabbi, dari Abdul Aziz bin
Rufai’, dari Abu Shalih, dari Abu Huraerah, dari Rasulullah saw.
Imam Al-Baihaqi meriwayatkan dengan dua redaksi; pada satu riwayat
redaksinya sama dengan di atas, sementara pada riwayat lainnya dengan
redaksi sebagai berikut:
(إِنَّهُ قَدِ اجْتَمَعَ عِيدُكُمْ هَذَا وَالْجُمُعَةُ وَإِنَّا
مُجَمِّعُونَ ، فَمَنْ شَاءَ أَنْ يُجَمِّعَ فَلْيُجَمِّعْ ) فَلَمَّا
صَلَّى الْعِيدَ جَمَّعَ
Beliau bersabda, “Sungguh telah bersatu ied kalian ini dan Jumat, dan
sesungguhnya kami akan melaksanakan shalat Jum’at. Maka siapa yang mau
melaksanakan shalat Jum’at, lakukanlah.” Setelah beliau melaksanakan
shalat ied, beliau melaksanakan shalat Jum’at (pada waktunya) (As-Sunan Al-Kubra, III:318, No. hadis 6081)
Sementara pada riwayat Ibnul Jarud, setelah kalimat wa innaa mujammi’uun terdapat kalimat tambahan: “insya Allah.” (Al-Muntaqa, I:84, No. hadis 302)
Kedudukan Hadis
Imam Al-Hakim berkata:
هذَا حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ فَإِنَّ بَقِيَّةَ بْنَ
الْوَلِيْدِ لَمْ يَخْتَلِفْ فِي صِدْقِهِ إِذَا رَوَى عَنْ
الْمَشْهُوْرِيْنَ وَهذَا حَدِيْثٌ غَرِيْبٌ مِنْ حَدِيْثِ شُعْبَةَ
وَالْمُغِيْرَةِ وَعَبْدِ الْعَزِيْزِ ، وَكُلُّهُمْ مِمَّنْ يُجْمَعُ
حَدِيْثُهُ
“Hadis ini shahih sesuai dengan kriteria Muslim sanadnya. Maka
sungguh Baqiyyah bin Al-Walid tidak diperselisihkan lagi tentang
kebenaran/kejujurannya apabila ia meriwayatkan dari para rawi yang
popular (kredibilitasnya). Dan hadis ini gharib (tunggal) dari hadis
Syu’bah, Al-Mughirah, dan Abdul Aziz, dan semuanya termasuk orang yang
disepakati hadisnya.” (Al-Mustadrak ‘ala As-Shahihain, I:425, No. 1064)
Kata Imam Al-Kanani:
هذَا إِسْنَادٌ صَحِيْحٌ رِجَالُهُ ثِقَاتٌ
“Ini sanad yang shahih, para rawinya tsiqat (kredibel).” (Lihat, Mishbah Az-Zujajah fii Zawa`id Ibn Majah, I:155)
Komentar para ulama di atas menunjukkan bahwa derajat hadis ini
shahih, atau paling tidak hasan, yaitu dibawah derajat shahih, namun
hadisnya dapat dijadikan hujjah.
Meski demikian terdapat sebagian ulama yang mendhaifkan hadis tersebut dengan dua alasan:
Pertama, terdapat rawi bernama Baqiyyah bin Al-Walid, ia dinilai dhaif karena banyak melakukan tadlis (penyamaran dalam sanad).
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan, “Ayahku ditanya tentang
Baqiyah dan Isma’il bin Ayyas, ia menjawab, ‘Baqiyah lebih aku cintai.
Bila ia meriwayatkan dari suatu kaum yang tidak terkenal (majhul), maka
periwayatannya jangan diterima’.”
Ibnu Khuzaimah berkata, “Aku tidak menjadikan hujjah dengan
Baqiyyah.” Ahmad bin Hasan At-Tirmidzi telah menceritakan kepadaku (Ibnu
Khuzaimah), “Aku mendengar Ahmad bin Hanbal mengatakan, ‘Aku mengira
bahwasanya Baqiyah tidak meriwayatkan hadis-hadis munkar dari rawi rawi
yang majhul. Apabila ia meriwayatkan hadis munkar dari rawi-rawi yang
masyhur maka aku tahu min aena ataa (dari mana sumbernya)? Menurutku, ataa minat Tadlis.”
Abu Hatim mengatakan, “Hadisnya ditulis tapi tidak dijadikan hujjah.” Ibnu Hajar berkata, “Ia itu shaduq
(benar/jujur), banyak mentadlis dari rawi yang dhaif.” Abul ‘Arab
Al-Qairawani mengatakan, “Ia banyak meriwayatkan dari rawi-rawi yang
daif dan majhul.” (Lihat, Tahdzibul Kamal, IV:192-200)
Abul Hasan bin Al-Qathan mengatakan, “Baqiyah mentadlis dari rawi-rawi yang daif, wa yasytabihu dzalik (dal hal itu meragukan). Dengan sebab ini maka walaupun ia sahih tetap ia mufsid (rusak) dengan sebab ‘adalahnya.”
Menurutku (Imam Adz-Dzhabi), “Ya, demi Allah, memang benar demikian
tentang dirinya, melakukannya (hal-hal seperti di atas)…” (Lihat, Mizanul ‘Itidal, I:331-339)
Kedua, terdapat rawi Al-Mughirah bin Miqsam Adh-Dhabbi, dia rawi mudallis (menyamarkan sanada) dan ia meriwayatkannya dengan shigah (bentuk) periwayatan ‘an (dari) tanpa menjelaskan dengan tahdits. (Lihat, Taqrib At-Tahdzib, hal. 966, Ta’rif Ahl At-Taqdis, hal. 121)
Catatan:
Tahdits adalah periwayatan seorang rawi dengan bentuk haddatsanaa (menceritakan kepada kami) atau akhbaranaa (mengabarkan kepada kami)
Sehubungan dengan penilaian dhaif dari sebagian ulama di atas, Syekh Al-Albani memberikan penjelasan sebagai berikut:
(قلت: حديث صحيح، وقال الحاكم: " صحيح على شرط مسلم وافقه الذهبي وقال
البوصيري: هذا إسناد صحيح "إسناده: حدثنا محمد بن المُصَفَّى وعمر بن حفص
الوَصابي- المعنى- قالا:ثنا بقية: ثنا شعبة عن المغيرة الضّبي عن عبد
العزيز بن زفَيْع عن أبي صالح عن أبي هريرة... قال عمر: عن شعبة.
قلت: وهذا إسناد رجاله ثقات كلهم؛ وبقية إنما يخشى منه إذا عنعن؛ لأنه
مدلس، وقد صرح بالتحديث في رواية ابن المصفى، وكذا في رواية غيره كما يأتي،
فزالت شبهة تدليسه، فيتبادر إلى الذهن أنه صح الإسناد، وليس كذلك - وإن
ظنه كثيرون-؛ فإن فيه مدلساً آخر، ذهلوا عنه؛ لأنه ليس مشهوراً بالتدليس
مثل بقية، ألا وهو المغيرة بن مِقْسَم الضبي؛ فإنه- مع إتقانه- كان يدلس
كما في "التقريب " وغيره؛ فهو علة هذا الإسًناد؛ إلا أن الحديث صحيح
يشواهده المتقدمة.
“Menurut saya, hadis itu shahih. Dan Al-Hakim berkata, ‘Hadis itu
shahih sesuai dengan syarat Muslim.’ Dan penilaian Al-Hakim disetujui
oleh Adz-Dzahabi, dan Al-Bushairi berkata, ‘Ini sanad yang shahih’.
Adapun sanadnya: Muhammad bin Al-Mushaffa dan Umar bin Hafsh Al-Washabiy
telah menceritakan kepada kami. Keduanya berkata, ‘Baqiyyah telah
menceritakan kepada kami, Syu’bah telah menceritakan kepada kami, dari
Al-Mughirah Ad-Dhabbi, dari Abdul Aziz bin Rufai’, dari Abu Shalih, dari
Abu Huraerah…Umar berkata, ‘Dari Syu’bah.’
Menurut saya, ‘Sanad hadis ini semua rawinya tsiqat (kredibel), dan
kehawatiran terhadap Baqiyyah tiada lain apabila ia meriwayatkan hadis
dengan bentuk ‘an, karena ia mudallis. Namun dalam periwayatan hadis ini, ia menjelaskannya secara tahdits pada riwayat Ibnu Mushaffa dan lain-lain, sebagaimana akan dikemukakan, maka hilanglah syubhat tadlisnya.
Dengan demikian, yang segera dipahami bahwa sanad hadis itu
shahih—sebagaimana diduga oleh kebanyakan ulama—namun ternyata tidaklah
demikian, sebab masih ada rawi lain yang mudallis yang kurang mendapat perhatian dari mereka karena tadlis
rawi itu tidak sepopuler Baqiyah. Rawi yang dimaksud ialah Al-Mughirah
bin Miqsam Adh-Dhabbi. Meskipun ia dapat dikategorikan rawi yang cermat,
namun ia melakukan tadlis sebagaimana diterangkan dalam kitab Taqrib At-Tahdzib
dan lainnya. Maka dialah yang menjadi kecacatan pada sanad ini. Namun,
hadis ini dapat dikategorikan shahih berdasarkan periwayatan para rawi
lainnya sebagaimana telah disampaikan sebelumnya.” (Lihat, Shahih Sunan Abu Dawud, IV:239-240)
Berdasarkan penjelasan Syekh Al-Albani di atas, dapat diambil
kesimpulan bahwa hadis tentang Iedul fitri jatuh pada hari Jumat—yang
bersumber dari Abu Huraerah—derajatnya shahih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar