SYARIAT SHALAT JUM’AT BERTEPATAN DENGAN HARI IED (BAGIAN III)
Ied Hari Jumat Zaman Shahabat
Peristiwa Ied jatuh hari Jumat, selain terjadi pada masa Nabi saw.
juga terjadi pada masa sahabat Rasul, yaitu masa kekhalifahan Umar bin
Khathab, Usman bin Affan, Ali bin Abu Thalib dan Ibnu Zubair.
Peristiwa itu pada zaman kekhalifahan Umar, Usman, dan Ali diterangkan dalam riwayat sebagai berikut:
عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي أَبُو عُبَيْدٍ مَوْلَى ابْنِ
أَزْهَرَ أَنَّهُ شَهِدَ الْعِيدَ يَوْمَ الْأَضْحَى مَعَ عُمَرَ بْنِ
الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ
خَطَبَ النَّاسَ فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ نَهَاكُمْ عَنْ صِيَامِ هَذَيْنِ
الْعِيدَيْنِ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَيَوْمُ فِطْرِكُمْ مِنْ صِيَامِكُمْ
وَأَمَّا الْآخَرُ فَيَوْمٌ تَأْكُلُونَ مِنْ نُسُكِكُمْ قَالَ أَبُو
عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَكَانَ
ذَلِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ
فَقَالَ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ هَذَا يَوْمٌ قَدْ اجْتَمَعَ لَكُمْ
فِيهِ عِيدَانِ فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَنْتَظِرَ الْجُمُعَةَ مِنْ أَهْلِ
الْعَوَالِي فَلْيَنْتَظِرْ وَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يَرْجِعَ فَقَدْ أَذِنْتُ
لَهُ قَالَ أَبُو عُبَيْدٍ ثُمَّ شَهِدْتُهُ مَعَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي
طَالِبٍ فَصَلَّى قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ خَطَبَ النَّاسَ فَقَالَ إِنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَاكُمْ أَنْ
تَأْكُلُوا لُحُومَ نُسُكِكُمْ فَوْقَ ثَلَاثٍ
Dari Az-Zuhri, ia berkata, “Abu Ubaid maula Abdurrahman bin Azhar
telah menceritakan kepada kami bahwa ia pernah mengalami iedul adha
bersama Umar bin Al-Khathab, maka ia (Umar) salat sebelum khutbah, lalu
ia berkhutbah kepada orang-orang, ia berkata, ‘Wahai orang-orang,
sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarang kalian dari shaum pada dua
hari ied ied ini. Ied yang satu adalah hari berbuka dari shaum kalian,
sedangkan ied yang lain adalah hari di mana kalian makan daging kurban
kalian.’ Abu Ubaid berkata, ‘Kemudian aku mengalami ied bersama Usman
bin Afan, yaitu pada hari Jumat, maka ia (Usman) salat sebelum khutbah,
lalu ia berkhutbah kepada orang-orang, ia berkata, ‘Wahai orang-orang,
sesungguhnya hari ini adalah hari bertemunya dua ied bagi kalian, maka
siapa di antara penduduk ‘aliyah (kampung-kampung di sebelah Timur
Madinah) yang hendak menunggu shalat Jumat, maka dipersilahkan untuk
menunggunya, dan siapa yang hendak kembali (tidak melaksanakan shalat
Jumat), sungguh aku telah mengizinkannya.’ Abu Ubaid berkata, ‘Aku
mengalaminya pula bersama Ali bin Abu Thalib, maka ia salat sebelum
khutbah, maka ia (Ali) salat sebelum khutbah, lalu ia berkhutbah kepada
orang-orang, ia berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarang
kalian memakan daging kurban lebih dari tiga hari’.” (H.r. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, V:2117, No. hadis 5251, Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hibban, VIII:367, No. hadis 3600, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, III:319, No. hadis 6086, Abu Ya’la, Al-Musnad, I:142, No. hadis 152, Al-Humaidi, Al-Musnad, I:7, No. hadis 8, dengan sedikit perbedaan redaksi)
Keterangan Abu Ubaid di atas menunjukkan bahwa ied yang dimaksud pada
zaman Usman adalah Iedul Adha. Adapun keterangan tentang peristiwa ied
jatuh hari Jumat zaman Umar ditegaskan oleh Ibnu Zubair sebagaimana
disebutkan dalam riwayat Ibnu Khuzaimah (Shahih Ibnu Khuzaimah, II:359) dan Ibnu Abu Syaibah (Al-Mushannaf, II:187). Namun dalam riwayat tersebut tidak dijelaskan apakah iedul fitri atau iedul Adha.
Sementara keterangan tentang peristiwa ied jatuh hari Jumat zaman Ali
ditegaskan oleh Ali sendiri sebagaimana disebutkan dalam riwayat
Abdurrazaq (Al-Mushannaf, III:305) Dalam riwayat tersebut dijelaskan iedul fitri.
Sedangkan peristiwa ied jatuh hari Jumat zaman Ibnuz Zubair adalah
iedul Fitri, yaitu hari Jumat, 1 Syawal 64 H/29 Juni 713 M (Lihat, Fathul Bari, III:129). Penjelasan tentang itu kita peroleh melalui dua sumber: Pertama, Atha bin Abu Rabah (w. 114 H). Kedua, Wahab bin Kaisan (W. 127 / 129 H). Keduanya generasi tabi’in.
Keterangan Atha bin Abu Rabah (w. 114 H)
Keterangan Atha bin Abu Rabah tentang peristiwa ied jatuh hari Jumat
di zaman Ibnuz Zubair diriwayatkan dengan beberapa redaksi sebagai
berikut:
Pertama, dengan redaksi:
اجْتَمَعَ يَوْمُ جُمُعَةٍ وَيَوْمُ فِطْرٍ عَلَى عَهْدِ ابْنِ
الزُّبَيْرِ فَقَالَ عِيدَانِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَجَمَعَهُمَا
جَمِيعًا فَصَلَّاهُمَا رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةً لَمْ يَزِدْ عَلَيْهِمَا
حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ
“Hari Jum’at dan Iedul Fitri telah berkumpul pada hari yang sama di
zaman Ibnu Zubair. Ibnu Zubair berkata, ‘Dua ied berkumpul pada hari
yang sama. Lalu ia menjama’ keduanya, yaitu salat dua rakaat (salat ied)
pada pagi hari, ia tidak menambah shalat apapun sampai ia salat Ashar.”
Takhrij (penelusuran sumber) Hadis
Hadis di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud (Sunan Abu Dawud,
I:281, No. hadis 1072) melalui rawi Yahya bin Khalaf. Ia menerima dari
Abu ‘Ashim, dari Ibnu Juraij, ia berkata, “Atha berkata…(seperti di
atas)”
Hadis di atas diriwayatkan pula oleh Abdurrazaq (Al-Mushannaf, III:303, No. hadis 5725), Ibnu Al-Mundzir (Al-Awsath, VI:490, No. 2142), Al-Firyabi (Ahkam Al-‘Iedain, hlm 219) melalui jalur periwayatan yang sama, yaitu Ibnu Juraij dari Atha.
Namun dalam riwayat Abdurrazaq dan Ibnu Al-Mundzir dengan redaksi sebagai berikut:
قَالَ عَطَاءٌ: إِنِ اجْتَمَعَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ وَيَوْمُ الْفِطْرِ
فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَلْيَجْمَعْهُمَا فَلْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ قَطُّ
حَيْثُ يُصَلِّي صَلَاةَ الْفِطْرِ ثُمَّ هِيَ هِيَ حَتَّى الْعَصْرِ ثُمَّ
أَخْبَرَنِي عِنْدَ ذَلِكَ قَالَ: اجْتَمَعَ يَوْمُ فِطْرٍ وَيَوْمُ
جُمُعَةٍ فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فِي زَمَانِ ابْنِ الزُّبَيْرِ، فَقَالَ ابْنُ
الزُّبَيْرِ: عِيدَانِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَجَمَعَهُمَا
جَمِيعًا بِجَعْلِهِمَا وَاحِدًا، وَصَلَّى يَوْمَ الْجُمُعَةِ
رَكْعَتَيْنِ بُكْرَةَ صَلَاةَ الْفِطْرِ، ثُمَّ لَمْ يَزِدْ عَلَيْهَا
حَتَّى صَلَّى الْعَصْرَ
Atha berkata, “Jika hari Jum’at dan Iedul Fitri berkumpul pada hari
yang sama, maka hendaknya seseorang menjama’ keduanya, maka shalatlah
dua rakaat saja di mana ia shalat iedul fitri, kemudian begini begini
sehingga ia shalat Ashar.” Kata Ibnu Juraij, lalu ketika itu ia
mengabarkan kepadaku, ia berkata, “Hari Iedul Fitri dan Jum’at berkumpul
pada hari yang sama di zaman Ibnu Zubair. Ibnu Zubair berkata, ‘Dua ied
berkumpul pada hari yang sama.’ Lalu ia menjama’ keduanya, dengan
menggabungkan keduanya menjadi satu, dan ia salat dua rakaat (salat ied)
hari Jumat pada pagi hari, lalu ia tidak menambah shalat apapun sampai
ia salat Ashar.”
Kedudukan Hadis
Sebagian ulama menyatakan bahwa hadis ini dhaif karena terdapat rawi Ibnu Juraij, dia mudallis (menyamarkan sanad).
Abu Bakar Al-Atsram berkata, dari Ahmad bin Hanbal:
إِذَا قَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ قَالَ فُلاَنٌ وَقَالَ فُلاَنٌ وَأَجَزْتُ
جَاءَ بِمَنَاكِيْرَ وَإِذَا قَالَ: أَخْبَرَنِيْ وَسَمِعْتُ فَحَسْبُكَ
بِهِ
“Apabila Ibnu Juraij mengatakan qaala fulaan (Polan telah berkata) dan qaala fulaan, dan ajaztu (aku mengizinkan), maka ia mendatangkan riwayat-riwayat munkar. Dan apabila ia berkata akhbarani (telah mengabarkan kepadaku) dan sami’tu (aku telah mendengar), maka cukup untukmu dengannya.” (Lihat, Tarikh Baghdad, X:405, Tahdzib Al-Kamal fi Asma` Ar-Rijal, XVIII:348)
Yahya bin Sa’id berkata:
كَانَ ابْنُ جُرَيْجٍ صَدُوْقاً فَإِذَا قَالَ: حَدَّثَنِي فَهُوَ
سِمَاعٌ وَإِذَا قَالَ أَخْبَرَنَا أَوْ أَخْبَرَنِي فَهُوَ قِرَاءَةٌ
وَإِذَا قَالَ: قَالَ فَهُوَ شِبْهُ الرِّيْحِ
“Ibnu Juraij adalah orang yang shaduq (jujur), apabila ia berkata haddatsani (telah menceritakan kepadaku), maka ia sima’, dan apabila ia berkata akhbaranaa (telah mengabarkan kepada kami) atau akhbarani (telah mengabarkan kepadaku) maka ia qira`ah. Dan apabila ia mengatakan qaala (telah berkata) maka ia menyerupai angin (tidak bernilai).” (Lihat, Tahdzib Al-Kamal fi Asma` Ar-Rijal, XVIII:348)
Keterangan:
Sima’ merupakan salah satu metode tahammul al-hadits
(penerimaan hadis), yaitu seorang guru membacakan hadis kepada
murid-muridnya, baik dari hafalan maupun dari catatannya, sedangkan yang
hadir mendengarkan dan mencatat apa yang didengarnya atau hanya
mendengarkan saja. Sima’ merupakan metode tahammul yang paling awal dipergunakan oleh para perawi hadis, serta memiliki kedudukan yang paling tinggi dan paling akurat. (Lihat, Tautsiq al-Sunnah fi Qarnits Tsani al-Hijri, hal.185; Manhaj al-Naqd, hal. 214; Ushul al-Hadits, hal. 234-235)
Qira`ah merupakan salah satu metode tahammul al-hadits
(penerimaan hadis), yaitu salah seorang murid membacakan hadis di
hadapan seorang guru, baik dari hafalan maupun catatannya. Sedangkan
guru menyimak bacaan itu. Kadang-kadang yang mengecek bukan gurunya,
melainkan orang yang telah diberi kepercayaan olehnya. Metode ini oleh
sebagian ulama disebut ‘ardh (penyodoran), karena murid yang menyodorkan bacaannya kepada guru. Qira`ah banyak dipergunakan setelah terjadinya tadwin al-hadits (kodifikasi hadis). Sedangkan dilihat dari segi peringkat, qira`ah di bawah sima’. (Ibid.)
Kata Ibn Hajar, “Ia melakukan tadlis (menyamarkan sanad) dan berbuat irsal (menyampaikan hadis langsung dari Nabi tanpa menyebut sahabat)” (Lihat, Taqrib at-Tahdzib, I:366, biografi No. 4317)
Dengan demikian, karena dalam periwayatan hadis ini Ibnu Juraij menggunakan kata ‘an (dari), maka menurut sebagian ulama hadis ini dinilai dha’if karena saqth min isnaad (terputus jalur periwayatannya).
Analisa Kami
Ibnu Juraij, namanya Abd al-Malik bin Abd al-‘Aziz bin Juraij. Lahir sekitar 70 H. dan sejaman dengan shigar al-shahabah
(para sahabat muda), namun tidak pernah menerima hadis dari mereka.
Imam Ahmad berkata, “Dia salah seorang perbendaharaan ilmu, ia bersama
Ibn Abu ‘Arubah termasuk ulama yang pertama kali menyusun beberapa
kitab” (Lihat, Tadzkirah al-Huffazh, juz I, hal. 169-170)
Adapun yang dimaksud tadlis oleh Ibn Hajar tersebut bukan menyembunyikan rawi, melainkan berhubungan dengan shiyag al-ada (bentuk-bentuk penyampaian hadis), karena ia pernah meriwayatkan beberapa hadis yang diterima dari az-Zuhri secara ijazah (berdasarkan rekomendasi), namun diriwayatkannya dengan bentuk sima, yaitu haddatsana. Sehingga terkesan hadis itu diterimanya secara lansung dari az-Zuhri, padahal tidak demikian adanya. (Lihat, At-Tsiqat al-Ladzina Dhu’ifu fi Ba’dh Syuyukhihim, hal. 71-74)
Sehubungan dengan itu, Syekh Al-Albani menilai hadis di atas shahih,
karena periwayatan Ibnu Juraij dari Atha—meskipun menggunakan kata qaala Atha—namun dapat dipastikan muttashil (bersambung), berdasarkan penjelasan dari Ibnu Juraij sendiri dalam riwayat Ibnu Abu Khaitsamah:
إِذَا قُلْتُ: قَالَ عَطَاءٌ فَأَنَا سَمِعْتُهُ مِنْهُ وَإِنْ لَمْ أَقُلْ: سَمِعْتُ
“Apabila aku mengatakan, ‘Atha berkata.’ Maka aku mendengar langsung
darinya meskipun aku tidak mengatakan, ‘sami’tu (aku mendengar)’.”
(Lihat, Shahih Sunan Abu Dawud, IV:239)
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hadis
tentang Ied jatuh pada hari Jumat pada zaman Ibnu Zubair—riwayat Ibnu
Juraij—derajatnya shahih.
Kedua, dengan redaksi:
صَلَّى بِنَا ابْنُ الزُّبَيْرِ فِي يَوْمِ عِيدٍ فِي يَوْمِ جُمُعَةٍ
أَوَّلَ النَّهَارِ ثُمَّ رُحْنَا إِلَى الْجُمُعَةِ فَلَمْ يَخْرُجْ
إِلَيْنَا فَصَلَّيْنَا وُحْدَانًا وَكَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ
فَلَمَّا قَدِمَ ذَكَرْنَا ذَلِكَ لَهُ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ
Dari Atha bin Abu Rabah, ia berkata, “Ibnu Zubair salat mengimami
kami pada hari ied di hari Jumat pada pagi hari, kemudian kami berangkat
untuk Jumat tetapi beliau tidak datang menemui kami, maka kami salat
sendiri. Dan ketika itu Ibnu Abbas berada di Thaif, maka ketika ia
dating kami menjelaskan perkara itu kepadanya, maka ia menjawab, ‘Ia
telah sesuai dengan sunnah’.”
Takhrij (penelusuran sumber) Hadis
Hadis di atas diriwayatkan oleh Abu Dawud (Sunan Abu Dawud,
I:281, No. hadis 1071) melalui rawi Muhammad bin Tharif Al-Bajali. Ia
menerima dari Asbath, dari Al-A’masy, dari Atha bin Abu Rabbah .
Kedudukan Hadis
Imam An-Nawawi berkata:
إِسْنَادُهُ حَسَنٌ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ
“Sanadnya hasan sesuai dengan syarat Muslim.” (Lihat, Khulashah Ahkam fi Muhimmat As-Sunan wa Qawa`id Al-Islam, II:817)
Muhammad Syams Al-Haq Al-‘Azhim Abadi berkata:
الْحَدِيْثُ رِجَالُهُ رِجَالُ الصَّحِيْحِ
“Hadis itu para rawinya adalah para perawi shahih.” (Lihat, ‘Awn Al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud, III:25)
Kata Syekh Al-Albani:
وَهذَا إِسْنَادٌ صَحِيْحٌ رِجَالُهُ كُلُّهُمْ ثِقَاتٌ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ وَلَمْ يُخْرِجْهُ
Hadis itu shahih.” (Lihat, Shahih Sunan Abu Dawud, IV:238)
Meski demikian, terdapat sebagian ulama menyatakan bahwa hadis ini
dhaif karena terdapat rawi Al-A’masy, namanya Sulaiman bin Mihran, dia mudallis (menyamarkan sanad). Ibn Hajar berkata:
ثِقَةٌ حَافِظٌ عَارِفٌ بِالْقِرَاءَاتِ وَرَعٌ لكِنَّهُ يُدَلِّسُ
“Ia tsiqah (kredibel), hafizh, mengetahui berbagai qira`at, wara’, namun ia melakukan tadlis (menyamarkan sanad).” (Lihat, Taqrib at-Tahdzib, I:254, biografi No. 2615)
Dengan demikian, karena dalam periwayatan hadis ini Al-A’masy menggunakan kata ‘an (dari), maka menurut sebagian ulama hadis ini dinilai dha’if karena saqth min isnaad (terputus jalur periwayatannya).
Analisa Kami
Al-A’masy, namanya Sulaiman bin Mihran Al-Asadi Al-Kahili, Abu
Muhammad Al-Kufi. Lahir 61-148 H/681-765 M). Ia seorang tabi’in muda,
yang sejaman dengan shigar al-shahabah (para sahabat muda), namun tidak pernah menerima hadis dari mereka. (Lihat, Taqrib at-Tahdzib, I:254, biografi No. 2615, Al-A’lam, III:135)
Adapun yang dimaksud tadlis Al-A’masy oleh para ulama termasuk Ibn Hajar, bukan menyembunyikan rawi, melainkan berhubungan dengan shiyag al-ada
(bentuk-bentuk penyampaian hadis), karena ia pernah meriwayatkan
beberapa hadis yang diterima dari beberapa ulama, antara lain dalam
kasus periwayatannya dari Abu Wa`il tentang wudhu, padahal ia
menerimanya dari Al-Hasan bin ‘Amr Al-Faqimiy, tidak menerima langsung
dari Abu Wa`il. Sehingga terkesan hadis itu diterimanya secara lansung
dari Abu Wa`il, padahal tidak demikian adanya. (Lihat, Jami’ At-Tahshil fi Ahkam Al-Marasil, I:189)
Sehubungan dengan itu, Syekh Al-Albani menilai hadis di atas shahih,
karena periwayatan Al-A’masy dari Atha—meskipun menggunakan bentuk
periwayatan ‘an—namun menurut jumhur ulama dapat dipastikan muttashil
(bersambung), sehingga didapatkan bukti yang kuat bahwa ia telah
menyamarkannya. Selain itu, hadisnya diperkuat oleh periwayatan Ibnu
Juraij dari Atha (sebagaimana telah dijelaskan di atas). (Lihat, Shahih Sunan Abu Dawud, IV:238)
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa hadis
tentang Ied jatuh pada hari Jumat pada zaman Ibnu Zubair—riwayat
Al-A’masy—derajatnya shahih.
Ketiga, dengan redaksi
اجْتَمَعَ عِيدَانِ فِي عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَصَلَّى بِهِمَ
الْعِيدَ ثُمَّ صَلَّى بِهِمَ الْجُمُعَةَ صَلاَةَ الظُّهْرِ أَرْبَعًا
“Dua Ied telah bersatu pada zaman Ibnu Zubair. Maka ia salat ied
mengimami mereka, lalu pada waktu Jumat ia salat Zhuhur empat rakaat
mengimami mereka.”
Takhrij (penelusuran sumber) Hadis
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah (Al-Mushannaf, II:187, No. hadis 5892) melalui rawi Husyaim, dari Manshur, dari Atha bin Abu Rabbah .
Kedudukan Hadis
Sebagian ulama menyatakan bahwa hadis ini dhaif karena terdapat rawi Husyaim bin Basyir Al-Wasithi, dia mudallis (menyamarkan sanad). Pernyataan itu disampaikan oleh sejumlah pakar hadis, antara lain Adz-Dzahabi (Siyar A’lam An-Nubala, VIII:289) As-Suyuthi (Asma` Al-Mudallisin, hlm. 102), Shalihuddin Abu Sa’id (Jami’ At-Tahshil fii Ahkam Al-Marasil, hlm. 111). Sehubungan dengan itu, Muhammad bin Sa’ad menyatakan:
كَانَ ثِقَةً كَثِيْرَ الْحَدِيْثِ ثَبْتًا يُدَلِّسُ كَثِيْرًا فَمَا
قَالَ فِى حَدِيْثِهِ أَخْبَرنَا فَهُوَ حُجَّةٌ وَ مَا لَمْ يَقُلْ فِيْهِ
أَخْبَرَنَا فَلَيْسَ بِشَيْءٍ
“Dia tsiqah (kredibel), banyak hadisnya, kuat, banyak melakukan tadlis. Apabila dia mengatakan dalam hadisnya akhbaranaa (telah mengabarkan kepada kami) maka dia dapat digunakan sebagai hujjah dan apabila dia tidak mengatakan dalam hadisnya akhbaranaa, maka dia tidak bernilai sama sekali.” (Lihat, At-Takmil fii Al-Jarh Wa At-Ta’dil, II:7)
Ibnu Hajar mengatakan:
هُشَيْمُ بنُ بَشِيْرِ الْوَاسِطِيُّ مِنْ أَتْبَاعِ التَّابِعِيْنَ مَشْهُوْرٌ بِالتَّدْلِيْسِ مَعَ ثِقَتِهِ
“Husyaim bin Basyir Al-Wasithi termasuk generasi tabi’ at-Tabi’in, meskipun dia tsiqah dia terkenal dengan tadlis (menyamarkan sanad).” (Lihat, Ta’rif Ahl At-Taqdis bi Maratib Al-Mawshufiin bi At-Tadlis, hlm. 47)
Dengan demikian, karena dalam periwayatan hadis ini Husyaim bin Basyir menggunakan kata ‘an (dari), maka menurut para ahli hadis, hadis ini dinilai dha’if karena saqth min isnaad (terputus jalur periwayatannya). Dan kami belum mendapatkan pertimbangan lain yang dapat menganulir tadlisnya, sebagaimana yang kami lakukan terhadap Ibnu Juraij dan Al-A’masy di atas.
Kedhaifan hadis ini diperkuat dengan melihat kandungan matannya, di
mana dalam hadis ini Atha menerangkan bahwa “waktu Jumat Ibnu Zubair
salat Zhuhur empat rakaat mengimami mereka.” Sementara dalam hadis-hadis
di atas, menurut Atha pula bahwa Ibnu Zubair tidak datang ke mesjid
untuk mengimami mereka.
Keterangan Wahab bin Kaisan (W. 127 / 129 H)
Keterangan tentang peristiwa ied bertepatan dengan hari Jumat pada
zaman Ibnu Zubair kita peroleh pula dari Wahab bin Kaisan, namun dalam
keterangannya terdapat perbedaan versi dengan keterangan Atha di atas.
Versi Wahab menunjukkan bahwa waktu pelaksanaan shalat iednya di siang
hari, dan kaifiyat iednya dimulai oleh khutbah, kemudian salat ied.
Sementara versi Atha, waktu pelaksanaanya di pagi hari, dimulai oleh
salat, kemudian khutbah (sebagaimana biasanya kaifiyat ied). Mengapa
bisa terjadi perbedaan, padahal peristiwa ini hanya terjadi satu kali,
yakni hari Jumat, 1 Syawal 64 H/29 Juni 713 M (Lihat, Fathul Bari,
III:129) Perbedaan ini menunjukkan bahwa pasti terdapat kesalahan pada
salah satu di antara dua keterangan itu. Untuk mengetahui mana
keterangan yang benar dan mana yang salah, kita analisa hadis Wahab
sebagai berikut:
عَنْ وَهْبِ بْنِ كَيْسَانَ قَالَ اجْتَمَعَ عِيدَانِ
عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَأَخَّرَ الْخُرُوجَ حَتَّى تَعَالَى
النَّهَارُ ثُمَّ خَرَجَ فَخَطَبَ فَأَطَالَ الْخُطْبَةَ ثُمَّ نَزَلَ
فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَلَمْ يُصَلِّ لِلنَّاسِ يَوْمَئِذٍ الْجُمُعَةَ
فَذُكِرَ ذَلِكَ لِابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ
Dari Wahab bin Kaisan, ia berkata, “Dua ied (Hari Jum’at dan Iedul
Fitri) telah berkumpul di zaman Ibnu Zubair, maka ia mengakhirkan pergi
menuju ied hingga telah siang, kemudian ia keluar, lalu berkhutbah, dan
memanjangkan khutbahnya, kemudian turun, lalu salat dua rakaat. Dan hari
itu ia tidak salat Jumat mengimami orang-orang, lalu diterangkan pada
Ibnu Abas, maka Ibnu Abas berkata, ‘Ia sesuai dengan sunah’.
Takhrij (penelusuran sumber) Hadis
Hadis di atas diriwayatkan oleh An-Nasai (As-Sunan Al-Kubra, I:552, No. hadis 1794, Sunan An-Nasai,
III:194, No. hadis 1592) melalui rawi Muhammad bin Basyar. Dia menerima
dari Yahya, dari Abdul Hamid bin Ja’far, dari Wahab bin Kaisan.
Hadis di atas diriwayatkan pula oleh Ibnu Abu Syaibah, Ibnu
Khuzaimah, Al-Hakim, dan Ibnu Al-Mundzir dengan perbedaan redaksi,
sebaga berikut:
Versi Ibnu Abu Syaibah:
عَنْ وَهْبِ بْنِ كَيْسَانَ قَالَ : اجْتَمَعَ عِيدَانِ فِي عَهْدِ
ابْنِ الزُّبَيْرِ فَأَخَّرَ الْخُرُوجَ ثُمَّ خَرَجَ فَخَطَبَ فَأَطَالَ
الْخُطْبَةَ ثُمَّ صَلَّى وَلَمْ يَخْرُجْ إِلَى الْجُمُعَةِ فَعَابَ
ذَلِكَ أُنَاسٌ عَلَيْهِ ، فَبَلَغَ ذَلِكَ عِنْدَ ابْنِ عَبَّاسٍ ،
فَقَالَ : أَصَابَ السُّنَّةَ . فَبَلَغَ ابْنَ الزُّبَيْرِ ، فَقَالَ :
شَهِدْتُ الْعِيدَ مَعَ عُمَرَ فَصَنَعَ كَمَا صَنَعْتُ
Dari Wahab bin Kaisan, ia berkata, “Dua ied (Hari Jum’at dan Iedul
Fitri) telah berkumpul di zaman Ibnu Zubair, maka ia mengakhirkan pergi
menuju ied, kemudian ia keluar, lalu berkhutbah, dan memanjangkan
khutbahnya, kemudian salat. Dan ia tidak keluar untuk salat Jumat. Maka
orang-orang mencela perbuatan Ibnu Zubair itu, lalu berita itu sampai
kepada Ibnu Abas, maka Ibnu Abas berkata, ‘Ia sesuai dengan sunah.’
Berita itu sampai pula kepada Ibnu Zubair, maka ia berkata, “Saya
mengalami ied bersama Umar, maka ia melakukan sebagaimana yang aku
lakukan.”
Takhrij (penelusuran sumber) Hadis
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah (Al-Mushannaf, II:186, No. hadis 5886) melalui rawi Abu Khalid Al-Ahmar, dari Abdul Hamid bin Ja’far, dari Wahab bin Kaisan.
Versi Ibnu Khuzaimah dan Al-Hakim:
عَنْ وَهْبِ بْنِ كَيْسَانَ قَالَ : شَهِدْتُ ابْنَ الزُّبَيْرِ
بِمَكَّةَ وَهُوَ أَمِيرٌ فَوَافَقَ يَوْمُ فِطْرٍ - أَوْ أَضْحًى - يَوْمَ
الْجُمُعَةِ فَأَخَّرَ الْخُرُوجَ حَتَّى ارْتَفَعَ النَّهَارُ فَخَرَجَ
وَصَعِدَ الْمِنْبَرَ ، فَخَطَبَ وَأَطَالَ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ
وَلَمْ يُصَلِّ الْجُمُعَةَ فَعَابَ عَلَيْهِ نَاسٌ مِنْ بَنِي أُمَيَّةَ
ابْنِ عَبْدِ شَمْسٍ فَبَلَغَ ذَلِكَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ أَصَابَ ابْنُ
الزُّبَيْرِ السُّنَّةَ وَبَلَغَ ابْنَ الزُّبَيْرِ فَقَالَ : رَأَيْتُ
عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ إِذَا اجْتَمَعَ عِيدَانِ
صَنَعَ مِثْلَ هَذَا.
Dari Wahab bin Kaisan, ia berkata, “Aku menyaksikan Ibnu Zubair di
Mekah dan dia sebagai amir. Maka Iedul Fitri—atau Iedul Adha—bertepatan
dengan hari Jum’at, maka ia mengakhirkan pergi menuju ied sehingga hari
sudah siang, lalu ia keluar dan naik mimbar, kemudian ia berkhutbah, dan
memanjangkan khutbahnya, kemudian salat dua rakaat. Dan ia tidak salat
Jumat. Maka orang-orang dari Bani Umayyah bin Abd Syams mencela
perbuatannya, lalu berita itu sampai kepada Ibnu Abas, maka Ibnu Abas
berkata, ‘Ibnu Zubair telah sesuai dengan sunah.’ Berita itu sampai pula
kepada Ibnu Zubair, maka ia berkata, “Saya melihat Umar, apabila dua
ied bersatu, ia melakukan hal yang seperti ini.”
Takhrij (penelusuran sumber) Hadis
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (Shahih Ibnu Khuzaimah, II:360, No. hadis 1465) melalui tiga jalur periwayatan:
Pertama, melalui rawi Bundar. Kedua, melalui rawi Ya’qub bin Ibrahim
Ad-Dawraqi. Keduanya menerima dari Yahya. Ketiga, melalui rawi Ahmad bin
‘Abdah, dari Sulaim bin Akhdhar. Yahya dan Sulaim menerima dari Abdul
Hamid bin Ja’far Al-Anshari (Bani ‘Auf bin Tsa’labah), dari Wahab bin
Kaisan.
Redaksi yang sama diriwayatkan oleh Al-Hakim (Al-Mustadrak ‘ala As-Shahihain,
I:435, No. hadis 1097) melalui dua jalur periwayatan: Pertama, melalui
rawi Abu Bakar bin Ishaq, dari Abu Al-Mutsanna, dari Musaddad. Kedua,
melalui rawi Ahmad bin Ja’far Al-Qathi’I, dari Abdullah bin Ahmad bin
Hanbal, dari Ahmad bin Hanbal. Keduanya (Musaddad dan Ahmad bin Hanbal)
menerima dari Yahya bin Sa’id, dari Abdul Hamid bin Ja’far Al-Anshari,
dari Wahab bin Kaisan.
Versi Ibnu Al-Mundzir:
عَنْ وَهْبِ بْنِ كَيْسَانَ قَالَ اجْتَمَعَ عِيدَانِ
عَلَى عَهْدِ ابْنِ الزُّبَيْرِ فَأَخَّرَ الْخُرُوجَ حَتَّى تَعَالَى
النَّهَارُ ثُمَّ خَرَجَ فَخَطَبَ فَأَطَالَ الْخُطْبَةَ ثُمَّ نَزَلَ
فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَلَمْ يُصَلِّ لِلنَّاسِ الْجُمُعَةَ فَعَابَ
ذَلِكَ عَلَيْهِ نَاسٌ مِنْ بَنِي أُمَيَّةَ ابْنِ عَبْدِ شَمْسٍ فَذُكِرَ
ذَلِكَ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ فَذَكَرُوْا ذلِكَ
لاِبْنِ الزُّبَيْرِ فَقَالَ : رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِي
اللَّهُ عَنْهُ إِذَا اجْتَمَعَ عَلَى عَهْدِهِ عِيدَانِ صَنَعَ كذا.
Dari Wahab bin Kaisan, ia berkata, “Dua ied (Hari Jum’at dan Iedul
Fitri) telah berkumpul di zaman Ibnu Zubair, maka ia mengakhirkan pergi
menuju ied hingga telah siang, kemudian ia keluar, lalu berkhutbah, dan
memanjangkan khutbahnya, kemudian turun, lalu salat dua rakaat. Dan hari
itu ia tidak salat Jumat mengimami orang-orang. Maka orang-orang dari
Bani Umayyah bin Abd Syams mencela perbuatannya, lalu diterangkan pada
Ibnu Abas, maka Ibnu Abas berkata, ‘Ia telah sesuai dengan sunah’. Lalu
mereka menyampaikan hal itu kepada Ibnu Zubair, maka ia berkata, “Saya
melihat Umar bin Khathab, apabila dua ied bersatu pada zamannya, ia
melakukan hal yang seperti ini.”
Takhrij (penelusuran sumber) Hadis
Hadis di atas diriwayatkan oleh Ibnu Al-Mundzir (Al-Awsath, IV:288) melalui rawi Yahya bin Muhammad, dari Musaddad, dari Yahya, dari Abdul Hamid bin Ja’far, dari Wahab bin Kaisan.
Kedudukan Hadis
Meski diriwayatkan oleh beberapa mukharrij (pencatat hadis)
dengan redaksi berbeda, namun semua jalur periwayatannya berporos pada
rawi Abdul Hamid bin Ja’far Al-Anshari. Dia menerima dari Wahab bin
Kaisan. Karena faktor rawi inilah para ulama hadis berbeda pendapat
dalam menilai kedudukan hadis tersebut. Sebagian menilainya shahih,
sementara yang lain menilainya dhaif.
Ulama yang menilainya shahih, antara lain:
Kata Syekh Al-Bushiriy:
رَوَاهُ مُسَدَّدٌ وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ
“Hadis itu diriwayatkan oleh Musaddad dan para rawinya tsiqah (kredibel).” (Lihat, Ittihaf Al-Khirah Al-Muhirrah bi Zawa`id Al-Masanid Al-‘Asyrah, II:335)
Kata Syekh Al-Albani:
وَإِسْنَاده صَحِيْحٌ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ
“Dan sanadnya shahih sesuai syarat Muslim.” (Lihat, Shahih Sunan Abu Dawud, IV:239)
Sementara ulama yang menilainya dhaif ialah Syekh Abu Abdurrahman
Fawzi Al-Humaidi Al-Atsari, karena rawi yang menjadi poros periwayatan
hadis itu, yakni Abdul Hamid bin Ja’far Al-Anshari, dia telah dinyatakan
dhaif oleh sebagian ahli ilmu. (Lihat, Qala`id Al-Marjan fii Takhrij Hadits Idza ijtama’a ‘iedaani, hlm. 13)
Ibnu Hibban berkata, “Ia seringkali keliru.” (Lihat, Tahdzib At-Tahdzib, VI:112) Kata Ibnu Hajar, “Seringkali ia ragu-ragu.” (Lihat, Taqrib At-Tahdzib, I:333)
Berdasarkan penjelasan di atas, kami cenderung menilai bahwa pada
pemberitaan Wahab bin Kaisan—tentang waktu pelaksanaan shalat ied Ibnu
Zubair di siang hari, dan kaifiyat (tata cara) iednya dimulai oleh
khutbah, kemudian salat ied—terdapat kekeliruan yang bersumber dari
rawi Abdul Hamid bin Ja’far, yang dinilai sering keliru oleh sebagian
ahli hadis di atas. Kekeliruannya menyebabkan pemberitaan Wahab
menyalahi fakta pengamalan Ibnu Zubair sebagaimana ditegaskan Ath bin
Abu Rabah, yaitu: (a) waktu pelaksanaan shalatnya di pagi hari, (b)
dimulai oleh salat ied, (c) kemudian khutbah.
Kaifiyat ini sesuai dengan syariat shalat ied sebagaimana ditetapkan
Nabi saw. dan pengamalan para khalifah setelah Nabi (Lihat, riwayat
Al-Bukhari pada kitab Al-‘Idain, bab Al-Khutbah ba’da Al-’Ied
(Khutbah setelah shalat ied). Bahkan kaifiyat ini telah diamanatkan
oleh Ibnu Abbas kepada Ibnu Zubair sejak pertama kali ia memangku
jabatan sebagai khalifah. Ibnu Juraij berkata:
وَأَخْبَرَنِي عَطَاءٌ أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ أَرْسَلَ إِلَى ابْنِ
الزُّبَيْرِ فِي أَوَّلِ مَا بُويِعَ لَهُ إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُؤَذَّنُ
بِالصَّلَاةِ يَوْمَ الْفِطْرِ إِنَّمَا الْخُطْبَةُ بَعْدَ الصَّلَاةِ
‘Dan Atha telah menghabarkan kepadaku bahwa Ibnu Abas telah mengirim
(surat) kepada Ibnu Zubair pada awal kekhalifahannya, yaitu tidak ada
adzan untuk salat pada hari Iedul Fitri, khutbah itu hanya dilaksanakan
setelah salat. “(HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:18)
Sehubungan dengan itu Ibnu Khuzaimah mengatakan:
قَوْلُ ابْنِ عَبَّاسٍ أَصَابَ ابْنُ الزُّبَيْرِ السُّنَّةَ يُحْتَمَلُ
أَنْ يَكُونَ أَرَادَ سُنَّةَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ، وَجَائِزٌ أَنْ يَكُونَ أَرَادَ سُنَّةَ أَبِي بَكْرٍ ، أَوْ
عُمَرَ ، أَوْ عُثْمَانَ ، أَوْ عَلِيٍّ ، وَلاَ أَخَالُ أَنَّهُ أَرَادَ
بِهِ أَصَابَ السُّنَّةَ فِي تَقْدِيمِهِ الْخُطْبَةَ قَبْلَ صَلاَةِ
الْعِيدِ ؛ لأَنَّ هَذَا الْفِعْلَ خِلاَفُ سُنَّةِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَأَبِي بَكْرٍ ، وَعُمَرَ ، وَإِنَّمَا
أَرَادَ تَرْكَهُ أَنْ يَجْمَعَ بِهِمْ بَعْدَمَا قَدْ صَلَّى بِهِمْ
صَلاَةَ الْعِيدِ فَقَطْ دُونَ تَقْدِيمِ الْخُطْبَةِ قَبْلَ صَلاَةِ
الْعِيدِ.
“Perkataan Ibnu Abbas, ‘Ibnu Zubair telah sesuai dengan sunnah’
dimungkinkan maksudnya adalah sunnah Nabi saw. dan boleh juga sunnah Abu
Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Dan saya tidak menduga bahwa yang dimaksud
‘sesuai sunnah’ oleh Ibnu Abbas itu mendahulukan khutbah sebelum shalat
ied, karena perbuatan ini menyalahi sunnah Nabi saw. Abu Bakar, dan
Umar. Jadi yang dimaksud dengan: ‘Ibnu Zubair telah sesuai dengan
sunnah’ tiada lain ia tidak melaksanakan shalat Jumat bersama mereka
setelah ia shalat ied mengimami mereka, bukan ‘mendahulukan khutbah
sebelum shalat ied.’ (Lihat, Shahih Ibnu Khuzaimah, II:360)
Kesimpulan
Kaifiyat pelaksanaan ied—meski pada hari Jumat—tidak mengalami perubahan, yaitu dimulai oleh salat kemudian khutbah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar