(2) Qiyâs
Pada
pembahasan sebelumnya telah disampaikan bahwa Madzhab Hanafi, dalam
menetapkan hukum—jika tidak ditemukan dalam 4 sumber (Al-Quran, sunnah,
ijma’ serta fatwa-fatwa sahabat)— menggunakan dasar & metode Istihsân, Qiyâs, dan ‘urf. Dasar & metode berijtihad yang demikian itu juga dilakukan pula oleh madzhab lainnya kecuali Istihsân. Istihsân—sebagai dasar & metode trade mark (khas) madzhab Hanafi—sebenarnya adalah pengembangan dari metode Qiyâs.
Pengembangan ini juga dilakukan oleh madzhab Maliki yang dinamakan dengan mashâlih al-mursalah.
Untuk lebih memahami aspek pengembangan itu, maka dalam bagian ini akan dibahas tentang dasar dan metode Qiyâs.
Pengertian Qiyâs
Qiyâs
menurut bahasa berarti menyamakan, seperti menyamakan si A dengan si B,
karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang
sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyâs juga
berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meteran atau alat
pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain
dengan mencari persamaan-persamaannya. (Lihat, Ushûl Al-Fiqh Al-Islâmî, hal. 108, Al-Mankhûl Min Ta‘lîqât Al-Ushûl, hal. 333, Ashr al-Ikhtilâf, hal. 468; Sullâm al-Wushûl li ‘Ilm al-Ushûl, hal. 205)
Adapun menurut istilah, Qiyâs memiliki banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih, antara lain:
- "memberlakukan ketentuan hukum yang ada pada pokok kepada cabang karena ada pertautan ‘illat antara keduanya"
تَعْدِيَةُ الْحُكْمِ مِنْ الْأَصْلِ إلَى الْفَرْعِ بِعِلَّةٍ مُتَّحِدَةٍ
Definisi
di atas versi Shadr as-Syarî‘ah Ubaidullah bin Mas’ud (w.747 H/1346
M.), salah seorang tokoh ushul fiqih Hanafi. (Lihat, Syarh At-Talwîh ‘Alâ At-Tawdhîh li Matn At-Tanqîh fî Ushûl al-Fiqh, II:170)
- "Menghubungkan satu persoalan yang tidak (belum) ada ketentuan hukumnya di dalam nash dengan suatu persoalan yang telah ditetapkan oleh nash hukumnya, karena antara keduanya terdapat persamaan ‘illat (sebab/motif hukum)"
إِلْحَاقُ
أَمْرٍ غَيْرِ مَنْصُوْصٍ عَلَى حُكْمِهِ بِأَمْرٍ آخَرَ مَنْصُوْصٍ عَلَى
حُكْمِهِ لِاشْتِرَاكٍ بَيْنَهُمَا فِى عِـلَّةِ الحُكْمِ
Definisi di atas versi Muhammad Abd al-Ghanî al-Bajiqanî (Lihat, Al-Madkhal Ilâ Ushûl al-Fiqh al-Mâlikî, hal. 107)
- "mengembalikan cabang ke pokok karena terdapat pertautan ‘illat antara keduanya dalam penetapan hukum"
رَدُّ الفَرْعِ إِلَى الأَصْلِ بِعِلَّةٍ يَجْمَعُهُمَا فِى الحُكْمِ
Definisi di atas versi Mushthafâ Sa‘îd al-Khin (Lihat, al-Kâfî wa al-Wâfî fî Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, hal. 184. Bandingkan dengan versi Abû al-Hasan Muhammad bin Ali bin at-Thayib, dalam al-Mu‘tamad fî Ushûl al-Fiqh, II: 443)
Dalam redaksi lain:
إِلْحَاقُ فَرْعٍ بِأَصْلٍ فِى حُكْمٍ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِى عِلَّةِ الحُكْمِ
“menghubungkan atau menyamakan hukum cabang (furû‘) dengan pokok karena terdapat pertautan ‘illat hukum antara keduanya.”
Dari
beberapa pengertian/definisi yang telah dikemukakan di atas memang
terdapat perbedaan redaksional, tetapi esensinya adalah sama.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa qiyâs
itu ialah menghubungkan dan atau menyamakan dan memberlakukan ketentuan
hukum suatu persoalan yang telah disebutkan oleh nash kepada sesuatu
persoalan yang belum ada ketentuan hukumnya dengan berpijak pada
kesamaan ‘illat hukumnya.
Oleh karena itu, apabila nash telah menjelaskan hukum sesuatu persoalan dan di dalamnya diketahui ada ‘illat penetapannya dan kemudian terdapat persoalan lain (masalah baru) yang ‘illat-nya sama dengan apa yang telah disebutkan oleh nash, maka -atas dasar kesamaan ‘illat ini- keduanya berlaku ketentuan hukum yang sama pula. (Lihat, Mashâdir at-Tasyrî‘ al-Islâmî, hal. 27)
Dari pengertian qiyâs yang telah dikemukakan di atas ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu: pertama, bahwa dalam melakukan qiyâs boleh persoalan baru yang belum ada ketentuan hukumnya (furû‘) dibawa,
dihubungkan atau disamakan dengan persoalan yang telah ditetapkan
hukumnya di dalam nash. Artinya ketentuan hukum di dalam nash menjadi
tempat penyamaan hukum. Defenisi ini, misalnya seperti dikemukakan oleh
Muhammad Abd al-Ghanî al-Bajiqanî dan Mushthafâ Sa‘îd al-Khin. Kedua, memberlakukan
ketentuan hukum yang ditetapkan di dalam nash kepada persoalan baru
yang belum ada ketentuan hukumnya karena keduanya terdapat kesamaan ‘illat.
Kedua bentuk peng-qiyâs-an ini sebetulnya menuju satu titik yang sama, yang berbeda hanyalah cara pelaksanaannya saja. Dalam pelaksanaannya, qiyâs dapat dilakukan bila memenuhi empat unsur yang dikenal dengan istilah “arkân al-qiyâs”(rukun-rukun qiyâs).
Ulama Ushul Fiqh mengatakan bahwa qiyâs
harus berpijak pada empat unsur. Dengan berpijak pada empat rukun ini,
akan menghasilkan ketetapan hukum yang sebanding antara pokok dengan
cabang. Jika tidak demikian qiyâs tidak dapat terlaksana.
Dari sejumlah rumusan rukun qiyâs dalam kitab-kitab Ushul Fiqh terdapat tiga versi hierarkis: pertama, rukun qiyâs terdiri atas: al-ashl (pokok), al-far‘u (cabang), hukum al-Ashl dan ‘illat. Kedua, rukun qiyâs adalah: al-ashl, al-far’u, al-‘illat dan al-hukm. Ketiga, rukun qiyâs adalah: al-ashl, al-hukm, al-far’u dan al-‘illat. (Lihat, Mashâdir at-Tasyrî‘ al-Islâmî, hal. 60, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, III: 5, Mashâdir al-Ahkam al-Islâmîyah, hal. 92, Ushûl al- Fiqh al-Islâmî, hal. 120, Irsyâd al- Fuhûl, hal. 204, dan Muhammad al-Khudarî Beik, Ushûl al-Fiqh, hal. 293)
Keempat rukun atau unsur qiyâs tersebut adalah:
- Harus ada apa yang disebut dengan pokok (الأصل), yaitu persoalan yang telah dijelaskan ketentuan hukumnya di dalam nash. Pokok ini sering pula disebut dengan “المـقـيس عـليــه” yakni yang menjadi tempat sandaran qiyâs, dan kadang-kadang disebut pula dengan “المشـبـه بــه” menjadi tempat penyamaan sesuatu.
- Adanya cabang (الفرع), yaitu persoalan atau perkara baru yang tidak ada nash yang menjelaskan hukumnya dan ia akan disamakan hukumnya dengan pokok.
- Adanya ketetapan hukum asal (الحـكـم الأصـلى) yang telah dijelaskan oleh nash pada pokok. Ketentuan hukum ini adalah hukum yang sudah pasti yang melekat pada pokok sebagai tempat penyandaran kesamaan hukum bagi cabang.
- Adanya ‘illat (العلة), yakni suatu sifat atau keadaan yang menjadi alasan/dasar penetapan hukum pada pokok dan ‘illat ini juga terdapat pada cabang yang akan dicari hukumnya. ‘Illat ini harus jelas, relatif dapat diukur dan kuat dugaan bahwa dialah yang menjadi alasan penetapan hukum Allah dan Rasul-Nya.
Untuk melihat aplikasi qiyâs, berikut ini dikemukan salah satu contoh larangan “jual-beli” ketika dikumandangkan azan Jum’at. Larangan ini didasarkan pada firman Allah:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ
الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ...
Hai
orang-orang yang beriman apabila kamu diseru untuk mengerjakan shalat
Jum‘at, maka segeralah kamu ingat kepada Allah dan tinggalkanlah
jual-beli… (QS. Al-Jumu‘ah, 62:9)
Ayat ini di-qiyâs-kan
kepada persoalan lain, seperti berbagai transaksi dan aktifitas lainnya
-selain jual beli- yang dilakukan pada saat azan dikumandangkan pada
hari Jum’at, maka juga dilarang karena ada persamaan ‘illat-nya, yaitu melalaikan untuk ingat kepada Allah. (Lihat, Mashâdir at-Tasyrî‘ al-Islâmî, h. 24-25)
Perintah meninggalkan jual-beli ketika azan Jum‘at dikumandangkan pada hari Jum‘at adalah pokok (al-ashl). Sedangkan berbagai transaksi dan kegiatan lainnya adalah cabang (al-far‘u) yang akan dicari hukumnya. Larangan "jual-beli" hukum pokok dan “melalaikan” adalah illat-nya. Oleh karena berbagai transaksi dan kegiatan itu mempunyai persamaan ‘illat dengan pokok yaitu bisa melalaikan untuk ingat kepada Allah, maka hukumnya juga dilarang.
Keempat rukun/unsur yang disebutkan di atas merupakan patokan dalam melakukan qiyâs. Qiyâs tidak dapat dilakukan bila salah satu dari keempat rukun ini diabaikan atau tidak ada. Seseorang yang akan melakukan qiyâs
hendaklah terlebih dahulu harus mengetahui dan meneliti dalil nash
secara seksama serta ketentuan hukum apa yang ada di dalamnya. Setelah
itu meneliti ‘illat yang menjadi dasar penetapan hukum pada pokok. Begitu pula meneliti ‘illat pada persoalan baru (cabang) yang akan dicari hukumnya.
Jika ‘illat pada pokok dan cabang sudah diketahui dan terdapat unsur persamaannya, maka dapat dilaksanakan qiyâs antara cabang dan pokok. Meski begitu, orang yang akan melakukan qiyâs dituntut agar berhati-hati dalam mengambil dalil nash dan ketentuan hukum, serta harus cermat dalam meneliti ‘illat yang terdapat – baik pada pokok maupun pada cabang; apakah ada relevansinya (munâsabah) antara keduanya. Dengan kata lain, ‘illat
yang terdapat pada pokok dan cabang, hendaklah terdapat kesamaan
substansial antara keduanya yang memungkinkan diperlakukan sama
ketentuan hukumnya.
Memang dalam prakteknya, pemikiran tentang ‘illat
hukum ternyata di kalangan ulama berbeda-beda satu sama lainnya. Yang
dimaksudkan di sini ialah pemahaman mereka tentang keberadaan ‘illat dan aplikasinya dalam penetapan hukum tasyrî‘ adalah tidak sama. Ketidaksamaan ini, tentu saja, jelas akan mempengaruhi nilai dari ketetapan hukum yang dihasilkan.
Contoh yang paling sering dirujuk oleh ulama Ushul Fiqh ialah tentang ‘illat riba, baik riba fadhl (dalam jual-beli) maupun riba nasi`ah (dalam
hutang-piutang) pada enam macam benda yang disebutkan dalam hadis Nabi,
yaitu: emas, perak, gandum (Burr), gandum (Sya'ir), kurma, dan garam).
(HR. Muslim, Shahih Muslim, III:1211)
Berdasarkan
hadis ini ulama Ushul sepakat bahwa keenam macam benda tersebut bisa
mendatangkan riba. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang ‘illat yang menjadi dasar penetapan hukum riba tersebut.
Kalangan madzhab Hanafi mengatakan bahwa ‘illat riba—riba fadhl—dari keenam macam benda tersebut ialah timbangan dan takaran yang dalam istilah Fiqh disebut dengan al-kail wa al-wazn (الكيل والوزن). Adapun riba nasi`ah ialah wujud dari dua sifat benda yang sejenis, yaitu takaran dan timbangan. Sementara itu, kalangan madzhab Malikiyah dan Syafi‘iyah berpendapat bahwa ‘illat riba fadhl adalah emas dan perak, karena sifat keduanya merupakan standar harga. Sedangkan untuk empat macam benda lainnya ‘illat-nya ialah makanan pokok (al-qût). Mengenai riba nasi`ah ‘illat-nya adalah pada emas dan perak, karena keduanya merupakan standar harga. (Lihat, Ashr al-Ikhtilâf, hal. 493-494)
Kemudian, dalam hubungan ini, kalangan madzhab Hanabilah berpendapat bahwa ‘illat riba dari emas dan perak ialah karena ia jenis benda yang dapat ditimbang dan sedangkan empat jenis benda lainnya ‘illat-nya ialah takaran. (Lihat, Ashr al-Ikhtilâf, hal. 496-497)
Agaknya, kalangan madzhab Hanabilah mempunyai pandangan yang sama dengan Hanafiyah, tetapi mereka membedakan antara sifat ‘illat timbangan dan sifat ‘illat takaran. Untuk emas dan perak ‘illat-nya adalah timbangan, karena ia hanya bisa dinilai dengan timbangan, bukan takaran. Adapun ‘illat untuk empat jenis benda lainnya -gandum, syair, kurma dan garam- adalah takaran dengan asumsi bahwa ia bisa ditakar.
Kelihatannya, kalangan madzhab Hanabilah membedakan dua sifat ‘illat timbangan dan takaran. Sebetulnya, membedakan dua sifat ‘illat disebut terakhir ini, kalangan Hanabilah tidak mempunyai pijakan yang kuat karena baik emas dan perak, begitu pula gandum, syair, garam dan kurma, kesemuanya bisa ditakar dan ditimbang. Tidak ada artinya membedakan dua macam sifat ‘illat
antara timbangan dan takaran bagi keenam jenis benda yang disebutkan di
atas, jika keduanya dapat diterapkan dan mengandung asumsi yang sama.
Demikian pula halnya dengan kalangan madzhab Malikiyah dan Syafi‘iyah yang membedakan dua sifat ‘illat antara standar harga dan al-qût, menyatakan riba Fadhl terjadi pada emas dan perak karena ia menjadi standar harga. Akan tetapi, jika hanya emas dan perak yang dapat menimbulkan riba fadhl karena ia menjadi standar harga tidaklah tepat. Sifat riba fadhl bisa pula terjadi pada empat jenis benda lainnya. Demikian pula dengan ‘illat al-qût bagi empat jenis benda, selain dari emas dan perak, juga tidak tepat, karena seperti garam bukanlah termasuk makanan pokok.
Karena itu, dari ketiga pandangan di atas, agaknya kalangan madzhab Hanafiyah lebih tepat dalam melihat dan menentukan hubungan ‘illat dengan penetapan hukum riba fadhl dan nasi`ah terhadap enam macam benda di atas, yaitu timbangan dan takaran.
Adapun membedakan antara riba fadhl dan nasi`ah
hanyalah berkaitan dengan sifat pelaksanaannya. Jika dalam kegiatan
tukar-menukar (jual-beli) terhadap benda sejenis yang salah satunya
lebih—tidak sama takaran atau timbangannya—maka hal ini disebut riba fadhl. Sementara riba nasi`ah,
jika dalam kegiatan tukar menukar (jual-beli) dengan telah ditentukan
harganya, dan setelah jatuh tempo waktu pembayaran (pengembalian) tidak
dipenuhi, maka pembayaran atau pengembalian harus lebih.
Dari contoh kasus yang telah dikemukakan di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa penentuan ‘illat
sebagai alasan penetapan hukum di kalangan ulama terdapat perbedaan.
Akibat perbedaan ini, maka kadang-kadang produk hukum yang dihasilkan
juga berbeda. Diakui bahwa kadang-kadang ulama berbeda dalam menentukan ‘illat
sementara hukum yang ditetapkan sama, seperti kasus pada enam macam
benda pada contoh di atas, dimana ulama berbeda dalam menentukan ‘illat tetapi ketentuan hukum yang ditetapkan adalah sama; yakni riba fadhl dan riba nasi`ah hukumnya haram. Dan kadang-kadang berbeda dalam menentukan ‘illat dan berbeda pula hukum yang ditetapkan.
Dari
apa yang telah dikemukakan ini ternyata perbedaan dalam ketetapan
hukum, seperti banyak ditemui dalam berbagai leteratur dan refleksinya
dalam kehidupan praktis umat adalah berakar dari perbedaan penentuan ‘illat sebagai dasar atau alasan pensyariatan hukum. Perbedaan ini terlihat—terutama sekali—dalam menentukan sifat ‘illat yang tidak disebutkan oleh nash.
Dari apa yang telah dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa dasar & teori qiyâs
ini pada intinya memperluas pemberlakukan suatu ketentuan hukum yang
sudah pasti di dalam nash kepada berbagai persoalan yang tidak
disebutkan oleh nash (persoalan baru), di mana antara keduanya terdapat
kesamaan ‘illat. Dengan menggunakan teori ini, tentu banyak persoalan yang dapat dipecahkan secara syar‘î, yang hingga saat ini tetap digunakan oleh para ulama sebagai salah satu alat dalam penetapan hukum tasyrî‘.
Kehujjahan qiyâs
Bila dicermati secara seksama bahwa dasar & teori qiyâs ini digunakan oleh hampir semua ulama mazhab dalam istinbâth
hukum. Berbagai kasus hukum dapat dipecahkan dengan menggunakan teori
ini dengan prinsip kerjanya mencari hubungan persamaan atau mencari
persamaan ‘illat antara sesuatu yang telah disebutkan oleh nash
dengan sesuatu yang tidak disebutkan oleh nash. Artinya, berbagai
masalah yang muncul yang belum ada ketentuan hukumnya dapat dipecahkan
dengan mencari hubungan persamaannya dengan sesuatu yang telah
disebutkan oleh nash. Lebih-lebih di abad modern sekarang ini, dasar
& teori ini menjadi penting dan sangat strategis dalam menyelesaikan
berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan umat.
Meskipun demikian ada sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan penggunaan qiyâs sebagai dasar hujjah, di antaranya Madzhab Zhahiri dan Madzhab Syi'ah.
Adapun asas legalitas qiyâs sebagai metode ijtihad, Abu Hanifah sebagaimana ulama madzhab lainnya mendasari kepada firman Allah:
يَاأَيُّهَا
الَّذِيْنَ أَمَنُوْا أَطِيْعُوْا اللهَ وَأَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ
وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ. فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْئٍ فَرُدُّوْهُ
إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ
وَالْيَوْمِ الأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً
“Hai
orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri di
antara kamu. Sekiranya ada perbedaan pendapat di antaramu tentang
sesuatu (yang tidak ada ketegasan dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul), maka
kembalilah kepada Allah dan Rasul”. (QS. An-Nisa’, 4: 59)
Pendalilan
ayat: “Mengembalikan sesuatu—yang tidak ada ketegasan dalam Al-Quran
dan Sunnah Rasul—kepada Allah dan Rasul itu tiada lain dengan mengetahui
berbagai indikasi dan petunjuk dari Al-Quran dan Sunnah Rasul kepada
sesuatu yang menjadi sasaran penetapan hukum. Dan hal itu dengan
penentuan ‘illat hukum. Cara demikian itu adalah qiyâs.” (Lihat, Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, hal. 221)
Dan mendasari kepada hadis, di antaranya hadis tentang jawaban Nabi saw. kepada Umar ra. Kata Umar:
صَنَعْتُ
الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ
بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ فَقُلْتُ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفِيمَ
“(wahai
Rasulullah) Aku telah melakukan perkara yang besar, aku menciumi istri
ketika sedang shaum.” Maka Rasulullah saw. berkata kepada Umar ra.,
“Bagaimana pendapat kamu jika berkumur-kumur dengan air padahal kamu
sedang shaum?” Umar ra. Menjawab, “Tidak apa-apa dengan hal itu.” Maka
Rasulullah saw. berkata, “Lanjutkan shaum kamu.” (HR. Ahmad, Al-Musnad, I:439, No. hadis 372)
Pendalilan
hadis ini, bahwa dalam menetapkan hukum mencium istri ketika shaum
apakah membatalkan shaum atau tidak, Nabi saw. menyuruh Umar untuk
meng-qiyâs-kan kepada persoalan lain, yaitu berkumur-kumur dengan air
ketika shaum. Karena berkumur-kumur dengan air tidak membatalkan shaum,
maka mencium istri juga tidak membatalkan shaum.
Selain itu, asas legalitas qiyâs juga merujuk pada hadis:
عَنْ
أُنَاسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم لَمَّا أَرَادَ أَنْ
يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ: كَيْفَ تَقْضِيْ إِذَا عَرَضَ
لَكَ قَضَاءٌ ؟ قَالَ: أَقْضِيْ بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ
تَجِدْ فِيْ كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ ص. قَالَ:
فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم؟
قَالَ: أَجْتَهِدُ بِرَأْيِيْ - رواه أبو داود -
Dari beberapa orang
penduduk Himsh, yaitu para shahabat Mu’adz bin Jabal, bahwasannya
Rasulullah saw. ketika akan mengutus Mu’adz ke Yaman, Beliau
bertanya:’Bagaimana kau akan menetapkan suatu perkara yang datang
kepadmu?’ Ia menjawab: ‘Saya akan tetapkan dengan Alquran’ Beliau
bertanya lagi: ‘Bagaimana jika tidak ada dalam Alquran?’ Ia menjawab:
‘Maka dengan Sunnah Rasulullah’. Beliau bertanya lagi: ‘Bagaiman a jika
tidak ada dalam Sunnah Rasul?’ Ia menjawab: ‘Saya akan berijtihad dengan
pikiran saya’. HR. Abu Dawud
Dari hadis ini dapat
dipahami bahwa seseorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum
suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat Al-Quran dan Hadis yang
dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam
berijtihad itu. Salah satu di antaranya ialah dengan menggunakan qiyâs.
Imam Al-Khathabi berkata:
يُرِيْدُ
الإِجْتِهَادَ فِيْ رَدِّ الْقَضِيَّةِ مِنْ طَرِيْقِ الْقِيَاسِ إِلَى
مَعْنَى الْكِتَابِ وَ السُّنَّةِ وَلَمْ يُرِدِ الرَّأْيَ الَّذِيْ
يَسْنَحُ لَهُ مِنْ قِبَلِ نَفْسِهِ أَوْ يَخْطُرُ بِبَالِهِ مِنْ غَيْرِ
أَصْلٍ مِنْ كِتَابٍ أَوْ سُنَّةٍ
“Ijtihad yang dimaksud oleh Mu’adz ialah akan mengembalikan suatu perkara dengan jalan qiyâs
kepada makna Quran dan Sunnah, dan ia tidak bermaksud mengunakan
semata-mata pikiran yang terlintas di hatinya tanpa bersandar sama
sekali kepada Al-Quran atau Sunnah.” (Lihat, Ma’âlim As-Sunnah, IV:165)
Ibnul Qayyim berkata:
فَالصَّحَابَةُ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ مَثَّلُوْا الْوَقَائِعَ بِنَظَائِرِهَا
وَشَبَّهُوْهَا بِأَمْثَالِهَا وَرَدُّوْا بَعْضَهَا إِلَى بَعْضٍ فِيْ
أَحْكَامِهَا
“Para Shahabat Nabi saw. membandingkan
peristiwa-peristiwa dengan peristiwa yang sama, dan mereka mempersamakan
dengan perkara-perkara yang serupa dengannya, dan mereka mengembalikan
sebagiannya kepada sebagian yang lain tentang hukum-hukumnya.” (Lihat, I’lâm Al-Muwaqqi’în, I:217)
Pengembangan Metode qiyâs
Abu Hanifah berpegang kepada qiyâs
dalam berijtihad, apabila perkara yang sedang dihadapi tidak terdapat
dalam Al-Quran, Hadis dan perkataan Sahabat. Beliau menghubungkan
perkara yang dihadapi kepada nash yang ada setelah memperhatikan ‘illat yang sama antara keduanya.
Hukum perkara baru (furu’) yang diijtihadkan melalui qiyâs oleh Abu Hanifah, sebagian ketetapan hukumnya sama dengan hasil qiyâs jumhur fuqaha madzhab yang lain. Akan tetapi sebagian yang lain tidak sama.
Perbedaan ini dilatari oleh perbedaan pertimbangan dalam melakukan qiyâs antara Abu Hanifah dengan fuqaha lain.
Jumhur fuqaha dalam men-qiyâs-kan suatu perkara yang belum ada nash kepada perkara yang sudah memiliki nash, alat pertimbangan mereka adalah terletak pada ‘illat. Argumentasi logis mereka, hukum didasarkan kepada ‘illat bukan pada hikmah. (Lihat, Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, hal. 250)
Sedangkan bagi Abu Hanifah, dalam proses qiyâs, tidak hanya ‘illat
yang dijadikan pegangan. Akan tetapi hikmah dari sebuah hukum adalah
aspek yang tidak bisa diabaikan juga. Karena semua ketentuan syari’at
mengandung hikmah yaitu untuk kemaslahatan. Oleh sebab itu, setiap
permasalahan (furu’) yang mengandung maslahah, maka permasalahan itu bisa di- qiyâs-kan juga kepada permasalahan ashal yang sudah dijelaskan hukumnya dalam Al-Quran, Hadis dan Ijmak sahabat.
Menurutnya, hikmahlah yang mendorong penetapan suatu ketentuan hukum. Pandangan ini menghendaki bahwa pada hakikatnya ‘illat hukum itu adalah hikmah. Hikmah diartikan
sesuatu yang terkait dengan tujuan pensyariatan hukum syara‘ yaitu
untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan menghindarkan mereka dari
kerusakan. (Lihat, Mu‘jam Musthalahât, h. 184)
Dengan perkataan lain, hikmah adalah suatu keserasian (munâsib)
yang mempunyai relevansi terhadap pensyariatan hukum, dimana atas
keserasian inilah hukum dibina demi terciptanya kemaslahatan dan
terhindar dari kemudaratan. Artinya, penetapan hukum syara‘ yang
didasarkan pada ‘illat itu adalah untuk merealisir kemaslahatan
bagi manusia dan terhindar dari kerusakan. Oleh karena itu seluruh
ketetapan hukum syara‘ tidak ada yang tidak mengandung hikmah bagi umat
manusia. (Lihat, Al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh, hal. 204)
Meskipun
secara praktik, untuk melihat hikmah apakah yang terkandung dalam suatu
ketetapan hukum dan prosedur apa yang dapat ditempuh untuk mengetahui
hikmah tersebut, bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah.
Dalam penelitian ulama ternyata tidak semua ‘illat
dapat dipahami hubungannya dengan hikmah yang terkandung di dalam semua
ketentuan hukum. Dengan kata lain, seperti disebutkan oleh Abd
al-Wahhâb Khallâf bahwa salah satu syarat bagi ‘illat ialah terdapatnya relevansi (munâsabah)
dengan hikmah yang terkandung dalam pensyari‘atan hukum yakni ada dan
tidak adanya suatu hukum tergantung dengan hikmah yang hendak dicapai
atau diwujudkan. Akan tetapi, sebagaimana diakui oleh Abd al-Wahhâb
Khallâf sendiri:
وَ لَكِنْ لَيْسَتْ كُلُّ عِلَّةٍ تُحَقِّقُ
الحِكْمَةَ وتَقْضِى إِلَى الْمَقْصُوْدِ مِنْهَا قَطْعًا فِي كُلِّ
جُزْئِيَّةٍ بَلْ قَدْ تَقْضِى إِلَيْهِ قَطْعًا أَوْ ظَنًّا أَوْ شَكًّا
أَوْ وَهْمًا
Tidak semua ‘illat dapat merealisasikan hikmah
dalam setiap persoalan hukum, sebab kadang-kadang apa yang disebut
dengan hikmah itu merupakan sesuatu yang diperkirakan saja atau sesuatu
yang belum pasti. (Lihat, Mashâdir at-Tasyrî’ al-Islâmî, hal. 59-60)
Dari pandangan Abd al-Wahhâb Khallâf ini dapat dipahami bahwa ada kalanya ‘illat
dan hikmah yang hendak dicapai dari suatu ketetapan hukum itu dapat
dipahami oleh akal hubungan antara keduanya, dan ada kalanya tidak bisa
dipahami. Terhadap aspek yang pertama -- ‘illat dan hikmah bisa
dipahami hubungan antara keduanya -- contoh yang diberikan oleh ulama
ushul ialah tentang larangan (haram) meminum khamar. Menurut Sya‘bân dan
Abd al-Wahhâb Khallâf bahwa keharaman khamar ‘illat-nya ialah iskâr (memabukkan). ‘illat iskar
merupakan pendorong penetapan larangan meminum khamar yang hikmahnya
adalah untuk kemaslahatan manusia, yaitu terpeliharanya akal pikiran
dari kerusakan. Jadi, ‘illat iskâr sebagai alasan pengharaman khamar mengandung hikmah untuk melindungi akal pikiran dari kerusakan. (Lihat, Ushûl al- Fiqh al-Islâmî, hal. 142, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, hal. 69-70)
Dalam pandangan Syâri‘, akal merupakan sesuatu yang vital dan amat berharga bagi manusia, dan ia menjadi dasar dalam penentuan ukuran taklîf (pembebanan) dari berbagai ketetapan hukum syara‘. Oleh karena itu, antara iskâr (memabukkan) yang menjadi ‘illat
pengharaman khamar dan nilai hikmah yang dikandungnya terdapat hubungan
logis yang dapat dipahami oleh akal kita. Sebab, jika tidak demikian,
tentu khamar tidak diharamkan atau tidak dilarang untuk diminum.
Aspek yang kedua, yaitu ‘illat
yang tidak dapat dipahami hubungannya dengan hikmah yang terkandung
dalam suatu ketetapan hukum, dalam persoalan yang disebut terakhir ini,
banyak sekali ditemukan ketetapan hukum syara‘ di dalam nash yang tidak
dapat dipahami hubungannya dengan hikmah yang terkandung di dalamnya.
Contohnya ketetapan hukum yang mewajibkan mandi bagi suami-isteri yang
junub. Hal ini dijelaskan oleh ayat:
... وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْا ...(المائدة/٥:٦)
… dan jika kamu junub maka mandilah … (QS. Al-Mâ`idah:6)
Bila dipahami kandungan ayat ini, ternyata ketetapan hukum wajib mandi ‘illat-nya
adalah junub. Jika tidak junub, tentu tidak ada ketentuan wajib mandi.
Kasus suami-isteri yang melakukan junub yang membawa akibat hukum wajib
mandi, tidak dapat dipahami hubungan dengan hikmah yang terkandung di
dalamnya.
Contoh kasus yang disebut terakhir ini, di kalangan ulama ushul disebut dengan sebab.
Artinya, ia berkaitan dengan hubungan sebab akibat. Bila ketetapan
hukum berkaitan dengan sebab akibat, maka hikmah apa yang terkandung di
dalamnya tidak dapat dipahami. Sementara di kalangan ulama ada yang
berupaya untuk mencarinya, tetapi hal tersebut tidak lain hanyalah
perkiraan dan dugaan saja -- yang tidak dapat dijadikan pegangan. Oleh
sebab itu, aspek inilah yang kemudian disebut dengan urusan ta‘abbudî, dimana manusia (hamba) dituntut untuk mematuhinya.
Maka dilihat dari eksistensi ‘illat dan hubungannya dengan hikmah itulah, madzhab Hanafi mengembangkan dasar & metode qiyâs kepada dua bentuk: Pertama, qiyâs jali, yaitu bila ‘illat hukum baik pada furu’ (cabang) dan ashal (pokok) adalah jelas atau nyata, sebagaimana dipergunakan pula oleh jumhur fuqaha yang lain. Qiyâs jali ini digunakan sebagai istilah khusus dalam mazhab Hanafi bagi metode qiyâs dalam jumhur madzhab fuqaha lainnya. Kedua, adalah qiyâs khafy, yaitu bila ‘illat pada furu’ dan ashal tidak sama atau samar-samar. Qiyâs khafy inilah yang dinamakan sebagai Istihsân dalam mazhab Hanafi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar