Berbagai penjelasan—sebagaimana telah disampaikan sebelumnya—menunjukkan bahwa masalah nashb al-imâmâh (penegakkan kepemimpinan) telah menjadi sesuatu yang ma’lûmun min ad-dîn bi ad- dharûrah,
yakni sesuatu yang telah dimaklumi kepentingannya dalam agama Islam dan
bagi kaum muslimin. Itulah sebabnya mengapa para shahabat berkumpul di Tsaqîfah Bani Sa’îdah
selang beberapa saat Rasulullah saw. wafat. Dalam keadaan jenazah
Rasulullah saw. masih terbaring, mereka segera berkumpul dan
bermusyawarah guna memilih dan mengangkat seorang pengganti Rasulullah
saw, sekalipun memakamkan jenazah Rasulullah saw adalah juga pekerjaan
yang wajib yang mesti dilakukan. Namun sesuai dengan tuntunan syariat,
mereka justru memprioritaskan mengangkat pengganti Rasulullah saw.
Mereka tidak ingin dan tidak bisa hidup barang satu haripun tanpa adanya
pemimpin.
Esensi keberadaan seorang pemimpin juga dapat kita perhatikan dari ucapan Abubakar ra. Ketika itu:
إِنَّ
مُحَمَّدًا قَدْ مَضَى بِسَبِيْلِهِ وَلاَبُدَّ لِهذِهِ الأَمْرِ مِنْ
قَائِمٍ يَقُوْمُ بِهِ فَانْظُرُوْا وَهَاتُوْا آرَاءَكُمْ
“Sesungguhnya
Muhamad telah pergi selama-lamanya, dan untuk urusan Islam ini harus
ada orang yang melaksanakannya, maka hendaklah kalian memikirkannya dan
kemukakanlah pendapat-pendapat kalian.” (Lihat, As-Siyasah Asy-Syar’iyyah, h. 473)
Dengan demikian, kepemimpinan dalam ajaran Islam memiliki kedudukan vital dan sentral untuk menegakkan mashlahat dharûriyyah (agama, jiwa-raga, akal, harta, dan keturunan) dalam lingkup Mashlahat 'âmmah
(kemaslahatan publik). Untuk itu, Islam telah menetapkan empat sifat
utama atau criteria ideal kepemimpinan yang dapat menegakkan
kemaslahatan itu: fathânah, amânah, shiddîq, tablîgh.
- fathânah. Artinya, mampu menghadapi seluruh lapisan manusia dengan bijak. Dengan kekuatan hikmahnya, mampu memberikan kepuasan pikiran. Dengan nasihatnya, mampu menentramkan hati, dan dengan argumennya mampu memberikan keteguhan ideologi.
- amânah. Artinya, sanggup menunaikan segala amanat, baik amanah dari Allah maupun amanah masyarakat. Sehingga semua lapisan masyarakat mendapatkan keadilan, terpenuhi haknya masing-masing.
- shiddîq. Artinya, bersikap jujur dalam segala bentuknya. Jujur hati dan lidahnya, dan jujur pula perbuatannya. Kejujurannya tidak semu, bukan kamuflase atau hiasan semata untuk memikat dan menarik simpati orang lain agar bisa dimanfaatkan. Akan tetapi benar-benar merupakan integrasi antara hati, lisan, dan perbuatan.
- tablîgh. Artinya, menyampaikan risalah ilahi kepada semua pihak. Dia menjadi muballigh yang istiqamah, tidak bisa dimanfaatkan menjadi “corong” kelompok-kelompok tertentu, meskipun dijanjikan harta dan tahta.
Berdasarkan pandangan dasar tentang Maqâshid Syarîah
(tujuan umum perundang-undangan Islam)—sebagaimana telah disampaikan
sebelumnya—memilih pemimpin umat dengan kriteria yang ideal secara
syariat—sebagaimana telah disampaikan di atas—bukanlah tugas sesaat
(tidak dibatasi periode kepemimpinan tertentu), melainkan menjadi tugas
kaum muslimin sepajang hayat. Dan dalam prakteknya, hal itu juga
bertumpu kepada wasâ`il (alat untuk mencapai tujuan)-nya, semisal sadz adz-dzarî’ah (menutup jalan menuju kerusakan) dan fath adz-dzarî’ah
(membuka jalan untuk mencegah kerusakan) yang harus ditempuh dalam
pelaksanaannya. Dalam konteks ini, tidak kalah pentingnya regenerasi dan
kaderisasi pemimpin.
Kontekstualisasi Pemilihan Pemimpin
Jika masalah nashb al-imâmâh
(penegakkan kepemimpinan) dipandang sebagai sebuah proses yang tidak
pernah selesai. Maka ia senantiasa terlibat dalam pergulatan sosial dan
pergumulan budaya. Nyatanya, fakta seperti itu telah, sedang, dan akan
berjalan dalam perjalanan sejarah umat Islam. Sejalan dengan pandangan
demikian pemecahan atas pelbagai masalah yang terkait dengan ihwal nashb al-imâmâh lebih bersifat kontekstual, sehingga dengan demikian gejala nashb al-imâmâh, menampakan diri dalam sosok yang beragam sesuai dengan perbedaan waktu dan tempat. Meskipun demikian, nilai nashb al-imâmâh tidak serta merta menjadi nisbi (relatif), karena ia memiliki kemutlakan. Paling tidak, ia terkait erat oleh kemestian untuk selalu jalb al-mashaalih (mewujudkan mashlahat) dan dar` al-mafasid atau daf’ ad-Dharar (mencegah hal-hal yang merusak).
Sehubungan
dengan itu, ketika dalam kehidupan kaum muslimin tidak ditemukan figure
yang memenuhi criteria ideal secara syariat—sebagaimana telah
disampaikan di atas—dan tentu saja kaum muslimin akan dihadapkan pada
dua pilihan;
- Memilih pemimpin yang tidak sepenuhnya ideal. Hal ini akan menimbulkan madarat ketika kepemimpinannya tidak sesuai dengan syar’i.
- Tidak memilih pemimpin (golput) karena tidak ada yang ideal. Hal ini akan menimbulkan madarat yang lebih besar, yakni dengan tidak adanya kepemimpinan dapat mengancam maslahat umum atau kepentingan publik yang berhubungan dengan pemeliharan mashlahat dharûriyyah sebagaimana dijelaskan di atas.
Maka—berdasarkan pandangan dasar tentang Maqâshid Syarîah itu pula—umat Islam diwajibkan untuk mengambil yang paling ringan madharatnya. Sikap ini sejalan dengan nilai dasar siyâsah syar’iyyah dan kaidah-kaidah umum sebagai berikut:
- Nilai dasar siyâsah syar’iyyah
Nilai dasar ini terlihat dari keberadaan peraturan rukhshah, yaitu kekecualian dari hukum asal,
dalam Alquran. Aturan tersebut berlaku karena adanya situasi dan
kondisi tertentu yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan hukum asal. Sebagai contoh, bagi orang yang sakit dan melakukan perjalanan, dibolehkan membatalkan kewajiban shaum, dan jama’-qashar
dalam salat. Demikian pula dalam kewajiban atau larangan sehubungan
dengan keadaan darurat, semisal kondisi darurat dalam memakan daging
babi. Dalam aturan rukhsah dan kondisi darurat tersebut di
atas, tersirat semangat mengenai keharusan untuk senantiasa
memperhatikan dan memperhitungkan situasi dan kondisi yang dihadapi
dalam menerapkan hukum, termasuk nashb al-imâmâh (penegakkan kepemimpinan).
- Kaidah-kaidah Umum
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ
“Keadaan darurat membawa pada kebolehan yang dilarang”
إِذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
“Apabila
terjadi kontradiksi dua kemafsadatan, maka yang dipertimbangkan adalah
yang paling besar madaratnya dengan melakukan/mengambil yang lebih
ringan madaratnya.”
Dalam redaksi lain
إِذَا اجْتَمَعَ الضَّرَرَانِ فَعَلَيْكُمْ بِأَخَفِّهِمَا
“Apabila berkumpul dua madharat, maka ambilah yang lebih ringan”
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menolak berbagai kerusakan itu didahulukan daripada mengambil berbagai kemaslahatan”
Kaidah-kaidah di atas “lahir” dari beberapa pentunjuk Al-Quran, antara lain:
إِنَّمَا
حَرَّمَ عَلَيْكُمْ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا
أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنْ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ
فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya
Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah (yang mengalir), daging
babi, dan binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Q.s.
Al-Baqarah:173. Lihat, pula al-Baqarah:178; al-An’am:145; an-Nahl:115
Dengan demikian, dapat diambil suatu kesimpulan bahwa berdasarkan pandangan dasar tentang Maqâshid Syarîah (tujuan
umum perundang-undangan Islam), Islam melarang memilih pemimpin yang
“jelek”, tidak ideal. Namun bila tidak didapat yang “baik”, yang ideal,
pilihlah yang paling sedikit “jeleknya,” atau irtikâb akhaff ad-dararain (mengambil yang paling ringan madharatnya).
Di samping itu, perlu diketahui pula bahwa “baik” dan “jelek” berdasarkan pandangan dasar tentang Maqâshid Syarîah ini bukan semata-mata membandingkan antar figure calon pemimpin, namun dibandingkan pula dengan mutaghâyirât (variabel-variabel)
yang sesuai dengan situasi dan kondisi kemaslahatan yang harus
diwujudkan di wilayah kepemimpinannya, sehingga “yang jelek” dapat
dikatakan “lebih baik” ketika ia dipandang mampu mewujudkan kemaslahatan
umum yang layak diprioritaskan.
Sumber: Ust Amin Mukhtar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar