B. Dilihat dari segi tingkat kebutuhan manusia
Dilihat dari segi tingkat kebutuhan manusia, mashlahat yang diakui syariat terdiri atas tiga macam sebagai berikut:
Pertama, Dharûriyyah, merupakan peringkat pertama. Mashlahat Dharûriyyah menyangkut kepentingan primer atau pokok. Sebagimana dijelaskan oleh Quthb Mushthafâ Sanu bahwa mashlahat dharûriyyah adalah
menyangkut kepentingan dan kemaslahatan pokok yang tidak dapat tidak
mesti terwujud. Jika tidak terwujud akan menimbulkan kerusakan bagi
kelangsungan hidup manusia. Mashlahat dharûriyyah menyangkut 5 komponen kehidupan: (1) terpelihara agama (hifzh ad-dîn), (2) keselamatan diri: jiwa, raga dan kehormatannya (hifzh an-nafs), (3) terpelihara akal pikiran (hifzh al-’aql), (4) terpelihara harta benda (hifzh al-mâl), (5) nasab keturunan (hifzh an-nasl). Kelima komponen tersebut biasa disebut al-kulliyyat al-khams atau Ad-Dharûriyyât Al-khams. (Lihat, Mu’jam Musthalahât. h. 413)
Kedua, Hâjjiyyah, merupakan peringkat kedua. Mashlahat hâjjiyyah menyangkut kepentingan atau maslahat yang sifatnya sekunder. Sekiranya aspek hâjjiy
ini tidak/belum terwujud tidaklah membawa atau menimbulkan bencana atau
kerusakan salah satu dari lima kepentingan pokok di atas, tetapi dapat
menimbulkan kesulitan bagi manusia. Misalnya dalam ruang lingkup ibadah,
Allah memberikan jalan keluarnya, yaitu ada rukhshah. Misalnya boleh tidak shaum jika sakit atau safar dalam jarak tertentu, atau boleh meng-qashar shalat dalam perjalanan.
Ketiga, Tahsîniyyah, merupakan peringkat ketiga. Mashlahat tahsînîyyah menyangkut
kepentingan yang sifatnya pelengkap (tersier) atau kesempurnaan dalam
rangka memelihara sopan santun dan tata krama dalam kehidupan. Sekiranya
tidak terpenuhi tidaklah menimbulkan kesulitan dan tidak pula mengancam
salah satu dari lima kepentingan pokok di atas. As-Syâtibî menjelaskan
bahwa kepentingan tahsînîyyah ini hanya berkaitan dengan
kepatutan dan kepantasan menurut adat kebiasaan (محاسن العادات),
keindahan yang sesuai dengan ketentuan akhlaq yang berlaku dalam
kehidupan. Dalam ibadat, Islam menetapkan bersuci, berhias dan
menggunakan harum-haruman.
Meski masing-masing tingkatan
maslahat di atas menunjukkan tingkat atau peringkat kepentingannya,
namun dalam prakteknya, ketiga tingkatan maslahat di atas merupakan satu
kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Pemahaman dan penerapan ketiga
maslahat di atas tidaklah secara parsial. Artinya ketiga tingkatan di
atas tidak dapat dipisahkan.
Penting untuk diketahui
bahwa seluruh pembahasan fiqih, bahkan pembahasan syariat secara
keseluruhan, termasuk masalah kepemimpinan, tidak akan bisa dilepaskan
dari tiga tingkatan maslahat diatas. Sehubungan dengan itu, Abû Ishâq al-Syâtibî (W. 790 H) menyebutkan bahwa esensi maslahat itu
adalah menyangkut tujuan disyari’atkannya hukum syara‘ yaitu
terwujudnya kepentingan manusia baik yang berhubungan dengan aspek dharûrî, hâjîyî maupun tahsînî. (Lihat, al-Muwâfaqât fî Ushûl al-Syarî‘ah, II:8-9)
Oleh
karena itu, setiap orang Islam diharapkan mampu meletakkan ketiganya
pada proporsinya masing-masing. Memprioritaskan masalah yang paling
penting kemudian yang penting dan kurang penting dan seterusnya. Salah
di dalam meletakkan unsur-unsur tadi, merupakan sebuah kegagalan di
dalam memahami syariat, sekaligus kegagalan di dalam bertindak.
Oleh
karenanya, kalau seseorang hendak mengetahui semua hal itu secara
sempurna, tentu saja tidak cukup hanya mengetahui dalil-dalil syariat
secara sepihak dan sepenggal, akan tetapi dia harus memahami dalil-dalil
syariat tersebut secara menyeluruh dan menjadikan dalil-dalil tersebut
satu kesatuan yag tidak dapat dipisah-pisahkan. Allah sendiri telah
memberikan isyarat dan pesan seperti ini di dalam salah satu firman-Nya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً
“ Wahai orang-orang yang beriman masuklah kedalam Islam secara keseluruhan.” (QS. Al-Baqarah: 208)
Hal itu diperkuat pula oleh ayat lain:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ
“Apakah engkau beriman kepada sebagian isi kitab dan mengkafiri sebagian yang lain ? “ (QS.Al Baqarah : 85)
C. Dilihat dari segi subjek hukum (mukallaf)
Dilihat dari segi subjek hukum (mukallaf), maslahat yang diakui syariat meliputi dua pihak, yaitu
Pertama, Mashlahat 'ainiyyah,
yaitu menyangkut kepentingan individu dari setiap manusia yang
berhubungan dengan ketiga tingkatan maslahat sebagaimana dijelaskan di
atas. Misalnya yang berkaitan dengan al-kulliyyat al-khams atau Ad-Dharûriyyât Al-khams:
- untuk mewujudkan kemaslahatan individu yang berkaitan dengan agama (Ad-Dîn), setiap orang diwajibkan beriman dan menjalankan ibadah mahdhah sesuai dengan ketentuan syariat. Dan untuk terpeliharanya agama itu (hifzh ad-dîn), disyariatkan belajar agama, dakwah dan jihad terhadap orang yang hendak membatalkan dan menghapus ajaran-ajaran Islam. Dikenai sanksi terhadap orang yang murtad dari Islam, dan lain-lain.
- untuk mewujudkan kemaslahatan individu yang berkaitan dengan diri (An-nafs), setiap orang diwajibkan menikah dan memelihara diri. Dan untuk terpeliharanya diri itu (hifzh an-nafs), setiap orang diwajibkan mencari pangan, sandang, papan. Diberlakukan sanksi qishah bagi pembunuh, dan lain-lain.
- untuk mewujudkan kemaslahatan individu yang berkaitan dengan akal (Al-’aql), setiap orang diwajibkan untuk mencari ilmu. Dan untuk terpeliharanya akal itu (hifzh Al-’aql), diharamkan mengkonsumsi segala hal yang dapat merusak atau melemahkan daya akal, seperti minum khamar. Diberlakukan sanksi bagi produsen dan pengedarnya.
- untuk mewujudkan kemaslahatan individu yang berkaitan dengan harta (Al-mâl), setiap orang diwajibkan untuk mencari rezeki berupa harta benda. Dan untuk terpeliharanya harta itu (hifzh Al-mâl), diharamkan pencurian, perampokan, dan korupsi dan diberlakukan sanksi potong tangan bagi pelakunya. Diharamkan penipuan, khianat, riba, dan lain-lain.
- untuk mewujudkan kemaslahatan individu yang berkaitan dengan keturunan (An-nasl), setiap orang diwajibkan untuk menikah sesuai dengan ketentuan syariat. Dan untuk terpeliharanya keturunan itu (hifzh An-nasl), diharamkan perzinahan dan diberlakukan sanksi rajam (hukum mati dengan lemparan batu) dan dera bagi pelakunya, dan lain-lain. Demikian juga sarana-sarana yang menjurus kepada perzinahan, seperti pornografi dan pornoaksi. (Lihat, Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, I:1021-1022; al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh, h. 379-380)
Kedua, Mashlahat 'âmmah, yaitu kepentingan bersama masyarakat atau kepentingan umum yang berhubungan dengan pemeliharan mashlahat dharûriyyah sebagaimana dijelaskan di atas. Dengan demikian mashlahat 'âmmah berkaitan dengan fardhu kifâyah. Imam Ar-Rafi'i menjelaskan, fardhu kifâyah itu adalah urusan umum yang menyangkut kepentingan-kepentingan (mashâlih) tegaknya urusan agama dan dunia dalam kehidupan kita, antara lain:
- mencegah madarat kekacauan, seperti persengketaan dan peperangan, kekacauan dan pertumpahan darah, serta kondisi anarkis, sehingga mashlahat dharûriyyah dalam kehidupan menjadi terancam, bahkan hancur.
- merealisasikan kewajiban agama, baik untuk individu maupun kelompok sosial.
- mewujudkan keadilan yang sempurna secara syariat.
Keadilan
yang sempurna tidak akan terwujud, manusia tidak akan terjamin
kebahagiaan dunia dan akhiratnya, persatuan mereka tidak akan tercapai,
serta segala urusan mereka tidak akan teratur, kecuali dengan adanya
kepemimpinan umat yang dengan ketegasannya membuat harmonis segala
keinginan yang bermacam-macam dan dengan kewibawaannya menghimpun yang
terpilah-pilah, serta dengan pengaruh kekuasaannya dapat menghentikan
tangan-tangan yang melampaui batas. Dalam konteks inilah menegakkan
kepemimpinan merupakan fardhu kifâyah (kewajiban kolektif) untuk mewujudkan mashlahat dharûriyyah dalam lingkup Mashlahat 'âmmah.
Ibnu
Hazm mengatakan, “Semua Ahlus sunnah, murjiah, syi’ah, dan khawarij
menyetujui atas wajibnya imamah. Umat wajib menaati imam yang adil yang
menegakkan pada mereka hukum-hukum Allah dan mengaturnya dengan
hukum-hukum syari’at yang dibawa oleh Rasulullah saw. “ (Lihat, Al-Fashl fii Al-Milal wa Al-Ahwa` wa An-Nihal, IV:87)
Ibnu
Taimiyyah mengatakan, ”Wajib diketahui bahwasanya mengatur urusan
manusia adalah di antara kewajiban agama terbesar, bahkan agama tidak
dapat ditegakkan kecuali dengan hal itu, karena sesungguhnya manusia
tidak dapat sempurna kemaslahatan mereka kecuali dengan hidup bersosial
untuk memenuhi kebutuhan sebagian yang satu dengan yang lain, dan dalam
kehidupan bersosial mereka mesti ada pemimpinnya, sehingga Nabi
bersabda, ‘Apabila tiga orang pergi dalam sebuah perjalanan, maka
angkatlah salah seorang di antara mereka menjadi pemimpin.’ (Lihat, I’tiqad Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah, hlm. 19)
Sumber: Ust Amin Mukhtar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar