Selama 13 tahun hidup di Mekah sebelum hijrah, Nabi Muhamad telah 13
kali mengalami Ramadhan, yaitu dimulai dari Ramadhan tahun ke-41
kelahiran Nabi yang bertepatan bulan Agustus 610 M, hingga Ramadhan
tahun ke-53 dari kelahirannya yang bertepatan dengan bulan April tahun
622 M. Namun selama waktu itu belum disyariatkan kewajiban mengeluarkan
zakat fitrah bagi kaum muslimin, dan demikian pula dengan syariat Iedul
fitrinya.
Setelah Nabi hijrah ke Madinah, dan menetap selama 17 bulan di sana,
maka turunlah ayat 183-184 surat al-Baqarah pada bulan Sya’ban tahun
ke-2 H, sebagai dasar disyariatkannya shaum bulan Ramadhan. Tak lama
kemudian, dalam bulan Ramadhan tahun itu pula, tepatnya 2 hari menjelang
Iedul fitri di tahun itu, mulai diwajibkan zakat kepada kaum muslimin. [1]
Sehubungan dengan kewajiban itu, Ibnu Umar menjelaskan:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى
النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ
أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنْ الْمُسْلِمِينَ
“Sesungguhnya Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat
fitrah pada bulan Ramadhan atas orang-orang sebesar 1 sha’ kurma, atau 1
sha’ gandum, wajib atas orang merdeka, hamba sahaya, laki-laki dan
perempuan, dari kaum muslimin.” HR. Muslim, Malik, An-Nasai, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Hibban. [2]
Hadis di atas diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari, Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi dengan sedikit perbedaan redaksi. [3]
Zakat ini dinamakan zakat fitri, zakat Ramadhan, atau zakat Shaum.
Meskipun begitu, yang lebih popular di masyarakat kita sebutan zakat
fitrah.
Pengertian Zakat Fitrah atau Fitri
A. Pengertian Zakat
Zakat merupakan akar kata (mashdar) zakaa—yazkuu yang berarti suci, berkah, tumbuh, atau berkembang, baik secara inderawi (hissi) maupun maknawi. [4]
Semua makna ini digunakan untuk kata zakat dalam Al-Qur’an, misalnya
dalam QS. An-Najm: 32, At-Taubah: 103; Abasa: 7; Asy-Syams: 9.
Penggunaan kata itu mengacu pada makna kesucian diri yang diperoleh
setelah pembayaran zakat dilaksanakan. Itulah kebaikan hati yang
dimiliki seseorang manakala ia tidak bersifat kikir dan tidak mencintai
harta kekayaannya semata-mata demi harta itu sendiri.
Sedangkan secara istilah para ulama fikih telah menjelaskan pengertian zakat dalam beragam redaksi, antara lain sebagai berikut:
الزَّكَاةُ هِيَ إِعْطَاءُ جُزْءٍ مَخْصُوْصٍ مِنْ مَالٍ مَخْصُوْصٍ بِوَضْعٍ مَخْصُوْصٍ لِمُسْتَحِقِّهِ
“Zakat adalah mengeluarkan bagian yang khusus dari harta yang khusus dengan ketentuan yang khusus bagi mustahiqnya.” [5]
Dengan perkataan lain, zakat adalah nama bagi sejumlah harta tertentu
yang diwajibkan Allah swt. untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang
berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu pula. Firman Allah Swt.:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً
تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ
سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” QS. At-Taubah:103
Maksud zakat membersihkan itu adalah membersihkan mereka dari
kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda. Sedangkan
maksud zakat menyucikan itu adalah menyuburkan sifat-sifat kebaikan
dalam hati mereka dan mengembangkan harta benda mereka.
B. Pengertian Fitrah atau Fitri
Meski di dalam hadis-hadis Nabi Saw. penyebutan zakat ini lebih
populer dengan istilah zakat fitri, namun terkadang digunakan pula
istilah zakat fitrah, dan barangkali sebutan ini yang lebih populer di
kalangan kita. Untuk mempertegas peristilahan itu barangkali penting
pula untuk dianalisa latar belakang pembentukannya.
B.1. Zakat Fitrah
Dalam Al-Quran kata fitrah dalam berbagai bentuknya disebut
sebanyak 28 kali, 14 di antaranya berhubungan dengan bumi dan langit.
Sisanya berhubungan dengan penciptaan manusia, baik dari sisi pengakuan
bahwa penciptanya adalah Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah
manusia. Sehubungan dengan itu Allah berfirman:
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا
فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ
لِخَلْقِ اللَّهِ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ
لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah dirimu dengan lurus kepada agama itu, yakni
fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atas fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahuinya.” QS. Ar-Rum: 30
Pada ayat lain diterangkan kronologis peristiwanya sebagai berikut:
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ
مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ
أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan
anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap
jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka
menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan
yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
“Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap
ini (keesaan Tuhan).“ QS. Al-A’raf:172
Peristiwa ini memberikan gambaran bahwa sejak diciptakan manusia itu
telah membawa potensi beragama yang lurus, yaitu bertauhid (mengesakan
Allah). Keadaan inilah yang disebut al-fitrah. Sehubungan dengan itu
Nabi saw. bersabda:
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلىَ الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
“Setiap anak dilahirkan atas fitrahnya, maka kedua orang tuanya yang menjadikan dia Yahudi, Nashrani, atau Majusi…” HR. Al-Bukhari. [6]
Berdasarkan pemaknaan kata Fitrah di atas, maka kita dapat memahami
bahwa zakat ini disebut zakat fitrah karena zakat ini merupakan shadaqah (bukti kebenaran) dari badannya dan kefitrahan pada jasadnya. [7]
B.2. Zakat Fitri
Kata fitr makna asalnya robek atau terbelah, sebagaimana dalam ungkapan Fathara Naabul Ba’iir, artinya terbelah tempat taringnya untuk tumbuh. Pemaknaan itu digunakan pula dalam firman Allah Swt.:
إِذَا السَّمَاءُ انْفَطَرَتْ
“Apabila langit terbelah.” QS. Al-Infithar: 1
Berdasarkan pemaknaan kata Fitri di atas, maka kita dapat memahami
zakat ini disebut zakat fitri karena seakan-akan orang yang shaum
“merobek atau membelah” masa shaumnya dengan makan.
Dengan demikian, zakat ini disebut zakat fitri karena yang menjadi
sebab pensyariatannya adalah berbuka dari shaum pada bulan Ramadhan.
Penisbatan zakat kepada kata fitri merupakan bentuk penyebutan akibat (Musabbab) dengan menggunakan kata sebab (Sabab). [8]
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa zakat fitrah, sama dengan zakat material (maal),
memainkan fungsi penting zakat, yaitu mendorong pada tindakan aktual
pensucian. Dalam konteks zakat fitri, tindakan pensucian itu berupa
pensucian jiwa dan pensucian karakter. Sementara dalam konteks zakat
material (maal), tindakan pensucian itu berupa pensucian harta kekayaan.
Dengan demikian, kedua jenis zakat ini (fitrah dan harta kekayaan)
merupakan “satu paket” ajaran dalam mendorong pensucian seluruh aspek
kehidupan manusia.
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
Penjelasan lengkap kriteria dan fungsi zakat silahkan diakses
http://www.sigabah.com/beta/kriteria-dan-fungsi-zakat/
[1]Lihat, Tuhfah al-Ahwadzi Syarh at-Tirmidzi, III:278; Tawdhiih Al-Ahkaam Syarh Bulugh Al-Maraam, III:371.
[2]Lihat, HR. Muslim, Shahih Muslim, II:678, No. hadis 984, Malik, Al-Muwatha, I:284, No. hadis 626, An-Nasai, As-Sunan Al-Kubra, II:25, No. 2282, Al-Hakim, Al-Mustadrak ‘Alas Shahihain, I:569, No. hadis 1494, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV:161, No. hadis 7476, IV:166, No. hadis 7492; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:83, No. hadis 2399, Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, VIII: 94, No. hadis 3301.
[3]Lihat, Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:547, No. hadis 1433, Ahmad, Musnad Ahmad, II:137, No. hadis 6214, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:112, No. hadis 1611, dan At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III:61, No. hadis 676.
[4]Lihat, Mufradat Alfazh al-Qur’an, hlm. 380; Mukhtar ash-Shihah, VI: 2368; Lisan al-‘Arab, XIV: 359
[5]Silahkan dibanding dengan definisi zakat versi ulama hanafiyyah sebagaimana disebutkan Ibnu ‘Abidin (Hasyiah Radd al-Mukhtar, II:256), versi ulama Malikiyyah sebagaimana disebutkan Ad-Dasuqi (Hasyiah ad-Dasuqi, hlm. 448), versi ulama Syafi’iyyah sebagaimana disebutkan Zakariya al-Anshari (Asna al-Mathalib fi Syarh Rawd ath-Thalib, I:338), versi ulama Hanabilah sebagaimana disebutkan Ibnu Qudamah (Al-Mughni, II:426).
[6]Lihat, Shahih Al-Bukhari, I:465, No. hadis 1319.
[7]Lihat, Syekh Athiyyah Muhammad Saalim, Syarh Bulugh Al-Maraam, IV: 135.
[8]Lihat, Tawdhiih Al-Ahkaam Syarh Bulugh Al-Maraam, III:371.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar