by Siaga Bencana · 6 Juli 2015
Biasanya memasuki awal dan pertengahan Ramadhan, waktu Magrib selalu
menjadi primadona. Karena mayoritas orang yang sedang shaum hilir mudik
ke sana ke mari, apalagi sore hari, semuanya sedang menunggu waktu
Magrib tiba. Di luar Ramadhan, apresiasi terhadap waktu Magrib itu belum
tentu sedemikian tinggi, bahkan bisa jadi tidak menarik perhatian
banyak orang.
Menjelang akhir Ramadhan, meski waktu Magrib tetap menarik perhatian
banyak orang, namun posisinya sebagai primadona tidaklah “tunggal”,
sebab ia mendapat pesaing “temporer” bernama hilal (bulan sabit pertama)
dengan sederet atribut ilmiah yang melekat dengannya, seperti rukyat
dan hisab.
Beragam istilah ilmiah, yang semula menjadi “idiom khusus” para pakar
ilmu hisab, seperti wujud hilal, ijtima’ qablal Ghurub, imkan rukyat,
dan lain-lain, menjadi akrab di telinga sebagian masyarakat muslim,
apalagi jika tercium aroma potensi perbedaan dalam penetapan 1 Ramadhan
dan Iedul Fitri 1 Syawal.
Potensi perbedaan ini sebenarnya dimungkinkan terjadi pada penetapan
tanggal 1 setiap bulan dalam kalender hijriah, namun karena bulan-bulan
lain, di luar Ramadhan-Syawwal-Dzulhijjah, mungkin belum dipandang
“penting” oleh kebanyakan kaum muslim, maka perbedaan di situ tampaknya
tidak terlalu “seru” dibanding perbedaan dalam penetapan ketiga bulan
tersebut.
Perbedaan dalam menetapkan hari jatuhnya 1 Ramadhan, Iedul Fitri, dan
Iedul Adha atau hari raya Qurban sudah berlangsung sejak lama, dan
tampaknya masih akan terus berulang pada tahun-tahun mendatang.
Berdasarkan fakta yang kami kumpulkan tentang penetapan awal bulan
Ramadan, Syawal, dan Dzulhijah berdasarkan sistem hisab &
rukyat—yang diakomodir oleh Pemerintah melalui BHR (Badan Hisab dan
Rukyat) Kementerian Agam RI dalam pelaksanaan sidang Isbat—diperoleh
data perbedaan dalam penentuan awal bulan Qamariah di Indonesia dalam
rentang tahun 1408 H/1988 M hingga 1435 H/2014 M sebagai berikut:
No
|
Penentuan Awal Bulan
|
Tahun
|
1
|
Ramadan | 1409 H/ 1989 M, 1422 H/ 2001 M, 1433 H/2012 M, 1434 H/2013, 1435 H/2014 M |
2
|
Syawal | 1412 H/ 1992 M, 1413 H/ 1993 M, 1414 H/ 1994 M, 1418 H/ 1998 M, 1423 H/ 2002 M, 1427 H/ 2006 M, 1428 H/ 2007 M, dan 1432 H/ 2011 M |
3
|
Dzulhijjah | 1409 H/ 1989 M, 1420 H/ 2000 M, 1423 H/ 2003 M dan 1431 H/ 2010 M |
Data di atas menunjukkan bahwa dalam penentuan awal Ramadhan terjadi
perbedaan sebanyak 5 kali. Penentuan awal Syawwal terjadi perbedaan
sebanyak 8 kali. Sementara penentuan awal Dzulhijjah terjadi perbedaan
sebanyak 4 kali.
Tabel ini hanya menyajikan perbedaan dalam penetapan awal bulan
Ramadan, Syawal, dan Zulhijah berdasarkan sistem hisab & rukyat yang
diakomodir oleh Pemerintah, sedangkan kenyataan di lapangan lebih rumit
lagi. Karena di Indonesia, terdapat pula sistem lain yang dianut oleh
komunitas tertentu “di luar pagar” pemerintah, seperti penganut Rukyat
Global, penganut Tarekat Naqsyabandiyah dan Syattariyah, penganut Islam
Aboge yang tersebar di wilayah Eks Karesidenan Banyumas Jawa Tengah.
Karena mereka memiliki cara tersendiri dalam menentukan 1 Ramadhan dan 1
Syawal.
Persoalan perbedaan penentuan awal bulan Qamariah ini bukan saja
semakin “menggelisahkan” para ahli Falak dan Astronomi, namun juga
membingungkan orang muslim awam di Indonesia, yang memang sudah bingung
sejak awal. Karena itu, teramat wajar jika ada orang awam yang kebingungan mengatakan: “Kita
ini sangat mengherankan. Mataharinya itu-itu juga, bulannya masih benda
langit yang sama, tetapi kita selalu berselisih paham. Bukankah kita
diperintahkan untuk bersatu padu. Bagaimana kok bisa selalu berselisih
begini?”
Bagi sebagian orang yang tidak faham hisab-rukyat, kriteria wujudul
hilal, atau ketinggian bulan 2 derajat, atau beda tinggi antara bulan
dan matahari minimal 4 derajat, atau kriteria lainnya kadang dianggap
sama kedudukannya dengan dalil-dalil fiqih dari ayat Al-Quran dan hadis
yang jadi landasannya. Sehingga tidak jarang yang menganggapnya sebagai
penafsiran final atas dalil Quran dan hadis. Padahal sesungguhnya
kriteria semacam itu merupakan hasil ijtihad—para ahli tentunya, bukan
yang ahli dadakan—yang bisa saja berubah, dengan mempertimbangkan
perkembangan ilmu pengetahuan dan kemaslahatan umat. Masalah utama bukan
pada perbedaan antara hisab dan rukyat, atau hisab dengan hisab, tetapi
pada perbedaan kriteria awal bulan yang digunakan. Hisab dengan hisab,
atau hisab dengan rukyat bisa bersatu kalau kriterianya sama.
Kita sebagai orang awam tentu saja hanya dapat “menghayati” fenomena
perbedaan itu tanpa bisa menyelami latar belakang dan faktor
penyebabnya. Sebagai orang awam, mungkin kita hanya berharap agar bangsa
yang mayoritas beragama Islam ini dapat bersama-sama dalam melaksanakan
shum Ramadhan dan merayakan dua hari raya, Idul Fitri dan Idul Adha.
Namun, mungkinkah harapan itu dapat terwujud?
Ternyata di situ ada persoalan krusial yang harus dipecahkan. Persis,
NU dan Muhammadiyah berperan besar memberikan solusi bersama. Perbedaan
penentuan awal bulan Qamariyah antara metode rukyat (pengamatan) oleh
NU dan hisab (perhitungan) oleh Muhammadiyah, serta metode “kompromi
Hisab-Rukyat” oleh Persis, secara astronomis mudah dipersatukan, selama
ada kerelaan dari semua pihak untuk maju menuju satu titik temu. Beragam
metode harus menggunakan kriteria yang sama. Kriteria hisab-rukyat
bukanlah masalah dalil fiqih yang sekian lama menjadikan NU,
Muhammadiyah dan Persis seolah tidak dapat dipersatukan. Kriteria
hisab-rukyat adalah hasil penggalian bersama antara metode hisab dan
rukyat untuk mendapatkan penafsiran astronomis atas dalil fiqih yang
digunakan.
Perbedaan kriteria penentuan awal bulan yang belum bisa dipersatukan,
membuka peluang terjadinya perbedaan Idul Fitri 1436 H di Indonesia.
Maklumat Pimpinan Pusat Muhammdiyah bernomor 01/MLM/I.0/E/2015
menetapkan Idul Fitri jatuh pada hari Jumat 17 Juli 2015 berdasarkan
kriteria wujudul hilal (wujudnya hilal di atas ufuk saat matahari tenggelam tanggal 29 bulan berjalan) dengan prinsip wilayatul hukmi (Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah hukum). Dengan prinsip wilyatul hukmi,
wujudnya hilal di sebagian wilayah Indonesia dijadikan dasar penetapan
awal bulan untuk seluruh Indonesia. Dengan demikian bulan Ramadhan tahun
ini hanya 29 hari menurut ormas itu.
Sementara itu PP Persatuan Islam (Persis) yang menganut metode “hilal
dimungkinkan terlihat (imkanur rukyat) dengan kriteria astronomi”,
yaitu jika setelah terjadi ijtima, posisi bulan pada waktu ghurub
(terbenam matahari) di wilayah Indonesia sudah memenuhi syarat: (a) Beda
tinggi antara bulan dan matahari minimal 4 derajat, (b) Jarak busur
(elongasi) antara bulan dan matahari minimal sebesar 6.4 derajat.
Merujuk kepada kriteria di atas, PP Persis dalam penanggalannya
(Almanak 1436 H), yang diperkuat dengan surat edaran bernomor
2005/JJ-C.3/PP/2015, menetapkan Idul Fitri 1436 H jatuh pada hari Sabtu
18 Juli 2015.
Meski demikian, karena Persis menganut kriteria yang didasarkan pada
prinsip visibilitas hilal yang ilmiah dan teruji, maka dalam menyikapi
laporan kesaksian rukyatul hilal pada sidang Itsbat yang akan digelar
pemerintah (Kementerian Agama RI) hari Kamis, 16 Juli 2015 nanti, PP
Persis telah memberikan arahan sebagai berikut:
“Apabila ada laporan kesaksian rukyatul hilal yang menyatakan
bahwa hilal terlihat pada hari Kamis, 16 Juli 2015 setelah maghrib, maka
Persatuan Islam akan menerima laporan kesaksian rukyat tersebut jika
kesaksian tersebut ada di lebih dari satu tempat dan dibuktikan dengan
citra visual hilal, serta menetapkan 1 Syawal 1436 H, Jum’at 17 Juli
2015 M. Namun jika laporan rukyat tersebut tidak disertai bukti citra
visual hilal yang valid maka Persatuan Islam akan tetap melaksanakan
Idul Fitri 1 Syawal 1436 H pada hari Sabtu, 18 Juli 2015 M.”
Persis mensyaratkan adanya bukti visual citra hilal yang valid jika
ada yang meng-klaim hilal bisa dilihat pada petang hari Kamis, 1 Juli
2015. Hal ini karena secara ilmiah, data-data rukyatul hilal yang valid
menyatakan bahwa untuk di wilayah Indonesia, hilal tidak mungkin
terlihat pada hari Kamis tersebut dengan mata.
Dengan demikian akan terjadi potensi perbedaan jatuhnya 1 Syawal 1436
H antara Muhammadiyah dan Persis. Mengapa ini mesti terjadi? Karena
posisi bulan pada tanggal 16 Juli nanti yang sudah lebih dari dua
derajat tetapi masih kurang dari empat derajat, telah memenuhi kriteria
ormas Muhammadiyah, namun belum memenuhi kriteria Persis.
Lalu bagaimana dengan pemerintah dan ormas Nahdlatul Ulama (NU)?
Pemerintah belum secara resmi menentukan 1 Syawal 1436 atau Idul Fitri
1436 H, karena masih menunggu sidang isbat yang akan dilaksanakan
tanggal 16 Juli 2015. Adapun ormas Nahdlatul Ulama (NU), sekalipun dalam
penanggalannya mencantumkan Idul Fitri 1436 jatuh pada hari Jumat
tanggal 17 Juli 2015, namun tidak serta merta tanggal itu ditetapkan
sebagai hari Idul Fitri. Tidak tertutup kemungkinan NU menggenapkan
Ramadhan 30 hari jika tim rukyat yang disebar di sejumlah daerah tidak
berhasil melihat hilal, sehingga dimungkinkan Idul Fitri 1436 jatuh pada
hari Sabtu tanggal 18 Juli 2015.
Kalau begitu, sidang Isbat yang akan digelar pemerintah 16 Juli nanti
juga tidak bisa ditebak, sehingga masih terbuka kemungkinan Idul Fitri
tanggal 17 atau 18 Juli 2015. Jika sidang itsbat Pemerintah menerima
laporan kesaksian rukyatul hilal, dan sesuai dengan arahan Persis, maka
dimungkinkan Idul Fitri akan dilaksanakan serentak hari Jumat tanggal 17
Juli 2015. Sedangkan jika tidak menerima laporan kesaksian rukyatul
hilal, maka dimungkinkan Idul Fitri tidak akan serentak dilaksanakan,
karena Muhamadiyyah akan bersikukuh hari Jumat tanggal 17 Juli 2015.
Sementara Persis bersama NU dan Pemerintah berIdul Fitri di hari Sabtu
18 Juli 2015. Yang krusial, jika sidang itsbat Pemerintah menerima
laporan kesaksian rukyatul hilal, namun tidak sesuai dengan arahan
Persis, tampaknya Idul Fitri tidak akan serentak dilaksanakan, karena
Persis akan bersikukuh di hari Sabtu 18 Juli 2015. Sementara
Muhamadiyyah bersama NU dan Pemerintah berIdul Fitri di hari Jumat 17
Juli 2015.
Lalu jika ada pertanyaan, mengapa dalam penetapan awal Ramadhan 1436 H
tidak terjadi perbedaan? Jawabnya, hal itu bukan berarti telah ada
kesepakatan, tetapi lebih disebabkan oleh posisi hilal (pada Rabu malam
17 Juni 2015, tinggi hilal -2,32°) yang memungkinkan semua kriteria yang
digunakan di Indonesia menghasilkan kesimpulan yang sama, 1 Ramadhan
1436 H jatuh pada hari Kamis 18 Juni 2015.
Dengan demikian, karena masih terbuka berbagai kemungkinan tampaknya
posisi hilal akan tetap jadi primadona hingga 16 Juli nanti. Mari kita
nantikan saat-saat akhir ketika hilal tidak lagi jadi primadona.
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar