Sebagai orang yang cinta Al-Quran—meski bukan qari’ dan bukan pula ulama ahli qiraat atau boleh jadi baca Qurannya pun masih ngalor-ngidul, blang bentong
tidak karuan—kita tentu merasa aneh saat kita mendengarkan Al-Quran
yang dibaca dengan langgam “aneh” pada peringatan Isra Miraj Nabi
Muhammad saw. di Istana Negara Jakarta, pada Jumat 15 Mei 2015 malam
yang dihadiri Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pasalnya, pembacaan ayat
suci tersebut menggunakan langgam (irama) Jawa mirip seperti sinden pada
pagelaran wayang.
Keanehan masyarakat muslim pada umumnya itu cukup beralasan, karena secara ‘urf (kebiasaan) yang kita dengar semua nada-nada bacaan Al-Quran itu lazimnya khas timur tengah (middle east).
Tetapi kali ini nada-nadanya punya nuansa khas tanah air, yaitu
nada-nada Jawa. Buat yang biasa mendengarkan wayang, terasa ini bukan
bacaan Al-Quran tetapi tembang-tembang khas di pewayangan.
Tak ayal lagi, pembacaan ayat suci di acara itu menuai kontroversi di
masyarakat dan banyak diperbincangkan di media sosial. Komentar miring
bermunculan mulai dari kalangan awam bukan ahli qiraat hingga para qari
dan mereka para ulama qiraat, antara lain Syekh Ali Bashfar yang
bermukim di Saudi Arabia, karena pembacaan model ini dinilai tidak wajar
dan menyalahi hukum tajwid.
Meski begitu, sejumlah pembelaan terhadap aksi Qari (pembaca
Al-Quran) pun tak kalah banyak, salah satunya oleh Menteri Agama Lukman
Hakim Saifuddin. “Tujuan pembacaan Alquran dengan langgam Jawa adalah
menjaga dan memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran
Islam di tanah air,” kata Lukman melalui akun Twitter resminya, Ahad 17
Mei 2015.
Bila kita merujuk kepada pendapat ahli qiraat yang bersilang
pendapat, paling tidak kita dapat cermati 4 pokok masalah tentang cara
pembacaan model demikian. Syekh Ali Bashfar, setelah mendapat kiriman
rekaman bacaan Al-Quran dengan langgam Jawa ini, dari muridnya di
Indonesia, beliau melarang pembacaan model ini karena:
- Kesalahan lahjah (dialek) si pembacanya yang cenderung orang Jawa. Kesalahan lahjah tidak dibenarkan, merujuk kepada hadis: “Bacalah Al-Quran dengan lagu dan suara orang Arab. Jauhilah lagu/irama ahl kitab dan orang fasiq. Nanti akan ada orang datang setelahku membaca Alquran seperti menyanyi dan melenguh, tidak melampau tenggorokan mereka. Hati mereka tertimpa fitnah, juga hati orang yang mengaguminya.”
Sejauh pengetahuan saya (penulis), hadis ini diriwayatkan At-Thabrani, dalam al-Mu’jam al-Awsath, VII: 183, Hadis No. 7223; Ibnu ‘Adiy, dalam al-Kamil fi Dhu’afa ar-Rijal, II:510-511; Ibnul Jawzi, dalam al-‘Ilal al-Mutanahiyah fi al-Ahadits al-Wahiyah, I:118.
- Dianggap memaksakan diri (takalluf), yaitu pembacanya dianggap terlalu memaksakan untuk meniru lagu yang ‘tidak lazim’ dalam membaca Al-Quran.
- Dicurigai Ashabiyah, yaitu bila ada niat merasa perlu menonjolkan kejawaan atau keindonesiaan. Hal ini dianggap membangun sikap ashabiyyah dalam ber-Islam. Padahal ashabiyah itu hukumnya haram.
- Khawatir memperolok Al-Quran, yaitu menyamakan ayat-ayat Allah dengan lagu-lagu wayang dalam suku Jawa.
Maka dengan dasar empat masalah di atas, membaca Al-Quran dengan
langgam Jawa itu tidak boleh dilakukan. Nampaknya fatwa beliau ini
kemudian disebar-luaskan di berbagai media, dan siapapun bisa
membacanya.
Sementara kita juga menemukan ulama ahli qiraat di Indonesia yang berpendapat sebaliknya, sebut saja misalnya KH. Prof. Dr. Ahsin Sakho Muhammad. Beliau seorang pakar ilmu yang langka: ilmu-ilmu Al-Quran. Lulus sebagai doktor dari Universitas Islam Madinah dengan prestasi mumtaz syaraful ulaa alias cumlaude.
Kiprah beliau di dunia ilmu qiraat di Indonesia tidak perlu
dipertanyakan lagi. Beliau pernah menjadi rektor dan guru besar di
Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Jakarta dan menjadi team pentashih
terjemahan Al-Quran di Departemen Agama RI.
Beliau mengatakan sebagai berikut:
“Ini adalah perpaduan yang baik antara seperti langit kallamullah
yang menyatu dengan bumi yakni budaya manusia. Itu sah diperbolehkan.
Hanya saja, bacaan pada langgam budaya harus telap berpacu seperti yang
diajarkan Rasul dan para sahabatnya. Dalam hal ini, tajwid dalam hukum
bacaannya, panjang pendeknya dan makhrajnya.”
Lebih lanjut beliau menambahkan:
“Cara membaca Al-Quran yang mengacu pada langgam budaya Indonesia
sangat diperbolehkan dan tidak ada dallil shahih yang melarang hal
demikian. Hanya saja, saya belum pernah mendengar ‘jawabul jawab’ di
dalam langgam Cina, atau pun di Indonesia. Tetapi jika hanya sekedar
langgam Jawa, Sumatra, Sunda, Melayu dan lainnya itu sah saja, selama
memperhatikan hukum bacaan semestinya. Itu kreatifitas budayanya.“
Lalu bagaimana dengan hadis—yang tadi disebut di atas—bahwa
Rasulullah saw. mengharamkan kita menggunakan langgam selain Arab? Pihak
yang membolehkan baca Quran dengan langgam lain di luar Arab menjawab,
hadis itu dha’if dengan pertimbangan karena pada sanad (jalur
periwayatannya) ada yang terputus (mudallas) dan seorang pewarta hadis yang samar (mubham).
Bahkan ada ahli hadis yang mengatakan bahwa hadis ini termasuk munkar
dan bukan termasuk hadis. Maka dari sisi derajat, hadis ini tidak bisa
dijadikan hujjah alias tidak perlu dipakai.
Dalam menghayati permasalahan ini, faktor internal (amr dakhil): langgam bacaan “model baru”,
cukup menarik untuk ditelaah lebih lanjut secara ilmiah. Namun bagi
saya, ada yang lebih menarik dari sekadar itu—sehingga tulisan ini tidak
akan menukik lebih dalam pada kontroversi langgam—untuk ditelaah secara
siyasah dakwah berkenaan dengan faktor eksternal (amr khariji): spirit atau ruh dibalik “penayangan” (baca: introduksi) “lagu baru” dalam acara “besar kenegaraan”. Sebab
semata-mata introduksi “lagu baru tilawah Al-Quran” dalam konteks acara
“kenegaraan”, bagi saya, hanyalah aksentuasi, bukan esensi. Coba kita
bandingkan, misalnya langgam “aneh” semacam ini diperdengarkan di satu
masjid suatu daerah, lembur singkur sisi gunung (kampuang nan jauh di mato), apakah akan dianggap aneh dan menjadi heboh?
Mencermati alasan Menteri Agama: “tujuannya adalah untuk melestarikan tradisi Nusantara dalam meluaskan ajaran Islam di tanah air.” Tampak jelas bahwa tujuannya bukan “melestarikan tradisi bacaan Quran di Nusantara” tapi “melestarikan tradisi Nusantara”. Jadi, yang hendak dilestarikan bukan “nilai-nilai Islam universal” melalui tilawah Al-Quran, melainkan “nilai-nilai Islam lokal”, yang disebut sebagai Islam Nusantara.
Kalau tidak dicermati secara jeli, gagasan model menteri agama ini,
dipermukaannya seolah-olah “lurus-lurus” saja, tidak ada masalah. Namun,
jika kita tengok lebih dalam lagi, di situ terhayati spirit “lokalisasi nilai-nilai Islam universal”, karena tradisi Islam universal dipandang tidak selalu sesuai dengan tradisi Islam lokal.
Jadi, jangan heran jika suatu saat muncul gerakan “nusantara-sasi
Quran” dalam “cita rasa” keragaman suku bangsa Indonesia. Esensi gerakan
itu bukan melestarikan “nilai-nilai Quran” melalui pendekatan budaya
Jawa, sunda, batak, minang, dan lain-lain. Tapi bagaimana agar
“nilai-nilai Quran universal” disesuaikan dengan tradisi Islam lokal
dalam keragaman suku bangsa Indonesia.
Salah satu nilai Al-Qur’an universal yang dipandang mendesak untuk dilokalisasi dalam “cita rasa” Nusantara adalah jihad fi sabilillah. Jihad fi sabilillah telah dicurigai sebagai “cita rasa luar” yang diimpor oleh gerakan Islam dengan labeling
baru “transnasional”—label konvensionalnya Islam radikal, Islam kanan,
fundamentalisme Islam dan Islam puritan—yang masuk ke Indonesia, dan
dianggap tidak sesuai dengan Islam lokal Nusantara.
Sebagaimana diketahui bahwa “elit agamawan” di negeri ini, baik
“negeri maupun swasta” sedang gerah dengan fenomena munculnya gerakan
Islam “transnasional” yang dianggap telah “membuldoser” pemahaman
keagamaan lokal nusantara yang sudah mapan. “Lokalisasi nilai Islam”
diharapkan efektif untuk menahan bahkan melawan gerakan Islam dengan
label baru itu.
‘Ala kulli haal, introduksi “lagu baru tilawah Al-Qur’an”
atas dasar spirit penyesuaian “nilai-nilai Quran universal” dengan
tradisi Islam lokal Nusantara—jika menggerus nilai-nilai
universalnya—dapat dikategorikan pelecehan Al-Qur’an.
Semoga saja curah gagasan sederhana ini tidak “dilokalisasi” melalui
pembacaan dengan langgam orang Sunda, sehingga dinilai tidak wajar dan
menyalahi “hukum tajwid” kementerian agama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar