Asyura Zaman Nabi Muhamad
Nabi Muhammad saw. hidup di Mekah selama 12 tahun 5 bulan 13 hari, terhitung sejak masa bi’tsah
(pengangkatan Nabi & Rasul) tanggal 17 atau 25 Ramadhan tahun ke-41
dari kelahiran Nabi, yang bertepatan dengan 6 atau 14 Agustus 610 M,
hingga 1 Rabi’ul Awwal tahun ke-54 dari tahun kelahirannya atau tahun 13
kenabian, yang bertepatan dengan 13 September 622 M.
Dari
data di atas kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa selama hidup
di Mekah sebagai Nabi & Rasul, beliau telah “mengalami” Asyura
sebanyak 11 kali. Selama periode Mekah ini, beliau telah menyikapi
Asyura dengan melaksanakan shaum.
عَن عَائِشَةَ رَضِي الله
عَنْهَا قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي
الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَصُومُهُ
Dari Aisyah, ia berkata, “Hari Asyura adalah waktunya
shaum orang-orang Quraisy di zaman jahiliyah dan Rasulullah Saw. pun
menshauminya…” H.r. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:704, No. 1898.
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ : أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَصُومُونَ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَامَهُ ،
وَالْمُسْلِمُونَ قَبْلَ أَنْ يُفْرَضَ رَمَضَانُ
Dari Ibnu Umar (ia
berkata), “Sesungguhnya kaum jahiliyah melakukan shaum pada hari Asyura
dan sesungguhnya Rasulullah Saw. beserta kaum muslimin melaksanakan
shaum itu sebelum diwajibkannya shaum Ramadhan” H.r. Al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IV:289, No. 8195.
Setelah
datang perintah berhijrah kepada Nabi saw. untuk, maka beliau
melaksanakan perintah itu dan ditemani oleh Abu Bakar. Imam at-Thabari
dan Ibnu Ishaq menyatakan, “Sebelum sampai di Madinah (waktu itu bernama
Yatsrib), Rasulullah saw. singgah di Quba pada hari Senin 12 Rabi’ul
Awwal tahun 13 kenabian/24 September 622 M waktu Dhuha (sekitar jam
8.00 atau 9.00). Di tempat ini, beliau tinggal di keluarga Amr bin Auf
selama empat hari (hingga hari Kamis 15 Rabi’ul Awwal/27 September 622
M. dan membangun mesjid pertama (yang disebut mesjid Quba). Pada hari
Jumat 16 Rabi’ul Awwal/28 September 622 M, beliau berangkat menuju
Madinah. Di tengah perjalanan, ketika beliau berada di Bathni wadin
(lembah di sekitar Madinah) milik keluarga Banu Salim bin ‘Auf, datang
kewajiban Jumat (dengan turunnya ayat 9 surat al-Jum’ah). Maka Nabi
salat Jumat bersama mereka dan khutbah di tempat itu. Inilah salat Jumat
yang pertama di dalam sejarah Islam. Setelah melaksanakan salat Jumat,
Nabi melanjutkan perjalanan menuju Madinah”. (Lihat,Tarikh at-Thabari, I:571; Sirah Ibnu Hisyam, juz III, hal. 22; Tafsir al-Qurthubi, juz XVIII, hal. 98).
Keterangan
tersebut menunjukkan bahwa Nabi tiba di Madinah pada hari Jumat 16
Rabi’ul Awwal/28 September 622 M. Sedangkan ahli tarikh lainnya
berpendapat hari Senin 12 Rabi’ul Awwal/5 Oktober 621 M, namun ada pula
yang menyatakan hari Jumat 12 Rabi’ul Awwal/24 Maret 622 M.
Terlepas
dari perbedaan tanggal dan tahun, baik hijriah maupun masehi, namun
para ahli tarikh semuanya bersepakat bahwa hijrah Nabi terjadi pada
bulan Rabi’ul Awwal, bukan bulan Muharram (awal Muharram ketika itu
jatuh pada tanggal 15 Juli 622 M).
Memasuki bulan Muharram
tahun ke-2 hijriah, Nabi saw. mendapati orang-orang Yahudi di Madinah
melaksanakan shaum pada hari Asyura, maka beliau bertanya kepada mereka
mengenai hal itu, lantas mereka menjawab, “Pada hari ini Allah Swt.
pernah menyelamatkan Nabi Musa dan Bani Israil atas (kejaran) Fir’aun,
maka Musa menshauminya.” Rasulullah Saw. menjawab, “Kamilah yang paling
berhak dengan Musa.” Kemudian beliau shaum dan memerintah para shahabat
agar menshauminya. Demikian sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari
(Lihat, Shahih al-Bukhari, II:704, No. 1900)
Perintah shaum Asyura pada masa awal hijrah itu dipertegas oleh keterangan Abu Musa sebagai berikut:
عَنْ
أَبِى مُوسَى - رضى الله عنه - قَالَ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا
تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- « صُومُوهُ أَنْتُمْ ».
Dari Abu Musa Ra., ia
berkata, “Hari Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan
dijadikan sebagai hari raya. Maka Rasulullah saw. bersabda, ‘Shaumlah
kalian pada hari itu.” H.r. Muslim, Shahih Muslim, II:796, No. 1131
Kemudian Aisyah menjelaskan:
فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ.
Ketika
difardhukan shaum Ramadhan, beliau meninggalkannya (tidak shaum).
Beliau bersabda, “Barangsiapa yang hendak shaum, maka shaumlah. Dan
barangsiapa yang hendak berbuka, maka berbukalah.” H.r. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, III:1434, No. 3727.
Perkataan Aisyah di atas diperkuat oleh keterangan Ibnu Umar sebagai berikut:
أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي صَوْمِ
يَوْمِ عَاشُورَاءَ بَعْدَمَا نَزَلَ صَوْمُ رَمَضَانَ : مَنْ شَاءَ
صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَهُ.
“Sesungguhnya Rasulullah saw.
bersabda—tentang shaum Asyura setelah turun kewajiban shaum
Ramadhan—‘Barangsiapa yang hendak shaum (maka shaumlah). Dan barangsiapa
yang hendak berbuka (maka berbukalah).” H.r. Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, VIII:387, No. 3622.
Dari
berbagai keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada
mulanya—ketika tahun pertama Nabi saw. berada di Madinah—shaum ini
hukumnya wajib. Namun setelah datang kewajiban shaum bulan Ramadan pada
tahun ke-2 hijrah, shaum ini beralih hukumnya menjadi sunat, dan ketika
itu pelaksanaannya hanya satu hari tanggal 10 muharram.
Memasuki
masa akhir periode Madinah, ketika para sahabat telah merasa kurang
nyaman melakukan shaum Asyura yang sama persis dilakukan oleh Yahudi dan
Nasrani, Nabi saw. mencanangkan untuk melakukan perbedaan. Ibnu Abas
mengatakan:
لمَاَّ صَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ وَ أَمَرَ بِصَيَامِهِ قَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ
يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ اليَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ : فَإِذَا كَانَ
عَامُ الْمُقْبِلِ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا اليَوْمَ التَّاسِعَ . قَالَ :
فَلَمْ يَأْتِ العَامُ المُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
"Ketika Rasulullah saw. melakukan Shaum
Asyura dan beliau memerintah (para sahabat) untuk melakukannya. Mereka
berkata, ’Wahai Rasulullah, sesungguhnya itu merupakan hari yang
diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani’ Beliau menjawab, ’Nanti tahun depan
(12 H) insya Allah kita akan melaksanakan shaum tanggal sembilannya’ Ia
berkata, ‘Tetapi tahun depan itu belum datang Rasulullah saw. telah
berpulang keharibaan-Nya (tahun 11 H).”HR. Muslim, Shahih Muslim, II:797, No. 1134; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:327, No. 2445
Di dalam riwayat lain, Ibnu Abas mengatakan dengan redaksi :
قاَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَئِنْ بَقَيْتُ إِلَى قَابِلٍ لأَصُومَنَّ التَّاسِعَ يَعْنِي يَوْمَ عَاشُورَاءَ
Rasulullah
saw, telah bersabda, ”Jika aku masih hidup sampai tahun depan (12 H),
niscaya aku akan shaum tanggal sembilannya yaitu hari Asyura” HR. Ahmad,
Musnad Ahmad, I:224, No. 344; Muslim, Shahih Muslim, II:798, No. 1135
Rasululah
saw. sendiri tidak berkesempatan melaksanakan shaum tanggal sembilan
Muharam di tahun itu (12 H), tetapi rencana beliau untuk melaksanakannya
membuktikan bahwa shaum di tanggal itu telah disyariatkan.
Dari
keterangan tersebut jelaslah bahwa pada mulanya saum sunat muharram
hanya dilaksanakan satu hari tanggal 10 muharram yang disebut Asyura.
Namun untuk membedai kebiasaan Jahiliyah, Yahudi atau Nasrani Rasulullah
saw. memerintahkan agar kita melakukan shaum sehari sebelumnya yaitu
tanggal sembilan Muharam yang disebut Tasu’a. Sehingga pelaksanaan saum
sunat muharram disyariatkan dua hari tanggal sembilan dan sepuluh bulan
Muharam yang disebut saum Tasu’a-Asyura.
Demikianlah bentuk penghormatan dan cara menyikapi hari Asyura sesuai Sunnah Rasulullah saw.
Mudah-mudahan
apa yang dikemukakan ini menjadikan motifasi untuk melaksanakan sunnah
Nabi Saw., sehingga dapat melaksanakannya sesuai dengan ketentuan yang
semestinya.
Catatan:
Pada tahun ini (1435 H), 9-10 Muharram tahun ini jatuh pada hari Rabu-Kamis, bertepatan dengan tanggal 13-14 Nopember 2013 M.
Amin Saefullah Muchtar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar