Pages

Rabu, 19 September 2012

SIAPAKAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH? (BAGIAN XII)


(2) Qiyâs

Pada pembahasan sebelumnya telah disampaikan bahwa Madzhab Hanafi, dalam menetapkan hukum—jika tidak ditemukan dalam 4 sumber (Al-Quran, sunnah, ijma’ serta fatwa-fatwa sahabat)— menggunakan  dasar & metode Istihsân, Qiyâs, dan ‘urf. Dasar & metode berijtihad yang demikian itu juga dilakukan pula oleh madzhab lainnya kecuali Istihsân. Istihsân—sebagai dasar & metode trade mark (khas) madzhab Hanafi—sebenarnya adalah pengembangan dari metode Qiyâs.
Pengembangan ini juga dilakukan oleh madzhab Maliki yang dinamakan dengan mashâlih al-mursalah.
Untuk lebih memahami aspek pengembangan itu, maka dalam bagian ini akan dibahas tentang dasar dan metode Qiyâs.

Pengertian Qiyâs

Qiyâs menurut bahasa berarti menyamakan, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyâs juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meteran atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya. (Lihat, Ushûl Al-Fiqh Al-Islâmî, hal. 108, Al-Mankhûl Min Ta‘lîqât Al-Ushûl, hal. 333, Ashr al-Ikhtilâf, hal. 468; Sullâm al-Wushûl li ‘Ilm al-Ushûl, hal. 205)
Adapun menurut istilah, Qiyâs memiliki banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih, antara lain:
  • "memberlakukan ketentuan hukum yang ada pada pokok kepada cabang karena ada pertautan ‘illat antara keduanya"
تَعْدِيَةُ الْحُكْمِ مِنْ الْأَصْلِ إلَى الْفَرْعِ بِعِلَّةٍ مُتَّحِدَةٍ
Definisi di atas versi Shadr as-Syarî‘ah Ubaidullah bin Mas’ud (w.747 H/1346 M.), salah seorang tokoh ushul fiqih Hanafi. (Lihat, Syarh At-Talwîh ‘Alâ At-Tawdhîh li Matn At-Tanqîh fî Ushûl al-Fiqh, II:170)
  • "Menghubungkan satu persoalan yang tidak (belum) ada ketentuan hukumnya di dalam nash dengan suatu persoalan yang telah ditetapkan oleh nash  hukumnya, karena antara keduanya terdapat persamaan ‘illat (sebab/motif hukum)"
إِلْحَاقُ أَمْرٍ غَيْرِ مَنْصُوْصٍ عَلَى حُكْمِهِ بِأَمْرٍ آخَرَ مَنْصُوْصٍ عَلَى حُكْمِهِ لِاشْتِرَاكٍ بَيْنَهُمَا فِى عِـلَّةِ الحُكْمِ
Definisi di atas versi Muhammad Abd al-Ghanî al-Bajiqanî (Lihat, Al-Madkhal Ilâ Ushûl al-Fiqh al-Mâlikî, hal. 107)
  • "mengembalikan cabang ke pokok karena terdapat pertautan ‘illat antara keduanya dalam penetapan hukum"
رَدُّ الفَرْعِ إِلَى الأَصْلِ بِعِلَّةٍ يَجْمَعُهُمَا فِى الحُكْمِ
Definisi di atas versi Mushthafâ Sa‘îd al-Khin (Lihat, al-Kâfî wa al-Wâfî fî Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, hal. 184. Bandingkan dengan versi Abû al-Hasan Muhammad bin Ali bin at-Thayib, dalam al-Mu‘tamad fî Ushûl al-Fiqh, II: 443)

Dalam redaksi lain:
إِلْحَاقُ فَرْعٍ بِأَصْلٍ فِى حُكْمٍ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِى عِلَّةِ الحُكْمِ
“menghubungkan atau menyamakan hukum cabang (furû‘) dengan pokok karena terdapat pertautan ‘illat hukum antara keduanya.”

Dari beberapa pengertian/definisi yang telah dikemukakan di atas memang terdapat perbedaan redaksional, tetapi esensinya adalah sama.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa qiyâs itu ialah menghubungkan dan atau menyamakan dan memberlakukan ketentuan hukum suatu persoalan yang telah disebutkan oleh nash kepada sesuatu persoalan yang belum ada ketentuan hukumnya dengan berpijak pada kesamaan ‘illat hukumnya.

Oleh karena itu, apabila nash telah menjelaskan hukum sesuatu persoalan dan di dalamnya diketahui ada ‘illat penetapannya dan kemudian terdapat persoalan lain (masalah baru) yang ‘illat-nya sama dengan apa yang telah disebutkan oleh nash, maka -atas dasar kesamaan ‘illat ini- keduanya berlaku ketentuan hukum yang sama pula. (Lihat, Mashâdir at-Tasyrî‘ al-Islâmî, hal. 27)

Dari pengertian qiyâs yang telah dikemukakan di atas ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu: pertama, bahwa dalam melakukan qiyâs boleh persoalan baru yang belum ada ketentuan hukumnya (furû‘) dibawa, dihubungkan atau disamakan dengan persoalan yang telah ditetapkan hukumnya di dalam nash. Artinya ketentuan hukum di dalam nash menjadi tempat penyamaan hukum. Defenisi ini, misalnya seperti dikemukakan oleh Muhammad Abd al-Ghanî al-Bajiqanî dan Mushthafâ Sa‘îd al-Khin. Kedua, memberlakukan ketentuan hukum yang ditetapkan di dalam nash kepada persoalan baru yang belum ada ketentuan hukumnya karena keduanya terdapat kesamaan ‘illat.

Kedua bentuk peng-qiyâs-an ini sebetulnya menuju satu titik yang sama, yang berbeda hanyalah cara pelaksanaannya saja. Dalam pelaksanaannya, qiyâs dapat dilakukan bila memenuhi empat unsur yang dikenal dengan istilah “arkân al-qiyâs”(rukun-rukun qiyâs).
Ulama Ushul Fiqh mengatakan bahwa qiyâs harus berpijak pada empat unsur. Dengan berpijak pada empat rukun ini, akan menghasilkan ketetapan hukum yang sebanding antara pokok dengan cabang. Jika tidak demikian qiyâs tidak dapat terlaksana.

Dari sejumlah rumusan rukun qiyâs dalam kitab-kitab Ushul Fiqh terdapat tiga versi hierarkis: pertama, rukun qiyâs terdiri atas: al-ashl (pokok), al-far‘u (cabang), hukum al-Ashl dan ‘illat. Kedua, rukun qiyâs adalah: al-ashl, al-far’u, al-‘illat dan al-hukm. Ketiga, rukun qiyâs adalah: al-ashl, al-hukm, al-far’u dan al-‘illat. (Lihat, Mashâdir at-Tasyrî‘ al-Islâmî, hal. 60, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, III: 5, Mashâdir al-Ahkam al-Islâmîyah, hal. 92, Ushûl al- Fiqh al-Islâmî, hal. 120, Irsyâd al- Fuhûl, hal. 204, dan Muhammad al-Khudarî Beik, Ushûl al-Fiqh, hal. 293)

Keempat rukun atau unsur qiyâs tersebut adalah:
  • Harus ada apa yang disebut dengan pokok (الأصل), yaitu persoalan yang telah dijelaskan ketentuan hukumnya di dalam nash. Pokok ini sering pula disebut dengan “المـقـيس عـليــه” yakni yang menjadi tempat sandaran qiyâs, dan kadang-kadang disebut pula dengan “المشـبـه بــه” menjadi tempat penyamaan sesuatu.
  • Adanya cabang (الفرع), yaitu persoalan atau perkara baru yang tidak ada nash yang menjelaskan hukumnya dan ia akan disamakan hukumnya dengan pokok.
  • Adanya ketetapan hukum asal (الحـكـم الأصـلى) yang telah dijelaskan oleh nash pada pokok. Ketentuan hukum ini adalah hukum yang sudah pasti yang melekat pada pokok sebagai tempat penyandaran kesamaan hukum bagi cabang.
  • Adanya ‘illat (العلة), yakni suatu sifat atau keadaan yang menjadi alasan/dasar penetapan hukum pada pokok dan ‘illat ini juga terdapat pada cabang yang akan dicari hukumnya. ‘Illat ini harus jelas, relatif dapat diukur dan kuat dugaan bahwa dialah yang menjadi alasan penetapan hukum Allah dan Rasul-Nya.
Untuk melihat aplikasi qiyâs, berikut ini dikemukan salah satu contoh larangan “jual-beli” ketika dikumandangkan azan Jum’at. Larangan ini didasarkan pada firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ...
Hai orang-orang yang beriman apabila kamu diseru untuk mengerjakan shalat Jum‘at, maka segeralah kamu ingat kepada Allah dan tinggalkanlah jual-beli… (QS. Al-Jumu‘ah, 62:9)

Ayat ini di-qiyâs-kan kepada persoalan lain, seperti berbagai transaksi dan aktifitas lainnya -selain jual beli- yang dilakukan pada saat azan dikumandangkan pada hari Jum’at, maka juga dilarang karena ada persamaan ‘illat-nya, yaitu melalaikan untuk ingat kepada Allah. (Lihat, Mashâdir at-Tasyrî‘ al-Islâmî, h. 24-25)

Perintah meninggalkan jual-beli ketika azan Jum‘at dikumandangkan pada hari Jum‘at adalah pokok (al-ashl). Sedangkan berbagai transaksi dan kegiatan lainnya adalah cabang (al-far‘u) yang akan dicari hukumnya. Larangan "jual-beli" hukum pokok dan “melalaikan” adalah illat-nya. Oleh karena berbagai transaksi dan kegiatan itu mempunyai persamaan ‘illat dengan pokok yaitu bisa melalaikan untuk ingat kepada Allah, maka hukumnya juga dilarang.

Keempat rukun/unsur yang disebutkan di atas merupakan patokan dalam melakukan qiyâs. Qiyâs tidak dapat dilakukan bila salah satu dari keempat rukun ini diabaikan atau tidak ada. Seseorang yang akan melakukan qiyâs hendaklah terlebih dahulu harus mengetahui dan meneliti dalil nash secara seksama serta ketentuan hukum apa yang ada di dalamnya. Setelah itu meneliti ‘illat yang menjadi dasar penetapan hukum pada pokok. Begitu pula meneliti ‘illat pada persoalan baru (cabang) yang akan dicari hukumnya.

Jika ‘illat pada pokok dan cabang sudah diketahui dan terdapat unsur persamaannya, maka dapat dilaksanakan qiyâs antara cabang dan pokok. Meski begitu, orang yang akan melakukan qiyâs dituntut agar berhati-hati dalam mengambil dalil nash dan ketentuan hukum, serta harus cermat dalam meneliti ‘illat yang terdapat – baik pada pokok maupun pada cabang; apakah ada relevansinya (munâsabah) antara keduanya. Dengan kata lain, ‘illat yang terdapat pada pokok dan cabang, hendaklah terdapat kesamaan substansial antara keduanya yang memungkinkan diperlakukan sama ketentuan hukumnya.

Memang dalam prakteknya, pemikiran tentang ‘illat hukum ternyata di kalangan ulama berbeda-beda satu sama lainnya. Yang dimaksudkan di sini ialah pemahaman mereka tentang keberadaan ‘illat dan aplikasinya dalam  penetapan hukum tasyrî‘ adalah tidak sama. Ketidaksamaan ini, tentu saja, jelas akan mempengaruhi nilai dari ketetapan hukum yang dihasilkan.

Contoh yang paling sering dirujuk oleh ulama Ushul Fiqh ialah tentang ‘illat riba, baik riba fadhl (dalam jual-beli) maupun riba nasi`ah (dalam hutang-piutang) pada enam macam benda yang disebutkan dalam hadis Nabi, yaitu: emas, perak, gandum (Burr), gandum (Sya'ir), kurma, dan garam). (HR. Muslim, Shahih Muslim, III:1211)

Berdasarkan hadis ini ulama Ushul sepakat bahwa keenam macam benda tersebut bisa mendatangkan riba. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang ‘illat yang menjadi dasar penetapan hukum riba tersebut.

Kalangan madzhab Hanafi mengatakan bahwa ‘illat riba—riba fadhl—dari keenam macam benda tersebut ialah timbangan dan takaran yang dalam istilah Fiqh disebut dengan al-kail wa al-wazn (الكيل والوزن). Adapun riba nasi`ah ialah wujud dari dua sifat benda yang sejenis, yaitu takaran dan timbangan. Sementara itu, kalangan madzhab Malikiyah dan Syafi‘iyah berpendapat bahwa ‘illat riba fadhl adalah emas dan perak, karena sifat keduanya merupakan standar harga. Sedangkan untuk empat macam benda lainnya ‘illat-nya ialah makanan pokok (al-qût). Mengenai riba nasi`ah ‘illat-nya adalah pada emas dan perak, karena keduanya merupakan standar harga. (Lihat, Ashr al-Ikhtilâf, hal. 493-494)

Kemudian, dalam hubungan ini, kalangan madzhab Hanabilah berpendapat bahwa ‘illat riba dari emas dan perak ialah karena ia jenis benda yang dapat ditimbang dan sedangkan empat jenis benda lainnya ‘illat-nya ialah takaran. (Lihat, Ashr al-Ikhtilâf, hal. 496-497)

Agaknya, kalangan madzhab Hanabilah mempunyai pandangan yang sama dengan Hanafiyah, tetapi mereka membedakan antara sifat ‘illat timbangan  dan sifat ‘illat takaran. Untuk emas dan perak ‘illat-nya adalah timbangan, karena ia hanya bisa dinilai dengan timbangan, bukan takaran. Adapun ‘illat untuk empat jenis benda lainnya -gandum, syair, kurma dan garam- adalah takaran dengan asumsi bahwa ia bisa ditakar.

Kelihatannya, kalangan madzhab Hanabilah membedakan dua sifat ‘illat timbangan dan takaran. Sebetulnya, membedakan dua sifat ‘illat disebut terakhir ini, kalangan Hanabilah tidak mempunyai pijakan yang kuat karena baik emas dan perak, begitu pula gandum, syair, garam dan kurma, kesemuanya bisa ditakar dan ditimbang.  Tidak ada artinya membedakan dua macam sifat ‘illat antara timbangan dan takaran bagi keenam jenis benda yang disebutkan di atas, jika keduanya dapat diterapkan dan mengandung asumsi yang sama.

Demikian pula halnya dengan kalangan madzhab Malikiyah dan Syafi‘iyah yang membedakan dua sifat ‘illat antara standar harga dan al-qût, menyatakan riba Fadhl terjadi pada emas dan perak karena ia menjadi standar harga. Akan tetapi, jika hanya emas dan perak yang dapat menimbulkan riba fadhl  karena ia menjadi standar harga tidaklah tepat.  Sifat riba fadhl bisa pula terjadi pada empat jenis benda lainnya.  Demikian pula dengan ‘illat al-qût bagi empat jenis benda, selain dari emas dan perak, juga tidak tepat, karena seperti garam bukanlah termasuk makanan pokok.

Karena itu, dari ketiga pandangan di atas, agaknya kalangan madzhab Hanafiyah lebih tepat dalam melihat dan menentukan hubungan ‘illat dengan penetapan hukum riba fadhl dan nasi`ah terhadap enam macam benda di atas, yaitu timbangan dan takaran.

Adapun membedakan antara riba fadhl dan nasi`ah hanyalah berkaitan dengan sifat pelaksanaannya. Jika dalam kegiatan tukar-menukar (jual-beli) terhadap benda sejenis yang salah satunya lebih—tidak sama takaran atau timbangannya—maka hal ini disebut riba fadhl.  Sementara riba nasi`ah, jika dalam kegiatan tukar menukar (jual-beli) dengan telah ditentukan harganya, dan setelah jatuh tempo waktu  pembayaran (pengembalian) tidak dipenuhi, maka pembayaran atau pengembalian harus lebih.

Dari contoh kasus yang telah dikemukakan di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa penentuan ‘illat sebagai alasan penetapan hukum di kalangan ulama terdapat perbedaan. Akibat perbedaan ini, maka kadang-kadang produk hukum yang dihasilkan juga berbeda. Diakui bahwa kadang-kadang ulama berbeda dalam menentukan ‘illat sementara hukum yang ditetapkan sama, seperti kasus pada enam macam benda pada contoh di atas, dimana ulama berbeda dalam menentukan ‘illat tetapi ketentuan hukum yang ditetapkan adalah sama; yakni riba fadhl dan riba nasi`ah hukumnya haram. Dan kadang-kadang berbeda dalam menentukan ‘illat dan berbeda pula hukum yang ditetapkan.

Dari apa yang telah dikemukakan ini ternyata perbedaan dalam ketetapan hukum, seperti banyak ditemui dalam berbagai leteratur dan refleksinya dalam kehidupan praktis umat adalah berakar dari perbedaan penentuan ‘illat sebagai dasar atau alasan pensyariatan hukum. Perbedaan ini terlihat—terutama sekali—dalam menentukan sifat ‘illat yang tidak disebutkan oleh nash.

Dari apa yang telah dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa dasar & teori qiyâs ini pada intinya memperluas pemberlakukan suatu ketentuan hukum yang sudah pasti di dalam nash kepada berbagai persoalan yang tidak disebutkan oleh nash (persoalan baru), di mana antara keduanya terdapat kesamaan ‘illat. Dengan menggunakan teori ini, tentu banyak persoalan yang dapat dipecahkan secara syar‘î, yang hingga saat ini tetap digunakan oleh para ulama sebagai salah satu alat dalam penetapan hukum tasyrî‘.

Kehujjahan qiyâs

Bila dicermati secara seksama bahwa dasar & teori qiyâs ini digunakan oleh hampir semua ulama mazhab dalam istinbâth hukum. Berbagai kasus hukum dapat dipecahkan dengan menggunakan teori ini dengan prinsip kerjanya mencari hubungan persamaan atau mencari persamaan ‘illat antara sesuatu yang telah disebutkan oleh nash dengan sesuatu yang tidak disebutkan oleh nash. Artinya, berbagai masalah yang muncul yang belum ada ketentuan hukumnya dapat dipecahkan dengan mencari hubungan persamaannya dengan sesuatu yang telah disebutkan oleh nash. Lebih-lebih di abad modern sekarang ini, dasar & teori ini menjadi penting dan sangat strategis dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan umat.

Meskipun demikian ada sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan penggunaan qiyâs sebagai dasar hujjah, di antaranya Madzhab Zhahiri dan Madzhab Syi'ah.

Adapun asas legalitas qiyâs sebagai metode ijtihad, Abu Hanifah sebagaimana ulama madzhab lainnya mendasari kepada firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا أَطِيْعُوْا اللهَ وَأَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ. فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْئٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً
Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu. Sekiranya ada perbedaan pendapat di antaramu tentang sesuatu (yang tidak ada ketegasan dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul), maka kembalilah kepada Allah dan Rasul”. (QS. An-Nisa’, 4: 59)

Pendalilan ayat: “Mengembalikan sesuatu—yang tidak ada ketegasan dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul—kepada Allah dan Rasul itu tiada lain dengan mengetahui berbagai indikasi dan petunjuk dari Al-Quran dan Sunnah Rasul kepada sesuatu yang menjadi sasaran penetapan hukum. Dan hal itu dengan penentuan ‘illat hukum. Cara demikian itu adalah qiyâs.” (Lihat, Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, hal. 221)

Dan mendasari kepada hadis, di antaranya hadis tentang jawaban Nabi saw. kepada Umar ra. Kata Umar:
صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ فَقُلْتُ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفِيمَ
“(wahai Rasulullah) Aku telah melakukan perkara yang besar, aku menciumi istri ketika sedang shaum.” Maka Rasulullah saw. berkata kepada Umar ra., “Bagaimana pendapat kamu jika berkumur-kumur dengan air padahal kamu sedang shaum?” Umar ra. Menjawab, “Tidak apa-apa dengan hal itu.” Maka Rasulullah saw. berkata, “Lanjutkan shaum kamu.” (HR. Ahmad, Al-Musnad, I:439, No. hadis 372)

Pendalilan hadis ini, bahwa dalam menetapkan hukum mencium istri ketika shaum apakah membatalkan shaum atau tidak, Nabi saw. menyuruh Umar untuk meng-qiyâs-kan  kepada persoalan lain, yaitu  berkumur-kumur dengan air ketika shaum. Karena berkumur-kumur dengan air tidak membatalkan shaum, maka mencium istri juga tidak membatalkan shaum.

Selain itu, asas legalitas qiyâs juga merujuk pada hadis:
عَنْ أُنَاسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ: كَيْفَ تَقْضِيْ إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ ؟ قَالَ: أَقْضِيْ بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْ كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ ص. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم؟ قَالَ: أَجْتَهِدُ بِرَأْيِيْ - رواه أبو داود -
Dari beberapa orang penduduk Himsh, yaitu para shahabat Mu’adz bin Jabal, bahwasannya Rasulullah saw. ketika akan mengutus Mu’adz ke Yaman, Beliau bertanya:’Bagaimana kau akan menetapkan suatu perkara yang datang kepadmu?’ Ia menjawab: ‘Saya akan tetapkan dengan Alquran’ Beliau bertanya lagi: ‘Bagaimana jika tidak ada dalam Alquran?’ Ia menjawab: ‘Maka dengan Sunnah Rasulullah’. Beliau bertanya lagi: ‘Bagaiman a jika tidak ada dalam Sunnah Rasul?’ Ia menjawab: ‘Saya akan berijtihad dengan pikiran saya’. HR. Abu Dawud

Dari hadis ini dapat dipahami bahwa seseorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat Al-Quran dan Hadis yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu di antaranya ialah dengan menggunakan qiyâs.

Imam Al-Khathabi berkata:
يُرِيْدُ الإِجْتِهَادَ فِيْ رَدِّ الْقَضِيَّةِ مِنْ طَرِيْقِ الْقِيَاسِ إِلَى مَعْنَى الْكِتَابِ وَ السُّنَّةِ وَلَمْ يُرِدِ الرَّأْيَ الَّذِيْ يَسْنَحُ لَهُ مِنْ قِبَلِ نَفْسِهِ أَوْ يَخْطُرُ بِبَالِهِ مِنْ غَيْرِ أَصْلٍ مِنْ كِتَابٍ أَوْ سُنَّةٍ
“Ijtihad yang dimaksud oleh Mu’adz ialah akan mengembalikan suatu perkara dengan jalan qiyâs kepada makna Quran dan Sunnah, dan ia tidak bermaksud mengunakan semata-mata pikiran yang terlintas di hatinya tanpa bersandar sama sekali kepada Al-Quran atau Sunnah.” (Lihat, Ma’âlim As-Sunnah, IV:165)

Ibnul Qayyim berkata:
فَالصَّحَابَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ مَثَّلُوْا الْوَقَائِعَ بِنَظَائِرِهَا وَشَبَّهُوْهَا بِأَمْثَالِهَا وَرَدُّوْا بَعْضَهَا إِلَى بَعْضٍ فِيْ أَحْكَامِهَا
 “Para Shahabat Nabi saw. membandingkan peristiwa-peristiwa dengan peristiwa yang sama, dan mereka mempersamakan dengan perkara-perkara yang serupa dengannya, dan mereka mengembalikan sebagiannya kepada sebagian yang lain tentang hukum-hukumnya.” (Lihat, I’lâm Al-Muwaqqi’în, I:217)

Pengembangan Metode qiyâs 

Abu Hanifah berpegang kepada qiyâs dalam berijtihad, apabila perkara yang sedang dihadapi tidak terdapat dalam Al-Quran, Hadis dan perkataan Sahabat. Beliau menghubungkan perkara yang dihadapi kepada nash yang ada setelah memperhatikan ‘illat yang sama antara keduanya.

Hukum perkara baru (furu’) yang diijtihadkan melalui qiyâs oleh Abu Hanifah, sebagian ketetapan hukumnya sama dengan hasil qiyâs jumhur fuqaha madzhab yang lain. Akan tetapi sebagian yang lain tidak sama.

Perbedaan ini dilatari oleh perbedaan pertimbangan dalam melakukan qiyâs antara Abu Hanifah dengan fuqaha lain.
Jumhur fuqaha dalam men-qiyâs-kan suatu perkara yang belum ada nash kepada perkara yang sudah memiliki nash, alat pertimbangan mereka adalah terletak pada ‘illat. Argumentasi logis mereka, hukum didasarkan kepada ‘illat bukan pada hikmah.  (Lihat, Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, hal. 250)

Sedangkan bagi Abu Hanifah, dalam proses qiyâs, tidak hanya ‘illat yang dijadikan pegangan. Akan tetapi hikmah dari sebuah hukum adalah aspek yang tidak bisa diabaikan juga. Karena semua ketentuan syari’at mengandung hikmah yaitu untuk kemaslahatan. Oleh sebab itu, setiap permasalahan (furu’) yang mengandung maslahah, maka permasalahan itu bisa di- qiyâs-kan juga kepada permasalahan ashal yang sudah dijelaskan hukumnya dalam Al-Quran, Hadis dan Ijmak sahabat.

Menurutnya, hikmahlah yang mendorong penetapan suatu ketentuan hukum. Pandangan ini menghendaki bahwa pada hakikatnya ‘illat hukum itu adalah hikmah. Hikmah diartikan sesuatu yang terkait dengan tujuan pensyariatan hukum syara‘ yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan menghindarkan mereka dari kerusakan. (Lihat, Mu‘jam Musthalahât, h. 184)

Dengan perkataan lain, hikmah adalah suatu keserasian (munâsib) yang mempunyai relevansi terhadap pensyariatan hukum, dimana atas keserasian inilah hukum dibina demi terciptanya kemaslahatan dan terhindar dari kemudaratan. Artinya, penetapan hukum syara‘ yang didasarkan pada ‘illat itu adalah untuk merealisir kemaslahatan bagi manusia dan terhindar dari kerusakan. Oleh karena itu seluruh ketetapan hukum syara‘ tidak ada yang tidak mengandung hikmah bagi umat manusia. (Lihat, Al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh, hal. 204)

Meskipun secara praktik, untuk melihat hikmah apakah yang terkandung dalam suatu ketetapan hukum dan prosedur apa yang dapat ditempuh untuk mengetahui hikmah tersebut, bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah.

Dalam penelitian ulama ternyata tidak semua ‘illat dapat dipahami hubungannya dengan hikmah yang terkandung di dalam semua ketentuan hukum. Dengan kata lain, seperti disebutkan oleh Abd al-Wahhâb Khallâf bahwa salah satu syarat bagi ‘illat ialah terdapatnya relevansi (munâsabah) dengan hikmah yang terkandung dalam pensyari‘atan hukum yakni ada dan tidak adanya suatu hukum tergantung dengan hikmah yang hendak dicapai atau diwujudkan. Akan tetapi, sebagaimana diakui oleh Abd al-Wahhâb Khallâf sendiri:
وَ لَكِنْ لَيْسَتْ كُلُّ عِلَّةٍ تُحَقِّقُ الحِكْمَةَ وتَقْضِى إِلَى الْمَقْصُوْدِ مِنْهَا قَطْعًا فِي كُلِّ جُزْئِيَّةٍ بَلْ قَدْ تَقْضِى إِلَيْهِ قَطْعًا أَوْ ظَنًّا أَوْ شَكًّا أَوْ وَهْمًا
Tidak semua ‘illat dapat merealisasikan hikmah dalam setiap persoalan hukum, sebab kadang-kadang apa yang disebut dengan hikmah itu merupakan sesuatu yang diperkirakan saja atau sesuatu yang belum pasti. (Lihat, Mashâdir at-Tasyrî’ al-Islâmî, hal. 59-60)

Dari pandangan Abd al-Wahhâb Khallâf ini dapat dipahami bahwa ada kalanya ‘illat dan hikmah yang hendak dicapai dari suatu ketetapan hukum itu dapat dipahami oleh akal hubungan antara keduanya, dan ada kalanya tidak bisa dipahami. Terhadap aspek yang pertama -- ‘illat dan hikmah bisa dipahami hubungan antara keduanya -- contoh yang diberikan oleh ulama ushul ialah tentang larangan (haram) meminum khamar. Menurut Sya‘bân dan Abd al-Wahhâb Khallâf bahwa keharaman khamar ‘illat-nya ialah iskâr (memabukkan). ‘illat iskar merupakan pendorong penetapan larangan meminum khamar yang hikmahnya adalah untuk kemaslahatan manusia, yaitu terpeliharanya akal pikiran dari kerusakan. Jadi, ‘illat iskâr sebagai alasan pengharaman khamar mengandung hikmah untuk melindungi akal pikiran dari kerusakan. (Lihat, Ushûl al- Fiqh al-Islâmî, hal. 142, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, hal. 69-70)

Dalam pandangan Syâri‘, akal merupakan sesuatu yang vital dan amat berharga bagi manusia, dan ia menjadi dasar dalam penentuan ukuran taklîf (pembebanan) dari berbagai ketetapan hukum syara‘. Oleh karena itu, antara iskâr (memabukkan) yang menjadi ‘illat pengharaman khamar dan nilai hikmah yang dikandungnya terdapat hubungan logis yang dapat dipahami oleh akal kita. Sebab, jika tidak demikian, tentu khamar tidak diharamkan atau tidak dilarang untuk diminum.

Aspek yang kedua, yaitu ‘illat yang tidak dapat dipahami hubungannya dengan hikmah yang terkandung dalam suatu ketetapan hukum, dalam persoalan yang disebut terakhir ini, banyak sekali ditemukan ketetapan hukum syara‘ di dalam nash yang tidak dapat dipahami hubungannya dengan hikmah yang terkandung di dalamnya. Contohnya ketetapan hukum yang mewajibkan mandi bagi suami-isteri yang junub. Hal ini dijelaskan oleh ayat:
... وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْا ...(المائدة/٥:٦)
… dan jika kamu junub maka mandilah … (QS. Al-Mâ`idah:6)

Bila dipahami kandungan ayat ini, ternyata ketetapan hukum wajib mandi ‘illat-nya adalah junub. Jika tidak junub, tentu tidak ada ketentuan wajib mandi. Kasus suami-isteri yang melakukan junub yang membawa akibat hukum wajib mandi, tidak dapat dipahami hubungan dengan hikmah yang terkandung di dalamnya.

Contoh kasus yang disebut terakhir ini, di kalangan ulama ushul disebut dengan sebab. Artinya, ia berkaitan dengan hubungan sebab akibat. Bila ketetapan hukum berkaitan dengan sebab akibat, maka hikmah apa yang terkandung di dalamnya tidak dapat dipahami. Sementara di kalangan ulama ada yang berupaya untuk mencarinya, tetapi hal tersebut tidak lain hanyalah perkiraan dan dugaan saja -- yang tidak dapat dijadikan pegangan.  Oleh sebab itu, aspek inilah yang kemudian disebut dengan urusan ta‘abbudî, dimana manusia (hamba) dituntut untuk mematuhinya.

Maka dilihat dari eksistensi ‘illat dan hubungannya dengan hikmah itulah, madzhab Hanafi mengembangkan dasar & metode qiyâs kepada dua bentuk: Pertama, qiyâs jali, yaitu bila ‘illat hukum baik pada furu’ (cabang) dan ashal (pokok) adalah jelas atau nyata, sebagaimana dipergunakan pula oleh jumhur fuqaha yang lain. Qiyâs jali ini digunakan sebagai istilah khusus dalam mazhab Hanafi bagi metode qiyâs dalam jumhur madzhab fuqaha lainnya. Kedua, adalah qiyâs khafy, yaitu bila ‘illat pada furu’ dan ashal tidak sama atau samar-samar. Qiyâs khafy inilah yang dinamakan sebagai Istihsân dalam mazhab Hanafi.

Tidak ada komentar: