7. Terhadap Ta'ashub (Fanatisme) Madzhab
Pengertian Madzhab
Madzhab menurut bahasa Arab adalah isim makan (keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi). Jadi, madzhab itu secara bahasa artinya “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-tharîq). (Lihat, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, I:28, I‘anah Ath-Thalibin, I:12)
Adapun, menurut istilah umum, madzhab
adalah kumpulan pendapat yang bersumber dari pemikiran atau ijtihad
seseorang dalam memahami sesuatu, baik filsafat, hukum, teologi,
politik, dan lain sebagainya, berdasarkan berbagai kaidah (qawa’id) dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain, sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. (Lihat, Ensiklopedi Islam, III:214-215. Bandingkan dengan definisi Dr. Mani’ bin Hammad dalam Al-Mawshu’ah Al-Muyassarah fil Adyan wal Madzahib, II:1152)
Pengertian di atas, menunjukkan bahwa istilah “madzhab” mencakup dua hal:
- Sekumpulan pendapat yang bersumber dari pemikiran atau ijtihad seseorang, yang kami sebut dengan “madzhab qauli”.
- Kerangka metodologis yang digunakan oleh orang itu dalam berijtihad, yang kami sebut dengan “madzhab manhaji”.
Berdasarkan cakupan istilah di atas, misalnya dalam bidang akidah, jika kita mengatakan madzhab
al-Asy'ari itu artinya adalah pendapat dan kerangka metodologis menurut
Imam al-Asyari. Dalam bidang fikih, jika kita mengatakan madzhab
Syafi’i, itu artinya adalah fikih dan ushul fikih menurut Imam Syafi’i.
Karena
itu ketika hendak memahami epistemologi fiqih yang dibangun dan
dikembangkan oleh berbagai madzhab itu kita harus mengkaji melalui
pendekatan madzhab manhaji, yakni kerangka metodologis fiqih, yang mencakup qawaid ushul fiqih, qawaid ulumul hadis, dan thuruqul istinbath (metode penetapan hukum).
Selanjutnya,
pemikiran itu diikuti oleh kelompok atau pengikut dan dikembangkan
menjadi suatu aliran pemahaman, sekte, atau ajaran, sehingga pengertian madzhab
berkembang menjadi (a) ajaran komunitas (kelompok) atau aliran
pemahaman umat Islam yang mengacu kepada hasil ijtihad tokoh tertentu,
(b) kelompok umat Islam yang mengikuti metode ijtihad tokoh tertentu.
Dari sini, kemudian muncul sebutan, misalnya, madzhab Salafiy dan Salafiyah, Syafi’iy dan Safi’iyyah, dan lain-lain. Perkembangan makna ini dapat dilihat dari sejarah dan latar belakang lahirnya madzhab itu sendiri.
Dalam
“ruang terbatas” ini, focus analisa terbatas pada madzhab fiqih, adapun
analisa madzhab kalam, insya Allah akan disampaikan pada kesempatan
lain.
Latar Belakang dan Perkembangan Madzhab Fiqih
Hukum fiqih itu digali dan diperoleh melalui prosedur kerja dengan menggunakan qawa’id (berbagai kaidah), yakni:
- Qawaid Usuliyyah Lughawiyyah (kaidah-kaidah ushul yang dipetik dari bahasa).
- Qawaid Usuliyyah Tasri’iyyah Ijtihadiyyah (kaidah-kaidah ushul fiqh yang disimpulkan dari nash).
dalam berbagai hal menggunakan pula Qawaid Mantiqiyyah (kaidah-kaidah logika).
Dari prosedur kerja secara metodologis itu muncul suatu rangkaian yang mempola: Dalil, Dalalah, dan Madhlul. Ayat atau teks hadis sebagai dalil, kandungan ayat dan atau teks hadis sebagai dalalah. Mafhum (pemahaman) dari kandungan itu sebagai madlul, yang dirumuskan dalam al-ahkam al-khamsah atau kualifikasi hukum yang lima (wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah).
Meskipun
demikian dalam prosedur kerja secara metodologis itu terjadi perbedaan
pendapat dikalangan ulama fiqh. Perbedaan pendapat itu kemudian
membentuk kelompok pendukung yang terdiri atas:
- Orang-orang yang mengikuti prosedur kerja secara metodologis imam tertentu meskipun dalam produk Ijtihad (fiqh, pemikiran) tidak selalu mengikuti atau sama dengan ulama itu.
- Orang-orang yang mengikuti produk Ijtihad imam tersebut dalam suatu masalah tertentu atau pada setiap masalah.
Selanjutnya
berkembang menjadi komunitas atau kelompok umat Islam. Inilah asal
muasal lahirnya madzhab dalam fiqh. Adapun perbedaan itu pada dasarnya
disebabkan 4 faktor:
Pertama, Al-‘Ilmu bi al-nushush (pengetahuan tentang teks), dalam hal ini berkaitan dengan kelengkapan database hadis, karena perbendaharaan hadis tidak sama.
Kedua, mashadir Al-ahkam, yakni perbedaan dalam menetapkan sumber-sumber hukum, terutama taba’iyyah (sekunder) selain Al-Qur’an dan as-Sunnah.
Ketiga, kaifiyyat fahmin nushush, yakni perbedaan dalam memahami nash karena berbeda dalam rumusan qawa’id lughawiyyah (kaidah-kaidah ushul yang dipetik dari bahasa).
Keempat, fi maa laa nasha fiih, yakni persoalan-persoalan yang belum ditetapkan hukumnya didalam nash.
Mashadir Al-Ahkam
Mengenai perbedaan sumber hukum, hal itu terjadi karena ulama berbeda pendapat dalam 4 (empat) perkara berikut, yaitu:
A.Tawtsiqus Sunnah (autentifikasi sunah)
Antara lain berkaitan dengan syarat kehujjahan sunnah. Misalnya,
Madzhab Malik menerima kehujjahan hadis ahad dengan syarat:
(a)tidak bertentangan dengan amal ahlu madinah (sahabat dan tabi’in yang tinggal di Madinah).
(b)Tidak bertentangan dengan qiyas.
Sementera
madzhab Hanafi menerima kehujahan hadis ahad dengan syarat antara lain;
para rawi tersebut tidak menyalahi dalalah hadis yang diriwayatkannya
itu, baik dalam pengamalan maupun fatwa. Misalnya perintah mencuci
bejana 7 kali yang dijilat anjing dalam hadis Abu Hurairah mereka tidak
mengamalkan hadis itu karena menemukan fatwa Abu Hurairah yang
bertentangan dengan riwayatnya sendiri. Yakni cukup dicuci 7 kali.
Adapun madzhab Syafi’i menerima kehujjahan hadis ahad dengan syarat sanadnya sahih dan muttashil (bersambung).
B. Fatwa sahabat dan kedudukannya.
Abu
Hanifah, misalnya, mengambil fatwa sahabat dari sahabat siapa pun tanpa
berpegang dengan seorang sahabat, serta tidak memperbolehkan menyimpang
dari fatwa sahabat secara keseluruhan. Sebaliknya, Syafi’i memandang
fatwa sahabat sebagai ijtihad individual sehingga boleh mengambilnya dan
boleh pula berfatwa yang menyelisihi keseluruhannya.
C.Kehujjahan Qiyas.
Sebagian
mujtahidin seperti ulama Zhahiriyah mengingkari kehujahan Qiyas sebagai
sumber hukum, sedangkan mujtahidin lainnya menerima Qiyas sebagai
sumber hukum sesudah Al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma.
D. Subyek dan hakikat kehujjahan Ijma.
Para
mujtahidin berbeda pendapat mengenai subyek (pelaku) Ijma dan hakikat
kehujjahannya. Sebagian memandang Ijma Sahabat sajalah yang menjadi
hujjah. Yang lain berpendapat, Ijma Ahlul Bait-lah yang menjadi hujah.
Yang lainnya lagi menyatakan, Ijma Ahlul Madinah saja yang menjadi
hujah. Mengenai hakikat kehujjahan Ijma, sebagian menganggap Ijma
menjadi hujjah karena merupakan titik temu pendapat (ijtimâ‘ ar-ra‘yi); yang lainnya menganggap hakikat kehujjahan Ijma bukan karena merupakan titik temu pendapat, tetapi karena dalilun ‘ala wujud dalilin (menyingkapkan adanya dalil dari as-Sunnah).
Kaifiyyah fahmin nusush (Metode Pemahaman Nash)
Mengenai perbedaan dalam cara memahami nash karena berbeda dalam rumusan kaidah lughawiyyah misalnya:
A. Dilalah (penunjukkan) lafal ‘amm (umum)
Apakah dilalah lafal ‘amm itu qath’i (pasti) atau zhanni (dugaan kuat), dalam perkataan lain apakah cakupan lafal ‘amm kepada seluruh afrad (satuan-satuan) nya itu bersifat qath’i atau zhanni. Sebagian Hanafiyyah, mayoritas Syafi’iyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa dilalah itu zhanni. Sedangkan mayoritas Hanafiyyah berpendapat qath’i.
B. Hukum lafal mutlaq.
Ulama madzhab sepakat bahwa lafal mutlaq itu selama tidak ditaqyid (dibatasi) berlaku atau diamalkan berdasarkan kemutlakannya sehingga lahir kaidah:
المُطْلَقُ يَبْقَى عَلَى إِطْلاَقِهِ
“Lafal mutlak dimaknai sesuai kemutlakannya”
حَمْلُ الْمُطْلَقِ إِلَى الْمُقَيَّدِ إِذَا اتَّفَقَ فِي السَّبَبِ وَالْحُكْمِ
“Lafal mutlak dimaknai muqayyad (terbatas) apabila sesuai dalam sebab dan hukumnya.”
Meski begitu, namun ulama berbeda pendapat dalam menetapkan faktor apa yang menyebabkan bahwa makna mutlak itu harus dipahami muqayyad.
- Menurut sebagian madzhab Syafi’iyyah, yang mengharuskan demikian semata-mata faktor bahasa.
- Menurut mayoritas madzhab Syafi’iyyah, yang mengharuskan demikian tidak semata-mata faktor bahasa, namun tidak mutlak harus demikian.
- Menurut madzhab ashabu Hanafi, yang mengharuskan demikian adalah qias shahih .
C. Amr (kata perintah)
Berkaitan dengan shigah (bentuk kata), dilalah (petunjuk), dan madlul (pemahaman dari petunjuk)
(a) dilalah sighah amr terhadap hukum pelaksanaan
Apakah
setiap amr pasti menunjukan wajib? Dalam hal ini terjadi sembilan
pendapat, khususnya di kalangan madzhab Syafi’iyyah, antara lain:
Imam
Syafi’I sendiri berpendapat bahwa secara hakiki menunjukan wajib dan
jika menunjukan mandub (sunat) atau ibahah (boleh) itu secara majazi (makna kiasan). Sebagian syafi’iyyah, misalnya Abu Al-Hasyim Az-Zuba’I, berpendapat secara hakiki menunjukan mandub, sedangkan selain mandub secara majazi. Sebagian ulama syafi’iyyah lainnya, seperti Tajudin As-Subki, berpendapat secara hakiki menunjukan ibahah selain ibahah secara majazi.
(b) dilalah sighah amr terhadap jumlah pelaksanaan
Apakah suatu perintah itu sudah cukup jika hanya dikerjakan satu kali saja atau harus dikerjakan berulang kali?
Menurut pendapat syafi’iyyah dan malikiyyah:
الأَصْلُ فِي الأَمْرِ يَقْتَضِي التَّكْرَارَ
“Prinsip dalam perintah itu mengharuskan pelaksanaan secara berulang”
Sementara menurut pendapat hanafiyyah, hanabilah, dan Zahiriyyah:
الأَصْلُ فِي الأَمْرِ لاَ يَقْتَضِي التَّكْرَارَ
“Prinsip dalam perintah itu tidak mengharuskan pelaksanaan secara berulang”
Perbedaan ini berimplikasi pada perbedaan dalam istinbath
(penetapan) hukum, misalnya dalam masalah tayamum. Yang berpendapat
يَقْتَضِي التَّكْرَارَ (mengharuskan pelaksanaan secara berulang)
beristinbath:
- kewajiban tayamum harus dikerjakan setiap kali hendak shalat sekalipun belum berhadas.
- Tidak boleh menjama’ shalat dengan satu tayamum.
Sedangkan
yang berpendapat لاَ يَقْتَضِي التَّكْرَارَ (tidak mengharuskan
pelaksanaan secara berulang) beristinbath: cukup dengan satu kali
tayamum untuk beberapa kali shalat selama tidak berhadas.
D. penggunaan makna hakiki dan majazi (kiasan).
Apakah penggunaan kedua arti (hakiki dan majazi) dalam satu ucapan dibolehkan atau tidak misalnya kalimat:
أقتل الأسد
(uqtulul
asad), diartikan suatu perintah membunuh singa (arti hakiki) sekaligus
dapat diartikan pula membunuh seorang pemberani (arti majazi) dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat.
- Imam syafi’I dan sebagian ulama mutakallimun membolehkan kerena tidak ada penghalang untuk hal itu.
- hanafiyah dan jumhur ulama mutakallimun melarang penggunaan dua arti sekaligus dalam satu ucapan, karena penggunaan keduanya sekaligus itu bertentangan dengan ketentuan bahwa pemakaian lafaz menurut arti hakiki tidak memerlukan qarinah (indikasi/keterangan lain) sedangkan menurut arti majazi memerlukan qarinah.
- Dilalah lafal ‘ala Al-ma’na (penunjukan lafal terhadap makna)
Dalam hal ini (penunjukan makna) ulama berbeda pendapat.
- hanafiah membagi lafal kepada empat macam; ibarah, isyarah, dilalah/nash dan iqhtidha.
- Syafi’iyyah membagi lafa kepada dua macam;
- Dilalah manzhum, disebut juga mantuq dan sharih. Dilalah ghair manzhum. Dilalah ini terbagi kepada dua macam:
- Maqsudal ma’na: meliputi Dilalah Iqtidha, Isyarah / Iima’, dan Mafhum. Dilalah mafhum terbagi kepada dua: Muwafaqah (fahwal khithab dan lahnah khithab) dan Mukhalafah (shifat, syarat, illat, hashr, ghayah, adad, dan laqab).
- Maqsudal ma’na
Faktor-faktor tersebut bersifat manhajiyyah
(metodologis)—yang seringkali tidak mudah dipahami oleh kita sebagai
orang awam—yang secara otomatis akan berdampak pada perbedaan dalam masail furu’iyyah (fiqih). Di samping itu pada gilirannya melahirkan thariqah (aliran) pemikiran atau perspektif di bidang ushul fiqh. Secara umum terbagi menjadi dua thariqah, yaitu aliran syafi’iyyah/mutakallimun (jumhur) dan Hanafiyah.
Sumber: Ust Amin Mukhtar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar