Pada bulam Muharram terdapat satu hari yang dianggap istimewa oleh
berbagai kalangan, baik umat Islam maupun di luar umat Islam. Hari yang
dimaksud adalah hari Asyura, sebutan untuk tanggal 10 bulan Muharram.
Pengertian Asyura & SejarahnyaImam Al-Qurthubi berkata:
عَاشُوْرَاءُ مَعْدُوْلٌ عَنْ عَاشِرَةٍ
لِلْمُبَالَغَةِ وَالتَّعْظِيْمِ وَهُوَ فِي الأَصْلِ صِفَةٌ لِلَّيْلَةِ
الْعَاشِرَةِ لأَنَّهُ مَأْخُوْذٌ مِنَ الْعَشْرِ الَّذِي هُوَ إِسْمُ
الْعَقْدِ وَالْيَوْمُ مُضَافٌ إِلَيْهَا فَإِذَا قِيْلَ يَوْمُ
عَاشُوْرَاءَ فَكَأَنَّهُ قِيْلَ يَوْمُ اللَّيْلَةِ الْعَاشِرَةِ اَلاَ
إِنَّهُمْ لَمَّا عَدَلُوْا بِهِ عَنِ الصِّفَةِ غَلَبَتْ عَلَيْهِ
الإِسْمِيَّةُ فَاسْتَغْنَوْا عَنِ الْمَوْصُوْفِ فَحَذَفُوْا اللَّيْلَةَ
فَصَارَ هذَا اللَّفْظُ عَلَمًا عَلَى الْيَوْمِ الْعَاشِرِ
“Kata Asyura adalah shigah mubalagah, yaitu dirubah dari kata
‘asyirah yang berfungsi untuk menyangatkan arti (mengandung makna
sangat) dan mengagungkan. Pada asalnya digunakan sebagai sifat malam
ke-10, karena diambil dari kata al-asyr sebagai nama bilangan puluhan,
dan kata yaum disandarkan kepadanya. Bila dikatakan Yaum Asyura
seolah-olah perkataan itu bermakna: Hari malam Asyirah. Ketahuilah,
ketika mereka merubah kata itu dari sifat, dan didominasi oleh isim
(nama), mereka mengangap cukup dengan mausuf (kata yang disifatinya),
lalu membuang kata “al-lail”, sehingga kata itu menjadi nama bagi hari
ke-10.” [1]
Sebagian ulama berpendapat bahwa hari ke-10 bulan Muharram dinamakan
Asyura karena pada hari itu Allah memuliakan 10 Nabi dengan 10
kemuliaan. Para nabi yang dimaksud adalah sebagai berikut: (1) Adam
(diperkirakan hidup pada 5872-4942 SM). Pada hari itu ia dimuliakan oleh
Allah dengan diterima taubatnya; (2) Nuh (diperkirakan hidup pada
3993-3043 SM). Pada hari itu ia dimuliakan oleh Allah dengan
diselamatkannya dari banjir besar dan bahteranya berlabuh di atas bukit
Judi; (3) Ibrahim (diperkirakan hidup pada 1997 -1822 SM). Pada hari itu
ia dilahirkan; (4) Ya’qub (diperkirakan hidup pada 1837 – 1690 SM).
Pada hari itu ia dimuliakan oleh Allah dengan disembuhkannya dari
kebutaan; (5) Yusuf (diperkirakan hidup pada 1754 – 1635 SM). Pada hari
itu ia dimuliakan oleh Allah dengan diselamatkannya dari sumur; (6)
Keenam, Musa (diperkirakan hidup pada 1527 – 1407 SM). Pada hari itu ia
dimuliakan oleh Allah dengan diselamatkannya dari kejaran Fir’aun; (7)
Dawud (diperkirakan hidup pada 1041 – 971 SM). Pada hari itu ia
dimuliakan oleh Allah dengan diterima taubatnya; (8) Yunus (diperkirakan
hidup pada 820 – 750 SM). Pada hari itu ia dimuliakan oleh Allah dengan
diselamatkannya dari perut ikan; (9) Isa (diperkirakan hidup di bumi
pada 1 SM – 32 M). Pada hari itu ia dilahirkan dan diangkat ke langit
dalam keadaan hidup; (10) Muhammad (diperkirakan hidup pada 571 – 632
M). Pada hari itu ia dimuliakan oleh Allah dengan diampuni dosa-dosanya,
baik di masa lalu maupun masa mendatang.
Sementara menurut ulama yang lain, kategori 10 Nabi itu meliputi
Idris, Ayub, dan Sulaiman. Adapun bentuk pengistimewaannya sebagai
berikut: (1) Idris (diperkirakan hidup pada 4533 – 4188 SM). Pada hari
itu ia diangkat ke langit; (2) Ayyub (diperkirakan hidup pada 1540 –
1420 SM). Pada hari itu ia disembuhkan dari penyakitnya; (3) Sulaiman
(diperkirakan hidup pada 989 – 931 SM). Pada hari itu ia dianugerahi
kekuasaan sebagai raja. [2]
Keterangan di atas menunjukkan bahwa dilihat dari aspek kronologi
sikap manusia terhadap Asyura memiliki rentang waktu yang cukup panjang.
Meski demikian, yang akan diuraikan di sini hanya beberapa periode nabi
yang diterangkan di dalam al-Quran dan Sunnah, di mulai pada masa Nabi
Nuh (diperkirakan hidup pada 3993-3043 SM) hingga periode Nabi Muhammad
(570 – 632 M)
Asyura Zaman Nabi Nuh (diperkirakan hidup pada 3993-3043 SM).
Pada zaman ini, Asyura berhubungan erat dengan suatu peristiwa yang
dialami oleh Nabi Nuh As., sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah
Swt. sebagai berikut:
وَقِيلَ يَا أَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَا
سَمَاءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاءُ وَقُضِيَ الْأَمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى
الْجُودِيِّ وَقِيلَ بُعْدًا لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Dan difirmankan: “Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan)
berhentilah,” dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan
bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: “Binasalah
orang-orang yang zalim.” Q.s. Hud:44
Peristiwa berlabuhnya kapal Nabi Nuh di atas bukit Judi terjadi pada hari Asyura sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ، قَالَ: مَرَّ
النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم بِأُنَاسٍ مِنَ الْيَهُودِ قَدْ صَامُوا
يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: …وَهَذَا يَوْمُ اسْتَوَتْ فِيهِ
السَّفِينَةُ عَلَى الْجُودِىِّ، فَصَامَهُ نُوحٌ وَمُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ
تَعَالَى…
Dari Abu Huraerah, ia berkata, “Nabi saw. melewati beberapa orang
Yahudi, sungguh mereka shaum hari Asyura, mereka berkata, ‘…Ini adalah
hari di mana perahu itu (Nuh) berlabuh di atas bukit Judi, lalu Nuh dan
Musa melaksanakan shaum hari itu sebagai rasa syukur kepada Allah…’ HR.
Ahmad. [3]
Kata Imam al-Qurtubi:
إِسْتَوَتْ عَلَيْهِ فِي الْعَاشِرِ مِنَ
الْمُحَرَّمِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَصَامَهُ نُوْحٌ وَأَمَرَ جَمِيْعَ مَنْ
مَعَهُ مِنَ النَّاسِ وَالْوَحْشِ وَالطَّيْرِ وَالدَّوَابِ وَغَيْرِهَا
فَصَامُوْهُ شُكْرًا للهِ تعالى
“Perahu itu (Nuh) berlabuh di atasnya pada 10 Muharram, hari Asyura.
Maka Nabi Nuh melaksanakan shaum (hari itu) dan ia memerintah kepada
semua makhluk yang menyertainya: manusia, binatang liar, burung, dan
binatang ternak, dan lain-lain, lalu mereka melaksanakan saum itu
sebagai rasa syukur kepada Allah.” [4]
Kata Al-Hafizh Ibnu Hajar:
وَحَاصِلُهَا أَنَّ السَّفِيْنَةَ اسْتَوَتْ عَلَى الْجُوْدِيِّ فِيْهِ فَصَامَهُ نُوْحٌ وَمُوْسَى شُكْرًا
“Dan kesimpulannya bahwa perahu itu (Nuh) berlabuh di atas bukit Judi
pada hari itu (10 Muharram), lalu Nuh dan Musa melaksanakan shaum hari
itu sebagai rasa syukur kepada Allah.” [5]
Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa bagi Nabi Nuh hari
Asyura dianggap istimewa karena pada hari itu Allah menyelamatkan beliau
dan kaumnya yang beriman dari banjir besar. Lalu Nabi Nuh melaksanakan
shaum pada hari itu sebagai sebagai rasa syukur kepada Allah.
Adapun posisi bukit judi berhadapan dengan semenanjung Ibnu Umar,
yang sekarang menjadi perbatasan Suriah-Turki, di tepian sebelah timur
sungai Tigris. Bukit Judi ini terlihat jelas dari daerah Ainu Diwar,
Suriah. [6]
Asyura Zaman Nabi Musa (diperkirakan hidup pada 1527 – 1407 SM).
Pada zaman ini, Asyura berhubungan erat dengan suatu peristiwa yang
dialami oleh Nabi Musa As., sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah
Swt. sebagai berikut:
وَإِذْ نَجَّيْنَاكُمْ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ
يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ أَبْنَاءَكُمْ
وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ وَفِي ذَلِكُمْ بَلَاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ
عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Kami selamatkan kamu dari (Fir’aun) dan
pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang
seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan
membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian itu
terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu.” QS. Al-Baqarah:49
Peristiwa di atas terjadi pada hari Asyura sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهمَا
قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ
فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هذَا قَالُوا
هذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ
عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ
فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.
“Dari Ibnu Abbas berkata, Ketika Nabi Saw. tiba di Madinah, beliau
medapati orang-orang Yahudi sedang melaksanakan shaum pada hari Asyura.
Maka beliau bertanya mengenai hal itu, maka mereka berkata, ‘Pada hari
ini Allah Swt. pernah menyelamatkan Nabi Musa dan bani Israil atas
(kejaran) Fir’aun, maka Musa menshauminya.’ Rasulullah Saw. menjawab,
‘Kamilah yang paling berhak dengan Musa.’ Kemudian beliau shaum dan
memerintah para shahabat agar menshauminya.” HR. Al-Bukhari. [7]
Imam al-Bukhari meriwayatkan pula dengan redaksi:
فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ وَهُوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْن فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ
“Maka mereka berkata, ‘Ini adalah hari agung, yaitu hari ini di mana
Allah Swt. pernah menyelamatkan Nabi Musa dan menenggelamkan Fir’aun
beserta tentaranya, maka Musa menshauminya sebagai rasa syukur kepada
Allah.” [8]
فَقَالُوا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي أَظْفَرَ
اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَبَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى فِرْعَوْنَ وَنَحْنُ
نَصُومُهُ تَعْظِيمًا لَهُ
“Maka mereka berkata, ‘Ini adalah hari di mana Allah Swt. pernah
memenangkan Nabi Musa dan bani Israil atas Fir’aun, dan kami
menshauminya karena mengagungkannya’.” [9]
Hadis di atas menunjukkan bahwa bagi orang Yahudi hari Asyura
dianggap istimewa karena pada hari itu Allah menyelamatkan Nabi Musa dan
Bani Israil dari kejaran Fir’aun dan tentaranya. Di mana waktu itu
Fir’aun dan tentaranya mati tenggelam. Lalu Musa melaksanakan shaum pada
hari itu. Dan peristiwa selamatnya Nabi Musa diperingati oleh Yahudi
dengan cara melaksanakan shaum Asyura.
Asyura Zaman Nabi Isa (1 SM – 32 M)
Peristiwa Asyura pada zaman Nabi Isa disebutkan secara tersirat dalam hadis berikut ini:
حِينَ صَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَنَا بِصِيَامِهِ قَالُوا
يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى …
“Di saat Rasulullah Saw. shaum pada hari Asyura dan beliau memerintah
shaum (kepada para sahabat) mereka berkata, “Ya Rasulullah!
Sesungguhnya hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan
Nashrani.” … HR. Muslim, Abu Dawud, al-Baihaqi. [10]
Bagi orang Nashrani hari Asyura dianggap istimewa karena pada hari
itu Nabi Isa melaksanakan shaum, dan Shaum Nabi Isa merupakan kelanjutan
syariat shaum Nabi Musa yang tidak dimansukh oleh syariat Nabi Isa.
Karena itu orang Nashrani pun melaksanakan shaum Asyura. [11]
Asyura Zaman Jahiliyyah (Sejak Nabi Isa diangkat hingga diutus Nabi Muhammad)
Jahiliyah adalah konsep dalam agama Islam yang menunjukkan masa
dimana penduduk Mekah berada dalam ketidaktahuan (kebodohan). Akar
istilah jahiliyyah adalah bentuk kata kerja jahala, yang memiliki arti menjadi bodoh, bodoh, bersikap dengan bodoh atau tidak peduli.
Kemudian dalam syariat Islam memiliki arti “ketidaktahuan akan
petunjuk Ilahi”. Keadaan tersebut merujuk pada situasi bangsa Arab kuno,
yaitu pada masa masyarakat Arab pra-Islam sebelum diutusnya seorang
rasul yang bernama Muhammad. [12]
Oleh Ibnu Abas, masa ini disebut pula masa fatrah selama 434 tahun,
dihitung sejak Nabi Isa diangkat ke langit (sekitar 32 M) hingga masa
diangkatnya Muhammad saw. menjadi Nabi dan Rasul. [13]
Bagi orang Arab Jahiliyyah, Asyura dianggap istimewa karena pada hari
itu diperbarui penutup (kiswah) Ka’bah. Dan untuk melengkapi
pengagungannya mereka melaksanakan shaum pada hari itu. Penjelasan
tentang itu kita peroleh dari hadis berikut ini:
عَن عَائِشَةَ رَضِي الله عَنْهَا قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ
Dari Aisyah, ia berkata, “Hari Asyura adalah waktunya shaum orang-orang Quraisy di zaman jahiliyah.” HR. Al-Bukhari. [14]
Pada masa ini, Nabi Muhamad saw. turut serta menshauminya karena masih mengikuti tradisi jahiliyyah. Aisyah menjelaskan:
وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُهُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ
“Dan Rasulullah saw. menshauminya pada masa jahiliyyah.” HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, Malik, asy-Syafi’I. [15]Adapun latar belakang orang jahiliyyah menghormati Asyura, dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut:
Imam Al-‘Ainiy berkata:
كَانَ يَوْمُ عَاشُوْرَاءَ يَوْمًا تُسْتَرُ فِيْهِ الْكَعْبَةُ وَكَانَتْ تُكْسَى فِي كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ
“Hari Asyura adalah hari ditutupnya Ka’bah. Dan ia ditutup pada setiap tahun satu kali pada hari Asyura.” [16]Syekh Athiyyah Muhamad bin Salim berkata:
وَقُرَيْشٌ كَانَتْ تَصُوْمُ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ، وَتُجَدِّدُ فِيْهِ كِسْوَةَ الْكَعْبَةِ
“Orang-orang Quraisy saum pada hari Asyura dan pada hari itu (pula) mereka memperbarui kiswah Ka’bah.” [17]Dr. Jawwad Ali berkata:
أَنَّ قُرَيْشًا كَانَتْ تُعَظِّمُ هذَا الْيَوْمَ، وَكَانُوْا يَكْسُوْنَ الْكَعْبَةَ فِيْهِ، وَصَوْمُهُ مِنْ تَمَامِ تَعْظِيْمِهِ
“Sesungguhnya orang-orang Quraisy mengagungkan hari ini, dan pada
hari itu mereka menutup ka’bah, dan melaksanakan saum karena melengkapi
pengagungannya.” [18]
Asyura Zaman Nabi Muhamad (570 – 632 M)
Nabi Muhammad saw. hidup di Mekah selama 12 tahun 5 bulan 13 hari, terhitung sejak masa bi’tsah
(pengangkatan Nabi & Rasul) tanggal 17 atau 25 Ramadhan tahun ke-41
dari kelahiran Nabi, yang bertepatan dengan 6 atau 14 Agustus 610 M,
hingga 1 Rabi’ul Awwal tahun ke-54 dari tahun kelahirannya atau tahun 13
kenabian, yang bertepatan dengan 13 September 622 M.
Dari data di atas kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa selama
hidup di Mekah sebagai Nabi & Rasul, beliau telah “mengalami” Asyura
sebanyak 11 kali. Selama periode Mekah ini, beliau telah menyikapi
Asyura dengan melaksanakan shaum.
عَن عَائِشَةَ رَضِي الله عَنْهَا قَالَتْ
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ
Dari Aisyah, ia berkata, “Hari Asyura adalah waktunya shaum
orang-orang Quraisy di zaman jahiliyah dan Rasulullah Saw. pun
menshauminya…” HR. Al-Bukhari. [19]Dalam riwayat lain disebutkan:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّ أَهْلَ
الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَإِنَّ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَامَهُ ، وَالْمُسْلِمُونَ قَبْلَ أَنْ
يُفْرَضَ رَمَضَانُ
Dari Ibnu Umar (ia berkata), “Sesungguhnya kaum jahiliyah melakukan
shaum pada hari Asyura dan sesungguhnya Rasulullah Saw. beserta kaum
muslimin melaksanakan shaum itu sebelum diwajibkannya shaum Ramadhan.”
HR. Al-Baihaqi. [20]
Setelah datang perintah berhijrah kepada Nabi saw., maka beliau
melaksanakan perintah itu dan ditemani oleh Abu Bakar. Imam at-Thabari
dan Ibnu Ishaq menyatakan, “Sebelum sampai di Madinah (waktu itu bernama
Yatsrib), Rasulullah saw. singgah di Quba pada hari Senin 12 Rabi’ul
Awwal tahun 13 kenabian/24 September 622 M waktu Dhuha (sekitar jam
8.00 atau 9.00). Di tempat ini, beliau tinggal di keluarga Amr bin Auf
selama empat hari (hingga hari Kamis 15 Rabi’ul Awwal/27 September 622
M. dan membangun mesjid pertama (yang disebut mesjid Quba). Pada hari
Jumat 16 Rabi’ul Awwal/28 September 622 M, beliau berangkat menuju
Madinah. Di tengah perjalanan, ketika beliau berada di Bathni wadin
(lembah di sekitar Madinah) milik keluarga Banu Salim bin ‘Auf, datang
kewajiban Jumat (dengan turunnya ayat 9 surat al-Jum’ah). Maka Nabi
salat Jumat bersama mereka dan khutbah di tempat itu. Inilah salat Jumat
yang pertama di dalam sejarah Islam. Setelah melaksanakan salat Jumat,
Nabi melanjutkan perjalanan menuju Madinah.” [21]
Keterangan tersebut menunjukkan bahwa Nabi tiba di Madinah pada hari
Jumat 16 Rabi’ul Awwal/28 September 622 M. Sedangkan ahli tarikh
lainnya berpendapat hari Senin 12 Rabi’ul Awwal/5 Oktober 621 M, namun
ada pula yang menyatakan hari Jumat 12 Rabi’ul Awwal/24 Maret 622 M.
Terlepas dari perbedaan tanggal dan tahun, baik hijriah maupun
masehi, namun para ahli tarikh semuanya bersepakat bahwa hijrah Nabi
terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal, bukan bulan Muharram (awal Muharram
ketika itu jatuh pada tanggal 15 Juli 622 M).
Memasuki bulan Muharram tahun ke-2 hijriah, Nabi saw. mendapati
orang-orang Yahudi di Madinah melaksanakan shaum pada hari Asyura, maka
beliau bertanya kepada mereka mengenai hal itu, lantas mereka menjawab,
“Pada hari ini Allah Swt. pernah menyelamatkan Nabi Musa dan Bani Israil
atas (kejaran) Fir’aun, maka Musa menshauminya.” Rasulullah Saw.
menjawab, “Kamilah yang paling berhak dengan Musa.” Kemudian beliau
shaum dan memerintah para shahabat agar menshauminya. Demikian
sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari. [22]
Perintah shaum Asyura pada masa awal hijrah itu dipertegas oleh keterangan Abu Musa sebagai berikut:
عَنْ أَبِى مُوسَى – رضى الله عنه – قَالَ
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ
عِيدًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: صُومُوهُ أَنْتُمْ
Dari Abu Musa Ra., ia berkata, “Hari Asyura adalah hari yang
diagungkan oleh orang Yahudi dan dijadikan sebagai hari raya. Maka
Rasulullah saw. bersabda, ‘Shaumlah kalian pada hari itu.” HR. Muslim. [23]
Kemudian Aisyah menjelaskan:
فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ.
Ketika difardhukan shaum Ramadhan, beliau meninggalkannya (tidak
shaum). Beliau bersabda, “Barangsiapa yang hendak shaum, maka shaumlah.
Dan barangsiapa yang hendak berbuka, maka berbukalah.” HR. Al-Bukhari. [24]
Perkataan Aisyah di atas diperkuat oleh keterangan Ibnu Umar sebagai berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ بَعْدَمَا نَزَلَ
صَوْمُ رَمَضَانَ : مَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَهُ.
“Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda—tentang shaum Asyura setelah
turun kewajiban shaum Ramadhan—‘Barangsiapa yang hendak shaum (maka
shaumlah). Dan barangsiapa yang hendak berbuka (maka berbukalah).” HR.
Ibnu Hiban. [25]
Dari berbagai keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada
mulanya—ketika tahun pertama Nabi saw. berada di Madinah—shaum ini
hukumnya wajib. Namun setelah datang kewajiban shaum bulan Ramadan pada
tahun ke-2 hijrah, shaum ini beralih hukumnya menjadi sunat, dan ketika
itu pelaksanaannya hanya satu hari tanggal 10 muharram.
Memasuki masa akhir periode Madinah, ketika para sahabat telah merasa
kurang nyaman melakukan shaum Asyura yang sama persis dilakukan oleh
Yahudi dan Nasrani, Nabi saw. mencanangkan untuk melakukan perbedaan.
Ibnu Abas mengatakan:
لمَاَّ صَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ وَ أَمَرَ بِصَيَامِهِ قَالُوا : يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ
يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ اليَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ : فَإِذَا كَانَ
عَامُ الْمُقْبِلِ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا اليَوْمَ التَّاسِعَ . قَالَ :
فَلَمْ يَأْتِ العَامُ المُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Ketika Rasulullah saw. melakukan Shaum Asyura dan beliau memerintah
(para sahabat) untuk melakukannya. Mereka berkata, ’Wahai Rasulullah,
sesungguhnya itu merupakan hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani’
Beliau menjawab, ’Nanti tahun depan (12 H) insya Allah kita akan
melaksanakan shaum tanggal sembilannya’ Ia berkata, ‘Tetapi tahun depan
itu belum datang Rasulullah saw. telah berpulang keharibaan-Nya (tahun
11 H).”HR. Muslim dan Abu Dawud. [26]
Di dalam riwayat lain, Ibnu Abas mengatakan dengan redaksi :
قاَلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَئِنْ بَقَيْتُ إِلَى قَابِلٍ لأَصُومَنَّ التَّاسِعَ يَعْنِي يَوْمَ عَاشُورَاءَ
Rasulullah saw, telah bersabda, ”Jika aku masih hidup sampai tahun
depan (12 H), niscaya aku akan shaum tanggal sembilannya yaitu hari
Asyura” HR. Ahmad dan Muslim.[27]
Rasululah saw. sendiri tidak berkesempatan melaksanakan shaum tanggal
sembilan Muharam di tahun itu (12 H), tetapi rencana beliau untuk
melaksanakannya membuktikan bahwa shaum di tanggal itu telah
disyariatkan.
Dari keterangan tersebut jelaslah bahwa pada mulanya saum sunat
muharram hanya dilaksanakan satu hari tanggal 10 muharram yang disebut
Asyura. Namun untuk membedai kebiasaan Jahiliyah, Yahudi atau Nasrani
Rasulullah saw. memerintahkan agar kita melakukan shaum sehari
sebelumnya yaitu tanggal sembilan Muharam yang disebut Tasu’a. Sehingga
pelaksanaan saum sunat muharram disyariatkan dua hari tanggal sembilan
dan sepuluh bulan Muharam yang disebut saum Tasu’a-Asyura.
Shaum Muharram Tiga Hari (9-11) Atau 10-11
Sejarah penetapan hukum (Tarikh Tasyri’) shaum Asyura sebagaimana
diterangkan di atas dengan gamblang memperlihatkan kepada kita bagaimana
proses penetapan syariat shaum Asyura, yang semula hanya satu hari
(tanggal 10 Muharram) kemudian berubah di akhir periode kenabian
Muhammad menjadi dua hari (tanggal 9 dan 10 Muharram).
Meski begitu, terdapat sebagian ulama yang berpendapat disunnahkan
shaum Muharram pada tanggal 11 bagi yang tidak sempat shaum tanggal
9-nya. Bahkan sebagian ulama lain menyatakan bahwa disunnahkan shaum
tiga hari sekaligus, yaitu 9, 10 dan 11 Muharram. Jadi, jika tidak
sempat tanggal 9 dan 10, maka bisa memilih tanggal 10 dan 11 untuk
shaum. Benarkah pendapat ini? Hemat kami pendapat ini mengacu kepada
salah satu hadis berikut ini:
صُوْمُوْا يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ وَخَالِفُوْا فِيْهِ اليَهُوْدَ ، صُوْمُوْا قَبْلَهُ يوْمًا وَ بَعْدَهُ يَوْمًا.
“Shaumlah pada hari ‘Asyuraa (10 Muharram), dan berbedalah dengan
orang-orang Yahudi, oleh karena itu shaumlah satu hari sebelumnya (9
Muharram) dan satu hari sesudahnya (11 Muharram).” HR. Ahmad
Pada hadis ini terdapat masalah dari aspek sanad dan matan. Namun
analisa sanad dipandang cukup memadai untuk menunjukkan permasalahan
hadis ini, dengan alasan sebagai berikut:
Hadis di atas diriwayatkan Imam Ahmad melalui jalur periwayatan
Husyaim. Ia menerima dari Ibnu Abi Laila, dari Dawud bin Ali, dari
bapaknya (Ali bin Abdullah bin Abbas), dari kakeknya (Ibnu Abbas).
Hadis di atas tidak dapat dijadikan hujjah adanya shaum tanggal 11
Muharram, karena hadisnya dhaif dengan sebab kedaifan rawi bernama
Muhammad bin Abdurahman Ibnu Abi Laila, sebagaimana dijelaskan para
ulama berikut ini:
Imam Abdurrazaq (w. 211 H) menyatakan:
وَأَمَّا حَدِيْثُ (صُومُوا يَوْمًا
قَبْلَهُ وَ يَوْمًا بَعْدَهُ) فَهذَا رَوَاهُ الإِمَامُ أَحْمَدُ
وَمَدَارُهُ عَلَى مُحَمَّدِ ابْنِ عَبْدِالرَّحْمنِ ابْنِ أَبِيْ لَيْلَى
وَقَدْ قَالَ عَنْهُ الإِمَامُ أَحْمَدُ كَانَ سَيِّءَ الْحِفْظِ
مُضْطَرِبَ الْحَدِيْثِ وَأَيْضًا قَدْ خُوْلِفَ فِي إِسْنَادِهِ
فَالْخَبَرُ مُنْكَرٌ وَلاَيَصِحُّ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
أَنَّهُ رَغِبَ بِصِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ فِي عَاشُوْرَاءَ وَإِنَّمَا
جَاءَتْ فَضِيْلَةُ صِيَامِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ بِأَدِلَّةٍ عَامَّةٍ
لاَتُخْتَصُّ بِشَهْرِ اللهِ الْمُحَرَّمِ . وَكَذلِكَ الْحَدِيْثُ الآخَرُ
(صُومُوا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ يَوْمًا بَعْدَهُ) هذَا الْخَبَرُ
مُنْكَرٌ
“Adapun hadis: ‘Shaumlah satu hari sebelumnya (9 Muharram) dan satu hari sesudahnya (11 Muharram).’
Maka ini riwayat Imam Ahmad, dan jalur periwayatannya berporos pada
Muhammad bin Abdurahman Ibnu Abi Laila, dan sungguh Imam Ahmad telah
mengomentarinya, ‘Dia buruk hapalan, hadisnya goncang.’ Selain itu
terjadi pertentangan dalam sanadnya. Maka hadis itu munkar, dan tidak
shahih bersumber dari Nabi bahwa beliau menganjurkan shaum tiga hari
pada Asyura. Keutamaan shaum tiga hari diriwayatkan berdasarkan
dalil-dalil umum yang tidak dikhususkan pada bulan Muharram. Begitu pula
hadis lain (dengan menggunakan kata aw/atau): ‘‘Shaumlah satu hari sebelumnya atau satu hari sesudahnya.’ Hadis ini munkar.” [28]
Selanjutnya, Imam Abdurrazaq mencantumkan hadis shahih dari Ibnu Abbas, yang menyatakan:
(صُومُوا التَاسِعَ مَعَ العَاشِرِ) وَهذَا هُوَ الْمَحْفُوْظُ
“Shaumlah kalian pada hari yang kesembilan bersama kesepuluh dan.”
Dan (Imam Abdurazaq mengatakan) Inilah yang terpelihara (shahih).” [29]
Sehubungan dengan itu, Imam Asy-Syawkani berkata:
رِوَايَةُ أَحْمَدَ هَذِهِ ضَعِيفَةٌ
مُنْكَرَةٌ مِنْ طَرِيقِ دَاوُدَ بْنِ عَلِيٍّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ
رَوَاهَا عَنْهُ اِبْنُ أَبِي لَيْلَى ، قَالَ : وَقَدْ أَخْرَجَهُ
بِمِثْلِهِ الْبَيْهَقِيُّ وَذَكَرَهُ فِي التَّلْخِيصِ وَسَكَتَ عَنْهُ
اِنْتَهَى
“Riwayat Ahmad munkar dari jalur Dawud bin Ali, dari
bapaknya, dari kakeknya, diriwayatkan dari Dawud bin Ali oleh Ibnu Abu
Laila.” Ia berkata pula, “Hadis semisal diriwayatkan pula oleh
Al-Baihaqi dan menyebutkannya dalam kitab At-Talkhis, dan ia tidak
berkomentar apapun terhadapnya.”[30]
Hadis ini dinilai dhaif pula oleh Imam Adz-Dzahabi[31], Al-Haitsami[32], Imam Abdurrauf Al-Munawi,[33] dan Syekh Al-Albani. [34]
Dengan demikian, mengamalkan shaum Muharram sebanyak tiga hari
(tanggal 9, 10, 11) atau tanggal 10 dan 11 Muharram hukumnya menyalahi
Sunnah Nabi saw., bahkan dinilai bid’ah oleh sebagian ulama.
Mudah-mudahan apa yang dikemukakan ini menjadikan motifasi untuk
melaksanakan sunnah Nabi Saw., sehingga dapat melaksanakannya sesuai
dengan ketentuan yang semestinya.
Catatan:
1 Muharram 1438 H jatuh pada hari Senin 3 oktober 2016. 9-10 Muharram
tahun ini jatuh pada hari Selasa-Rabu, bertepatan dengan tanggal 11-12
Oktober 2016 M.
By Amin Muchtar, sigabah.com/beta