Kelima, waktu membagikan Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah ibadah yang mudhayyaq, yaitu tertentu
dan terbatas waktunya. Karena itu membagikan zakat fitrah harus tepat
pada waktunya. Kapan waktu yang tertentu dan terbatas itu? Abu Sa’id
Al-Khudriy berkata:
كُناَّ نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ
“Kami (para sahabat) mengeluarkan zakat fitrah di zaman
Rasulullah saw. pada (waktu) hari raya fitri (berupa) satu shaa’ dari
makanan.” HR. Al-Bukhari. [1]
Keterangan Abu Sa’id di atas menjadi petunjuk bahwa ketentuan waktu
mengeluarkan zakat fitrah yang berlaku di zaman Rasulullah adalah pada yawmal fitri (siang hari raya fitri), bukan pada malam hari.
Perbuatan para sahabat di atas merupakan pengalaman dari instruksi Rasulullah, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Umar :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِزَكَاةِ الفِطْرِ قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلىَ الصَّلاَةِ
“Rasulullah saw. memerintah dengan zakat fitrah, supaya dilakukan sebelum orang keluar (pergi) ke salat (Ied).” HR. Al-Bukhari. [2]
Dalam riwayat lainnya dengan redaksi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ
خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
bahwa Rasulullah saw. memerintahkan agar membayar zakat fithrah sebelum orang-orang berangkat menunaikan shalat Ied. HR. Muslim, Ahmad, An-Nasai, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Al-Baihaqi, Abd bin Humaid, Ibnul Jarud. [3]
Dalam riwayat lain dengan menggunakan kalimat
أَمَرَ بِإِخْرَاجِ زَكَاةِ الْفِطْرِ
“Memerintahkan agar mengeluarkan zakat fithrah.” HR. Ibnu Khuzaimah dan Ad-Daraquthni.[4]
Selain itu, menggunakan pula kalimat shadaqah al-Fitri:
أَمَرَ بِصَدَقَةِ الْفِطْرِ
“Memerintahkan agar membayar shadaqah fithri.” HR. An-Nasai dan Ibnu Khuzaimah. [5]
Sedangkan dalam riwayat Ad-Daraquthni dengan kalimat amara bihaa. [6]
Sedangkan di dalam riwayat At-Tirmidzi digunakan redaksi sebagai berikut :
كَانَ يَأْمُرُ بِإِخْرَاجِ الزَّكَاةِ قَبْلَ الْغُدُوِّ لِلصَّلَاةِ يَوْمَ الْفِطْرِ
“Sesungguhnya Rasulullah saw. memerintah untuk mengeluarkan zakat (fitrah) pada hari fitri sebelum pergi salat (hari raya).” HR. At-Tirmidzi. [7]
Dari kedua hadis di atas (Abu Sa’id dan Ibnu Umar), Imam al-Bukhari menetapkan judul bab ash-Shadaqah Qabla al-‘Ied (Zakat Fitrah sebelum Ied). [8] Kata Imam al-‘Aini, “Maksudnya bab tentang penjelasan bahwa zakat fitrah dibagikan sebelum orang-orang pergi ke salat ied.” [9]
Untuk lebih jelasnya, Ibnu Tin menyatakan sebagai berikut :
قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلىَ الصَّلاَةِ أَيْ قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى صَلاَةِ الْعِيْدِ وَبَعْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ
“Perkataan: ‘sebelum orang keluar (pergi) ke salat Ied’ Maksudnya sebelum orang keluar untuk salat Idul Fitri dan setelah salat subuh.“ [10]
Berdasarkan keterangan Ibnu Umar diatas—dengan berbagai bentuk redaksi—maka semakin jelaslah makna yawmal fitri
itu, yakni bukan malam hari dan bukan pula sepanjang hari raya, tapi
sebagiannya saja, yaitu sejak terbit fajar hingga selesai salat hari
raya (Ied) setempat.
Kemudian Ikrimah menegaskan pula, “Seseorang mendahulukan zakatnya
pada “hari raya fitri” di hadapan salatnya, karena Allah telah
berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى
‘Sungguh beruntung orang yang membersihkan (berzakat) dan mengingat Tuhannya, kemudian ia salat’.“ [11]
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, maka ketentuan waktu untuk menyampaikan zakat fitrah kepada para mustahiq
itu adalah dimulai sejak fajar hari raya fitri sampai selesai salat
‘ied setempat. Hal itu bukan hanya di contohkan saja, melainkan
diperintahkan, yang kemudian senantiasa dipraktekkan oleh para sahabat,
baik pada zaman Rasulullah maupun sesudahnya. Ketentuan ini berlaku,
baik bagi perorangan ataupun kelembagaan, seperti Lembaga Amil Zakat.
Yang menjadi permasalahan, apakah ketetapan ini berkaitan dengan suatu ‘illah
(alasan, sebab) tertentu? Sehubungan dengan itu Syekh al-Qardhawi
menyatakan, “hadis yang menerangkan waktu pembagian zakat fitrah itu
bersifat temporer atau situasional, artinya ketentuan tersebut hanya
berlaku bagi anggota masyarakat di masa itu, mengingat sedikitnya jumlah
anggota masyarakat dimasa itu, sementara mereka saling mengenal satu
sama lain, dan karena itu pula dengan mudah dapat mengetahui siapa-siapa
yang memerlukan zakat fitrah tersebut. Jadi, tidak ada problem apapun
yang berkaitan dengan sempitnya waktu untuk itu.” [12]
Dalam hal ini, penulis tidak sependapat dengan pemikiran Syekh
al-Qardhawi di atas mengingat tidak adanya dalil dari seorang sahabat
pun, setelah Rasulullah saw. wafat, yang menetapkan perubahan waktu
tersebut (setelah shubuh), sekalipun situasi dan kondisinya telah
berubah.
Ada sementara pihak yang berpendapat bahwa mengeluarkan zakat fitrah
boleh dilakukan pada malam hari setelah maghrib sebelum shubuh di hari
fitri, bahkan sehari atau dua hari sebelum hari raya.
Pendapat itu didasarkan riwayat sebagai berikut:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِي اللَّه عَنْهمَا
يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ
الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
“Dan Ibnu Umar menyerahkan zakat fitrah kepada mereka yang
menerimannya, dan mereka menyerahkannya sehari atau dua hari sebelum
hari raya.“ HR. Al-Bukhari. [13]
Dalam riwayat lain dengan redaksi:
فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُؤَدِّيهَا قَبْلَ ذَلِكَ بِالْيَوْمِ وَالْيَوْمَيْنِ
“Ibnu Umar menunaikannya sehari atau dua hari sebelum itu.” HR. Abu Dawud. [14]
وَأَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يُؤَدِّي قَبْلَ ذَلِكَ بِيَوْمٍ وَيَوْمَيْنِ
“Dan bahwa Abdullah bin Umar menunaikannya sehari atau dua hari sebelum itu.” HR. Al-Baihaqi dan Ibnu Hibban. [15]
Hemat kami, riwayat ini tidak dapat dijadikan dalil tentang kebolehan
mengeluarkan zakat fitrah pada malam hari setelah maghrib sebelum
shubuh di hari fitri, apalagi sehari atau dua hari sebelum hari raya,
dengan pertimbangan bahwa riwayat ini belum menerangkan secara jelas,
kepada siapa zakat itu diserahkan, apakah membagikan langsung kepada
mustahiq atau menitipkannya kepada ‘amil?
Berdasarkan riwayat-riwayat lain, maka dapat dipastikan bahwa Ibnu
Umar menyerahkan zakat sehari atau dua hari sebelum hari raya itu bukan
membagikannya kepada mustahiq, namun menitipkannya kepada ‘amil. Adapun
riwayat itu sebagai berikut :
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ
عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِي تُجْمَعُ
عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ
“Dari Nafi, sesungguhnya Ibnu Umar mengirimkan zakat fitrahnya kepada orang yang mengumpulkan zakat (jami’ zakat) dua hari atau tiga hari sebelum iedul fitri.” HR. Malik, Asy-Syafi’i, Al-Baihaqi. [16]
Bahkan lebih di tegaskan lagi di dalam riwayat Ibnu Khuzaemah, melalui jalan Abu Harits, dari Ayyub, ia berkata:
قُلْتُ : مَتَى كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي
الصَّاعَ ؟ قَالَ : إِذَا قَعَدَ الْعَامِلُ ، قُلْتُ : مَتَى كَانَ
الْعَامِلُ يَقْعُدُ ؟ قَالَ : قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
“Aku bertanya (kepada Nafi), ‘Kapan Ibnu Umar menyerahkan zakat fitrah sebesar 1 shaa’?’ Ia (Nafi) menjawab, ‘Apabila amil zakat telah ada (dibentuk).‘ Aku bertanya lagi, ‘Kapan amil itu di bentuk?’ Ia menjawab, ‘Satu hari atau dua hari lagi menjelang idul fitri’.“ HR. Ibnu Khuzaimah. [17]
Oleh karena itu, Abu Abdullah (Imam Al-Bukhari) menegaskan dalam
naskah As-Shaghani bahwa “mereka memberikan zakat fitrah (sebelum hari
raya) untuk dikumpulkan (lil jam’i) bukan kepada fakir-miskin (laa lil fuqaaraa`).”[18]
Berdasarkan keterangan diatas, maka sehari, dua hari, atau tiga hari
sebelum hari raya itu bukan waktu untuk membagikan kepada para mustahiq,
tapi kepada jami zakat/panitia pengumpulan ZIS (Zakat, Infaq, Shadaqah)
sebagai amanat untuk di bagikan kepada para mustahiq, nanti pada
waktunya. Hal ini sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Abu Sa’id
beserta para sahabat lainnya.
Dengan demikian, maka dapat kita simpulkan bahwa ketentuan waktu
mengeluarkan zakat fitrah—setelah salat subuh hingga selesai salat ied
setempat—adalah ketentuan yang berlaku secara umum, tidak dibatasi oleh
sebab keadaan situasi dan kondisi suatu daerah tertentu.
Renungan: Ketentuan Waktu Tidak Membatasi Teknis Operasional
Kita memaklumi bahwa di masa sahabat, lingkup masyarakat kian meluas,
tempat-tempat kediaman makin berjauhan dengan penghuni yang makin
banyak. Situasi dan kondisi masyarakat yang seperti ini tidak di jadikan
sebab atau alasan oleh mereka untuk mengubah ketentuan waktu
mengeluarkan zakat fitrah yang telah di gariskan oleh Rasulullah saw.,
tapi justru keadaan ini menjadi pendorong bagi mereka untuk mengatur
langkah serta menyusun strategi yang sedemikian rupa sehingga zakat
fitrah yang diamanatkan itu dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Berdasarkan pengetahuan mendalam para sahabat akan hikmah ajaran
agama, maka instruksi Rasulullah dalam masalah ini tidak hanya dipahami
sebagai syarat maqbul (diterima) dan tidaknya zakat tersebut, tapi lebih
jauh dari itu mereka pun menangkap isyarat dari perintah tersebut
tentang teknis pelaksanaan agar diperhatikan dan dipikirkan secara
matang, sehingga dalam waktu yang sudah ditentukan zakat fitrah tersebut
dapat ditunaikan.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat di zaman Ibnu
Umar berdasarkan riwayat diatas, mereka (para amil) dibentuk atau mulai
melaksanakan tugasnya adalah dua atau tiga hari sebelum hari raya.
Berarti waktu sebanyak itu dianggap cukup atau memungkinkan bagi mereka
untuk bekerja, yaitu mengurus, menagih, dan membagikan zakat kepada para
mustahiq sesuai dengan lingkup teritorial ketika itu.
Berdasarkan petunjuk diatas, maka jelaslah bagi kita bahwa para
sahabat tidak mengkondisikan hukum syara’ (ketentuan waktu) sesuai
dengan keadaan ruang lingkup masyarakat, tetapi mereka lebih
menitik-beratkan perhatiannya pada pengefektifan fungsi serta tugas
‘amilin agar zakat fitrah tersebut dapat diterima oleh para mustahiq
dalam lingkup masyarakat yang kian meluas, sesuai dengan ketentuan waktu
yang telah digariskan oleh Rasulullah saw. Wallahu A’lam.
[1] Lihat, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439.
[2] Lihat, Shahih Al-Bukhari, II:679, No. hadis 1438.
[3] Lihat, HR. Muslim, Shahih Muslim, II: 679, No. hadis 986; Ahmad, Musnad Ahmad, II:67, No. hadis 5345; II: 154, No. hadis 6429; An-Nasai, As-Sunan Al-Kubra, II:30, No. hadis 2300; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:111, No. 1610; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 91, No. 2422; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV: 174, No. hadis 7526; Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid, I:249, No. 780; Ibnul Jarud, Al-Muntaqaa, I:98, No. hadis 359.
[4] Lihat, HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 90, No. 2421; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:152, No. hadis 66.
[5] Lihat, HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, V:54, No. 2521; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:91, No. hadis 2423.
[6] Lihat, Sunan Ad-Daraquthni, II:153, No. hadis 69.
[7] Lihat, Sunan At-Tirmidzi, III:62, No. hadis 677
[8] Lihat, Shahih Al-Bukhari, II:679, No. hadis 1438.
[9] Lihat, Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, IX: 112.
[10] Lihat, Fath al-Bari, III : 439.
[11] Ibid.
[12] Lihat, Bagaimana Memahami Hadis Nabi, 1993, hlm. 144.
[13] Lihat, Shahih Al-Bukhari, II: 549, No. hadis 1440.
[14] Lihat, Sunan Abu Dawud, II: 111, No. 1610.
[15] Lihat, HR. Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV: 174, No. 7527; Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, VIII: 94, No. hadis 3299.
[16] Lihat, HR. Malik, Al-Muwatha, I:285; No. 629; Asy-Syafi’i, Musnad Asy-Syafi’I, I:230; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV: 112, No. 7161.
[17] Lihat, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:82, No. hadis 23.
[18] Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, III : 440-441.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar