Pages

Selasa, 14 Juli 2015

HAKIKAT SILATURAHMI


Apa yang terbayang dalam pikiran kita ketika mendengar kata silaturrahmi? Di Indonesia sering kita temui kata silaturahmi sebagai kata yangg menggambarkan aktivitas hubungan antar sesama manusia. Aktivitas yg dimaksud adalah aktivitas saling mempererat tali persaudaraan dan kekerabatan. Lebih sempit lagi aktivitas itu dimaknai saling berkunjung dan berjabat tangan. Benarkah demikian? Apabila sikap ini dianggap salah satu bentuk dari silaturrahmi, hal itu tidak salah. Tapi bila silaturrahmi diartikan demikian, maka jelas tidak tepat.
Kata ini kian populer menjelang dan selama bulan Syawal, saat idul Fitri, meski kata ini juga sering digunakan dalam hal-hal lainnya. Sehubungan dengan itu untuk memahami hakikat dari silaturrahmi kita kaji kembali keterangan Alquran dan sunah.

Dasar Pensyariatan Silaturrahmi
Silaturahim/Silaturrahmi termasuk akhlak yang mulia. Dianjurkan dan diseru oleh Islam. Diperingatkan untuk tidak memutuskannya. Allah Swt. telah menyeru hambanya berkaitan dengan menyambung tali silaturahmi dalam sembilan belas ayat di Alquran, antara lain:
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. Q.s. Ar-Ra’du:21
Imam al-Qurthubi menerangkan bahwa ayat ini menjadi dalil diperintahkannya mengadakan hubungan silaturahim.
Demikian pula seruan Rasululullah saw. dalam hadis-hadisnya, antara lain:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ الله صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ وَاليَومِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ باللهِ وَاليَومِ الآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَومِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ مُتَّفَقٌ عَلَيهِ
Dari Abu Huraerah, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia menghormati tamunya. Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia hubungkan silaturahmi. Barangsiapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam” Muttafaq ‘Alaih, Shahih al-Bukhari, V:2376, No. 6111; Shahih Muslim, I:68, No. 47

Pengertian Silaturahmi atau Silaturahim
Masyarakat Indonesia “tampaknya” sangatlah kreatif, di Arab menggunakan silaturahim, Indonesia memudahkan dengan silaturahmi. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan, Silaturahmi artinya tali persahabatan (persaudaraan). (hal. 1204)
Sedangkan dalam bahasa Arab, shilaturahmi berasal dari dua kata, yakni Shilah dan Rahm. Adapun shilaturahim dari kata shilah dan rahim. Kata shilah dapat dimaknai dari dua aspek:

Pertama, alat. Maknanya adalah
مَا يُوْصَلُ بِهِ الشَّيْئُ
“Sesuatu yang menghubungkan sesuatu.”

Kedua, aksi atau perbuatan. Maknanya adalah
فِعْلُ مَا يُعَدُّ بِهِ الإِنْسَانُ وَاصِلاً
“Membuat/melakukan sesuatu yang denganya manusia dianggap tetap berhubungan.”

Sedangkan secara istilah, kata Ibnu Hajar al-Haitsami:
الصِّلَةُ إِيْصَالُ نَوْعٍ مِنَ الإِحْسَانِ
“As-Shilah adalah menghubungkan/menyampaikan suatu jenis kebaikan.” Lihat, al-Zawajir, II:65, al-Bahr ar-Raiq, VIII:508, Nihayah al-Muhtaj, V:419, Mughni al-Muhtaj, II:405

Adapun kata ar-Rahim, ar-Rahm, dan ar-Rihm mempunyai huruf penyusun yang sama (ra-ha-mim). Secara hakikat bahasa memiliki arti yang sama, yaitu:
بَيْتُ مَنْبَتِ الْوَلَدِ وَوِعَاؤُهُ
“Rumah” dan “wadah” tempat pertumbuhan anak”
Dalam Kamus Fiqh (I:145) disebutkan bahwa secara fungsional ar-Rahim adalah tempat pembentukan janin. Dan secara fisikal (anatomi) tempatnya dekat perut.
Sedangkan secara majazi (arti kiasan) maknanya “kerabat”. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Ar-rahim secara umum adalah dimaksudkan untuk para kerabat dekat. Antar mereka terdapat garis nasab , baik berhak mewarisi atau tidak, dan sebagai mahram atau tidak”. (Lihat, Fathul Bari Syarh Shahih al-Bukhari, X:414)
Meskipun demikian, ketika dihubungkan dengan kata shilah, yang populer dalam bahasa Arab adalah shilaturrahim. Sedangkan di Indonesia silaturrahmi. Karena itu, penggunaan ungkapan silaturahmi tidak dapat dikatakan sebagai “kesalahkaprahan”, karena memiliki rujukan dalam bahasa Arab.
Dari berbagai keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Silaturrahim, secara penggunaan bahasa sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Atsir adalah kinayah (kiasan) tentang berbuat baik kepada para kerabat dekat -baik menurut garis keturunan maupun perkawinan- berlemah lembut dan mengasihi mereka serta menjaga keadaan mereka (Lihat, an-Nihayah fi Gharibil Hadits, V:425)

Penjelasan:
Secara bahasa kinayah berarti mengatakan sesuatu untuk menunjukkan arti yang lain. Secara syar’i yang dimaksud dengan kinayah ialah suatu lafal yang tertutup maksudnya oleh lafal itu sendiri, ia tidak dapat dipahami kecuali ada qarinah (petunjuk) yang dapat menjelaskan maksudnya baik maksud tersebut secara hakiki maupun secara majazi. (Lihat, Ushul Fiqh al-Islami, I:309)
Adapun secara istilah syar’I (Islam) silaturahmi pada hakikatnya bukanlah sekedar hubungan nasab, Ibnu Abu Jamrah (w. 695 H) berkata:
صِلَةُ الرَّحِمِ هُوَ إِيْصَالُ مَا أَمْكَنَ مِنَ الْخَيْرِ وَدَفْعُ مَا أَمْكَنَ مِنَ الشَّرِّ بِحَسْبِ الطَّاقَةِ
“Silaturrahmi adalah menyampaikan kebaikan semaksimal mungkin dan menolak kejelekan semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan.” (Lihat, Fathul Bari, X:418)
Dari definisi ini kita mendapatkan ilmu bahwa silaturrahmi itu memiliki makna yang luas dan bentuk yang beragam, di antaranya diterangkan oleh Rasululullah saw. sebagai berikut:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ: إِذَا لَقِيْتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ, وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْهُ وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللهَ فَشَمِّتْهُ وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ
“Dari Abu Hurairah, ia berkata, ‘Rasulullah saw. bersabda, ‘Hak muslim atas muslim itu enam; Apabila bertemu dia hendaklah beri salam kepadanya, apabila ia mengundangmu hendaklah penuhi dia, apabila ia bersin lalu mengucapkan alhamdulillah hendaklah kamu doakan dia, apabila sakit hendaklah kamu jenguk dia, dan apabila ia meninggal hendaklah kamu mengantar jenazahnya.” H.R. Muslim, Shahih Muslim, IV:1705, No. 2162
Hadis di atas menjelaskan beberapa bentuk silaturrahmi:
  1. mengucapkan salam kepada sesama muslim apabila berjumpa dan berpisah
  2. memenuhi undangan ketika diundang oleh orang lain
  3. mendoakan orang bersin bila ia mengucapkan alhamdulillah
  4. menjenguk orang yang sakit
  5. mengantar jenazah orang mukmin yang meninggal
Penjabaran silaturrahmi dalam bentuk saling mendoakan ketika bersin dijelaskan dalam hadis lain sebagai berikut:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:إِذَا عَطَسَ أَحَدُكُمْ فَلْيَقُلْ: أَلْحَمْدُ للهِ وَلْيَقُلْ لَهُ أَخُوْهُ: يَرْحَمُكَ اللهُ فَإِذَا قَالَ لَهُ: يَرْحَمُكَ اللهُ فَلْيَقُلْ لَهُ: يَهْدِيْكُمُ اللهُ وَيُصْلِحُ بَالَكُمْ
Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw. beliau bersabda, ‘Apabila salah seorang di antara kamu bersin, maka ucapkanlah: al-hamdulillah (segala puji bagi Allah). Dan hendaklah saudaranya mengucapkan: yarhamukallah (semoga Allah merahmatimu). Maka hendaklah dia (orang yang bersin) mengucapkan: Yahdikumullah wayuslihu balakum (semoga Allah memberi petunjuk kepadamu dan membereskan urusanmu).” H.R. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, V:2298, No. 5870; Ahmad, Musnad Ahmad, I:120, No. 973
Demikian pula termasuk bentuk silatarurahmi adalah saling tolong-menolong dalam kebaikan
عَنْ اِبْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مِنْ اسْتَعَاذَكُمْ بِاَللَّهِ فَأَعِيذُوهُ وَمَنْ سَأَلَكُمْ بِاَللَّهِ فَأَعْطُوهُ وَمَنْ أَتَى إِلَيْكُمْ مَعْرُوفًا فَكَافِئُوهُ فَإِنْ لَمْ تَجِدُوا فَادْعُوا لَهُ   أَخْرَجَهُ اَلْبَيْهَقِيُّ
Nabi bersabda, “Siapa yang meminta perlindungan kepadamu dengan (nama) Allah, hendaklah kamu melindunginya. Dan siapa yang meminta sesuatu kepadamu dengan (nama) Allah, hendaklah kamu memberinya. Dan siapa yang berbuat suatu kebaikan kepadamu, hendaklah kamu balas; jika tidak ada,doakanlah dia.” H.r. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, IV:328, No. 5109; Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:199, No. 7679; Abu Dawud ath-Thayalisi, Musnad ath-Thayalisi, I:257, No. 1895; Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, VIII:199, No. 3408
Fadhilah (khasiat/efek) Silaturahmi
Di dalam hadis diterangkan bentuk fadhilah (khasiat/efek posistif) dari Silaturahmi, sebagai berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ عَلَيْهِ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ
Dari Abu Huraerah, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Barangsiapa ingin diluaskan rezekinya dan dimakmurkan usianya, hendaklah ia bersilaturrahmi’.” H.r. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, V:2232, No. 5640; Muslim, Shahih Muslim, IV:1982, No. 2557

Penjelasan:

Makna diluaskan rizkinya

Rizqi bukan hanya berbentuk harta, tapi meliputi pula ilmu dan kehormatan. Arti diluaskan rizqi itu tidak selalu berarti bertambah nominal hartanya, tetapi bisa pula bertambah peluangnya, semakin bertambah relasinya, semakin luas lahannya.

Makna dipanjangkan umurnya
Tidak berarti umur hidupnya jadi panjang, tetapi banyak berkah didalam umurnya dengan sebab taufiq untuk melaksanakan ketaatan dan bermanfaat di akhirat, sehingga terus dikenang dan didoakan oleh setiap orang yang masih hidup walaupun dia sudah meninggal. Intinya sebagaimana dalam hadis Nabi: Apabila seseorang mati terputus segala amalnya kecuali dari 3 perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, anak shaleh yang mendoakannya.
Dalam hadis lain diterangkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَعَلَّمُوا مِنْ أَنْسَابِكُمْ مَا تَصِلُونَ بِهِ أَرْحَامَكُمْ فَإِنَّ صِلَةَ الرَّحِمِ مَحَبَّةٌ فِي الْأَهْلِ مَثْرَاةٌ فِي الْمَالِ مَنْسَأَةٌ فِي الْأَثَرِ
Dari Abu Huraerah, dari Nabi saw., beliau bersabda, “Pelajarilah tentang nasab-nasab kalian sehingga kalian bisa menyambung silaturrahim. Karena sesungguhnya silaturrahim adalah kecintaan terhadap keluarga, penyebab banyak harta dan bertambahnya usia.” H.r. at-Tirmidzi, Sunan at-Tirmidzi, IV:351, No. 1979; Ahmad, Musnad Ahmad, II:374, No. 8855; Al-Hakim, al-Mustadrak ‘ala ash-Shahihain, IV:178, No. 7284, dengan sedikit perbedaan redaksi, dan redaksi di atas riwayat at-Tirmidzi.
Kata at-Tirmidzi:
مَعْنَى قَوْلِهِ مَنْسَأَةٌ فِي الْأَثَرِ يَعْنِي بِهِ الزِّيَادَةَ فِي الْعُمُرِ
“Sabdanya: ‘Mansa’ah fi al-Atsar bermakna bertambahnya usia.” (Lihat, Sunan at-Tirmidzi, IV:351)
Sementara efek negative bagi yang tidak bersilaturrahim, disabdakan Nabi saw. sebagai berikut:
لَا يَدْخُلُ اَلْجَنَّةَ قَاطِعٌ يَعْنِي: قَاطِعَ رَحِمٍ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
“Tidak akan masuk surga seorang pemutus, yakni pemutus rahim.” Muttafaq ‘Alaih
 
Kesimpulan Memaknai silaturahim secara benar, membutuhkan kesungguhan tekad dan bukti amal. Kita tidak hanya merekayasa gerak-gerik tubuh, tetapi dituntut menata hati agar memiliki kekuatan untuk berbuat lebih bermutu. Sikap mental yang harus dilatih agar punya kemampuan silaturahim secara utuh.

MULIAKAN DIRI DENGAN ZAKAT FITRI (Bagian ke-6 Tamat)


Kelima, waktu membagikan Zakat Fitrah

Zakat fitrah adalah ibadah yang mudhayyaq, yaitu tertentu dan terbatas waktunya. Karena itu membagikan zakat fitrah harus tepat pada waktunya. Kapan waktu yang tertentu dan terbatas itu? Abu Sa’id Al-Khudriy berkata:
كُناَّ نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ
“Kami (para sahabat) mengeluarkan zakat fitrah di zaman Rasulullah saw. pada (waktu) hari raya fitri (berupa) satu shaa’ dari makanan.” HR. Al-Bukhari. [1]
Keterangan Abu Sa’id di atas menjadi petunjuk bahwa ketentuan waktu mengeluarkan zakat fitrah yang berlaku di zaman Rasulullah adalah pada yawmal fitri (siang hari raya fitri), bukan pada malam hari.
Perbuatan para sahabat di atas merupakan pengalaman dari instruksi Rasulullah, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Umar :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِزَكَاةِ الفِطْرِ قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلىَ الصَّلاَةِ
“Rasulullah saw. memerintah dengan zakat fitrah, supaya dilakukan sebelum orang keluar (pergi) ke salat (Ied).” HR. Al-Bukhari. [2]
Dalam riwayat lainnya dengan redaksi:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلَاةِ
bahwa Rasulullah saw. memerintahkan agar membayar zakat fithrah sebelum orang-orang berangkat menunaikan shalat Ied. HR. Muslim, Ahmad, An-Nasai, Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, Al-Baihaqi, Abd bin Humaid, Ibnul Jarud. [3]
Dalam riwayat lain dengan menggunakan kalimat
أَمَرَ بِإِخْرَاجِ زَكَاةِ الْفِطْرِ
Memerintahkan agar mengeluarkan zakat fithrah.” HR. Ibnu Khuzaimah dan Ad-Daraquthni.[4]
Selain itu, menggunakan pula kalimat shadaqah al-Fitri:
أَمَرَ بِصَدَقَةِ الْفِطْرِ
“Memerintahkan agar membayar shadaqah fithri.” HR. An-Nasai dan Ibnu Khuzaimah. [5]
Sedangkan dalam riwayat Ad-Daraquthni dengan kalimat amara bihaa. [6]
Sedangkan di dalam riwayat At-Tirmidzi digunakan redaksi sebagai berikut :
كَانَ يَأْمُرُ بِإِخْرَاجِ الزَّكَاةِ قَبْلَ الْغُدُوِّ لِلصَّلَاةِ يَوْمَ الْفِطْرِ
“Sesungguhnya Rasulullah saw. memerintah untuk mengeluarkan zakat (fitrah) pada hari fitri sebelum pergi salat (hari raya).” HR. At-Tirmidzi. [7]
Dari kedua hadis di atas (Abu Sa’id dan Ibnu Umar), Imam al-Bukhari menetapkan judul bab ash-Shadaqah Qabla al-‘Ied (Zakat Fitrah sebelum Ied). [8] Kata Imam al-‘Aini, “Maksudnya bab tentang penjelasan bahwa zakat fitrah dibagikan sebelum orang-orang pergi ke salat ied.” [9]
Untuk lebih jelasnya, Ibnu Tin menyatakan sebagai berikut :
قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلىَ الصَّلاَةِ أَيْ قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاسِ إِلَى صَلاَةِ الْعِيْدِ وَبَعْدَ صَلاَةِ الْفَجْرِ
“Perkataan: ‘sebelum orang keluar (pergi) ke salat Ied’ Maksudnya sebelum orang keluar untuk salat Idul Fitri dan setelah salat subuh. [10]
Berdasarkan keterangan Ibnu Umar diatas—dengan berbagai bentuk redaksi—maka semakin jelaslah makna yawmal fitri itu, yakni bukan malam hari dan bukan pula sepanjang hari raya, tapi sebagiannya saja, yaitu sejak terbit fajar hingga selesai salat hari raya (Ied) setempat.
Kemudian Ikrimah menegaskan pula, “Seseorang mendahulukan zakatnya pada “hari raya fitri” di hadapan salatnya, karena Allah telah berfirman:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى
‘Sungguh beruntung orang yang membersihkan (berzakat) dan mengingat Tuhannya, kemudian ia salat’. [11]
Berdasarkan keterangan-keterangan di atas, maka ketentuan waktu untuk menyampaikan zakat fitrah kepada para mustahiq itu adalah dimulai sejak fajar hari raya fitri sampai selesai salat ‘ied setempat. Hal itu bukan hanya di contohkan saja, melainkan diperintahkan, yang kemudian senantiasa dipraktekkan oleh para sahabat, baik pada zaman Rasulullah maupun sesudahnya. Ketentuan ini berlaku, baik bagi perorangan ataupun kelembagaan, seperti Lembaga Amil Zakat.
Yang menjadi permasalahan, apakah ketetapan ini berkaitan dengan suatu ‘illah (alasan, sebab) tertentu? Sehubungan dengan itu Syekh al-Qardhawi menyatakan, “hadis yang menerangkan waktu pembagian zakat fitrah itu bersifat temporer atau situasional, artinya ketentuan tersebut hanya berlaku bagi anggota masyarakat di masa itu, mengingat sedikitnya jumlah anggota masyarakat dimasa itu, sementara mereka saling mengenal satu sama lain, dan karena itu pula dengan mudah dapat mengetahui siapa-siapa yang memerlukan zakat fitrah tersebut. Jadi, tidak ada problem apapun yang berkaitan dengan sempitnya waktu untuk itu.” [12]
Dalam hal ini, penulis tidak sependapat dengan pemikiran Syekh al-Qardhawi di atas mengingat tidak adanya dalil dari seorang sahabat pun, setelah Rasulullah saw. wafat, yang menetapkan perubahan waktu tersebut (setelah shubuh), sekalipun situasi dan kondisinya telah berubah.
Ada sementara pihak yang berpendapat bahwa mengeluarkan zakat fitrah boleh dilakukan pada malam hari setelah maghrib sebelum shubuh di hari fitri, bahkan sehari atau dua hari sebelum hari raya.
Pendapat itu didasarkan riwayat sebagai berikut:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِي اللَّه عَنْهمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
“Dan Ibnu Umar menyerahkan zakat fitrah kepada mereka yang menerimannya, dan mereka menyerahkannya sehari atau dua hari sebelum hari raya. HR. Al-Bukhari. [13]
Dalam riwayat lain dengan redaksi:
فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يُؤَدِّيهَا قَبْلَ ذَلِكَ بِالْيَوْمِ وَالْيَوْمَيْنِ
“Ibnu Umar menunaikannya sehari atau dua hari sebelum itu.” HR. Abu Dawud. [14]
وَأَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يُؤَدِّي قَبْلَ ذَلِكَ بِيَوْمٍ وَيَوْمَيْنِ
“Dan bahwa Abdullah bin Umar menunaikannya sehari atau dua hari sebelum itu.” HR. Al-Baihaqi dan Ibnu Hibban. [15]
Hemat kami, riwayat ini tidak dapat dijadikan dalil tentang kebolehan mengeluarkan zakat fitrah pada malam hari setelah maghrib sebelum shubuh di hari fitri, apalagi sehari atau dua hari sebelum hari raya, dengan pertimbangan bahwa riwayat ini belum menerangkan secara jelas, kepada siapa zakat itu diserahkan, apakah membagikan langsung kepada mustahiq atau menitipkannya kepada ‘amil?
Berdasarkan riwayat-riwayat lain, maka dapat dipastikan bahwa Ibnu Umar menyerahkan zakat sehari atau dua hari sebelum hari raya itu bukan membagikannya kepada mustahiq, namun menitipkannya kepada ‘amil. Adapun riwayat itu sebagai berikut :
عَنْ نَافِعٍ أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ
“Dari Nafi, sesungguhnya Ibnu Umar mengirimkan zakat fitrahnya kepada orang yang mengumpulkan zakat (jami’ zakat) dua hari atau tiga hari sebelum iedul fitri.” HR. Malik, Asy-Syafi’i, Al-Baihaqi. [16]
Bahkan lebih di tegaskan lagi di dalam riwayat Ibnu Khuzaemah, melalui jalan Abu Harits, dari Ayyub, ia berkata:
قُلْتُ : مَتَى كَانَ ابْنُ عُمَرَ يُعْطِي الصَّاعَ ؟ قَالَ : إِذَا قَعَدَ الْعَامِلُ ، قُلْتُ : مَتَى كَانَ الْعَامِلُ يَقْعُدُ ؟ قَالَ : قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
“Aku bertanya (kepada Nafi), ‘Kapan Ibnu Umar menyerahkan zakat fitrah sebesar 1 shaa’? Ia (Nafi) menjawab, ‘Apabila amil zakat telah ada (dibentuk).‘ Aku bertanya lagi, ‘Kapan amil itu di bentuk?’ Ia menjawab, ‘Satu hari atau dua hari lagi menjelang idul fitri’. HR. Ibnu Khuzaimah. [17]
Oleh karena itu, Abu Abdullah (Imam Al-Bukhari) menegaskan dalam naskah As-Shaghani bahwa “mereka memberikan zakat fitrah (sebelum hari raya) untuk dikumpulkan (lil jam’i) bukan kepada fakir-miskin (laa lil fuqaaraa`).”[18]
Berdasarkan keterangan diatas, maka sehari, dua hari, atau tiga hari sebelum hari raya itu bukan waktu untuk membagikan kepada para mustahiq, tapi kepada jami zakat/panitia pengumpulan ZIS (Zakat, Infaq, Shadaqah) sebagai amanat untuk di bagikan kepada para mustahiq, nanti pada waktunya. Hal ini sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Abu Sa’id beserta para sahabat lainnya.
Dengan demikian, maka dapat kita simpulkan bahwa ketentuan waktu mengeluarkan zakat fitrah—setelah salat subuh hingga selesai salat ied setempat—adalah ketentuan yang berlaku secara umum, tidak dibatasi oleh sebab keadaan situasi dan kondisi suatu daerah tertentu.

Renungan: Ketentuan Waktu Tidak Membatasi Teknis Operasional

Kita memaklumi bahwa di masa sahabat, lingkup masyarakat kian meluas, tempat-tempat kediaman makin berjauhan dengan penghuni yang makin banyak. Situasi dan kondisi masyarakat yang seperti ini tidak di jadikan sebab atau alasan oleh mereka untuk mengubah ketentuan waktu mengeluarkan zakat fitrah yang telah di gariskan oleh Rasulullah saw., tapi justru keadaan ini menjadi pendorong bagi mereka untuk mengatur langkah serta menyusun strategi yang sedemikian rupa sehingga zakat fitrah yang diamanatkan itu dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan pengetahuan mendalam para sahabat akan hikmah ajaran agama, maka instruksi Rasulullah dalam masalah ini tidak hanya dipahami sebagai syarat maqbul (diterima) dan tidaknya zakat tersebut, tapi lebih jauh dari itu mereka pun menangkap isyarat dari perintah tersebut tentang teknis pelaksanaan agar diperhatikan dan dipikirkan secara matang, sehingga dalam waktu yang sudah ditentukan zakat fitrah tersebut dapat ditunaikan.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat di zaman Ibnu Umar berdasarkan riwayat diatas, mereka (para amil) dibentuk atau mulai melaksanakan tugasnya adalah dua atau tiga hari sebelum hari raya. Berarti waktu sebanyak itu dianggap cukup atau memungkinkan bagi mereka untuk bekerja, yaitu mengurus, menagih, dan membagikan zakat kepada para mustahiq sesuai dengan lingkup teritorial ketika itu.
Berdasarkan petunjuk diatas, maka jelaslah bagi kita bahwa para sahabat tidak mengkondisikan hukum syara’ (ketentuan waktu) sesuai dengan keadaan ruang lingkup masyarakat, tetapi mereka lebih menitik-beratkan perhatiannya pada pengefektifan fungsi serta tugas ‘amilin agar zakat fitrah tersebut dapat diterima oleh para mustahiq dalam lingkup masyarakat yang kian meluas, sesuai dengan ketentuan waktu yang telah digariskan oleh Rasulullah saw. Wallahu A’lam.

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

[1] Lihat, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439.
[2] Lihat, Shahih Al-Bukhari, II:679, No. hadis 1438.
[3] Lihat, HR. Muslim, Shahih Muslim, II: 679, No. hadis 986; Ahmad, Musnad Ahmad, II:67, No. hadis 5345; II: 154, No. hadis 6429; An-Nasai, As-Sunan Al-Kubra, II:30, No. hadis 2300; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:111, No. 1610; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 91, No. 2422; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV: 174, No. hadis 7526; Abd bin Humaid, Musnad Abd bin Humaid, I:249, No. 780; Ibnul Jarud, Al-Muntaqaa, I:98, No. hadis 359.
[4] Lihat, HR. Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 90, No. 2421; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:152, No. hadis 66.
[5] Lihat, HR. An-Nasai, Sunan An-Nasai, V:54, No. 2521; Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:91, No. hadis 2423.
[6] Lihat, Sunan Ad-Daraquthni, II:153, No. hadis 69.
[7] Lihat, Sunan At-Tirmidzi, III:62, No. hadis 677
[8] Lihat, Shahih Al-Bukhari, II:679, No. hadis 1438.
[9] Lihat, Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, IX: 112.
[10] Lihat, Fath al-Bari, III : 439.
[11] Ibid.
[12] Lihat, Bagaimana Memahami Hadis Nabi, 1993, hlm. 144.
[13] Lihat, Shahih Al-Bukhari, II: 549, No. hadis 1440.
[14] Lihat, Sunan Abu Dawud, II: 111, No. 1610.
[15] Lihat, HR. Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV: 174, No. 7527; Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, VIII: 94, No. hadis 3299.
[16] Lihat, HR. Malik, Al-Muwatha, I:285; No. 629; Asy-Syafi’i, Musnad Asy-Syafi’I, I:230; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV: 112, No. 7161.
[17] Lihat, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV:82, No. hadis 23.
[18] Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, III : 440-441.

MULIAKAN DIRI DENGAN ZAKAT FITRI (Bagian Ke-5)



Keempat, Masharif (Sasaran) Zakat

Menurut Al-Quran, sasaran zakat atau yang lebih populer dengan sebutan mustahik (yang berhak menerima zakat) ada 8 ashnaf (golongan). Hal itu sebagaimana difirmankan Allah Swt:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنْ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” QS. At-Taubah:60

Menurut Imam al-‘Aini, “Kata shadaqaat pada ayat di atas maksudnya zakat.” [1] Sementara menurut Syekh ‘Athiyyah Muhammad Salim, “Pada ayat di atas menggunakan kata shadaqaat (bentuk jamak), bukan shadaqah (bentuk tunggal) karena dihubungkan kepada ragam harta yang wajib dizakati, seperti zakat ternak, uang simpanan, dan perdagangan.” [2]
Petunjuk Ayat

Bila ayat di atas kita perhatikan secara seksama, setidaknya ada dua aspek yang perlu digaris bawahi; Pertama, kriteria ashnaf itu sendiri. Kedua, gaya bahasa (ushlub) Al-Quran dalam mengungkap sasaran zakat.

Pertama, Kriteria Ashnaf

kriteria ke-8 ashnaf itu dapat diterangkan secara sederhana sebagai berikut:

  1. Fuqara (Fakir)
orang yang tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi kebutuhan hidupannya (primer).

  1. Masakin (Miskin)
orang yang mempunyai harta dan tenaga, tapi tidak mencukupi keperluan hidupnya (primer).

  1. Amilin
orang yang bertugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat.

  1. Mu’allaf
a. orang kafir yang ada harapan masuk Islam
b. orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah

  1. Riqab
orang yang memerdekakan hamba sahaya.

  1. Gharimin
orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan ma’siatan dan tidak sanggup membayarnya.

  1. Sabilillah
orang yang bersungguh-sungguh dalam menegakkan ajaran Islam (memelihara berlakunya kebenaran, kebaikan, dan keutamaan akhlak)

  1. Ibnu Sabil
orang yang kehabisan bekal di tengah perjalanan, walaupun ia orang kaya di negerinya.

Kedua, Ushlub (Gaya Bahasa) Al-Quran
Dalam mengungkap sasaran (masharif) zakat di atas Al-Quran menggunakan ushlub (gaya bahasa) sastra yang bernilai tinggi, yaitu pada ayat di atas terdapat dua huruf yang masing-masing mengiringi empat ashnaf pertama dan empat ashnaf kedua. ashnaf pertama diiringi huruf laam (li) dan ashnaf kedua diiringi huruf fie. Huruf laam mengiringi kalimat:
لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ
al-fuqaraa, al- masaakiin, al-’amiliin, dan al-muallaf quluubuhum, sebagai empat ashnaf pertama.
Sedangkan huruf fie mengiringi kalimat:
وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَاِبْنِ السَّبِيلِ
ar-riqaab, al-ghaarimiin, sabiilillaah, dan ibnus sabiil, sebagai empat ashnaf kedua.
Penempatan kedua huruf tersebut (li dan fii) tentunya bukan suatu kebetulan, tetapi pasti mengandung nuktah (rahasia halus) yang harus dikaji secara mendalam. Dan menurut hemat kami, penempatan kedua huruf tersebut mengandung arti bahwa empat ashnaf pertama adalah para pemilik dari zakat tersebut, dalam arti mereka berhak mendapat bagian untuk dirinya sendiri.
Sementara empat ashnaf kedua mereka berhak menerima zakat untuk kemaslahatan yang berkaitan erat dengan “acara” mereka. Seperti al-ghaarimuun (orang yang berhutang), mereka mendapat bagian dari zakat bukan untuk dimiliki secara pribadi, tetapi untuk diserahkan kepada orang yang menghutangkannya, sehingga mereka terbebas dari hutang itu. Demikian pula dengan fie sabiilillaah, mereka mendapat bagian dari zakat bukan semata-mata kepentingan pribadinya melainkan tugas dan tanggung jawab dalam mengemban amanah Islam, yaitu untuk memelihara berlakunya kebenaran (al-haq), kebaikan, dan kesempurnaan akhlak. Dengan perkataan lain, untuk menegakkan agama Islam.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa secara garis besar sasaran zakat itu terbagi menjadi dua bagian:
Bagian pertama, terdiri atas orang-orang yang berhak menerima zakat untuk dirinya sendiri, yaitu al-fuqaraa, al- masaakiin, al-’amiliin, dan al-muallaf quluubuhum. Sedangkan bagian kedua terdiri atas orang-orang yang berhak menerima zakat bukan semata-mata kepentingan pribadi melainkan untuk kemaslahatan “acara” mereka, yaitu ar-riqaab, al-ghaarimiin, sabiilillaah, dan ibnus sabiil.
Lebih jauh Imam az-Zamakhsyari berpandangan bahwa perpindahan dari huruf “li” pada empat ashnaf pertama kepada “fie” pada empat ashnaf kedua mengandung rahasia, yaitu untuk memberitahukan bahwa empat golongan kedua ini lebih layak untuk diprioritaskan daripada empat golongan pertama, sebab “fie” merupakan wadah untuk menampung, yang dengan itu Allah mengingatkan bahwa mereka lebih berhak atasnya dan menjadikannya sebagai tempat harapan untuk mewujudkan kemaslahatan kaum muslimin secara umum. [3]
Masalah sasaran zakat telah selesai kita bahas. Masih ada masalah yang mesti kita kaji, yaitu wajibkah amil mendistribusikan zakat atau muzakki (wajib zakat) menyerahkan zakat kepada semua ashnaf yang delapan, dan menyamaratakan prosentase zakat yang dibagikan di antara mereka?
Hemat kami, semua harta zakat boleh diberikan kepada sebagian sasaran tertentu saja untuk mewujudkan kemaslahatan yang sesuai dengan syariat. Di samping itu tidak ada kewajiban untuk menyamaratakan pemberian tersebut kepada individu yang diberinya, tapi boleh melebihkan prosentase bagian yang satu dengan yang lainya sesuai dengan kebutuhan, karena kebutuhan itu berbeda antara yang satu dan yang lainya. Adapun landasan syariatnya adalah sebagai berikut :
Pertama, dari Hudzaifah, tentang firman Allah Swt.:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا…
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat..” ia berkata:
إِنْ شِئْتَ جَعَلْتَهُ فِي صِنْفٍ وَاحِدٍ ، أَوْ صِنْفَيْنٍ ، أَوْ لِثَلاَثَةٍ
“Apabila engkau mau, tempatkanlah (salurkanlah) pada satu, dua, atau tiga ashnaf.HR. Ath-Thabari. [4]
Dalam riwayat lain, ia berkata:
إِذَا وَضَعْتَهَا فِي صِنْفٍ وَاحِدٍ أَجْزَأَ عَنْكَ.
“Apabila engkau menyalurkan zakat pada satu ashnaf (sasaran) saja, maka hal itu cukup bagimu.” HR. Ath-Thabari. [5]
Kedua, Ibnu Abas berkata,
إِذَا وَضَعْتَهَا فِي صِنْفٍ وَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ الْأَصْنَافِ فَحَسْبُكَ إِنَّمَا قَالَ : إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ ، وَكَذَا وَكَذَا لِأَنْ لاَ تَجْعَلَهَا فِيْ غَيْرِ هذِهِ الأَصْنَافِ
“Apabila engkau menyalurkan zakat pada satu sasaran dari sasaran-sasaran zakat (8 ashnaf), maka hal itu cukup bagimu. sedangkan Firman Allah: “Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk para fakir, demikian, dan demikian,” tiada lain maksudnya agar zakat itu jangan disalurkan kepada yang selain sasaran tersebut.” HR. Abdurrazaq dan Abu Ubaid al-Qasim bin Salam. [6]
Ketiga, pendapat di atas juga menjadi pegangan Umar bin Khatab, Sa’id bin jabir, ‘Atha, Abul ‘Aliyyah, dan Ibrahim an-Nakha’i. [7]
Keempat, Abu Tsaur berkata, “menurut pendapat kami, permasalahan pembagian zakat, tidaklah ada, kecuali berdasarkan ijtihad penguasa, maka mana di antara sasaran itu yang menurut penguasa lebih banyak jumlahnya dan lebih membutuhkan, itulah yang harus diutamakan. Dan mudah-mudahan dari tahun ke tahun zakat itu berpindah dari satu sasaran kepada sasaran lain. Sasaran yang lebih membutuhkan dan lebih banyak jumlahnya, senantiasa harus didahulukan dimanapun mereka berada.” [8]
Kelima, kebolehan memberikan zakat pada seorang mustahiq dari satu sasaran tidak ada bantahan dan tidak pula termasuk syubhat. Adapun penyebutan 8 ashnaf di dalam Al-Qur’an, menurut ath-Thabari, hanya sebagai pemberitahuan agar zakat tidak disalurkan kepada pihak lain di luar yang 8 ashnaf itu, bukan mengharuskan dibagi rata pada 8 ashnaf. [9]
Jika muncul pertanyaan, bukankah terdapat hadis yang membatasi mustahiq zakat fitrah itu khusus untuk orang miskin? Jawabnya, hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut:
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi yang saum dari ucapan sia-sia dan kotor dan sebagai makanan bagi orang miskin. HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ad-Daraquthni. [10]
Hemat kami, hadis ini tidak tepat bila digunakan sebagai dalil yang mengecualian atau mengkhususkan (mukhashshis) bahwa zakat fitrah itu hanya untuk mustahiq miskin. Karena ungkapan Thu’matan lil masaakiin (sebagai makanan bagi orang miskin) dalam struktur kalimat di atas fungsinya bukan bayaan lit takhsiis (keterangan pengkhusus), melainkan bayaan lit tanshiish (keterangan penegas/prioritas) sesuai dengan situasi dan kondisi mustahiq di suatu daerah tertentu.
Pemahaman demikian merujuk kepada keterangan Nabi saw. pada lanjutan hadis itu:
مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ ، وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ
Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat maka zakat fitrah itu zakat yang diterima, dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat, maka zakat fitrah termasuk shadaqah biasa.
Di sini Nabi saw. menyatakan zakat fitrah termasuk bagian dari zakat yang sudah dimaklumi. Ini menunjukkan bahwa mustahiq zakat fitrah sama dengan mustahiq jenis zakat lainnya.
Gaya bahasa tanshiish (keterangan penegas/prioritas) digunakan pula oleh Nabi saw. ketika menetapkan kewajiban zakat harta (maal), sebagaimana diamanatkan pada Mu’adz bin Jabal. Kata Nabi saw.:
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
Maka beritahu mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka zakat dalam harta mereka yang diambil dari orang kaya di antara mereka dan disalurkan kepada orang fakir di antara mereka. HR. Al-Bukhari. [11]
Keterangan Nabi di atas tidak berarti membatasi mustahiq zakat maal itu khusus untuk fakir, sehingga tidak berlaku untuk orang miskin dan mustahiq lainnya.
Selain dengan hadis di atas, orang yang pendapat bahwa mustahiq zakat fitrah itu khusus untuk orang miskin menggunakan pula hadis berikut ini:
أَغْنُوْهُمْ عَنِ الطَّوَافِ فِي هَذَا الْيَوْمِ
Cegahlah mereka agar tidak keliling (untuk minta-minta) pada hari ini.” HR. Ad-Daraquthni dan Ibnu ‘Addiy dengan sedikit perbedaan redaksi. [12]
Menurut para ahli hadis, hadis ini statusnya dha’if. Karena pada pada sanadnya terdapat rawi Abu Ma’syar Najiih. [13] Kata Imam Al-Bukhari, “Dia Munkar Al-Hadiits.” [14]
Dengan demikian, hadis ini tidak dapat dijadikan hujjah pengkhususan zakat fitrah untuk orang miskin.
Perlu disampaikan pula di sini bahwa selain tidak membatasi mustahiq tertentu, Nabi saw. juga tidak membatasi prosentase hak ashnaf. Dalam hal ini Ibnu Qudamah menjelaskan:
وَإِنْ اجْتَمَعَ فِي وَاحِدٍ أَسْبَابٌ تَقْتَضِي الْأَخْذَ بِهَا ، جَازَ أَنْ يُعْطَى بِهَا ، فَالْعَامِلُ الْفَقِيرُ لَهُ أَنْ يَأْخُذَ عِمَالَتَهُ ، فَإِنْ لَمْ تُغْنِهِ فَلَهُ أَنْ يَأْخُذَ مَا يَتِمُّ بِهِ غِنَاهُ ، فَإِنْ كَانَ غَازِيًا فَلَهُ أَخْذُ مَا يَكْفِيه لِغَزْوِهِ ، وَإِنْ كَانَ غَارِمًا أَخَذَ مَا يَقْضِي بِهِ غُرْمَهُ ؛ لِأَنَّ كُلَّ وَاحِدٍ مِنْ هَذِهِ الْأَسْبَابِ يَثْبُتُ حُكْمُهُ بِانْفِرَادِهِ ، فَوُجُودُ غَيْرِهِ لَا يَمْنَعُ ثُبُوتَ حُكْمِهِ
Dan jika pada salah satu terkumpul beberapa sebab yang menghendaki (melegitimasi) pengambilan zakat berdasarkan sebab itu, maka ia boleh diberi berdasarkan sebab itu. Misalkan amil yang faqir, ia punya hak mengambil bagian zakatnya. Jika tidak dapat menutupi kefakirannya, ia berhak mengambil pula untuk dapat memenuhi keperluannya itu (sebagai hak faqir). Maka jika dia sebagai prajurit (fi sabilillah), ia punya hak mengambil bagian zakat untuk keperluan perangnya. Dan jika dia seorang gharim ia punya hak mengambil bagian zakat untuk melunasi hutangnya. Karena tiap-tiap sebab itu ditetapkan hukumnya berdasarkan sebab masing-masing (bukan karena sama orangnya, tapi karena beda sebabnya). Adanya satu sebab tidak menghalangi tetapnya hukum atas sebab yang lain. [15]
Berbagai penjelasan di atas semoga dapat dijadikan pedoman, baik untuk muzakki (wajib zakat) maupun ‘amil (pengurus zakat), sehingga zakat yang disalurkan tidak salah sasaran dan lebih berdaya guna.

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta


[1] Lihat, Umdah al-Qari Syarh Shahih al-Bukhari, VIII:238.
[2] Lihat, Syarh Bulugh al-Maram, II:383.
[3] Lihat, Al-Kasysyaaf ‘an Haqa’iq at-Tanziil wa ‘Uyun al-Aqawil fii Wujuh at-Ta’wil, II: 270.
[4] Lihat, Tafsir Ath-Thabari, VI : 404.
[5] Ibid.
[6] Lihat, HR. Abdurrazaq, Mushannaf Abdurrazaq, IV: 106, No. Hadis 7137; Abu Ubaid, Kitaab al-Amwaal, hlm. 688, No. Hadis 1839.
[7] Ibid.
[8] Lihat, Fiqh az-Zakaah, Dr. Yusuf Al-Qardhawi, hal. 667.
[9] Ibid.
[10] Lihat, HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:585, No. Hadis 1609; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:585, No. Hadis 1827; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:138, No. Hadis 1.
[11] Lihat, Shahih Al-Bukhari, II: 505, No. Hadis 1331
[12] Lihat, HR. Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II: 152, No. Hadis 67, Ibnu ‘Addiy, Al-Kamil fii Dhu’afaa ar-Rijal, VII: 55.
[13] Lihat, penjelasan Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Bulugh Al-Maraam Min Jam’I Adillah Al-Ahkaam, hlm. 131; Abdullah al-Ghassaniy dalam Takhrij al-Ahadits adh-Dhi’af Min Sunan ad-Daraquthni, hlm. 231
[14]Lihat, Al-Muhalla bi al-Atsar, II:432, Nashb Ar-Raayah Fii Takhriij Ahaadits Al-Hidaayah, IV:364.
[15]Lihat, al-Mughni, V:223.

MULIAKAN DIRI DENGAN ZAKAT FITRI (Bagian Ke-4)


Ketiga, apakah makanan pokok menjadi syarat sah zakat fitrah?
Pada edisi sebelumnya telah disebutkan bahwa konversi wajib zakat fitrah dengan nilai atau harga memiliki akar pemikiran Islam yang kokoh, paling tidak mengacu kepada sikap Mu’awiyah dan para sahabat Nabi yang sejalan dengannya.
Meski begitu, masih tersisa satu persoalan, bagaimana dengan hadis-hadis yang menyebutkan secara tersurat bahwa zakat fitrah itu berupa tha’aam (makanan)? Adapun hadis-hadis itu sebagai berikut:
Pertama, dalam konteks kata perintah adduu (tunaikan) dan akhrijuu (keluarkanlah) disebutkan berupa kurma dan gandum. Abdullah bin Tsa’labah bin Shu’air al-‘Udzriy berikata:
خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّاسَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ فَقَالَ أَدُّوا صَاعًا مِنْ بُرٍّ أَوْ قَمْحٍ بَيْنَ اثْنَيْنِ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ وَعَبْدٍ وَصَغِيرٍ وَكَبِيرٍ
“Rasulullah saw. berkhutbah kepada orang-orang dua hari sebelum Idul Fitri. Maka beliau bersabda, ‘Tunaikan satu shaa’ burr (gandum) atau qamh (gandum) di antara dua perkara atau satu shaa’ kurma atau satu shaa’ dari syair (gandum) atas orang yang merdeka, hamba sahaya, anak kecil, dan orang dewasa’.” HR. Ahmad, Ath-Thahawi, Abdurrazaq, dan ad-Daraquthni dengan sedikit perbedaan redaksi. [1]
Kedua, dalam konteks kata wajib atau wajibah, disebutkan berupa gandum dan makanan lain namun tanpa disebutkan lebih spesifik jenisnya. Kakeknya ‘Amr bin Syu’aib berkata:
أَلاَ إِنَّ صَدَقَةَ الفِطْرِ وَاجِبَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى ، حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ، صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ ، مُدَّانِ مِنْ قَمْحٍ ، أَوْ سِوَاهُ صَاعٌ مِنْ طَعَامٍ
“Ketahuilah bahwa zakat fitri itu kewajiban setiap muslim, laki-laki atau perempuan, orang yang merdeka atau hamba sahaya, anak kecil atau orang dewasa, sebanyak dua mud qamh (gandum) atau satu shaa’ makanan selain qamh.” HR. At-Tirmidzi, Al-Baihaqi, ad-Daraquthni, dan al-Hakim, dengan sedikit perbedaan redaksi. [2]
Ketiga, dalam konteks hikayat sabda Nabi saw. (hikaayah al-Qawl) dengan kata faradha (memfardukan) dan amara (memerintah), disebutkan berupa kurma dan gandum
Ibnu Umar berkata:
فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى اْلعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَىْ وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
“Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu shaa’ kurma, atau satu shaa’ sya’iir (gandum) atas hamba sahaya, orang yang merdeka, laki-laki perempuan, anak kecil dan dewasa dari kalangan muslimin.” HR. Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dengan sedikit perbedaan redaksi. [3]
Sedangkan dalam keterangan Ibnu Abas disebutkan makanan, namun tanpa penyebutan lebih spesifik jenisnya:
أُمِرْنَا أَنْ نُعْطِىَ صَدَقَةَ رَمَضَانَ عَنِ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ وَالْحُرِّ وَالْمَمْلُوكِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ
“Kami diperintah untuk memberikan zakat Ramadhan atas anak kecil dan orang dewasa, orang yang merdeka dan hamba sahaya, sebesar satu shaa’ makanan.” HR. Al-Baihaqi. [4]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
Ibnu Umar mengatakan, “Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu shaa’ kurma, atau satu sha sya’iir (gandum).” HR. Al-Bukhari. [5]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى النَّاسِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu shaa’ kurma, atau satu shaa’ sya’iir (gandum), atas hamba sahaya, orang yang merdeka, laki-laki, perempuan, anak kecil dan dewasa dari kalangan muslimin. HR. Al-Bukhari. [6]
Penetapan zakat fitrah dengan tha’aam (makanan) berupa kurma dan gandum, selain melalui keterangan berupa sabda Nabi saw. (bayaan bil Qawl), diperoleh pula dari amal Nabi saw. (bayaan bil fi’l) sebagai berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
“Rasulullah saw. mengeluarkan zakat fitrah satu shaa’ kurma atau satu shaa’ syair (gandum)” HR. Abu Ya’la dan Ibnu Khuzaimah. [7]
Dari berbagai hadis di atas—dalam ragam kata dan redaksi yang digunakannya—kita dapat mengetahui bahwa Rasulullah saw. menetapkan zakat fitrah dengan dua jenis makanan: kurma & gandum.
Apabila hadis-hadis diatas dibaca secara mantuq (makna tersurat) dan konsisten tidak akan menerima mafhum (makna tersirat), maka zakat fitrah yang wajib dikeluarkan terbatas jenisnya, yakni kurma dan gandum. Adapun kata Tha’aam pada hadis Abu Sa’id Al-Khudriy tidak dapat dimaknai makanan secara umum karena sudah ada keterangan terperinci (bayaan tafshiil) pada hadis Ibnu Umar di atas.
Berdasarkan pendekatan mantuq hadis-hadis itu, maka zakat fitrah dengan beras atau jagung pada dasarnya tidak sesuai dengan mantuq-nya, kedudukannya sama dengan mengeluarkan zakat fitrah dalam bentuk qiimah (harga atau nilai barang). Namun, benarkah demikian pesan utama Nabi saw., yaitu bahwa zakat fitrah wajib dikeluarkan hanya dalam bentuk kurma dan gandum?
Hemat kami, kalimat min tamrin atau min sya’iir dalam struktur kalimat di atas fungsinya bukan keterangan pengkhusus (bayaan lit takhsiis), melainkan keterangan penegas/prioritas (bayaan lit tanshiish) sesuai dengan situasi dan kondisi muzakki (wajib zakat) dan mustahiq (penerima zakat) di suatu daerah tertentu. Hal itu didasarkan atas pertimbangan sebagai berikut:

Pertama, dari sisi Muzakki
Pada masa itu, kedua jenis makanan tersebut lebih mudah didapat atau biasa dimiliki oleh masyarakat pada umumnya. Kondisi ini demikian itu dapat kita peroleh dalam praktik pembayaran zakat fitrah yang dilakukan oleh para sahabat sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم حِينَ فَرَضَ صَدَقَةَ الْفِطْرِ يَقُولُ : صَاعٌ مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعٌ مِنْ شَعِيرٍ قَالَ : فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ لاَ يُخْرِجُ إِلاَّ التَّمْرَ فَفَنِيَ تَمْرُهُ عَامًا فَأخْرَجَ صَاعَ شَعِيرٍ مَكَانَ التَّمْرِ
“Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Saya mendengar Rasulullah saw. ketika mewajibkan zakat fitrah, beliau bersabda, ‘Satu sha’ kurma, atau satu shaa’ syair (gandum). Nafi berkata, ‘Ibnu Umar Ra. bila berzakat tidak pernah mengeluarkan yang lain selain kurma. Pada suatu tahun ketika kurmanya rusak ia mengeluarkan satu sha’ gandum sebagai pengganti kurma.” HR. Abd bin Humaid. [8]
Dalam riwayat lain, Nafi’ menjelaskan dengan redaksi sebagai berikut:
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ لاَ يُخْرِجُ فِي زَكَاةِ الْفِطْرِ إِلاَّ التَّمْرَ إِلاَّ مَرَّةً وَاحِدَةً فَإِنَّهُ أَخْرَجَ شَعِيراً
“Sesungguhnya Ibnu Umar Ra. dalam berzakat fitri tidak pernah mengeluarkan yang lain selain kurma kecuali satu kali ia mengeluarkan gandum.” HR. Malik. [9]
فَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِي التَّمْرَ فَأَعْوَزَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ مِنْ التَّمْرِ فَأَعْطَى شَعِيرًا
“Ibnu Umar Ra. bila berzakat dia memberikan kurma. Kemudian penduduk Madinah kesulitan mendapatkan kurma, akhirnya Ibnu Umar mengeluarkan gandum.” HR. Al-Bukhari dan An-Nasai.[10]
Dalam riwayat Abu Dawud dan al-Baihaqi dengan redaksi:
فَأَعْوَزَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ التَّمْرَ عَامًا فَأَعْطَى الشَّعِيرَ
“Kemudian penduduk Madinah sulit mendapatkan kurma pada suatu tahun, kemudian ia memberikan gandum.” HR. Abu Dawud dan Al-Nasai. [11]
Sehubungan dengan amal Ibnu Umar di atas, Imam al-Baji berkata:
قَوْلُهُ كَانَ لَا يُخْرِجُ فِي زَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَّا التَّمْرَ ؛ لِأَنَّهُ كَانَ قُوتَهُ وَقُوتَ أَهْلِ بَلَدِهِ بِالْمَدِينَةِ فَلِذَلِكَ كَانَ يَرَى أَنْ لَا يُجْزِيَهُ غَيْرَ التَّمْرِ وَكَانَ يَقْتَصِرُ عَلَى إخْرَاجِهِ وَيُحْتَمَلُ أَنَّهُ كَانَ يُخْرِجُهُ مَعَ التَّمَكُّنِ مِنْ الشَّعِيرِ وَيَقُوتُ بِهِ ؛ لِأَنَّهُ كَانَ يَرَى أَنَّ التَّمْرَ أَفْضَلُ مِنْهُ وَإِنْ كَانَ الشَّعِيرُ يُجْزِيهِ وَقَدْ قَالَ أَشْهَبُ أَحَبُّ إلَيَّ أَنْ يُخْرَجَ بِالْمَدِينَةِ التَّمْرُ وَوَجْهُ ذَلِكَ أَنَّهُ أَفْضَلُ أَقْوَاتِهِمْ ؛ لِأَنَّهُ لَا يَكَادُ يُقْتَاتُ فِيهَا إِلَّا التَّمْرُ أَوْ الشَّعِيرُ وَأَمَّا اقْتِيَاتُ الْقَمْحِ فَنَادِرٌ
“Perkataanya: ‘Dia (Ibnu Umar) dalam berzakat fitri tidak pernah mengeluarkan yang lain selain kurma,’ karena kurma adalah makanan pokoknya dan makan pokok penduduk Madinah, karena itu ia berpendapat bahwa zakat fitri itu tidak memadai dengan yang lain selain kurma, dan ia membatasi zakat fitri hanya pada kurma. Dan dapat dimaknai pula bahwa, ia mengeluarkan kurma—padahal gandum pun berkedudukan sebagai makanan pokoknya—karena ia berpendapat bahwa kurma lebih utama daripada gandum, meskipun dengan gandum memadai pula. Sungguh Asyhab berkata, ‘Kurma lebih aku sukai untuk dikeluarkan di Madinah.’ Dan aspek pertimbangan itu bahwa kurma adalah makanan pokok mereka yang lebih utama, karena hampir tidak ada makanan di sana selain kurma dan gandum. Adapun makanan pokok berupa qamh (biji gandum) maka jarang.” [12]
Dari sini dapat diambil kesimpulan, bahwa penetapan zakat fitrah dengan makanan berupa kurma dan gandum karena pertimbangan keutamaan dan kemudahan akses bagi penduduk setempat, dalam konteks ini penduduk Madinah. Menurut Ibnu Hajar, “Mereka (para sahabat) dalam berzakat fitri mengeluarkan jenis makanan pokok yang paling utama, dan kurma lebih utama daripada yang lainnya. [13]
Penetapan zakat fitrah dengan kedua jenis makanan: kurma dan gandum, karena pertimbangan lebih mudah didapat atau biasa dimiliki secara umum diperkuat pula dengan sejumlah data faktual, yang menunjukkan bahwa pada praktiknya para sahabat memperluas jenis makanan dari yang “ditetapkan” oleh Nabi saw. Ibnu Umar menjelaskan:
كَانَ النَّاسُ يُخْرِجُونَ عَنْ صَدَقَةِ الْفِطْرِ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ تَمْرٍ أَوْ سُلْتٍ أَوْ زَبِيبٍ
“Dahulu orang-orang mengeluarkan zakat fitrah di zaman Nabi saw. sebesar satu sha’ sya’iir (gandum), tamr (kurma), atau Sult (sejenis gandum yang berwarna putih tak berkulit) atau Zabiib (anggur kering).” HR. An-Nasai.[14]
Abu Said al-Khudriy menjelaskan:
كُنَّا نُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
“Kami mengeluarkan zakat fitrah 1 sha makanan atau 1 sha sya’ir (gandum), atau tamr (kurma), atau aqith (susu kering/keju), atau Zabiib (kismis/anggur kering).” HR. Al-Bukhari. [15]
Dalam redaksi lain
كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ لَا نُخْرِجُ غَيْرَهُ
“Kami pernah mengeluarkan zakat fitrah di masa Rasulullah saw. sebesar satu shaa’ kurma, satu shaa’ gandum atau satu shaa’ susu kering. Kami tidak mengeluarkan yang lain.” HR. An-Nasai. [16]
Mengapa jenis makanannya diperluas? Kata Abu Sa’id:
كَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيرُ وَالزَّبِيبُ وَالْأَقِطُ وَالتَّمْرُ
“sya’ir (gandum), Zabib (kismis/anggur kering), aqith (susu beku/keju), dan tamr (kurma) adalah makanan kami.” HR. Al-Bukhari. [17]
Begitu pula penjelasan Aws bin al-Hadatsan berikut ini:
وَكَانَ طَعَامُنَا يَوْمَئِذٍ الْبُرَّ وَالتَّمْرَ وَالزَّبِيبَ
“Makanan kami ketika itu burr (gandum), tamr (kurma), dan Zabiib (kismis/anggur kering)’.” HR. Ath-Thabrani dan Ibnu Amr asy-Syaibani. [18] Kata Ath-Thabrani, “Redaksi di atas versi rawi Zaid bin Akhzam. Sedangkan versi rawi Sya’tsam: “Makanan kami ketika itu tamr (kurma), Zabiib (kismis/anggur kering), dan aqith (susu kering/keju). [19]
Meskipun Rasulullah saw. menetapkan zakat fitrah dengan dua jenis makanan: kurma & gandum, namun bila muzakki berzakat dengan zabiib (anggur kering) dan aqith (keju) maka penyerahan zakat mereka tetap diterima. Ibnu Umar menjelaskan:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ نُخْرِجَ زَكَاةَ الْفِطْرِ عَنْ كُلِّ صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ وَحُرٍّ وَمَمْلُوكٍ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ شَعِيرٍ قَالَ وَكَانَ يُؤْتَى إِلَيْهِمْ بِالزَّبِيبِ وَالأَقِطِ فَيَقْبَلُونَهُ
“Rasulullah saw. telah memerintahkan kepada kami agar mengeluarkan zakat fitrah atas anak kecil dan dewasa, orang merdeka dan hamba sahaya, sebesar satu shaa’ kurma atau satu shaa’ syair (gandum). Dan diserahkan kepada mereka zabiib dan aqith, maka mereka tetap menerimanya.” HR. Al-Baihaqi. [20]
Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa:
  • Para sahabat memahami hadis Nabi tentang zakat fitrah itu tidak secara mantuq (makna tersurat), namun secara mafhum (makna tersirat),
  • Para sahabat memahami hadis itu bukan sebagai takhsis (pengkhususan), hal itu terbukti dengan diperluas jenis makanannya,
  • Secara ekonomi, jenis pangan yang dimiliki oleh publik di zaman sahabat sudah lebih berkembang daripada zaman Nabi.
Kedua, dilihat dari sisi mustahiq
Kedua jenis makanan itu (kurma & gandum) lebih bermanfaat untuk orang miskin waktu itu sebagai thu’matan. Dalam hadis diterangkan:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
Dari Ibnu Abas, ia berkata, “Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi yang saum dari ucapan sia-sia dan kotor dan sebagai makanan bagi orang miskin.HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Ad-Daraquthni. [21]
Para ulama menjelaskan:
وَطُعْمَةً وَهُوَ الطَّعَامُ الَّذِي يُؤْكَلُ
“Dan kata thu’mah ialah makanan yang disantap.” Dengan perkataan lain, thu’matan adalah makanan mudah saji dan siap santap. [22]
Dengan demikian berdasarkan pendekatan bayan lit tanshish (keterangan penjelas atau prioritas), dapat disimpulkan bahwa yang menjadi pokok kewajiban zakat fitrah itu bukan “barangnya” melainkan “nilainya”, yaitu 1 shaa’. Sehubungan dengan itu, Abu Sa’id al-Khudriyi mengatakan:
لاَ أُخْرِجُ أَبَدًا إِلاَّ صَاعًا
“Saya tidak akan mengeluarkan zakat fitri selamanya kecuali sebesar 1 sha’.”
Ukuran 1 sha’ dapat dikonversi dalam ukuran isi (liter), berat (Kg), dan harga (Rp atau mata uang lainnya). Konversi ukuran itu pernah dilakukakan oleh Mu’awiyah, sebagaimana telah dibahas pada edisi sebelumnya, namun perlu ditegaskan kembali di sini sehubungan hadis “tambahan” sebagai berikut:
قَالَ إِنِّي أَرَى أَنَّ مُدَّيْنِ مِنْ سَمْرَاءِ الشَّامِ تَعْدِلُ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ فَأَخَذَ النَّاسُ بِذَلِكَ
Muawiyah berkata, “Saya memandang bahwa 2 mud gandum Syam senilai dengan 1 sha kurma.” Maka orang-orang mengambil konversi itu.” HR. Muslim, Abu Dawud, Al-Baihaqi. [23]
Atas dasar pertimbangan di atas, para tabi’in sebagai murid shahabat Nabi saw., seperti Umar bin Abdul Aziz, al-Hasan al-Bishri, dan Atha telah menetapkan zakat fitrah dengan harga/uang (dirham). Waktu itu Umar bin Abdul Aziz menetapkan nilai 1 sha = ½ dirham. [24]
Kesimpulan, membayar zakat fitrah dengan uang hukumnya sah, dan bisa jadi lebih utama bagi mustahiq pada situasi dan kondisi daerah tertentu.

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

[1]Lihat, HR. Ahmad, Musnad Ahmad, V: 432, No, Hadis 23.713, Ath-Thahawi, Syarh Ma’ani al-Atsar, II:45, Abdurrazaq, Al-Mushannaf, III:318, No. Hadis 5785, ad-Daraquthni, Sunan ad-Daraquthni, II:150, No. Hadis 52.
[2]Lihat, Sunan at-Tirmidzi, III: 61, No. Hadis 674, Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV: 172, No. Hadis 7515, ad-Daraquthni, Sunan ad-Daraquthni, II: 141, No. Hadis 17, dan al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, I:569, No. Hadis 1492.
[3]Lihat, HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:547, No. hadis 1432; II:549, No. hadis 1440, Muslim, Shahih Muslim, II:677, No. hadis 984, II:678, No. hadis 984, At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III:62, No. Hadis 676, An-Nasai, As-Sunan al-Kubra, II: 26, No. Hadis 2284, Sunan An-Nasai, V:47, No. Hadis 2500, V:48, No. Hadis 2503, V:49, No. Hadis 2505, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:112, No. Hadis 1611, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:585, No. Hadis 1826, Ahmad, Musnad Ahmad, II:63, No. Hadis 5303.
[4]Lihat, As-Sunan al-Kubra, IV: 169, No. Hadis 7503
[5] Lihat, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439.
[6] Lihat, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439.
[7]Lihat, Abu Ya’la, Musnad Abu Ya’la, X:203, No. Hadis 5834, Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 85, No. Hadis 2404.
[8] Lihat, Musnad Abd bin Humaid, I:549, No. 1440.
[9] Lihat, Al-Muwatha :222, No. 778.
[10] Lihat, HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:549, No. 1440; Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV:160, No. 7467.
[11] Lihat, HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:113, No. 1615; dan Al-Nasai, As-Sunan al-Kubra, IV:164, No. 7468.
[12] Lihat, al-Muntaqa Syarh al-Muwatha, II:45
[13] Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, III:376
[14] Lihat, Sunan An-Nasai, V:53, No. hadis 2516; As-Sunan Al-Kubra, II:28, No. hadis 2295.
[15] Lihat, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439.
[16] Lihat, Sunan An-Nasai, V:53, No. hadis 2518.
[17] Lihat, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1439
[18]Lihat, HR. Ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, I: 224, No. hadis 613, Ibnu Amr asy-Syaibani, Al-Ahad wa al-Matsani, III: 115, No. Hadis 1437.
[19]Lihat, al-Mu’jam al-Kabir, I: 224.
[20]Lihat, As-Sunan al-Kubra, IV:175, No. 7528.
[21]Lihat, HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, I:585, No. Hadis 1609; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:585, No. Hadis 1827; Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II:138, No. Hadis 1.
[22]Lihat, Al-Ihkam Syarh Ushul al-Ahkam, II:172.
[23]Lihat, HR. Muslim, Shahih Muslim, II:678, No. hadis 985; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:113, No. hadis 1616; Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, IV:165, No. hadis 7490.
[24]Lihat, lihat, Mushannaf Ibnu AbiuSyaibah, II:398.

MULIAKAN DIRI DENGAN ZAKAT FITRI (Bagian Ke-3)


Ketentuan Zakat Fitrah
Kedua, ukuran wajib zakat fitrah
Esensi kewajiban zakat fitrah terletak pada nilai atau ukuran (miqdaar) yang mesti dikeluarkan, bukan pada jenis materinya. Penetapan nilai atau ukuran (miqdaar) wajib zakat fitrah menggunakan dua bentuk bayaan (keterangan): bil qawl (sabda) dan bil fi’l (perbuatan).

Penggunaan Bayaan bil qawl
Dalam menetapkan nilai atau ukuran zakat fitrah diperoleh sabda Nabi saw. dalam beragam redaksi:
Pertama, menggunakan bentuk kata perintah (shigah ‘Amr) adduu (tunaikan) dan akhrijuu (keluarkanlah). Kata adduu (tunaikan) diterangkan oleh Abdullah bin Tsa’labah bin Shu’air al-‘Udzriy berikut ini:
خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّاسَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ فَقَالَ أَدُّوا صَاعًا مِنْ بُرٍّ أَوْ قَمْحٍ بَيْنَ اثْنَيْنِ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ وَعَبْدٍ وَصَغِيرٍ وَكَبِيرٍ
“Rasulullah saw. berkhutbah kepada orang-orang dua hari sebelum Idul Fitri. Maka beliau bersabda, ‘Tunaikan satu shaa’ burr (gandum) atau qamh (gandum) di antara dua perkara atau satu shaa’ kurma atau satu shaa’ dari syair (gandum) atas orang yang merdeka, hamba sahaya, anak kecil, dan orang dewasa’.” HR. Ahmad, Ath-Thahawi, Abdurrazaq, dan ad-Daraquthni dengan sedikit perbedaan redaksi. [1]
Dalam jalur periwayatan lainnya terdapat tambahan redaksi:
غَنِيٍّ أَوْ فَقِيْرٍ أَمَّا غَنِيُّكُمْ فَيُزَكِّيْهِ اللَّهُ وَأَمَّا فَقِيْرُكُمْ فَيُرَدُّ عَلَيْهِ أَكْثَرُ مِمَّا يُعْطِيْ
“Kaya ataupun miskin. Adapun orang kaya di antara kalian, maka Allah akan mensucikannya. Adapun orang miskin di antara kalian, maka akan dikembalikan kepadanya dengan jumlah yang lebih banyak daripada yang ia berikan.” HR. Ahmad, Abu Dawud, Al-Baihaqi, Ad-Daraquthni, Ath-Thahawi, dan Ibnu Amr asy-Syaibani. Redaksi di atas versi Ahmad. [2]
Sementara dengan kata akhrijuu (keluarkanlah) diterangkan oleh Aws bin al-Hadatsan berikut ini:
أَخْرِجُوا صَدَقَةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ ، وَكَانَ طَعَامُنَا يَوْمَئِذٍ الْبُرَّ وَالتَّمْرَ وَالزَّبِيبَ
“Keluarkanlah zakat fitrah 1 shaa’ makanan.” (Aws berkata), ‘Makanan kami ketika itu burr (gandum), tamr (kurma), dan Zabiib (kismis/anggur kering)’.” HR. Ath-Thabrani dan Ibnu Amr asy-Syaibani. [3] Kata Ath-Thabrani, “Redaksi di atas versi rawi Zaid bin Akhzam. Sedangkan versi rawi Sya’tsam: “Makanan kami ketika itu tamr (kurma), Zabiib (kismis/anggur kering), dan aqith (susu kering/keju). [4]
Kedua, menggunakan bentuk kata wajib atau wajibah, sebagaimana diterangkan kakeknya ‘Amr bin Syu’aib berikut ini:
أَلاَ إِنَّ صَدَقَةَ الفِطْرِ وَاجِبَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى ، حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ ، صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ ، مُدَّانِ مِنْ قَمْحٍ ، أَوْ سِوَاهُ صَاعٌ مِنْ طَعَامٍ
“Ketahuilah bahwa zakat fitri itu kewajiban setiap muslim, laki-laki atau perempuan, orang yang merdeka atau hamba sahaya, anak kecil atau orang dewasa, sebanyak dua mud qamh (gandum) atau satu shaa’ makanan selain qamh.” HR. At-Tirmidzi, Al-Baihaqi, ad-Daraquthni, dan al-Hakim, dengan sedikit perbedaan redaksi. [5]
Dari penggunaaan bentuk kata perintah (shigah ‘Amr) adduu (tunaikan) dan akhrijuu (keluarkanlah) serta kata wajib atau wajibah di atas, Ibnu Umar, Abu Sa’id, dan Ibnu Abas meriwayatkannya secara hikayat sabda Nabi saw. (hikaayah al-Qawl) dengan kata faradha (memfardukan) dan amara (memerintah).
Hikayat sabda Nabi: faradha, disampaikan Ibnu Umar sebagai berikut:
فَرَضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ اَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلَى اْلعَبْدِ وَالْحُرِّ وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَىْ وَالصَّغِيْرِ وَالْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
“Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah satu shaa’ kurma, atau satu shaa’ sya’iir (gandum) atas hamba sahaya, orang yang merdeka, laki-laki perempuan, anak kecil dan dewasa dari kalangan muslimin.” HR. Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad, dengan sedikit perbedaan redaksi. [6]
Sedangkan keterangan Abu Sa’id al-Khudriyyi diriwayatkan oleh An-Nasai. [7]
Adapun hikayat sabda Nabi: Amara, disampaikan Ibnu Umar sebagai berikut:
أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِزَكَاةِ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
“Nabi saw. memerintah zakat fitrah satu shaa’ kurma atau satu shaa’ sya’iir (gandum)” HR. Al-Bukhari, Muslim, dan Ibnu Majah. [8]
Sedangkan keterangan Ibnu Abas dengan redaksi:
أُمِرْنَا أَنْ نُعْطِىَ صَدَقَةَ رَمَضَانَ عَنِ الصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ وَالْحُرِّ وَالْمَمْلُوكِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ
“Kami diperintah untuk memberikan zakat Ramadhan atas anak kecil dan orang dewasa, orang yang merdeka dan hamba sahaya, sebesar satu shaa’ makanan.” HR. Al-Baihaqi. [9]

Penggunaan Bayaan bil Fi’li
Selain dengan keterangan berupa sabda Nabi saw. penetapan nilai atau ukuran zakat fitrah diperoleh pula dari amal Nabi saw. sebagai berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يُخْرِجُ زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
“Rasulullah saw. mengeluarkan zakat fitrah satu shaa’ kurma atau satu shaa’ syair (gandum)” HR. Abu Ya’la dan Ibnu Khuzaimah. [10]

Sahkan Zakat Fitrah dengan Konversi Kg dan Uang?
Dalam menetapkan kewajiban zakat fitrah, Nabi saw. menggunakan istilah shaa’. Shaa’ merupakan istilah yang sering digunakan untuk menentukan ukuran isi atau volume, seperti liter, bukan satuan ukuran berat/massa seperti kilogram (Kg). Ukuran isi tidak mengalami perubahan walaupun benda yang ditakarnya berbeda jenis. Misalnya, 1 liter beras Karawang sama isinya dengan 1 liter beras Cianjur, meskipun berbeda berat jenisnya.
Adapun shaa’ yang dimaksud pada hadis di atas ialah shaa’ nabawi, yaitu shaa’ yang berlaku di zaman Nabi saw. Bila objek kewajiban zakat fitrah itu berupa beras, lalu diukur berdasarkan liter—yang pernah kami lakukan—dapat diperoleh hasil sebagai berikut: 1 sha = 4 mud = 2770,47 cc = + 3,1 liter. Berdasarkan ukuran satuan isi, maka beras apapun yang dikonsumsi oleh wajib zakat (muzakki) ukuran yang wajib dikeluarkannya akan sama.
Namun jika kewajiban zakat fitrah itu dikonversi dengan satuan ukuran berat seperti kilogram (Kg) maka ukuran zakat fitrah tiap muslim akan berbeda tergantung jenis beras atau makanan pokok yang dikonsumsi. Silahkan dicek perbedaan hasil mengilo 1 liter beras Karawang dan 1 liter beras Cianjur, misalnya. Begitu pula jika dikonversi dengan harga (qiimah).
Dalam konteks inilah kita dapat memahami mengapa para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan konversi ukuran satu shaa’. Adapun perbedaan itu dapat diuraikan sebagai berikut:
Menurut satu pendapat, satu shaa’ nabawi sebanding dengan 480  mitsqaal biji gandum yang bagus. Satu mitsqaal sama dengan 4,25 gram. Sementara 480 mitsqaal sebanding dengan 2040 gram. Berarti satu shaa’ sebanding dengan 2040 gram atau 2,4 Kg. [11]
Sedangkan menurut pendapat Syaikh Abdullah Al-Bassam, satu shaa’ nabawi adalah empat mud. Sementara satu mud setara dengan 625 gram, karena itu satu shaa’ nabawi sama dengan 3000 gram atau 3 Kg. [12] Sementara menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaili, 1 mud itu sama dengan 675 gram, berarti 1 sha’ sama dengan 2751 gram atau 2,75 Kg. [13]
Berdasarkan hasil konversi para ulama di atas, kita dapat memperkirakan bahwa satu shaa’ kewajiban zakat fitrah berkisar antara 2040 gram (2,4 Kg) hingga 3000 gram (3 Kg). Meski dapat diketahui nilai konversinya namun hal itu dipandang menjadi masalah, karena Nabi saw. menetapkan ukuran wajib zakat fitrah itu dengan satuan isi (shaa’), bukan satuan berat. Jadi, sahkah membayar zakat fitrah dengan satuan ukuran lain, selain shaa’, seperti berat (Kg)? Bagaimana pula dengan harga (uang)?
Konversi ukuran wajib zakat fitrah dengan satuan ukuran lain, selain shaa’, juga dengan nilai atau harga pernah terjadi pada zaman shahabat. Kata Ibnu Umar
فَجَعَلَ النَّاسُ عِدْلَهُ مُدَيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ
“Maka orang-orang membuat atau menetapkan ukurannya sebanyak dua mud biji gandum.” HR. Al-Bukhari dan Ibnu Majah. [14]
Orang-orang yang dimaksud oleh Ibnu Umar adalah Mu’awiyah dan para shahabat Nabi lainnya yang sependapat dengan beliau. Mu’awiyah dan para shahabat Nabi lainnya beranggapan bahwa satu shaa’ tamr (buah kurma) dan satu shaa’ sya’iir (gandum) senilai dengan dua mud hinthah (biji gandum). [15] Padahal ulama sepakat bahwa konversi dua mud hinthah hanya mencapai nilai ½ shaa’ tamr (buah kurma) atau ½ shaa’ sya’iir (gandum). [16]

Jadi, yang hendak dikonversi oleh Mu’awiyah bukan dari shaa’ kepada muud, karena keduanya sama-sama satuan ukuran isi, melainkan nilai atau harganya. Latar belakang konversi Mu’awiyah dijelaskan dalam beberapa riwayat, antara lain dari Abu Sa’id al-Khudriyyi sebagai berikut:
إنَّمَا كُنَّا نُخْرِجُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم صَاعَ تَمْرٍ أَوْ صَاعَ شَعِيْرٍ أَوْ صَاعَ أَقِطٍ لاَ نُخْرِجُ غَيْرَهُ فَلَمَّا كَثُرَ الطَّعَامُ فِيْ زَمَنِ مُعَاوِيَةَ جَعَلُوْهُ مُدَّيْنِ مِنْ حِنْطَةٍ
“Pada masa Rasulullah saw. kami hanya mengeluarkan (zakat fitrah) 1 shaa’ tamr (buah kurma), atau 1 shaa’ sya’ir (gandum), atau 1 shaa’ aqith (susu kering/keju), kami tidak mengeluarkan selainnya. Maka ketika makanan melimpah pada zaman Mu’awiyah, mereka menetapkan ukurannya sebanyak dua mud biji gandum.” HR. Ath-Thahawi. [17]
Keputusan Mu’awiyyah dan para sahabat lain yang sepakat dengannya, dalam konversi ukuran wajib zakat dengan nilai/harga, ternyata tidak disepakati sebagian shahabat lain, antara lain Abu Sa’id al-Khudriyyi mengatakan:
لاَ أُخْرِجُ إِلاَّ مَا كُنْتُ أُخْرِجُ فِى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ حِنْطَةٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ : أَوْ مُدَّيْنِ مِنْ قَمْحٍ قَالَ : لاَ تِلْكَ قِيمَةُ مُعَاوِيَةَ لاَ أَقْبَلُهَا وَلاَ أَعْمَلُ بِهَا
“Saya tidak akan mengeluarkan (zakat fitrah) kecuali apa yang saya keluarkan pada masa Rasulullah saw. sebanyak 1 shaa’ tamr (buah kurma), atau 1 shaa’ khinthah (biji gandum), atau 1 shaa’ sya’ir (gandum), atau 1 shaa’ aqith (susu kering/keju).” Maka seseorang dari suatu kaum berkata kepadanya, “Atau dua mud qamh (gandum).” Ia (Abu Sa’id) berkata, “Tidak, itu standar nilai (qiimah) Mu’awiyah, saya tidak akan menerimanya dan tidak akan menggunakannya.” HR. Ath-Thahawi, Ad-Daraquthni, Al-Baihaqi, Al-Hakim, Ibnu Hiban, Ibnu Khuzimah. [18]
Sehubungan dengan perbedaan sikap para shahabat tentang konversi nilai atau harga “wajib zakat fitrah” maka Ibnu Hajar berkomentar:
لَكِنَّ حَدِيثَ أَبِي سَعِيدٍ دَالٌّ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يُوَافِقْ عَلَى ذَلِكَ ، وَكَذَلِكَ اِبْنُ عُمَرَ ، فَلَا إِجْمَاعَ فِي الْمَسْأَلَةِ خِلَافًا لِلطَّحَاوِيِّ . وَكَأَنَّ الْأَشْيَاءَ الَّتِي ثَبَتَ ذِكْرُهَا فِي حَدِيثِ أَبِي سَعِيدٍ لَمَّا كَانَتْ مُتَسَاوِيَةً فِي مِقْدَارِ مَا يُخْرَجُ مِنْهَا مَعَ مَا يُخَالِفُهَا فِي الْقِيمَةِ دَلَّ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ إِخْرَاجُ هَذَا الْمِقْدَارِ مِنْ أَيِّ جِنْسٍ كَانَ ، فَلَا فَرْقَ بَيْنَ الْحِنْطَةِ وَغَيْرِهَا . هَذِهِ حُجَّةُ الشَّافِعِيِّ وَمَنْ تَبِعَهُ
“Namun hadis Abu Sa’id menunjukkan bahwa ia tidak sepakat atas hal itu (konversi dengan harga), begitu pula Ibnu Umar. Maka tentang masalah ini tidak tercipta ijma’ sahabat, berbeda dengan pandangan ath-Thahawi. Dan segala sesuatu yang telah pasti disebutkan dalam hadis Abu Sa’id, tatkala sama atau setara ukurannya dengan apa yang dikeluarkan, meski berbeda nilainya, seakan-akan telah menunjukkan bahwa yang dimaksud hadis itu adalah mengeluarkan ukuran wajib ini (1 shaa’) dari jenis makanan apapun, tidak terdapat perbedaan antara hinthah dan lainnya. Ini argumen asy-Syafi’I dan pengikutnya.”
وَأَمَّا مَنْ جَعَلَهُ نِصْفَ صَاعٍ مِنْهَا بَدَلَ صَاعٍ مِنْ شَعِيرٍ فَقَدْ فَعَلَ ذَلِكَ بِالِاجْتِهَادِ بِنَاءً مِنْهُ عَلَى أَنَّ قِيَمَ مَا عَدَا الْحِنْطَةَ مُتَسَاوِيَةٌ ، وَكَانَتْ الْحِنْطَةُ إِذْ ذَاكَ غَالِيَةَ الثَّمَنِ ، لَكِنْ يَلْزَمُ عَلَى قَوْلِهِمْ أَنْ تُعْتَبَرَ الْقِيمَةُ فِي كُلِّ زَمَانٍ فَيَخْتَلِفُ الْحَالُ وَلَا يَنْضَبِطُ ، وَرُبَّمَا لَزِمَ فِي بَعْضِ الْأَحْيَانِ إِخْرَاجُ آصُعٍ مِنْ حِنْطَةٍ ،
Adapun orang-orang yang menetapkan ukuran ½ shaa’, menggantikan 1 shaa’ sya’iir, sungguh ia berbuat demikian itu berdasarkan ijtihad dengan pertimbangan bahwa makanan selain hinthah bernilai/harga sama, sementara hinthah ketika itu mahal harganya (sehingga dipandang setara dengan 1 shaa’ tamr atau 1 shaa’ sya’iir). Namun mesti ditekankan pada pendapat mereka agar dipertimbangkan perubahan harga pada setiap waktu, maka keadaannya akan berubah dan tidak baku, dan terkadang pada sebagian keadaan mesti mengeluarkan beberapa shaa’ hinthah.”[19]
Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa konversi wajib zakat fitrah dengan nilai atau harga memiliki akar pemikiran Islam yang kokoh, paling tidak mengacu kepada sikap Mu’awiyah dan para sahabat Nabi yang sejalan dengannya.
Meski demikian, perlu ditegaskan di sini bahwa pengamalan kewajiban zakat fitrah berdasarkan satuan berat jenis memiliki “resiko hukum” bahwa ukuran zakat yang dikeluarkan oleh wajib zakat (muzakki) pada hakikatnya tidak boleh sama, tergantung jenis beras yang biasa dikonsumsi oleh masing-masing muzakki. Di sinilah terkadang “neraca menjadi miring”, ketika membayar hak orang lain digunakan beras “Raskin” sementara yang dikonsumsi sehari-hari beras “super”, misalnya. Karena itu, penetapan zakat fitrah sebesar 2,5 Kg merujuk kepada ghalib atau kelaziman berat jenis beras yang rata-rata dikonsumsi oleh mayoritas masyarakat di lingkungan kita.
Demikian pula, apabila dikonversi berdasarkan satuan harga (qiimah) juga memiliki “resiko hukum” bahwa ukuran zakat yang dikeluarkan oleh wajib zakat (muzakki) pada hakikatnya tidak boleh sama, tergantung harga jenis beras yang bersangkutan. Karena itu, berdasarkan konversi qiimah, besaran zakat fitrah setiap tahun bisa jadi berubah sesuai dengan perubahan harga yang berlaku saat itu.

By Amin Muchtar, sigabah.com/beta

[1]Lihat, HR. Ahmad, Musnad Ahmad, V: 432, No, Hadis 23.713, Ath-Thahawi, Syarh Ma’ani al-Atsar, II:45, Abdurrazaq, Al-Mushannaf, III:318, No. Hadis 5785, ad-Daraquthni, Sunan ad-Daraquthni, II:150, No. Hadis 52.
[2]Lihat, HR. Ahmad, Musnad Ahmad, V: 432, No, Hadis 23.714, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II: 114, No. Hadis, 1619, Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV: 167, No. Hadis 7498, Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II: 148, No. Hadis 39 dan 41, Thahawi, Syarh Ma’ani al-Atsar, II:45, Ibnu Amr asy-Syaibani, Al-Ahad wa al-Matsani, I: 452, No. Hadis 628.
[3]Lihat, HR. Ath-Thabrani, al-Mu’jam al-Kabir, I: 224, No. hadis 613, Ibnu Amr asy-Syaibani, Al-Ahad wa al-Matsani, III: 115, No. Hadis 1437.
[4]Lihat, al-Mu’jam al-Kabir, I: 224.
[5]Lihat, Sunan at-Tirmidzi, III: 61, No. Hadis 674, Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV: 172, No. Hadis 7515, ad-Daraquthni, Sunan ad-Daraquthni, II: 141, No. Hadis 17, dan al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, I:569, No. Hadis 1492.
[6]Lihat, HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:547, No. hadis 1432; II:549, No. hadis 1440, Muslim, Shahih Muslim, II:677, No. hadis 984, II:678, No. hadis 984, At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, III:62, No. Hadis 676, An-Nasai, As-Sunan al-Kubra, II: 26, No. Hadis 2284, Sunan An-Nasai, V:47, No. Hadis 2500, V:48, No. Hadis 2503, V:49, No. Hadis 2505, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:112, No. Hadis 1611, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:585, No. Hadis 1826, Ahmad, Musnad Ahmad, II:63, No. Hadis 5303.
[7]Lihat, As-Sunan al-Kubra, II: 27, No. Hadis 2290, Sunan An-Nasai, V:51, No. Hadis 2511
[8]Lihat, HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1436; Muslim, Shahih Muslim, II:678, No. hadis 984, Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I:584, No. Hadis 1825.
[9]Lihat, As-Sunan al-Kubra, IV: 169, No. Hadis 7503
[10]Lihat, Abu Ya’la, Musnad Abu Ya’la, X:203, No. Hadis 5834, Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 85, No. Hadis 2404.
[11]Lihat, Syarh al-Mumti’ ‘ala Zaad al-Mustaqni’, karya Syekh Shalih al-Utsaimin, VI:176
[12]Lihat, Tawdhih Al-Ahkam Syarah Bulughul Maram,  III:178.
[13]Lihat, At-Tafsir al-Muniir, juz 2, hlm. 141.
[14]Lihat, HR. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:548, No. hadis 1436; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, I: 584, No. Hadis 1825.
[15]Lihat, As-Sunan al-Kubra al-Baihaqi, IV:168; Shahih Ibnu Khuzaimah, IV: 85
[16]Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, V:142; Irsyad as-Sari Syarh Shahih al-Bukhari, III:87-88.
[17]Lihat, Syarh Ma’ani al-Atsar, II: 42; Syarh Musykil al-Atsar, IX: 24.
[18]Lihat, Syarh Ma’ani al-Atsar, II: 42, Ad-Daraquthni, Sunan Ad-Daraquthni, II: 145, No. Hadis 30; Al-Baihaqi, As-Sunan al-Kubra, IV: 165, No. hadis 7491, Al-Hakim, al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, I: 570, No. hadis 1495, Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, VIII:98, No. Hadis 3306, Ibnu Khuzimah, Shahih Ibnu Khuzimah, IV:89, No. hadis 2419
[19]Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, V:144.