Pages

Rabu, 19 September 2012

SIAPAKAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH? (BAGIAN XII)


(2) Qiyâs

Pada pembahasan sebelumnya telah disampaikan bahwa Madzhab Hanafi, dalam menetapkan hukum—jika tidak ditemukan dalam 4 sumber (Al-Quran, sunnah, ijma’ serta fatwa-fatwa sahabat)— menggunakan  dasar & metode Istihsân, Qiyâs, dan ‘urf. Dasar & metode berijtihad yang demikian itu juga dilakukan pula oleh madzhab lainnya kecuali Istihsân. Istihsân—sebagai dasar & metode trade mark (khas) madzhab Hanafi—sebenarnya adalah pengembangan dari metode Qiyâs.
Pengembangan ini juga dilakukan oleh madzhab Maliki yang dinamakan dengan mashâlih al-mursalah.
Untuk lebih memahami aspek pengembangan itu, maka dalam bagian ini akan dibahas tentang dasar dan metode Qiyâs.

Pengertian Qiyâs

Qiyâs menurut bahasa berarti menyamakan, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyâs juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meteran atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya. (Lihat, Ushûl Al-Fiqh Al-Islâmî, hal. 108, Al-Mankhûl Min Ta‘lîqât Al-Ushûl, hal. 333, Ashr al-Ikhtilâf, hal. 468; Sullâm al-Wushûl li ‘Ilm al-Ushûl, hal. 205)
Adapun menurut istilah, Qiyâs memiliki banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih, antara lain:
  • "memberlakukan ketentuan hukum yang ada pada pokok kepada cabang karena ada pertautan ‘illat antara keduanya"
تَعْدِيَةُ الْحُكْمِ مِنْ الْأَصْلِ إلَى الْفَرْعِ بِعِلَّةٍ مُتَّحِدَةٍ
Definisi di atas versi Shadr as-Syarî‘ah Ubaidullah bin Mas’ud (w.747 H/1346 M.), salah seorang tokoh ushul fiqih Hanafi. (Lihat, Syarh At-Talwîh ‘Alâ At-Tawdhîh li Matn At-Tanqîh fî Ushûl al-Fiqh, II:170)
  • "Menghubungkan satu persoalan yang tidak (belum) ada ketentuan hukumnya di dalam nash dengan suatu persoalan yang telah ditetapkan oleh nash  hukumnya, karena antara keduanya terdapat persamaan ‘illat (sebab/motif hukum)"
إِلْحَاقُ أَمْرٍ غَيْرِ مَنْصُوْصٍ عَلَى حُكْمِهِ بِأَمْرٍ آخَرَ مَنْصُوْصٍ عَلَى حُكْمِهِ لِاشْتِرَاكٍ بَيْنَهُمَا فِى عِـلَّةِ الحُكْمِ
Definisi di atas versi Muhammad Abd al-Ghanî al-Bajiqanî (Lihat, Al-Madkhal Ilâ Ushûl al-Fiqh al-Mâlikî, hal. 107)
  • "mengembalikan cabang ke pokok karena terdapat pertautan ‘illat antara keduanya dalam penetapan hukum"
رَدُّ الفَرْعِ إِلَى الأَصْلِ بِعِلَّةٍ يَجْمَعُهُمَا فِى الحُكْمِ
Definisi di atas versi Mushthafâ Sa‘îd al-Khin (Lihat, al-Kâfî wa al-Wâfî fî Ushûl al-Fiqh al-Islâmî, hal. 184. Bandingkan dengan versi Abû al-Hasan Muhammad bin Ali bin at-Thayib, dalam al-Mu‘tamad fî Ushûl al-Fiqh, II: 443)

Dalam redaksi lain:
إِلْحَاقُ فَرْعٍ بِأَصْلٍ فِى حُكْمٍ لِاشْتِرَاكِهِمَا فِى عِلَّةِ الحُكْمِ
“menghubungkan atau menyamakan hukum cabang (furû‘) dengan pokok karena terdapat pertautan ‘illat hukum antara keduanya.”

Dari beberapa pengertian/definisi yang telah dikemukakan di atas memang terdapat perbedaan redaksional, tetapi esensinya adalah sama.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa qiyâs itu ialah menghubungkan dan atau menyamakan dan memberlakukan ketentuan hukum suatu persoalan yang telah disebutkan oleh nash kepada sesuatu persoalan yang belum ada ketentuan hukumnya dengan berpijak pada kesamaan ‘illat hukumnya.

Oleh karena itu, apabila nash telah menjelaskan hukum sesuatu persoalan dan di dalamnya diketahui ada ‘illat penetapannya dan kemudian terdapat persoalan lain (masalah baru) yang ‘illat-nya sama dengan apa yang telah disebutkan oleh nash, maka -atas dasar kesamaan ‘illat ini- keduanya berlaku ketentuan hukum yang sama pula. (Lihat, Mashâdir at-Tasyrî‘ al-Islâmî, hal. 27)

Dari pengertian qiyâs yang telah dikemukakan di atas ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu: pertama, bahwa dalam melakukan qiyâs boleh persoalan baru yang belum ada ketentuan hukumnya (furû‘) dibawa, dihubungkan atau disamakan dengan persoalan yang telah ditetapkan hukumnya di dalam nash. Artinya ketentuan hukum di dalam nash menjadi tempat penyamaan hukum. Defenisi ini, misalnya seperti dikemukakan oleh Muhammad Abd al-Ghanî al-Bajiqanî dan Mushthafâ Sa‘îd al-Khin. Kedua, memberlakukan ketentuan hukum yang ditetapkan di dalam nash kepada persoalan baru yang belum ada ketentuan hukumnya karena keduanya terdapat kesamaan ‘illat.

Kedua bentuk peng-qiyâs-an ini sebetulnya menuju satu titik yang sama, yang berbeda hanyalah cara pelaksanaannya saja. Dalam pelaksanaannya, qiyâs dapat dilakukan bila memenuhi empat unsur yang dikenal dengan istilah “arkân al-qiyâs”(rukun-rukun qiyâs).
Ulama Ushul Fiqh mengatakan bahwa qiyâs harus berpijak pada empat unsur. Dengan berpijak pada empat rukun ini, akan menghasilkan ketetapan hukum yang sebanding antara pokok dengan cabang. Jika tidak demikian qiyâs tidak dapat terlaksana.

Dari sejumlah rumusan rukun qiyâs dalam kitab-kitab Ushul Fiqh terdapat tiga versi hierarkis: pertama, rukun qiyâs terdiri atas: al-ashl (pokok), al-far‘u (cabang), hukum al-Ashl dan ‘illat. Kedua, rukun qiyâs adalah: al-ashl, al-far’u, al-‘illat dan al-hukm. Ketiga, rukun qiyâs adalah: al-ashl, al-hukm, al-far’u dan al-‘illat. (Lihat, Mashâdir at-Tasyrî‘ al-Islâmî, hal. 60, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, III: 5, Mashâdir al-Ahkam al-Islâmîyah, hal. 92, Ushûl al- Fiqh al-Islâmî, hal. 120, Irsyâd al- Fuhûl, hal. 204, dan Muhammad al-Khudarî Beik, Ushûl al-Fiqh, hal. 293)

Keempat rukun atau unsur qiyâs tersebut adalah:
  • Harus ada apa yang disebut dengan pokok (الأصل), yaitu persoalan yang telah dijelaskan ketentuan hukumnya di dalam nash. Pokok ini sering pula disebut dengan “المـقـيس عـليــه” yakni yang menjadi tempat sandaran qiyâs, dan kadang-kadang disebut pula dengan “المشـبـه بــه” menjadi tempat penyamaan sesuatu.
  • Adanya cabang (الفرع), yaitu persoalan atau perkara baru yang tidak ada nash yang menjelaskan hukumnya dan ia akan disamakan hukumnya dengan pokok.
  • Adanya ketetapan hukum asal (الحـكـم الأصـلى) yang telah dijelaskan oleh nash pada pokok. Ketentuan hukum ini adalah hukum yang sudah pasti yang melekat pada pokok sebagai tempat penyandaran kesamaan hukum bagi cabang.
  • Adanya ‘illat (العلة), yakni suatu sifat atau keadaan yang menjadi alasan/dasar penetapan hukum pada pokok dan ‘illat ini juga terdapat pada cabang yang akan dicari hukumnya. ‘Illat ini harus jelas, relatif dapat diukur dan kuat dugaan bahwa dialah yang menjadi alasan penetapan hukum Allah dan Rasul-Nya.
Untuk melihat aplikasi qiyâs, berikut ini dikemukan salah satu contoh larangan “jual-beli” ketika dikumandangkan azan Jum’at. Larangan ini didasarkan pada firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ...
Hai orang-orang yang beriman apabila kamu diseru untuk mengerjakan shalat Jum‘at, maka segeralah kamu ingat kepada Allah dan tinggalkanlah jual-beli… (QS. Al-Jumu‘ah, 62:9)

Ayat ini di-qiyâs-kan kepada persoalan lain, seperti berbagai transaksi dan aktifitas lainnya -selain jual beli- yang dilakukan pada saat azan dikumandangkan pada hari Jum’at, maka juga dilarang karena ada persamaan ‘illat-nya, yaitu melalaikan untuk ingat kepada Allah. (Lihat, Mashâdir at-Tasyrî‘ al-Islâmî, h. 24-25)

Perintah meninggalkan jual-beli ketika azan Jum‘at dikumandangkan pada hari Jum‘at adalah pokok (al-ashl). Sedangkan berbagai transaksi dan kegiatan lainnya adalah cabang (al-far‘u) yang akan dicari hukumnya. Larangan "jual-beli" hukum pokok dan “melalaikan” adalah illat-nya. Oleh karena berbagai transaksi dan kegiatan itu mempunyai persamaan ‘illat dengan pokok yaitu bisa melalaikan untuk ingat kepada Allah, maka hukumnya juga dilarang.

Keempat rukun/unsur yang disebutkan di atas merupakan patokan dalam melakukan qiyâs. Qiyâs tidak dapat dilakukan bila salah satu dari keempat rukun ini diabaikan atau tidak ada. Seseorang yang akan melakukan qiyâs hendaklah terlebih dahulu harus mengetahui dan meneliti dalil nash secara seksama serta ketentuan hukum apa yang ada di dalamnya. Setelah itu meneliti ‘illat yang menjadi dasar penetapan hukum pada pokok. Begitu pula meneliti ‘illat pada persoalan baru (cabang) yang akan dicari hukumnya.

Jika ‘illat pada pokok dan cabang sudah diketahui dan terdapat unsur persamaannya, maka dapat dilaksanakan qiyâs antara cabang dan pokok. Meski begitu, orang yang akan melakukan qiyâs dituntut agar berhati-hati dalam mengambil dalil nash dan ketentuan hukum, serta harus cermat dalam meneliti ‘illat yang terdapat – baik pada pokok maupun pada cabang; apakah ada relevansinya (munâsabah) antara keduanya. Dengan kata lain, ‘illat yang terdapat pada pokok dan cabang, hendaklah terdapat kesamaan substansial antara keduanya yang memungkinkan diperlakukan sama ketentuan hukumnya.

Memang dalam prakteknya, pemikiran tentang ‘illat hukum ternyata di kalangan ulama berbeda-beda satu sama lainnya. Yang dimaksudkan di sini ialah pemahaman mereka tentang keberadaan ‘illat dan aplikasinya dalam  penetapan hukum tasyrî‘ adalah tidak sama. Ketidaksamaan ini, tentu saja, jelas akan mempengaruhi nilai dari ketetapan hukum yang dihasilkan.

Contoh yang paling sering dirujuk oleh ulama Ushul Fiqh ialah tentang ‘illat riba, baik riba fadhl (dalam jual-beli) maupun riba nasi`ah (dalam hutang-piutang) pada enam macam benda yang disebutkan dalam hadis Nabi, yaitu: emas, perak, gandum (Burr), gandum (Sya'ir), kurma, dan garam). (HR. Muslim, Shahih Muslim, III:1211)

Berdasarkan hadis ini ulama Ushul sepakat bahwa keenam macam benda tersebut bisa mendatangkan riba. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat tentang ‘illat yang menjadi dasar penetapan hukum riba tersebut.

Kalangan madzhab Hanafi mengatakan bahwa ‘illat riba—riba fadhl—dari keenam macam benda tersebut ialah timbangan dan takaran yang dalam istilah Fiqh disebut dengan al-kail wa al-wazn (الكيل والوزن). Adapun riba nasi`ah ialah wujud dari dua sifat benda yang sejenis, yaitu takaran dan timbangan. Sementara itu, kalangan madzhab Malikiyah dan Syafi‘iyah berpendapat bahwa ‘illat riba fadhl adalah emas dan perak, karena sifat keduanya merupakan standar harga. Sedangkan untuk empat macam benda lainnya ‘illat-nya ialah makanan pokok (al-qût). Mengenai riba nasi`ah ‘illat-nya adalah pada emas dan perak, karena keduanya merupakan standar harga. (Lihat, Ashr al-Ikhtilâf, hal. 493-494)

Kemudian, dalam hubungan ini, kalangan madzhab Hanabilah berpendapat bahwa ‘illat riba dari emas dan perak ialah karena ia jenis benda yang dapat ditimbang dan sedangkan empat jenis benda lainnya ‘illat-nya ialah takaran. (Lihat, Ashr al-Ikhtilâf, hal. 496-497)

Agaknya, kalangan madzhab Hanabilah mempunyai pandangan yang sama dengan Hanafiyah, tetapi mereka membedakan antara sifat ‘illat timbangan  dan sifat ‘illat takaran. Untuk emas dan perak ‘illat-nya adalah timbangan, karena ia hanya bisa dinilai dengan timbangan, bukan takaran. Adapun ‘illat untuk empat jenis benda lainnya -gandum, syair, kurma dan garam- adalah takaran dengan asumsi bahwa ia bisa ditakar.

Kelihatannya, kalangan madzhab Hanabilah membedakan dua sifat ‘illat timbangan dan takaran. Sebetulnya, membedakan dua sifat ‘illat disebut terakhir ini, kalangan Hanabilah tidak mempunyai pijakan yang kuat karena baik emas dan perak, begitu pula gandum, syair, garam dan kurma, kesemuanya bisa ditakar dan ditimbang.  Tidak ada artinya membedakan dua macam sifat ‘illat antara timbangan dan takaran bagi keenam jenis benda yang disebutkan di atas, jika keduanya dapat diterapkan dan mengandung asumsi yang sama.

Demikian pula halnya dengan kalangan madzhab Malikiyah dan Syafi‘iyah yang membedakan dua sifat ‘illat antara standar harga dan al-qût, menyatakan riba Fadhl terjadi pada emas dan perak karena ia menjadi standar harga. Akan tetapi, jika hanya emas dan perak yang dapat menimbulkan riba fadhl  karena ia menjadi standar harga tidaklah tepat.  Sifat riba fadhl bisa pula terjadi pada empat jenis benda lainnya.  Demikian pula dengan ‘illat al-qût bagi empat jenis benda, selain dari emas dan perak, juga tidak tepat, karena seperti garam bukanlah termasuk makanan pokok.

Karena itu, dari ketiga pandangan di atas, agaknya kalangan madzhab Hanafiyah lebih tepat dalam melihat dan menentukan hubungan ‘illat dengan penetapan hukum riba fadhl dan nasi`ah terhadap enam macam benda di atas, yaitu timbangan dan takaran.

Adapun membedakan antara riba fadhl dan nasi`ah hanyalah berkaitan dengan sifat pelaksanaannya. Jika dalam kegiatan tukar-menukar (jual-beli) terhadap benda sejenis yang salah satunya lebih—tidak sama takaran atau timbangannya—maka hal ini disebut riba fadhl.  Sementara riba nasi`ah, jika dalam kegiatan tukar menukar (jual-beli) dengan telah ditentukan harganya, dan setelah jatuh tempo waktu  pembayaran (pengembalian) tidak dipenuhi, maka pembayaran atau pengembalian harus lebih.

Dari contoh kasus yang telah dikemukakan di atas, dapat dilihat dengan jelas bahwa penentuan ‘illat sebagai alasan penetapan hukum di kalangan ulama terdapat perbedaan. Akibat perbedaan ini, maka kadang-kadang produk hukum yang dihasilkan juga berbeda. Diakui bahwa kadang-kadang ulama berbeda dalam menentukan ‘illat sementara hukum yang ditetapkan sama, seperti kasus pada enam macam benda pada contoh di atas, dimana ulama berbeda dalam menentukan ‘illat tetapi ketentuan hukum yang ditetapkan adalah sama; yakni riba fadhl dan riba nasi`ah hukumnya haram. Dan kadang-kadang berbeda dalam menentukan ‘illat dan berbeda pula hukum yang ditetapkan.

Dari apa yang telah dikemukakan ini ternyata perbedaan dalam ketetapan hukum, seperti banyak ditemui dalam berbagai leteratur dan refleksinya dalam kehidupan praktis umat adalah berakar dari perbedaan penentuan ‘illat sebagai dasar atau alasan pensyariatan hukum. Perbedaan ini terlihat—terutama sekali—dalam menentukan sifat ‘illat yang tidak disebutkan oleh nash.

Dari apa yang telah dikemukakan di atas dapat dipahami bahwa dasar & teori qiyâs ini pada intinya memperluas pemberlakukan suatu ketentuan hukum yang sudah pasti di dalam nash kepada berbagai persoalan yang tidak disebutkan oleh nash (persoalan baru), di mana antara keduanya terdapat kesamaan ‘illat. Dengan menggunakan teori ini, tentu banyak persoalan yang dapat dipecahkan secara syar‘î, yang hingga saat ini tetap digunakan oleh para ulama sebagai salah satu alat dalam penetapan hukum tasyrî‘.

Kehujjahan qiyâs

Bila dicermati secara seksama bahwa dasar & teori qiyâs ini digunakan oleh hampir semua ulama mazhab dalam istinbâth hukum. Berbagai kasus hukum dapat dipecahkan dengan menggunakan teori ini dengan prinsip kerjanya mencari hubungan persamaan atau mencari persamaan ‘illat antara sesuatu yang telah disebutkan oleh nash dengan sesuatu yang tidak disebutkan oleh nash. Artinya, berbagai masalah yang muncul yang belum ada ketentuan hukumnya dapat dipecahkan dengan mencari hubungan persamaannya dengan sesuatu yang telah disebutkan oleh nash. Lebih-lebih di abad modern sekarang ini, dasar & teori ini menjadi penting dan sangat strategis dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dalam kehidupan umat.

Meskipun demikian ada sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan penggunaan qiyâs sebagai dasar hujjah, di antaranya Madzhab Zhahiri dan Madzhab Syi'ah.

Adapun asas legalitas qiyâs sebagai metode ijtihad, Abu Hanifah sebagaimana ulama madzhab lainnya mendasari kepada firman Allah:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا أَطِيْعُوْا اللهَ وَأَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ. فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْئٍ فَرُدُّوْهُ إِلَى اللهِ وَالرَّسُوْلِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الأَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيْلاً
Hai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri di antara kamu. Sekiranya ada perbedaan pendapat di antaramu tentang sesuatu (yang tidak ada ketegasan dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul), maka kembalilah kepada Allah dan Rasul”. (QS. An-Nisa’, 4: 59)

Pendalilan ayat: “Mengembalikan sesuatu—yang tidak ada ketegasan dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul—kepada Allah dan Rasul itu tiada lain dengan mengetahui berbagai indikasi dan petunjuk dari Al-Quran dan Sunnah Rasul kepada sesuatu yang menjadi sasaran penetapan hukum. Dan hal itu dengan penentuan ‘illat hukum. Cara demikian itu adalah qiyâs.” (Lihat, Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, hal. 221)

Dan mendasari kepada hadis, di antaranya hadis tentang jawaban Nabi saw. kepada Umar ra. Kata Umar:
صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ فَقُلْتُ لَا بَأْسَ بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفِيمَ
“(wahai Rasulullah) Aku telah melakukan perkara yang besar, aku menciumi istri ketika sedang shaum.” Maka Rasulullah saw. berkata kepada Umar ra., “Bagaimana pendapat kamu jika berkumur-kumur dengan air padahal kamu sedang shaum?” Umar ra. Menjawab, “Tidak apa-apa dengan hal itu.” Maka Rasulullah saw. berkata, “Lanjutkan shaum kamu.” (HR. Ahmad, Al-Musnad, I:439, No. hadis 372)

Pendalilan hadis ini, bahwa dalam menetapkan hukum mencium istri ketika shaum apakah membatalkan shaum atau tidak, Nabi saw. menyuruh Umar untuk meng-qiyâs-kan  kepada persoalan lain, yaitu  berkumur-kumur dengan air ketika shaum. Karena berkumur-kumur dengan air tidak membatalkan shaum, maka mencium istri juga tidak membatalkan shaum.

Selain itu, asas legalitas qiyâs juga merujuk pada hadis:
عَنْ أُنَاسٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم لَمَّا أَرَادَ أَنْ يَبْعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ قَالَ: كَيْفَ تَقْضِيْ إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ ؟ قَالَ: أَقْضِيْ بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْ كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ ص. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِيْ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم؟ قَالَ: أَجْتَهِدُ بِرَأْيِيْ - رواه أبو داود -
Dari beberapa orang penduduk Himsh, yaitu para shahabat Mu’adz bin Jabal, bahwasannya Rasulullah saw. ketika akan mengutus Mu’adz ke Yaman, Beliau bertanya:’Bagaimana kau akan menetapkan suatu perkara yang datang kepadmu?’ Ia menjawab: ‘Saya akan tetapkan dengan Alquran’ Beliau bertanya lagi: ‘Bagaimana jika tidak ada dalam Alquran?’ Ia menjawab: ‘Maka dengan Sunnah Rasulullah’. Beliau bertanya lagi: ‘Bagaiman a jika tidak ada dalam Sunnah Rasul?’ Ia menjawab: ‘Saya akan berijtihad dengan pikiran saya’. HR. Abu Dawud

Dari hadis ini dapat dipahami bahwa seseorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat Al-Quran dan Hadis yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu di antaranya ialah dengan menggunakan qiyâs.

Imam Al-Khathabi berkata:
يُرِيْدُ الإِجْتِهَادَ فِيْ رَدِّ الْقَضِيَّةِ مِنْ طَرِيْقِ الْقِيَاسِ إِلَى مَعْنَى الْكِتَابِ وَ السُّنَّةِ وَلَمْ يُرِدِ الرَّأْيَ الَّذِيْ يَسْنَحُ لَهُ مِنْ قِبَلِ نَفْسِهِ أَوْ يَخْطُرُ بِبَالِهِ مِنْ غَيْرِ أَصْلٍ مِنْ كِتَابٍ أَوْ سُنَّةٍ
“Ijtihad yang dimaksud oleh Mu’adz ialah akan mengembalikan suatu perkara dengan jalan qiyâs kepada makna Quran dan Sunnah, dan ia tidak bermaksud mengunakan semata-mata pikiran yang terlintas di hatinya tanpa bersandar sama sekali kepada Al-Quran atau Sunnah.” (Lihat, Ma’âlim As-Sunnah, IV:165)

Ibnul Qayyim berkata:
فَالصَّحَابَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ مَثَّلُوْا الْوَقَائِعَ بِنَظَائِرِهَا وَشَبَّهُوْهَا بِأَمْثَالِهَا وَرَدُّوْا بَعْضَهَا إِلَى بَعْضٍ فِيْ أَحْكَامِهَا
 “Para Shahabat Nabi saw. membandingkan peristiwa-peristiwa dengan peristiwa yang sama, dan mereka mempersamakan dengan perkara-perkara yang serupa dengannya, dan mereka mengembalikan sebagiannya kepada sebagian yang lain tentang hukum-hukumnya.” (Lihat, I’lâm Al-Muwaqqi’în, I:217)

Pengembangan Metode qiyâs 

Abu Hanifah berpegang kepada qiyâs dalam berijtihad, apabila perkara yang sedang dihadapi tidak terdapat dalam Al-Quran, Hadis dan perkataan Sahabat. Beliau menghubungkan perkara yang dihadapi kepada nash yang ada setelah memperhatikan ‘illat yang sama antara keduanya.

Hukum perkara baru (furu’) yang diijtihadkan melalui qiyâs oleh Abu Hanifah, sebagian ketetapan hukumnya sama dengan hasil qiyâs jumhur fuqaha madzhab yang lain. Akan tetapi sebagian yang lain tidak sama.

Perbedaan ini dilatari oleh perbedaan pertimbangan dalam melakukan qiyâs antara Abu Hanifah dengan fuqaha lain.
Jumhur fuqaha dalam men-qiyâs-kan suatu perkara yang belum ada nash kepada perkara yang sudah memiliki nash, alat pertimbangan mereka adalah terletak pada ‘illat. Argumentasi logis mereka, hukum didasarkan kepada ‘illat bukan pada hikmah.  (Lihat, Muhammad Abu Zahrah, Ushûl al-Fiqh, hal. 250)

Sedangkan bagi Abu Hanifah, dalam proses qiyâs, tidak hanya ‘illat yang dijadikan pegangan. Akan tetapi hikmah dari sebuah hukum adalah aspek yang tidak bisa diabaikan juga. Karena semua ketentuan syari’at mengandung hikmah yaitu untuk kemaslahatan. Oleh sebab itu, setiap permasalahan (furu’) yang mengandung maslahah, maka permasalahan itu bisa di- qiyâs-kan juga kepada permasalahan ashal yang sudah dijelaskan hukumnya dalam Al-Quran, Hadis dan Ijmak sahabat.

Menurutnya, hikmahlah yang mendorong penetapan suatu ketentuan hukum. Pandangan ini menghendaki bahwa pada hakikatnya ‘illat hukum itu adalah hikmah. Hikmah diartikan sesuatu yang terkait dengan tujuan pensyariatan hukum syara‘ yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan bagi manusia dan menghindarkan mereka dari kerusakan. (Lihat, Mu‘jam Musthalahât, h. 184)

Dengan perkataan lain, hikmah adalah suatu keserasian (munâsib) yang mempunyai relevansi terhadap pensyariatan hukum, dimana atas keserasian inilah hukum dibina demi terciptanya kemaslahatan dan terhindar dari kemudaratan. Artinya, penetapan hukum syara‘ yang didasarkan pada ‘illat itu adalah untuk merealisir kemaslahatan bagi manusia dan terhindar dari kerusakan. Oleh karena itu seluruh ketetapan hukum syara‘ tidak ada yang tidak mengandung hikmah bagi umat manusia. (Lihat, Al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh, hal. 204)

Meskipun secara praktik, untuk melihat hikmah apakah yang terkandung dalam suatu ketetapan hukum dan prosedur apa yang dapat ditempuh untuk mengetahui hikmah tersebut, bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah.

Dalam penelitian ulama ternyata tidak semua ‘illat dapat dipahami hubungannya dengan hikmah yang terkandung di dalam semua ketentuan hukum. Dengan kata lain, seperti disebutkan oleh Abd al-Wahhâb Khallâf bahwa salah satu syarat bagi ‘illat ialah terdapatnya relevansi (munâsabah) dengan hikmah yang terkandung dalam pensyari‘atan hukum yakni ada dan tidak adanya suatu hukum tergantung dengan hikmah yang hendak dicapai atau diwujudkan. Akan tetapi, sebagaimana diakui oleh Abd al-Wahhâb Khallâf sendiri:
وَ لَكِنْ لَيْسَتْ كُلُّ عِلَّةٍ تُحَقِّقُ الحِكْمَةَ وتَقْضِى إِلَى الْمَقْصُوْدِ مِنْهَا قَطْعًا فِي كُلِّ جُزْئِيَّةٍ بَلْ قَدْ تَقْضِى إِلَيْهِ قَطْعًا أَوْ ظَنًّا أَوْ شَكًّا أَوْ وَهْمًا
Tidak semua ‘illat dapat merealisasikan hikmah dalam setiap persoalan hukum, sebab kadang-kadang apa yang disebut dengan hikmah itu merupakan sesuatu yang diperkirakan saja atau sesuatu yang belum pasti. (Lihat, Mashâdir at-Tasyrî’ al-Islâmî, hal. 59-60)

Dari pandangan Abd al-Wahhâb Khallâf ini dapat dipahami bahwa ada kalanya ‘illat dan hikmah yang hendak dicapai dari suatu ketetapan hukum itu dapat dipahami oleh akal hubungan antara keduanya, dan ada kalanya tidak bisa dipahami. Terhadap aspek yang pertama -- ‘illat dan hikmah bisa dipahami hubungan antara keduanya -- contoh yang diberikan oleh ulama ushul ialah tentang larangan (haram) meminum khamar. Menurut Sya‘bân dan Abd al-Wahhâb Khallâf bahwa keharaman khamar ‘illat-nya ialah iskâr (memabukkan). ‘illat iskar merupakan pendorong penetapan larangan meminum khamar yang hikmahnya adalah untuk kemaslahatan manusia, yaitu terpeliharanya akal pikiran dari kerusakan. Jadi, ‘illat iskâr sebagai alasan pengharaman khamar mengandung hikmah untuk melindungi akal pikiran dari kerusakan. (Lihat, Ushûl al- Fiqh al-Islâmî, hal. 142, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh, hal. 69-70)

Dalam pandangan Syâri‘, akal merupakan sesuatu yang vital dan amat berharga bagi manusia, dan ia menjadi dasar dalam penentuan ukuran taklîf (pembebanan) dari berbagai ketetapan hukum syara‘. Oleh karena itu, antara iskâr (memabukkan) yang menjadi ‘illat pengharaman khamar dan nilai hikmah yang dikandungnya terdapat hubungan logis yang dapat dipahami oleh akal kita. Sebab, jika tidak demikian, tentu khamar tidak diharamkan atau tidak dilarang untuk diminum.

Aspek yang kedua, yaitu ‘illat yang tidak dapat dipahami hubungannya dengan hikmah yang terkandung dalam suatu ketetapan hukum, dalam persoalan yang disebut terakhir ini, banyak sekali ditemukan ketetapan hukum syara‘ di dalam nash yang tidak dapat dipahami hubungannya dengan hikmah yang terkandung di dalamnya. Contohnya ketetapan hukum yang mewajibkan mandi bagi suami-isteri yang junub. Hal ini dijelaskan oleh ayat:
... وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْا ...(المائدة/٥:٦)
… dan jika kamu junub maka mandilah … (QS. Al-Mâ`idah:6)

Bila dipahami kandungan ayat ini, ternyata ketetapan hukum wajib mandi ‘illat-nya adalah junub. Jika tidak junub, tentu tidak ada ketentuan wajib mandi. Kasus suami-isteri yang melakukan junub yang membawa akibat hukum wajib mandi, tidak dapat dipahami hubungan dengan hikmah yang terkandung di dalamnya.

Contoh kasus yang disebut terakhir ini, di kalangan ulama ushul disebut dengan sebab. Artinya, ia berkaitan dengan hubungan sebab akibat. Bila ketetapan hukum berkaitan dengan sebab akibat, maka hikmah apa yang terkandung di dalamnya tidak dapat dipahami. Sementara di kalangan ulama ada yang berupaya untuk mencarinya, tetapi hal tersebut tidak lain hanyalah perkiraan dan dugaan saja -- yang tidak dapat dijadikan pegangan.  Oleh sebab itu, aspek inilah yang kemudian disebut dengan urusan ta‘abbudî, dimana manusia (hamba) dituntut untuk mematuhinya.

Maka dilihat dari eksistensi ‘illat dan hubungannya dengan hikmah itulah, madzhab Hanafi mengembangkan dasar & metode qiyâs kepada dua bentuk: Pertama, qiyâs jali, yaitu bila ‘illat hukum baik pada furu’ (cabang) dan ashal (pokok) adalah jelas atau nyata, sebagaimana dipergunakan pula oleh jumhur fuqaha yang lain. Qiyâs jali ini digunakan sebagai istilah khusus dalam mazhab Hanafi bagi metode qiyâs dalam jumhur madzhab fuqaha lainnya. Kedua, adalah qiyâs khafy, yaitu bila ‘illat pada furu’ dan ashal tidak sama atau samar-samar. Qiyâs khafy inilah yang dinamakan sebagai Istihsân dalam mazhab Hanafi.

Selasa, 18 September 2012

TAKBIR PADA ADZAN DAN QAMAT

Pengertian Adzan dan Qomat

Adzan secara etimologi (bahasa) berarti  memberitahukan sesuatu. Kata Adzan dengan makna ini digunakan dalam Al-Quran, antara lain Allah Swt. berfirman :
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الْأَكْبَرِ
"Dan (Inilah) suatu pemberitahuan dari Allah dan rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar…” (QS. At-Taubah:3)

Dan juga firman Allah ta'ala :
فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ آذَنْتُكُمْ عَلَى سَوَاءٍ
“Jika mereka berpaling, maka katakanlah: "Aku telah menyampaikan kepada kamu sekalian (ajaran) yang sama (antara kita)…” ( QS. Al-Anbiya':109)

Maksudnya aku telah memberitahukan kepada kalian, jadi pengetahuan kita sekarang sama. (Lihat, An-Nihayah fi Gharib al-Hadits karya Ibnul Atsir, I:34, dan Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, II:53)

Sedangkan secara terminologi (istilah) Adzan berarti pemberitahuan tentang masuknya waktu shalat dengan kalimat-kalimat tertentu sesuai dengan syari'at. (Lihat, Al-Mughni II:53, Subulus Salam Syarh Bulughul Maram, karya Ash-Shan'ani,  II:55)

Disebut demikian karena orang yang adzan memberitahukan orang lain tentang waktu-waktu shalat. Dan dinamakan juga dengan An-Nida (panggilan/seruan) karena muazzinnya memanggil orang untuk melaksanakan shalat. (Lihat, Syarah Al-'Umdah, karya Ibnu Taimiyah, II:95), sebagaimana Allah swt. berfirman :
وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ
"Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal" . (QS. Al-Maidah:58)

Dan juga firman Allah ta'ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
"Wahai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah.." ( QS. Al-Jumu'ah:9)

Adapun Qomat (Iqamah) secara etimologi berarti mendirikan sesuatu apabila dia telah menjadi lurus.
Sedangkan secara terminologi Qomat berarti memberitahukan tentang pendirian/ pelaksanaan shalat fardhu dengan zikir (lafaz) tertentu yang disyari'atkan. (Lihat, Ar-Rawdhu Al-Murbi' ma'a Hasyiyah Ibnu Qasim, I:428)

Jadi adzan adalah pemberitahuan tentang waktu shalat, sedangkan Qomat adalah pemberitahuan tentang pekerjaan (shalat), dan Qomat disebut juga adzan yang kedua, atau panggilan yang kedua. (Lihat, Syarah Al-'Umdah, II:95)

Tarikh Tasyri (Sejarah Pensyariatan) Adzan & Qamat

Sebagaimana telah dimaklumi bahwa salat lima waktu disyariatkan pada malam Mi'raj tiga tahun sebelum hijrah sebanyak 11 rakaat, masing-masing 2 rakaat kecuali salat maghrib 3 rakaat, baik bagi musafir maupun muqim. Setelah hijrah, masing-masing ditambah 2 rakaat kecuali Maghrib dan subuh. Namun setelah turun ayat 101 surat an-Nisa tahun 4 hijriah, maka bagi musafir salat itu  dapat dilakukan 2 rakaat. (Lihat, Fathul Bari, I:554; Taudhihul Ahkam Syarah Bulugh al-Maram, I:469).

Sedangkan salat Jumat disyariatkan (dengan turunnya ayat 9 surat al-Jum’ah) ketika beliau di tengah perjalanan menuju Madinah, yaitu di Bathni wadin (lembah di sekitar Madinah) milik keluarga Banu Salim bin ‘Auf. (Lihat, Tarikh at-Thabari, I:571; Sirah Ibnu Hisyam, juz III, hal. 22; Tafsir al-Qurthubi, juz XVIII, hal. 98)

Adapun pensyariatan adzan dan qamat terjadi pada tahun pertama hijriah setelah Nabi tiba di Madinah (Lihat, As-Sirah An-Nabwiyyah, Karya Ibnu Hisyam, II:154-155; As-Sirah An-Nabawiyyah, karya Ibnu Katsir, II:334-335; Al-Bidayah Wan Nihayah, III:231-232).

Berdasarkan data sejarah di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pensyariatan shalat tidak bersamaan dengan adzan-Qamat. Karena itu dapat dimaklumi apabila pelaksaan salat lima waktu dan salat jumat di awal pensyariatannya tanpa disertai adzan dan qamat. Dengan perkataan lain, Nabi dan kaum muslimin melaksanakan salat fardhu selama 3 tahun tanpa didahului oleh adzan & qamat.

Pensyariatan Kalimat Adzan & Qamat

Kalimat-kalimat pada adzan dan iqomat bukan hasil ijtihad Rasulullah, melainkan ditetapkan berdasarkan wahyu. Bilal dan Ibnu Ummi Maktum sebagai muadzin di Madinah, Abu Mahdzurah sebagai muadzin di Mekah, dan Saad Al-Qarzhi di Kuba, semuanya mengumandangkan adzan dengan menggunakan kalimat-kalimat yang diajarkan oleh Nabi saw. meskipun cara penerimaannya tidak sama. Bilal menerimanya dari Abdullah bin Zaid, sedangkan Abu Mahdzurah dari Nabi saw.

Adapun kalimat-kalimat Adzan versi Abdullah bin Zaid yang diterima oleh Bilal sebagai berikut:
لَمَّا أَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ  -صلى الله عليه وسلم-  بِالنَّاقُوْسِ لِيَضْرِبَ بِهِ لِلنَّاسِ فِي الْجَمْعِ لِلصَّلاَةِ أَطَافَ بِيْ وَأَنَا نَائِمٌ رَجُلٌ يَحْمِلُ نَاقُوْسًا فِي يَدِهِ فَقُلْتُ لَهُ : يَا عَبْدَ اللهِ أَتَبِيْعُ النَّاقُوْسَ فَقَالَ : وَمَا تَصْنَعُ بِهِ قَالَ: قُلْتُ نَدْعُوْ بِهِ لِلصَّلاَةِ قَالَ: أَفَلاَ أَدُلُّكَ عَلىَ مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْ ذلِكَ قُلْتُ: بَلَى قَالَ: تَقُوْلُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ اِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُولُ اللهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُولُ اللهِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الفَلاَحِ حَيَّ عَلَى الفَلاّحِ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ
(Abdullah bin Zaid bin Abdu rabbih berkata) Ketika Rasulullah saw. memerintah memukul naqus (lonceng)  agar orang-orang berkumpul untuk melakukan salat, saya tidur, bermimpi datang seorang laki-laki membawa naqus di tangannya, maka saya bertanya kepadanya, ‘Ya Abdallah ! apakah engkau mau jual naqus itu ?’ Orang itu menjawab, ‘Engkau mau gunakan naqus itu buat apa ?’ Saya jawab, ‘Untuk memanggil  salat’. Ia berkata, ‘Maukah aku unjukan kepadamu cara yang lebih baik ?’ Saya jawab, ‘Ya’ Lalu ia berkata, ‘Kamu ucapkan Allahu Akbar (empat kali) ... (sampai akhir Adzan)’
Kemudian Abdullah bin zaid menghadap Rasulullah untuk melaporkan adzan  yang diterimanya dari mimpi, dan beliau membenarkan hal itu. Kemudian beliau menyuruh agar adzan itu diajarkan kepada Bilal, karena suara Bilal lebih baik daripada Abdullah bin Zaid. Dalam riwayat itu ditegaskan:
إِنَّ هذَا رُؤْيَا حَقٌّ إِنْ شَاءَ اللهُ فَقُمْ مَعَ بِلاَلٍ فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ فَإِنَّهُ أَنْدَى صَوْتًا مِنْكَ فَقُمْتُ مَعَ بِلاَلٍ فَجَعَلْتُ أُلْقيْهِ عَنْهُ وَيُؤَذِّنُ بِهِ
“Sesungguhnya mimpi itu mimpi yang benar, insya Allah, pergilah beserta Bilal, maka ajarkan kepadanya seperti yang kamu terima dalam mimpi itu, sesungguhnya dia lebih bagus suaranya daripadamu. Maka aku pergi bersama Bilal, lalu aku mengajarkan kepadanya, dan ia beradzan dengan itu”

Pada redaksi lain ditegaskan:
يَا بِلاَلُ قُمْ فَانْظُرْ  مَا يَأْمُرُكَ بِهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ زَيْدٍ فَافْعَلْهُ, قَالَ: فَأَذَّنَ بِلاَلٌ
“Hai Bilal berdirilah, perhatikanlah apa yang Abdullah bin Zaid perintahkan kepadamu, lalu lakukanlah.” Abdullah berkata, “Lalu Bilal azdan.”

Hadis di atas diriwayatkan oleh Ahmad,  At-Tirmidzi, al-Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hiban, dan Ibnu Majah tanpa diterangkan adanya qomat. Sedangkan pada riwayat Abu Dawud, Al-Baihaqi, dan Ibnu Abdil Barr, setelah kalimat-kalimat adzan, diterangkan sebagai berikut:
قَالَ ثُمَّ اسْتَأْخَرَ غَيْرَ بَعِيْدٍ قَالَ: ثُمَّ تَقُوْلُ إِذَا أُقِمَتِ الصَّلاَةُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُولُ اللهِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ  ...
Kemudian ia mundur tidak berapa jauh dan ia berkata, ‘Kalau kamu mau salat (qomat) ucapakan,  ‘Allahu Akbar (dua kali)  ....  (sampai akhir Iqomat).

Peristiwa ini terjadi pada tahun pertama hijriah setelah Nabi tiba di Madinah (lihat, As-Sirah An-Nabwiyyah karya Ibnu Hisyam, II:154-155; As-Sirah An-Nabawiyyah karya Ibnu Katsir, II:334-335; Al-Bidayah Wan Nihayah, III:231-232).

Sedangkan kalimat-kalimat adzan yang diajarkan Nabi saw. kepada Abu Mahdzurah sebagai berikut:
...فَعَلَّمَهُ الأَذَانَ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلهَ اِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلهَ اِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُوْلُ اللهِ أَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُولُ اللهِ أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلهَ اِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ اَنْ لاَ إِلهَ اِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُولُ اللهِ أَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَّسُولُ اللهِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ اِلاَّ اللهُ
... Rasulullah saw. telah mengajarinya adzan Allahu Akbar...(dan seterusnya) ” H.r. Ad-Darimi.

Peristiwa ini terjadi ketika Rasulullah kembali dari perang Hunain (lihat, Al-Fathur Rabbani, III:19) Perang Hunain terjadi pada bulan syawwal tahun 8 hijriah (lihat, Qadatun Nabiyyi, 1995:648)

Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa tidak terjadi perbedaan kalimat-kalimat adzan sejak pertama kali dikumandangkan pada tahun pertama hijriah, kecuali  adzan Abu Mahdzurah dengan tarji’, yakni setelah mengucapkan kalimah syahadat dengan suara yang tidak nyaring, ia ulangi dengan suara nyaring. Namun tentang lafal qomat terjadi perbedaan antara satu dengan lainnya.

A.  Iqomat Abu Mahdzurah

Imam Al-Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata:
أَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ  -صلى الله عليه وسلم- أَبَا مَحْذُوْرَةَ أَنْ يَشْفَعَ الأَذَانَ وَيُوْتِرَ الإِقَامَةَ
“Rasulullah saw. memerintah Abu Mahdzurah agar menggenapkan adzan dan mewitirkan qomat.”

Dan pada riwayat Ad-Daraquthni ditegaskan dengan redaksi
وَأَمَرَهُ أَنْ يُقِيْمَ وَاحِدَةً وَاحِدَةً
“Dan Beliau memerintahnya agar qamat satu kali-satu kali.” (Lihat, Fathul Bari, II:100)

Dalam riwayat Abu Nu’aim (Al-Musnad Al-Mustakhraj alas Shahih Muslim, II:4-5) diterangkan bahwa kalimat-kalimat iqamat itu dua kali dua kali kecuali “Hayya ‘alas shalah dan Hayya ‘alal falah. Adapun redaksi hadisnya sebagai berikut:
عَنْ أَبِيْ مَحْذُورَةَ أَنَّ النَّبِيَ  -صلى الله عليه وسلم- قالَ: اَلأَذَانُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُولُ اللهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُولُ اللهِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَالإِقَامَةُ مَثْنَى اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ
Hadis ini menjelaskan bahwa kalimat-kalimat iqomat itu dua kali dua kali kecuali hayya ‘alas shalah dan hayya ‘alal falah.

Dalam riwayat Ibnul Jarud dan Ibnu Hiban disebutkan  bahwa kalimat-kalimat iqamat itu dua kali dua kali kecuali takbir pada awal iqamat sebanyak empat kali. Adapun redaksi hadisnya sebagai berikut:
أَنَّ أَبَا مَحْذُورَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ  -صلى الله عليه وسلم-  عَلَّمَهُ الأَذَانَ تِسْعَ عَشَرَةَ كَلِمَةٍ وَالإِقَامَةَ سَبْعَ عَشَرَةَ كَلِمَةٍ الأَذَانُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ … وَالإِقاَمَةَ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ
Hadis ini menunjukkan bahwa kalimat-kalimat iqomat dua kali dua kali kecuali takbir pada awal iqomat sebanyak empat kali.

Pada riwayat Al-Baihaqi disebutkan bahwa takbir pada iqamat itu dua kali
عَنْ أَبِي مَحْذُوْرَةَ قَالَ: لَمَّا خَرَجَ النَّبِيُ  -صلى الله عليه وسلم-  إِلَى حُنَيْنٍ فَذَكَرَ الْحَدِيْثَ وَقَالَ: فِي التَّكْبِيْرِ فِي صَدْرِ الأَذَانِ أَرْبَعًا قَالَ: وَعَلَّمَنِي   الإِقَامَةَ  مَرَّتَيْنِ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أِكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ
Hadis ini menjelaskan bahwa takbir pada iqomat itu dua kali

Keterangan-keterangan di atas menunjukkan bahwa terjadi perbedaan kalimat-kalimat iqomat yang diajarkan oleh Nabi kepada Abu Mahdzurah, padahal Nabi mengajarkan hal itu pada waktu yang sama, yaitu ketika kembali dari perang Hunain yang terjadi pada bulan syawwal tahun 8 hijriah. Dan riwayat-riwayat ini tidak dapat dipastikan mana yang rajah (kuat).

B.  Iqomat Abdullah bin Zaid

Dalam riwayat Abu Dawud, Al Baihaqi, dan Ibnu Abdil Barr disebutkan bahwa takbir iqamat itu dua kali.
لَمَّا أَمَرَ رَسُوْلُ اللهِ  -صلى الله عليه وسلم-  بِالنَّاقُوْسِ لِيَضْرِبَ بِهِ لِلنَّاسِ فِي الْجَمْعِ لِلصَّلاَةِ أَطَافَ بِيْ وَأَنَا نَائِمٌ رَجُلٌ يَحْمِلُ نَاقُوْسًا فِي يَدِهِ فَقُلْتُ لَهُ يَا عَبْدَ اللهِ أَتَبِيْعُ النَّاقُوْسَ فَقَالَ وَمَا تَصْنَعُ بِهِ قَالَ قُلْتُ نَدْعُوْ بِهِ لِلصَّلاَةِ قَالَ أَفَلاَ أَدُلُّكَ عَلىَ مَا هُوَ خَيْرٌ مِنْ ذلِكَ قُلْتُ: بَلَى قَالَ: تَقُوْلُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ اِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ اللهُ أِكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ قَالَ: ثُمَّ اسْتَأْخَرَ غَيْرَ بَعِيْدٍ قَالَ: ثُمَّ تَقُولُ إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلاَةُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ  ...

Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Al-Baihaqi, dan Ibnu Abdil Barr. Sedangkan dalam riwayat Ahmad,  At-Tirmidzi, al-Hakim, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hiban, dan Ibnu Majah tanpa diterangkan adanya iqomat. Demikian pula dalam kitab-kitab Sirah Rasulullah saw. pada umumnya.

C. Iqomat Bilal

Di atas telah disebutkan bahwa Bilal mendapatkan pengajaran adzan dari Abdullah bin Zaid, namun tidak ditegaskan bahwa Bilal mendapatkan pengajaran iqomat darinya. Hal ini berbeda dengan Abu Mahdzurah yang secara tegas mendapatkan pengajaran adzan dan iqomat dari Rasul.
Bahkan dengan kalimat
1. فَأَلْقِ عَلَيْهِ مَا رَأَيْتَ فَلْيُؤَذِّنْ بِهِ    (maka ajarkan kepadanya seperti yang kamu terima dalam mimpi itu) dan    وَيُؤَذِّنُ بِهِ (dan ia beradzan dengan itu) 
2. فَأَذَّنَ بِلاَلٌ (maka Bilal beradzan)

menunjukkan bahwa dari Abdullah bin Zaid itu Bilal hanya mendapatkan pengajaran adzan  (empat kali takbir) tidak dengan iqomatnya. Oleh sebab itu, untuk mengetahui kalimat-kalimat iqomat Bilal kita perhatikan keterangan-keterangan di bawah ini.
عَنْ أَبِيْ قِلاَبَةَ عَنْ أَنَسٍ قَالَ: كَانَتِ الصَّلاَةُ إِذَا حَضَرَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ  -صلى الله عليه وسلم-  سَعَى رَجُلٌ فِي الطَّرِيْقِ فَنَادَى الصَّلاَةُ الصَّلاَةُ فَاشْتَدَّ ذلِكَ عَلَى النَّاسِ فَقَالُوْا: لَوِ اتَّخَذْنَا نَاقُوْسًا يَا رَسُوْلَ اللهِ فَقَالَ: ذلِكَ لِلنَّصَارَى فَقَالُوْا: لَوِ اتَّخَذْنَا بُوْقًا قَالَ: ذلِكَ لِلْيَهُوْدِ قَالَ فَأُمِرَ بِلاَلٌ أَنْ يَشْفَعَ الأَذَانَ وَيُوْتِرَ  الإِقَامَةَ
Dari Abu Qilabah, dari Anas, ia berkata, “Pada masa Rasulullah, bila tiba waktu salat seseorang berjalan lalu menyeru: as-solah as-solah. Hal itu dirasakan berat oleh orang-orang, maka mereka mengusulkan, ‘Bagaimana kalau kita pakai lonceng wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Itu untuk Nashrani’ Mereka mengusulkan yang lain, ‘Bagaimana kalau terompet?’ Beliau menjawab, ‘Itu untuk Yahudi’ Anas berkata, ‘Maka Bilal diperintah untuk menggenapkan adzan dan mewitirkan iqomat. H.r. Al-Jamaah, Al-Baihaqi, Ibnu Hiban, Ibnu Khuzaimah, Ibnul Jarud, dan Abu Awanah. Redaksi di atas riwayat Al-Baihaqi.

Sedangkan pada riwayat Ibnu Khuzaimah dengan redaksi:
فَأُمِرَ بِلاَلٌ أَنْ يَشْفَعَ الأَذَانَ وَيُوْتِرَ  الإِقَامَةَ  إِلاَّ قَوْلَهُ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ
“Maka Bilal diperintah untuk menggenapkan adzan dan mewitirkan iqomat kecuali perkataan qad qamatis shalah.”

Berdasarkan hadis di atas Imam, Al-Bukhari membuat dua bab dengan judul
بَابٌ اَلأِذَانُ مَثْنَى مَثْنىَ  dan باب الإِقَامَةُ وَاحِدَةٌ إِلاَّ قَوْلَهُ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ
“Bab Adzan matsna-matsna” dan “Bab Qamat itu satu kecuali kalimat qad qamatis shalah.”

Ibnu Hajar menerangkan bahwa yang dimaksud dengan kalimat matsna-matsna adalah marratain-marratain (dua kali-dua kali). (Fathul Bari, II:100)

Memperhatikan keterangan-keterangan di atas, maka kami  tidak mendapatkan satu pun muadzin pada masa Rasulullah yang mengamalkan lafal iqomat Abdullah bin Zaid:
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ

Oleh Sebab itu, pada beberapa riwayat disebutkan:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : اِنَّمَا كَانَ الاَذَانُ عَلَى عَهْدِ رَسُو لِ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ وَالاِقَامَةُ مَرَّةً مَرَّةً غَيْرَ اَنَّهُ يَقُولُ : قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ  قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ وَ كُنَّا اِذَا سَمِعْنَا الاِقَامَةَ نَتَوَضَأُ ثُمَّ خَرَجْنَا اِلَى الصَّلاَةِ .
Dari Ibnu Umar, ia berkata, “Sesungguhnya adzan di zaman Rasulullah saw. itu. tiada lain  dua kali dan iqamatnya satu kali-satu kali, kecuali ucapan Qad qamatis shalat-Qad qamatis shalat Dan kami (para shahabat) apabila mendengar iqamah, kami berwudhu, kemudian kami keluar untuk shalat.” H.r. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasai, Ibnu Hiban, dan Al-Hakim.

Dalam riwayat Al-Baihaqi dengan redaksi:
كَانَ الأَذَانُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ  -صلى الله عليه وسلم-  مَثْنَى مَثْنَى وَالإٌقَامَةُ فُرَادًى
“Adzan di jaman Rasulullah saw. itu dua kali-dua kali dan iqomat satu kali”

Sedangkan pada riwayat Abu Awanah dengan redaksi:
كَانَ الأَذَانُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ  -صلى الله عليه وسلم-  مَثْنَى مَثْنَى وَالإِقَامَةُ مَرَّةً مَرَّةً غَيْرَ أَنَّ الْمُؤَذِنَ إِذَا قَالَ: قَدْ قَامَتِ الصَّلاَةُ قَالَ مَرَّتَيْنِ
“Adzan di jaman Rasulullah saw. itu dua kali-dua kali dan iqomat satu kali-satu kali. Hanya muadzin apabila mengucapkan Qad qamatis shalah dua kali.”

Hal itu diprtegas pula dalam keterangan Salamah bin Al-Akwa’:
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ قَالَ: كَانَ الأَذَانُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  مَثْنَى مَثْنَى وَالإِقَامَةُ فَرْدًا
“Dari Salamah bin Al Akwa, ia mengatakan adzan pada jaman Rasulullah saw. dua kali-dua kali dan iqamah satu kali.” H.r. Ad-Daruquthni

Berdasarkan keterangan-keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa

(a)  Dilihat dari derajat hadis, hadis tentang iqomat dengan satu kali takbir:  الله أكبر derajatnya ashah (lebih sahih).
(b)  Takbir dalam iqamat disyariatkan dengan dua kali takbir: الله أكبر الله أكبر  atau satu kali takbir:  الله أكبر.

Sumber: Ust Amin Mukhtar

Minggu, 16 September 2012

SIAPAKAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH? (BAGIAN XI)

Sebagai catatan tambahan bahwa perkembangan berbagai madzhab itu, selain didukung oleh fuqaha (mujtahid), serta para pengikut mereka, juga mendapat pengaruh dan dukungan dari kekuasaan politik. Misalnya, Madzhab Hanafi mulai berkembang ketika Abu Yusuf, murid Abu Hanifah, diangkat menjadi qadhi dalam pemerintahan tiga khalifah Abbasiyah: Al-Mahdi bin Mansyur (berkuasa 158-169 H/755-785 M), Al-Hadi bin Mahdi (berkuasa 169-170 H/785-786 M), dan Harun Ar-Rasyid (berkuasa 170-193 H/786-809 M). Al-Kharaj adalah kitab yang disusun atas permintaan Harun Al-Rasyid. Kitab ini adalah rujukan utama madzhab Hanafi. Madzhab Maliki berkembang di khilafah Timur atas dukungan Al-Manshur (berkuasa 136-158 H/754-755 M) dan di khilafah Barat atas dukungan Yahya bin Yahya ketika diangkat menjadi qadhi oleh para khalifah Andalusia. Di Afrika, al-Mu'iz Badis mewajibkan seluruh penduduk untuk mengikuti madzhab Maliki.

Adapun Madzhab Syafi'i membesar di Mesir ketika Shalahuddin al-Ayyubi merebut negeri itu (tahun 583 H/1187 M).
Sementara Madzhab Hanbali menjadi kuat pada masa pemerintahan Al-Mutawakkil (berkuasa 232-247 H/847-861 M). Waktu itu al-Mutawakkil tidak mengangkat seorang qadhi kecuali dengan persetujuan Imam Ahmad ibn Hanbal.

Dalam menyimpulkan semua ini, Syah Wali Ad-Dahlawi menyatakan: "Bila pengikut suatu madzhab menjadi masyhur dan diberi wewenang untuk menetapkan keputusan hukum dan memberikan fatwa, dan tulisan mereka terkenal di masyarakat, lalu orang mempelajari madzhab itu terang-terangan. Dengan begitu, tersebarlah madzhabnya di seluruh penjuru bumi. Bila para pengikut madzhab itu lemah dan tidak memperoleh posisi sebagai hakim dan tidak berwewenang memberi fatwa, maka orang tak ingin mempelajari madzhabnya. Lalu madzhab itu pun hilang setelah beberapa lama."

Karena itu dapat dimengerti apabila dari 13 madzhab fiqih yang masih eksis dan berkembang adalah empat madzhab, yaitu Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali.

Berikut ini akan dijelaskan secara garis besar sumber dan metode empat madzhab itu sehingga kita dapat memahami dasar lahirnya berbagai madzhab itu serta mengetahui aspek yang menyamakan dan membedakan antara satu madzhab dengan madzhab lainnya.

(1) Madzhab Hanafi

Dalam konteks aliran fikih, Madzhab Hanafi berarti fikih dan ushul fiqh Imam Abu Hanifah. Namanya An-Nu’man bin Tsabit. Beliau lahir di Kufah tahun 80 H/699 M dan wafat di Baghdad tahun 150 H/767 M, dalam usia 70 tahun. Oleh Ibnu Hajar, beliau dikategorikan thabaqat (generasi ke-6), yaitu sezaman dengan salah seorang sahabat Rasul, namun tidak pernah bertemu. Menurut Imam Nawawi, sezaman dengan 4 shahabat Rasul yang paling akhir wafat, yaitu Anas bin Malik, Abdullah bin Abu Aufa, Sahl bin Sa’ad, dan Abut Thufail.
Setelah berkembangnya madzhab Abu Hanifah, beliau populer dengan sebutan Imam Hanafi. (Lihat, Mukadimah Tuhfatul Ahwadzi, juz 1, hal. 171)

Abu Hanifah thalab al-ilm (menuntut ilmu) dan hadis dari 76 ulama, di antaranya Atha bin Abu Rabbah, Amir as-Sya’bi, ‘Ikrimah maula Ibnu Abbas. Khusus dalam bidang fikih, Abu Hanifah berguru kepada Hammad bin Abu Sulaiman, ahli fikih di Kufah yang populer waktu itu, selama 18 tahun, hingga dipercaya menjadi asistennya. Dari Hammad beliau belajar fikih ulama Irak yang merujuk kepada fikih Ali bin Abu Thalib dan Ibnu Mas’ud.

Sedangkan murid (Hanafiyyun) yang belajar kepada Abu Hanifah sebanyak 97 orang, namun yang paling dekat sarta dipercaya menjadi asistennya ada 4 orang,   (1) Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari, yang populer disebut Abu Yusuf, serta peletak dasar usul fiqh Madzhab Hanafi, (2) Muhamad bin Hasan As-Syaibani, (3) Zufar bin Hudzail, (4) Hasan bin Ziyad.

Adapun tentang sumber Hukum dan metode yang digunakan oleh madzhab Hanafi dalam menetapkan hukum adalah sebagai berikut: Al-Quran, sunnah, ijma’ serta fatwa-fatwa sahabat. Namun jika tidak ditemukan dalam 4 sumber itu, beliau dan para muridnya menetapkan dasar dan metode tersendiri yang terkenal disebut (1) istihsân, (2) qiyâs, dan (3) urf.

(1) Istihsân

Istihsân secara bahasa adalah derivat (musytaq) dari kata al-hasan (apapun yang baik dari sesuatu). Istihsân sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah; meskipun  hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain. (Lihat, Lisan Al-‘Arab, XIII:117)

Adapun menurut istilah, Istihsân memiliki banyak definisi di kalangan ulama Ushul fiqih, di antaranya adalah:
  •  “Mengeluarkan hukum suatu masalah dari hukum masalah-masalah yang serupa dengannya kepada hukum lain karena didasarkan hal lain yang lebih kuat dalam pandangan mujtahid.” Definisi ini versi Al-Karkhy—salah seorang ulama Hanafiyah—dan kemudian dipilih pula oleh Ibnu Qudamah Al-Hanbaly. (Lihat, Kasyf Al-Asrar, IV:3, Rawdhah An-Nazhir wa Jannah Al-Manazhir, I:497
  •  “Meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyâs tertentu menuju qiyâs yang lebih kuat darinya.” (Lihat, Al-Istihsan, hal. 1)
  • “Mengamalkan dalil yang paling kuat di antara dua dalil.” (Lihat, Al-Istihsan, hal. 1)
Dari definisi-definisi tersebut, kita dapat melihat bahwa inti dari Istihsân adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.

Dengan demikian, Istihsân meski dalam aspek tertentu mirip dengan qiyâs namun pada aspek lainnya terdapat perbedaan di antara keduanya. Pada qiyâs ada dua peristiwa atau kejadian. Peristiwa atau kejadian pertama belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Untuk menetapkan hukumnya dicari peristiwa atau kejadian yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash dan mempunyai persamaan 'illat (sebab, motif hukum) dengan peristiwa pertama.

Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum peristiwa pertama sama dengan hukum peristiwa kedua. Sedang pada istihsan hanya ada satu peristiwa atau kejadian. Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kemudian ditemukan nash yang lain yang mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan itu, pindah kepada hukum lain, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu. Dengan perkataan lain bahwa pada qiyâs yang dicari seorang mujtahid ialah persamaan 'illat dari dua peristiwa atau kejadian, sedang pada istihsan yang dicari ialah dalil mana yang paling tepat digunakan untuk menetapkan hukum dari satu peristiwa.

Dasar Hukum Istihsân versi Madzhab Hanafi

Menurut madzhab hanafi, Istihsân sebenarnya semacam qiyâs, yaitu memenangkan qiyâs khafi (samar) atas qiyâs jali (jelas, terang) atau mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyâs jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan Istihsân itu dibolehkan pula karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Di samping Madzhab Hanafi, madzhab lain yang menggunakan Istihsân ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian Madzhab Hanbali.

Sedangkan yang menentang Istihsân dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Madzhab Syafi'i. Istihsân menurut mereka adalah menetapkan hukum syara' berdasarkan keinginan hawa nafsu. Imam As-Syafi'i dalam ungkapannya yang terkenal menyatakan:
مَنْ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ
“Siapa saja yang menetapkan hukum dengan dasar istihsân sungguh ia telah menetapkan sendiri hukum syara'” (Lihat, Ar-Risalah, hal. 507, Al-Umm, VII:270)

Dalam redaksi lain:
مَنِ اسْتَصْلَحَ فَقَدَ شَرَّعَ كَمَنِ اسْتَحْسَنَ وَالإِسْتِصْلاَحُ كَالإِسْتِحْسَانِ مُتَابَعَةٌ لِلْهَوَى
Siapa saja yang menetapkan hukum dengan dasar maslahat berarti sama pula halnya dengan orang menetapkan hukum dengan istihsân, maka orang tersebut telah menetapkan hukum dengan hawa nafsu. (Lihat, Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî, hal. 89)

Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta pengertian Istihsân menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa Istihsân menurut pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari Istihsân menurut pendapat Madzhab Syafi'i.

Menurut Madzhab Hanafi, Istihsân itu semacam qiyâs, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi'i, Istihsân itu timbul karena rasa “kurang enak”, kemudian pindah kepada “rasa yang lebih enak”. Seandainya Istihsân itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu, Imam Asy-Syathibi menyatakan, "orang yang menetapkan hukum berdasarkan Istihsân tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah swt. menciptakan syariat dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara' yang umum." (Lihat, Al-Muwâfaqât fi Ushul Al-Ahkam, V:194)

Ditinjau dari segi pengertian Istihsân menurut ulama ushul fiqh di atas, maka Istihsân itu terbagi atas dua macam:

Pertama, berpindah dari qiyâs jali kepada qiyâs khafi, karena ada dalil yang mengharuskan perpindahan itu. Dalam hal ini Madzhab Hanafi mengajukan contoh studi kasus:
  • Apabila seseorang mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwakafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar Istihsân. Menurut qiyâs jali, hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena mengqiyâskan wakaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila wakaf diqiyâskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu. Sedang menurut Istihsân hak tersebut diperoleh dengan mengqiyâskan wakaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan wakaf. Yang penting pada wakaf ialah agar barang yang diwakafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika wakaf itu diqiyâskan kepada jual beli (qiyâs jali), maka tujuan wakaf tidak akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu dicari ashal (dasar)nya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini menunjukkan adanya persamaan 'illat (sebab, motif hukum), yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyâsnya adalah qiyâs khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan wakaf, maka dilakukanlah perpindahan dari qiyâs jali kepada qiyâs khafi, yang disebut Istihsân.
  • Sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang, burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan Istihsân. Menurut qiyâs jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyâskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya. Menurut qiyâs khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang buas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab dimakan oleh paruhnya, demikian pula air liurnya. Dalam hal ini, keadaan tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas. Berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyâs jali kepada qiyâs khafi, yang disebut Istihsân.
Kedua, berpindah dari hukum kulli (keseluruhan) kepada hukum juz`i (parsial), karena ada dalil yang mengharuskannya. Istihsân jenis ini oleh Madzhab Hanafi disebut Istihsân darurat, karena perpindahan itu dilakukan dengan sebab suatu kepentingan atau kedaruratan. Dalam hal ini Madzhab Hanafi mengajukan contoh studi kasus:
  • Syariat melarang seseorang memperjualbelikan atau mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli dilakukan. Hal ini berlaku untuk segala macam jual beli dan perjanjian. Hukum demikian disebut hukum kuIIi. Tetapi syariat memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang secara cash and carry (kontan) dibayar di muka, namun barangnya itu akan dikirim kemudian (secara tempo), sesuai dengan waktu yang telah dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (bai’ As-salam). Keringanan yang demikian diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah kepada bai’ As-salam itu merupakan pengecualian (istitsna) dari hukum kulli dengan menggunakan hukum juz`i, karena keadaan menghendaki demikian dan telah merupakan adat kebiasaan dalam masyarakat.
  • Menurut hukum kulli, seorang pemboros yang memiliki harta berada di bawah perwalian seseorang, karena itu ia tidak dapat melakukan transaksi hartanya tanpa izin walinya. Dalam hal ini dikecualian transaksi yang berupa wakaf. Orang pemboros itu dapat melakukan atas namanya sendiri, karena dengan wakaf itu hartanya terpelihara dari kehancuran dan sesuai dengan tujuan diadakannya perwalian, yaitu untuk memelihara hartanya. Hukum demikian disebut hukum juz`i.

Demikian gambaran sekilas dasar hukum dan metode istihsân yang digunakan Madzhab Hanafi dalam penetapan hukum. Dengan gambaran ini, diharapkan kita dapat mengetahui aspek yang membedakan madzhab ini dengan tiga madzhab lainnya.

Sumber Ust Amin Mukhtar

Jumat, 14 September 2012

SIAPAKAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH? (BAGIAN X)

7. Terhadap Ta'ashub (Fanatisme) Madzhab 

Pengertian Madzhab

Madzhab menurut bahasa Arab adalah isim makan (keterangan tempat) dari akar kata dzahab (pergi). Jadi, madzhab itu secara bahasa artinya “tempat pergi”, yaitu jalan (ath-tharîq). (Lihat, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, I:28, I‘anah Ath-Thalibin, I:12)

Adapun, menurut istilah umum, madzhab adalah kumpulan pendapat yang bersumber dari pemikiran atau ijtihad seseorang dalam memahami sesuatu, baik filsafat, hukum, teologi, politik, dan lain sebagainya, berdasarkan berbagai kaidah (qawa’id) dan landasan (ushul) yang mendasari pendapat tersebut, yang saling terkait satu sama lain, sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. (Lihat, Ensiklopedi Islam, III:214-215. Bandingkan dengan definisi Dr. Mani’ bin Hammad dalam Al-Mawshu’ah Al-Muyassarah fil Adyan wal Madzahib, II:1152)

Pengertian di atas, menunjukkan bahwa istilah madzhab mencakup dua hal:
  1. Sekumpulan pendapat yang bersumber dari pemikiran atau ijtihad seseorang, yang kami sebut dengan “madzhab qauli”.
  2. Kerangka metodologis yang digunakan oleh orang itu dalam berijtihad, yang kami sebut dengan “madzhab manhaji.
Berdasarkan cakupan istilah di atas, misalnya dalam bidang akidah, jika kita mengatakan madzhab al-Asy'ari itu artinya adalah pendapat dan kerangka metodologis menurut Imam al-Asyari. Dalam bidang fikih, jika kita mengatakan madzhab Syafi’i, itu artinya adalah fikih dan ushul fikih menurut Imam Syafi’i.

Karena itu ketika hendak memahami epistemologi fiqih yang dibangun dan dikembangkan oleh berbagai madzhab itu kita harus mengkaji melalui pendekatan madzhab manhaji, yakni kerangka metodologis fiqih, yang mencakup qawaid ushul fiqih, qawaid ulumul hadis,  dan  thuruqul istinbath (metode penetapan hukum).

Selanjutnya, pemikiran itu diikuti oleh kelompok atau pengikut dan dikembangkan menjadi suatu aliran pemahaman, sekte, atau ajaran, sehingga pengertian madzhab berkembang menjadi (a) ajaran komunitas (kelompok) atau aliran pemahaman umat Islam yang mengacu kepada hasil ijtihad tokoh tertentu, (b)  kelompok umat Islam yang mengikuti metode ijtihad tokoh tertentu. Dari sini, kemudian muncul sebutan, misalnya, madzhab Salafiy dan Salafiyah, Syafi’iy dan Safi’iyyah, dan lain-lain. Perkembangan makna ini dapat dilihat dari sejarah dan latar belakang lahirnya madzhab itu sendiri.
Dalam “ruang terbatas” ini, focus analisa terbatas pada madzhab fiqih, adapun analisa madzhab kalam, insya Allah akan disampaikan pada kesempatan lain.

Latar Belakang dan Perkembangan Madzhab Fiqih

Hukum fiqih itu digali dan diperoleh melalui prosedur kerja dengan menggunakan qawa’id (berbagai kaidah), yakni:
  1.  Qawaid Usuliyyah Lughawiyyah (kaidah-kaidah ushul yang dipetik dari bahasa).
  2. Qawaid Usuliyyah Tasri’iyyah Ijtihadiyyah (kaidah-kaidah ushul fiqh yang disimpulkan dari nash).
dalam berbagai hal menggunakan pula Qawaid Mantiqiyyah (kaidah-kaidah logika).

Dari prosedur kerja secara metodologis itu muncul suatu rangkaian yang mempola: Dalil, Dalalah, dan Madhlul. Ayat atau teks hadis sebagai dalil, kandungan ayat dan atau teks hadis sebagai dalalah. Mafhum (pemahaman) dari kandungan itu sebagai madlul, yang dirumuskan dalam al-ahkam al-khamsah atau kualifikasi hukum yang lima (wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah).

Meskipun demikian dalam prosedur kerja secara metodologis itu terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama fiqh. Perbedaan pendapat itu kemudian membentuk kelompok pendukung yang terdiri atas:
  1. Orang-orang yang mengikuti prosedur kerja secara metodologis imam tertentu meskipun dalam produk Ijtihad (fiqh, pemikiran) tidak selalu mengikuti atau sama dengan ulama itu.
  2. Orang-orang yang mengikuti produk Ijtihad imam tersebut dalam suatu masalah tertentu atau pada setiap masalah.
Selanjutnya berkembang menjadi komunitas atau kelompok umat Islam. Inilah asal muasal lahirnya madzhab dalam fiqh. Adapun perbedaan itu pada dasarnya disebabkan 4 faktor:
Pertama, Al-‘Ilmu bi al-nushush (pengetahuan tentang teks), dalam hal ini berkaitan dengan kelengkapan database hadis, karena perbendaharaan hadis tidak sama.
Kedua, mashadir Al-ahkam, yakni perbedaan dalam menetapkan sumber-sumber hukum, terutama taba’iyyah (sekunder) selain Al-Qur’an dan as-Sunnah.
Ketiga, kaifiyyat fahmin nushush, yakni perbedaan dalam memahami nash karena berbeda dalam rumusan qawaid lughawiyyah (kaidah-kaidah ushul yang dipetik dari bahasa).
Keempat, fi maa laa nasha fiih, yakni persoalan-persoalan yang belum ditetapkan hukumnya didalam nash.

Mashadir Al-Ahkam
Mengenai perbedaan sumber hukum, hal itu terjadi karena ulama berbeda pendapat dalam 4 (empat) perkara berikut, yaitu:

A.Tawtsiqus Sunnah (autentifikasi sunah)
Antara lain berkaitan dengan syarat kehujjahan sunnah. Misalnya,
Madzhab Malik menerima kehujjahan hadis ahad dengan syarat:
(a)tidak bertentangan dengan amal ahlu madinah (sahabat dan tabi’in yang tinggal di Madinah).
(b)Tidak bertentangan dengan qiyas.
Sementera madzhab Hanafi menerima kehujahan hadis ahad dengan syarat antara lain; para rawi tersebut tidak menyalahi dalalah hadis yang diriwayatkannya itu, baik dalam pengamalan maupun fatwa. Misalnya perintah mencuci bejana 7 kali yang dijilat anjing dalam hadis Abu Hurairah mereka tidak mengamalkan hadis itu karena menemukan fatwa Abu Hurairah yang bertentangan dengan riwayatnya sendiri. Yakni cukup dicuci 7 kali.
Adapun madzhab Syafi’i menerima kehujjahan hadis ahad dengan syarat sanadnya sahih dan muttashil (bersambung).

B. Fatwa sahabat dan kedudukannya.

Abu Hanifah, misalnya, mengambil fatwa sahabat dari sahabat siapa pun tanpa berpegang dengan seorang sahabat, serta tidak memperbolehkan menyimpang dari fatwa sahabat secara keseluruhan. Sebaliknya, Syafi’i memandang fatwa sahabat sebagai ijtihad individual sehingga boleh mengambilnya dan boleh pula berfatwa yang menyelisihi keseluruhannya.

C.Kehujjahan Qiyas.

Sebagian mujtahidin seperti ulama Zhahiriyah mengingkari kehujahan Qiyas sebagai sumber hukum, sedangkan mujtahidin lainnya menerima Qiyas sebagai sumber hukum sesudah Al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma.

D. Subyek dan hakikat kehujjahan Ijma.  

Para mujtahidin berbeda pendapat mengenai subyek (pelaku) Ijma dan hakikat kehujjahannya. Sebagian memandang Ijma Sahabat sajalah yang menjadi hujjah. Yang lain berpendapat, Ijma Ahlul Bait-lah yang menjadi hujah. Yang lainnya lagi menyatakan, Ijma Ahlul Madinah saja yang menjadi hujah. Mengenai hakikat kehujjahan Ijma, sebagian menganggap Ijma menjadi hujjah karena merupakan titik temu pendapat (ijtimâ‘ ar-ra‘yi); yang lainnya menganggap hakikat kehujjahan Ijma bukan karena merupakan titik temu pendapat, tetapi karena dalilun ‘ala wujud dalilin (menyingkapkan adanya dalil dari as-Sunnah).

Kaifiyyah fahmin nusush (Metode Pemahaman Nash)
Mengenai perbedaan dalam cara memahami nash karena berbeda dalam rumusan kaidah lughawiyyah misalnya:  

A. Dilalah (penunjukkan) lafal amm (umum) 
Apakah dilalah lafal amm itu qath’i (pasti)  atau zhanni  (dugaan kuat), dalam perkataan lain apakah cakupan lafal amm kepada seluruh afrad (satuan-satuan) nya itu bersifat qath’i atau zhanni. Sebagian Hanafiyyah, mayoritas Syafi’iyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa dilalah itu zhanni. Sedangkan mayoritas Hanafiyyah berpendapat qath’i 

B. Hukum lafal mutlaq.
Ulama madzhab sepakat bahwa lafal mutlaq itu selama tidak ditaqyid (dibatasi) berlaku atau diamalkan berdasarkan kemutlakannya sehingga lahir kaidah:
المُطْلَقُ يَبْقَى عَلَى إِطْلاَقِهِ
“Lafal mutlak dimaknai sesuai kemutlakannya”
حَمْلُ الْمُطْلَقِ إِلَى الْمُقَيَّدِ إِذَا اتَّفَقَ فِي السَّبَبِ وَالْحُكْمِ
“Lafal mutlak dimaknai muqayyad (terbatas) apabila sesuai dalam sebab dan hukumnya.”

Meski begitu, namun ulama berbeda pendapat dalam menetapkan faktor apa yang menyebabkan bahwa makna mutlak itu harus dipahami muqayyad.
  • Menurut sebagian madzhab Syafi’iyyah, yang mengharuskan demikian semata-mata faktor bahasa.
  • Menurut mayoritas madzhab Syafi’iyyah, yang mengharuskan demikian tidak semata-mata faktor bahasa, namun tidak mutlak harus demikian.
  • Menurut madzhab ashabu Hanafi, yang mengharuskan demikian adalah qias shahih .
C. Amr (kata perintah) 
Berkaitan dengan shigah (bentuk kata), dilalah (petunjuk), dan madlul (pemahaman dari petunjuk)

(a) dilalah sighah amr terhadap hukum pelaksanaan
Apakah setiap amr pasti menunjukan wajib? Dalam hal ini terjadi sembilan pendapat, khususnya di kalangan madzhab Syafi’iyyah, antara lain:
Imam Syafi’I sendiri berpendapat bahwa secara hakiki menunjukan wajib dan jika menunjukan mandub (sunat) atau ibahah (boleh) itu secara majazi (makna kiasan). Sebagian syafi’iyyah, misalnya Abu Al-Hasyim Az-Zuba’I, berpendapat secara hakiki menunjukan mandub, sedangkan selain mandub secara majazi. Sebagian ulama syafi’iyyah lainnya, seperti Tajudin As-Subki, berpendapat secara hakiki menunjukan ibahah selain ibahah secara majazi.

(b)  dilalah sighah amr terhadap jumlah pelaksanaan
Apakah suatu perintah itu sudah cukup jika hanya dikerjakan satu kali saja atau harus dikerjakan berulang kali?
Menurut pendapat syafi’iyyah dan malikiyyah:
الأَصْلُ فِي الأَمْرِ يَقْتَضِي التَّكْرَارَ
“Prinsip dalam perintah itu mengharuskan pelaksanaan secara berulang”
Sementara menurut pendapat hanafiyyah, hanabilah, dan Zahiriyyah:
الأَصْلُ فِي الأَمْرِ لاَ يَقْتَضِي التَّكْرَارَ
“Prinsip dalam perintah itu tidak mengharuskan pelaksanaan secara berulang”

Perbedaan ini berimplikasi pada perbedaan dalam istinbath (penetapan) hukum, misalnya dalam masalah tayamum. Yang berpendapat  يَقْتَضِي التَّكْرَارَ (mengharuskan pelaksanaan secara berulang) beristinbath:
  • kewajiban tayamum harus dikerjakan setiap kali hendak shalat sekalipun belum berhadas.
  • Tidak boleh menjama’ shalat dengan satu tayamum.
Sedangkan yang berpendapat  لاَ يَقْتَضِي التَّكْرَارَ (tidak mengharuskan pelaksanaan secara berulang) beristinbath: cukup dengan satu kali tayamum untuk beberapa kali shalat selama tidak berhadas.  

D. penggunaan makna hakiki dan majazi (kiasan).
Apakah penggunaan kedua arti (hakiki dan majazi) dalam satu ucapan dibolehkan atau tidak misalnya kalimat:
 أقتل الأسد
(uqtulul asad), diartikan suatu perintah membunuh singa (arti hakiki) sekaligus dapat diartikan pula membunuh seorang pemberani (arti majazi) dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat.
  1. Imam syafi’I dan sebagian ulama mutakallimun membolehkan kerena tidak ada penghalang untuk hal itu.
  2. hanafiyah dan jumhur ulama mutakallimun melarang penggunaan dua arti sekaligus dalam satu ucapan, karena penggunaan keduanya sekaligus itu bertentangan dengan ketentuan bahwa pemakaian lafaz menurut arti hakiki tidak memerlukan qarinah (indikasi/keterangan lain) sedangkan menurut arti majazi memerlukan qarinah.
  3. Dilalah lafal ala Al-ma’na (penunjukan lafal terhadap makna)
Dalam hal ini (penunjukan makna) ulama berbeda pendapat.
  1. hanafiah membagi lafal kepada empat macam; ibarah, isyarah, dilalah/nash dan iqhtidha.
  2. Syafi’iyyah membagi lafa kepada dua macam;
  3. Dilalah manzhum, disebut juga mantuq dan sharih. Dilalah ghair manzhum. Dilalah ini terbagi kepada dua macam:
  • Maqsudal ma’na: meliputi Dilalah Iqtidha, Isyarah / Iima’, dan Mafhum. Dilalah mafhum terbagi kepada dua: Muwafaqah (fahwal khithab dan lahnah khithab) dan Mukhalafah (shifat, syarat, illat, hashr, ghayah, adad, dan laqab).
  •  Maqsudal ma’na
Faktor-faktor tersebut bersifat manhajiyyah (metodologis)—yang seringkali tidak mudah dipahami oleh kita sebagai orang awam—yang secara otomatis akan berdampak pada perbedaan dalam masail furuiyyah (fiqih). Di samping itu pada gilirannya melahirkan thariqah (aliran) pemikiran atau perspektif di bidang ushul fiqh. Secara umum terbagi menjadi dua thariqah, yaitu aliran syafi’iyyah/mutakallimun  (jumhur) dan Hanafiyah.

Sumber: Ust Amin Mukhtar

Kamis, 13 September 2012

SIAPAKAH AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH? (BAGIAN IX)

6. Terhadap Ahli Bid'ah

Pengertian Bid’ah

Bid'ah menurut bahasa, diambil dari bida' yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Makna ini terkandung dalam firman Allah:

بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَإِذَا قَضَى أَمْرًا فَإِنَّمَا يَقُولُ لَهُ كُنْ فَيَكُونُ

"Allah pencipta langit dan bumi" Q.s. Al-Baqarah : 117

Artinya Allah yang mengadakannya tanpa ada contoh sebelumnya.

Juga firman Allah:

قُلْ مَا كُنْتُ بِدْعًا مِنْ الرُّسُلِ وَمَا أَدْرِي مَا يُفْعَلُ بِي وَلَا بِكُمْ إِنْ أَتَّبِعُ إِلَّا مَا يُوحَى إِلَيَّ وَمَا أنَا إِلَّا نَذِيرٌ مُبِينٌ

"Katakanlah : 'Aku bukanlah rasul yang pertama di antara rasul-rasul". Q.s. Al-Ahqaf :9

Maksudnya, Aku bukanlah orang yang pertama kali datang dengan risalah ini dari Allah Ta'ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak sebelumku dari para rasul yang telah mendahuluiku.



Makna ini juga terdapat dalam perkataan para imam, antara lain seperti Imam Syafi’i, “Bid’ah itu ada dua, bid’ah yang baik dan bid’ah yang tercela, jika sesuai sunah, maka itu yang baik, tapi kalau bertentangan dengannya, maka itulah yang tercela” H.r. Abu Nuaim, Lihat, Hilyah Al-Awlia, IX:113



Ibnu Rajab berkata, “Adapun perkataan ulama salaf yang menganggap baik sebagian bid’ah adalah bid’ah dalam pengertian bahasa, bukan bid’ah dalam pengertian syariat. Di antaranya perkataan Umar tatkala memerintahkan kaum muslimin untuk melaksanakan salat tarawih pada bulan Ramadhan di satu tempat dengan dipimpin seorang imam, maka beliau berkata, “Inilah sebaik-baiknya bid’ah” Lihat, Jaami’ Al-‘Ulum wa Al-Hikam, I:129



Selain itu bid'ah secara bahasa bermakna pula lelah dan bosan, dikatakan “Abda’at Al-ibilu” artinya unta bersimpuh di tengah jalan, karena kurus atau (terkena) penyakit atau lelah.



Di antara penggunaan kata bid’ah dalam makna ini adalah perkataan seorang laki-laki yang datang menemui Rasulullah,

إِنِّي أُبْدِعَ بِي فَاحْمِلْنِي فَقَالَ مَا عِنْدِي فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا أَدُلُّهُ عَلَى مَنْ يَحْمِلُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ

Sesungguhnya saya kelelahan, tolong berilah saya bekal, maka Rasulullah berkata, ‘Saya tidak punya”. Maka seorang laki-laki berkata, “Wahai Rasulullah, saya akan tunjukan dia kepada orang yang bisa membantunya”. Maka Rasulullah bersabda, ‘Barangsiapa menunjukkan kepada kebaikan, maka dia akan mendapat pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya’.” HR. Muslim, Shahih Muslim, III:1506, No. hadis 1893



Sedangkan secara istilah, para ulama telah memberikan beberapa definisi bidah. Berbagai definisi itu walaupun berbeda secara redaksional, namun memiliki makna yang sama, antara lain:
Menurut Ibn Taimiyah

أَنَّ الْبِدْعَةَ فِي الدِّيْنِ هِيَ مَا لَمْ يَشْرَعْهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ وَهُوَ مَا لَمْ يَأْمُرْ بِهِ أَمْرُ إِيْجَابٍ وَلاَ اسْتِحْبَابٍ فَأَمَّا مَا أُمِرَ بِهِ أَمْرُ إِيْجَابٍ أَوِ اسْتِحْبَابٍ وَعُلِمَ الأَمْرُ بِهِ بِالأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ

Bidah dalam agama adalah perkara wajib maupun sunah yang tidak di syariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Adapun perkara yang diperintahkan-Nya, baik perkara wajib maupun sunah, maka diketahui dengan dalil-dalil syariat. Lihat, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah IV:107-108


Menurut as-Syathibi

أَلْبِدْعَةُ هِيَ عِبَارَةٌ عَنْ طَرِيْقَةٍ فِى الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٌ تُضَاهِى الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا الْمُبَالَغَةُ فِى التَّعَبُّدِ لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى.

Imam Asy Syatibi mengatakan, ”Bid’ah itu adalah keterangan tentang satu cara dalam agama yang diada-adakan, yang menyerupai syariat, dengan mengikuti cara itu dimaksudkan agar lebih bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada Allah swt”. (Lihat, al-I’tisham bi al-Quran wa al-Sunah, I:27-28)



Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa bid’ah itu adalah

اْلأَمْرُ اْلمُحْدَثُ فِى الدِّيْنِ عَقِيْدَةً أَوْعِبَادَةً أَوْ صِفَةً لِلْعِبَادَةِ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

urusan yang diada-adakan dalam agama, baik berupa aqidah, ibadah, maupun cara ibadah yang tidak terdapat pada zaman Rasulullah saw.



Meski demikian, tidak semua perbuatan yang tidak dikerjakan Nabi pada zamannya menjadi sesuatu yang bid’ah, tapi hal itu dapat ditinjau melalui latar belakang apa yang menjadi pertimbangan pada waktu itu dan apa faktor penghambatnya. Di sini penting disampaikan perbedaan bid'ah dan maslahah mursalah. Imam Malik mengatakan:

اِنَّ مَا تَرَكَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابُهُ مَعَ وُجُوْدِ سَبَبِهِ وَدَاعِيَتِهِ اِيَّاهُ اِجْمَاعٌ عَلَى أَنَّهُ غَيْرُ مَشْرُوْعٍ وَلاَ جَائِزٍ فِى الدِّيْنِ

Sesungguhnya apa yang ditinggalkan Nabi dan para sahabatnya, padahal ada sebab dan pendorongnya, maka meninggalkannya terhadap perbuatan itu adalah merupakan kesepakatan bahwa hal itu tidak disyariatkan dan tidak diperbolehkan dalam agama.



Dengan demikian bid’ah itu adalah sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah saw, padahal terdapat faktor pendorong untuk mengerjakannya serta tidak terdapat hambatan yang berarti untuk mengerjakannya.

Adapun mashlahah mursalah adalah sesuatu yang tidak dikerjakan Rasulullah saw, karena tidak ada faktor pendorong untuk mengerjakannya serta terdapat hambatan pada waktu itu untuk mengamalkannya, seperti mengkodifikasikan Alquran dalam sebuah Mushaf. Hal ini tidak dilakukan di zaman Nabi saw, tapi dibukukannya Alquran awalnya pada zaman Abu Bakar atas usul Umar, dan disempurnakan penyeragamannya pada zaman Khalifah Utsman bin Affan. Yang demikian bukanlah termasuk perbuatan bid’ah, melainkan untuk kemaslahatan umat. Nabi saw tidak melakukan pembukuan Alquran, karena terdapat hambatan, yaitu turunnya Alquran masih belum sempurna, wahyu masih terus berlangsung, dan tidak ada faktor pendorong, mengingat mayoritas para sahabat pada waktu itu hafal Alquran.


Macam-macam Bid’ah

Bid'ah dalam Islam ada dua macam:
Bid'ah Qauliyah I’tiqadiyah, yaitu bid'ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu'tazilah, syi’ah Rafidhah dan semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat.
Bid'ah fil ibadah, yaitu bid'ah dalam ibadah, seperti beribadah kepada Allah dengan cara yang tidak disyariatkan-Nya. Bid'ah dalam ibadah ini ada beberapa bentuk:

(a) Bid'ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah, yaitu mengadakan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syariat, seperti mengerjakan salat yang tidak disyariatkan, shiyam yang tidak disyariatkan, atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti peringatan maulid Nabi dan Isra-Mi'raj.

(b) menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, baik kaifiyat seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama'ah dan suara yang keras, maupun jumlah, seperti menambah rakaat kelima pada salat zuhur atau salat Ashar.

(c) mengkhususkan waktu untuk suatu ibadah yang tidak dikhususkan oleh syariat. Seperti mengkhususkan hari dan malam nisfu Sya'ban (tanggal 15 bulan Sya'ban) untuk shaum dan qiyamullail.
Hukum Bid’ah

Segala bentuk bid'ah dalam agama hukumnya adalah haram, sebagaimana sabda Rasulullah saw.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ . متفق عليه وَفِى رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

Dari ‘Aisyah ra, ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Siapa yang mengada-adakan pada syariat kami ini, sesuatu yang bukan bagian darinya, maka sesuatu itu tertolak. - Muttafaq Alaih - dan pada riwayat Imam Muslim: “Siapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak kami syariatkan, maka hal itu ditolak”



عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ غَشَّ أُمَّتِى فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ وَاْلمَلَئِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِيْنَ قِيْلَ يَا رَسُوْلَ اللهِ وَمَا الْغَشُّ قَالَ : أَنْ يَبْتَدِعَ بِدْعَةً فَيَعْمَلُ بِهَا - رواه الدارقطني -

Dari Anas ra .Ia berkata : Bersabda Rasulullah saw : “Siapa yang menipu umatku, maka baginya laknat Allah, para Malaikat, dan manusia seluruhnya.ditanya Hai Rasulullah apa itu Al Ghasysyu (menipu) itu? Beliau menjawab : mengadakan bid’ah dan mengamalkannya. H.r. Al-Daraqutni



عَنِ الْعِرْبَاضِ بْنِ سَارِيَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قاَلَ رَسُوْلَ اللهِ ص أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَاِنْ كَانَ حَبَشِيًّا فَاِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اِخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِدِ وَاِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَاِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ - رواه أحمد -

Dari Al-’irbadl bin Sariyah ra, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertaqwa kepada Allah dan agar patuh dan taat (kepada pemimpin) sekalipun kepada orang Habsyi, karena sesungguhnya orang yang hidup di antara kalian setelah aku, akan melihat pertentangan yang banyak. Maka peganglah oleh kalian sunahku dan sunah Khulafa ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk, berpeganglah kalian kepadanya dan genggamlah dengan gigi geraham, hendaklah kalian berhati-hati terhadap perkara yang diada-adakan, karena sesungguhnya setiap yang diada-adakan itu adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat”. H.r. Ahmad
Kriteria Ahli Bid’ah

Ahli Bid’ah adalah suatu ungkapan untuk semua hakikat tindakan seseorang yang membikin perkara bid’ah dalam agama, dengan merujuk pada hawa nafsunya untuk menetapkan suatu ajaran, dan menyatakan ajaran tersebut suatu yang sah, bahkan orang yang menolak ajaran tersebut dikatakannya sesat.



Kebid’ahan yang membuat seseorang menjadi dikatakan ahli bid’ah, bila kebid’ahan tersebut telah dikenal luas oleh para ulama ahlus sunah telah menyalahi Alquran dan Sunah, seperti kebid’ahan Khawarij, Rafidhah, Qadariyah dan Murji’ah” (Lihat, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, XXXV:414)



Berbeda dengan orang yang ikut-ikutan saja, ia tidak mengikuti hawa nafsu melainkan mengikuti ajakan tokohnya (ahli bid’ah), maka orang yang taklid dalam kebid’ahan ini tidak bisa disebut ahli bid’ah (hanya disebut sebagai pelaku bid’ah saja), kecuali dia ikut membuat ketetapan dan pandangan tentang baiknya perkara bid’ah tadi.” (Lihat, Al-I’tisham, I:162-164)
Kelompok Ahli Bid’ah

Para ulama membagi ahli bid’ah ke dalam dua kelompok. Pertama, ahli bid’ah yang menjadi kafir akibat bid'ahnya. Kedua, ahli bid’ah yang menjadi fasik karena bid'ahnya.

Ahli bid’ah yang pertama terbagi pula ke dalam beberapa golongan, yaitu, (1) ahli bid’ah yang memperbolehkan dusta untuk menguatkan pendapatnya. (2) ahli bid’ah yang tak membolehkan dusta. (3) ahli bid’ah yang mempropagandakan sikap bid'ahnya, (4) ahli bid’ah yang tidak mempropagandakan sikap bid'ahnya.
Hukum Ahli Bid’ah

Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa segala sesuatu (ajaran) yang diada-adakan dalam Islam adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah haram dan tertolak. Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk bid'ahnya, ada diantaranya yang menyebabkan kafir (kekufuran), seperti thawaf mengelilingi kuburan untuk mendekatkan diri kepada ahli kubur, mempersembahkan sembelihan dan nadzar-nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdo'a kepada ahli kubur dan minta pertolongan kepada mereka, dan seterusnya. Begitu juga bid'ah seperti bid'ahnya perkataan-perkataan orang-orang yang melampui batas dari golongan Jahmiyah dan Mu'tazilah. Ada juga bid'ah yang merupakan sarana menuju kesyirikan, seperti membangun bangunan di atas kubur, salat berdo'a disisinya. Ada juga bid'ah yang merupakan fasiq secara aqidah sebagaimana halnya bid'ah Khawarij, Qadariyah dan Murji'ah dalam perkataan-perkataan mereka dan keyakinan Alquran dan Sunah. Dan ada juga bid'ah yang merupakan maksiat seperti bid'ahnya orang yang beribadah yang keluar dari batas-batas sunnah Rasulullah saw dan shiyam dengan berdiri di terik matahari.



Ini adalah kaidah besar yang mengistimewakan Ahli Sunnah terhadap semua golongan. Mereka membedakan antara suatu pendapat dengan pelakunya. Suatu pendapat adakalanya berupa kekufuran dan kefasikan, tetapi pelakunya tidak Kafir dan tidak pula Fasik. Sebagaimana suatu pendapat adakalanya berupa ketauhidan dan keimanan, akan tetapi pelakunya tidak beriman dan tidak pula bertauhid.



Suatu pendapat berupa kekufuran dapat dikategorikan sesuai dengan pelakunya bila terpenuhi beberapa syarat dan telah hilang penghalang-penghalangnya. Adapun syarat-syarat itu, antara lain:
Hendaknya pendapatnya itu secara jelas menunjukkan kekufuran yang dilakukan berdasarkan pilihannya dan bukan karena terpaksa.
Hendaknya dia terus berpegangan dengan pendapatnya yang kufur tersebut, dan ketika ditunjukkan kepadanya (al-haq) dia tetap memeganginya. Adapun jika dia tidak memegangi pendapatnya tersebut, bahkan dia menolak dan mengingkarinya, maka dia tidak kafir.
Hendaknya telah ditegakkan hujjah kepadanya dan dia telah jelas terhadap perkara tersebut. Hal ini berdasar firman Allah ta'ala:

... وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا

"Dan kami tidak akan mengadzab sebelum kami mengutus seorang Rasul ". Q.s. Al-Isra:15

وَمَنْ يُشَاقِقْ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى ...

"Dan barangsiapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya .....". Q.s. An-Nisa:115

Adapun penghalang-penghalangnya, antara lain:
Dia baru masuk Islam
Dia hidup di wilayah yang jauh. Termasuk dalam kelompok ini adalah orang yang tidak mempunyai ulama selain ulama' bid'ah yang dimintai fatwa oleh mereka dan fatwa itu diikuti mereka.
Dia kehilangan akalnya karena gila atau karena yang lain.
Belum sampai kepadanya nash-nash dari Alquran dan Sunah, atau telah sampai (nash-nash tersebut) tetapi belum jelas baginya - kalau itu dari Sunah -, atau dia belum tuntas dalam memahaminya.
(Nash-nash tersebut) telah sampai kepadanya, dia telah jelas dalam memahaminya, akan tetapi disodorkan kepadanya sesuatu yang bertentangan dengan nash-nash tersebut , baik yang berasal dari akal pikiran maupun perasaan, yang mengharuskan penta'wilan, walaupun dia akan berbuat kesalahan. Termasuk (kelompok) ini adalah Mujtahid 'Ahli Ijtihad' yang salah dalam ijtihadnya. Karena Allah akan mengampuni kesalahannya dan memberinya pahala atas ijtihadnya itu apabila niatnya baik.

Dengan demikian, tidak boleh menghukumi orang atau kelompok orang tertentu dengan kekufuran kecuali setelah terpenuhi syarat-syarat dan telah hilang penghalang-penghalang di atas.



Adapun yang dinukil dari Salaf tentang pemutlakan kufur dan laknat, maka hal itu tetap berada pada kemutlakan dan keumumannya. Tidak boleh ditetapkan kekufuran pada orang atau kelompok tertentu kecuali harus dengan dalil. Ibnu Taimiyah Berkata, "Sesungguhnya para Imam, seperti Imam Ahmad telah berhubungan langsung dengan Jahmiah, golongan yang mengajaknya kepada pendapat (yang mengatakan bahwa) Alquran adalah makhluk, dan kepada penafian Sifat-sifat Allah. Dan yang telah mengujinya beserta para ulama semasanya, mereka telah memfitnah orang-orang mukmin dan mukminah yang tidak sefaham dengan mereka, baik dengan pukulan, penjara, pembunuhan, pengusiran dari daerah, embargo ekonomi, menolak persaksian mereka, dan tidak membebaskan mereka dari cengkraman musuh. (Hal itu bisa terjadi) karena kebanyakan dari Ulil Amri-nya berasal dari mereka, baik para Wali, Hakim, maupun yang lainnya. Mereka mengkafirkan setiap orang yang tidak menganut faham Jahmiah dan yang tidak setuju dengan pendapat mereka dalam menafikan Sifat-sifat Allah dan pendapat (yang mengatakan) bahwa Alquran adalah makhluk. Mereka menghukumi (selain mereka) seperti halnya mereka menghukumi orang-orang Kafir.



Meski demikian, ternyata Imam Ahmad mendo'akan Khalifah dan selainnya dari orang-orang yang memukul dan memenjarakannya. Dia memintakan ampun buat mereka dan menganggap selesai perbuatan yang telah mereka lakukan kepadanya, baik yang berupa kezaliman dan seruan kepada pendapat yang kufur. Kalau seandainya mereka telah murtad dari Islam, maka tidak boleh memintakan ampun buat mereka. Karena memintakan ampun buat orang-orang Kafir tidak diperbolehkan Alquran, Sunah dan Ijma'.



Beberapa pendapat dan perbuatan yang bersumber dari Imam Ahmad itu dan juga dari para Imam lainnya secara jelas (menunjukkan) bahwa mereka tidak mengkafirkan orang tertentu dari Jahmiah yang mengatakan Alquran adalah makhluk, dan Allah tidak bisa dilihat di Akhirat. Dalam hal ini Ibnu Taimiyyah berkata:

وَأَمَّا السَّلَفُ وَالأَئِمَّةُ فَلَمْ يَتَنَازَعُوْا فِي عَدَمِ تَكْفِيْرِ الْمُرْجِئَةِ وَالشِّيْعَةِ الْمُفَضِّلَةِ وَنَحْوِ ذلِكَ وَلَمْ تَخْتَلِفْ نُصُوْصُ أَحْمَدَ فِي أَنَّهُ لاَ يُكَفِّرُ هؤُلاَءِ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِهِ مَنْ حُكِيَ فِي تَكْفِيْرِ جَمِيْعِ أَهْلِ الْبِدَعِ مِنْ هؤُلاَءِ وَغَيْرِهِمْ خِلاَفًا عَنْهُ أََوْ فِي مَذْهَبِهِ حَتَّى أَطْلَقَ بَعْضُهُمْ تَخْلِيْدَ هؤُلاَءِ وَغَيْرَهُمْ وَهذَا غَلَطٌ عَلَى مَذْهَبِهِ وَعَلَى الشَّرِيْعَةِ

Adapun salaf dan para imam bersepakat tidak menyatakan kafir murji'ah dan syi'ah mufadhilah (mengutamakan Ali) dan lain-lain. Dan tidak ada perbedaan dalam pernyataan Imam Ahmad bahwa ia tidak mengkafirkan mereka, walaupun ada di antara muridnya yang berbeda dengan beliau atau madzhabnya dalam mengkafirkan semua ahli bid'ah, bahkan sebagian dari mereka menghukuminya kekal di neraka, dan ini jelas suatu kekeliruan yang tidak sesuai dengan madzhab beliau dan syariat. (Lihat, Majmu' al-Fatawa, III:351-352)

Sumber: Ust Amin Mukhtar