Pages

Jumat, 26 Agustus 2011

TAHNIAH IED

Pengertian Tahniah

Secara bahasa tahniah (التَّهْنِئَةُ) sebalik dari ta’ziyah (التَّعْزِيَةُ). Maksudnya tahniah artinya ucapan selamat, sedangkan ta’ziyah artinya ucapan bela sungkawa (berduka cita). Lihat, Mu’jam Maqayis al-Lughah, VI:68

Adapun secara istilah, makna tahniah secara umum tidak berbeda dengan makna bahasa, namun dilihat dari konteks peristiwa istilah tahniah memiliki beberapa makna spesifik (khusus). Seperti tabrik (mendoakan berkah), tabsyir (memberi kabar baik), tarfiah (ucapan selamat nikah), dan lain-lain.

Hukum Tahniah Secara Umum

Secara umum hukum tahniah adalah mustahab (sunat), karena

(1) tahniah merupakan perpaduan antara tabrik dan doa dari seorang muslim kepada sesama muslim lainnya atas perkara yang menggembirakan dan disenanginya.

(2) Pada tahniah terdapat mawaaddah (saling mencintai), tarahum (saling mengasihi), dan ta’athuf (saling menaruh simpati) di antara kaum muslim.

Anjuran umum menyampaikan tahniah kepada sesama muslim ketika mendapatkan kenikmatan diungkap didalam Alquran:

كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

(Dikatakan kepada mereka): "Makan dan minumlah dengan enak sebagai balasan dari apa yang telah kamu kerjakan", Q.s. Thur:19

Sedangkan dalam hadis diperoleh dari beberapa peristiwa, antara lain

عَنْ أَنَسٍ ، قَالَ : أُنْزِلَتْ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم : {إِنَّا فَتَحْنَا لَك فَتْحًا مُبِينًا} إِلَى آخِرِ الآيَةِ ، مَرْجِعَهُ مِنَ الْحُدَيْبِيَةِ ، وَأَصْحَابُهُ مُخَالِطُو الْحُزْنِ وَالْكَآبَةِ ، قَالَ : نَزَلَتْ عَلَيَّ آيَةٌ هِيَ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا جَمِيعًا ، فَلَمَّا تَلاَهَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ : هَنِيئًا مَرِيئًا ، قَدْ بَيَّنَ اللَّهُ مَا يُفْعَلُ بِكَ ، فَمَاذَا يُفْعَلُ بِنَا ؟ فَأَنْزَلَ اللَّهُ الآيَةَ الَّتِي بَعْدَهَا : {لِيُدْخِلَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ} حَتَّى خَتَمَ الآيَةَ.

Dari Anas, ia berkata, “Telah diturunkan ayat Inna fatahnaa laka fathan mubinan (al-Fath:1) kepada rasul ketika kembali dari Hudaibiyah, dan para sahabatnya larut dalam kesedihan. Beliau bersabda, ‘Telah turun ayat kepadaku yang lebih aku cintai daripada dunia dan seluruh isinya. Ketika Rasulullah saw. membacanya, seorang laki-laki dari kaum itu berkat, ‘selamat lagi baik akibatnya, sungguh Allah telah menjelaskan apa yang akan diperbuat-Nya kepada Anda, apa yang akan diperbuat kepada kami? Maka Allah menurunkan ayat setelahnya: liyudkhilal mu’minina…hingga akhir ayat’. H.r. Ahmad, al-Musnad, III:252, No. 13.664, Ibnu Abu Syaibah, al-Mushannaf, VII:408, No. 36.937, Ibnu Hiban, Shahih Ibn Hiban, II:93, No. 371, Abu Ya’la, al-Musnad, V:385, No. hadis 3045

Demikian pula peristiwa Ka’ab bin Malik yang tertinggal dari perang Tabuk, yaitu ketika Allah swt menurunkan beberapa ayat di akhir-akhir surat At-Taubah tentang diterimanya taubat Ka’ab bin Malik bersama dua orang kawannya, Rasulullah saw. dan para shahabat segera memberi kabar gembira kepada Ka’ab bin Malik dan mereka (para shahabat) mengucapkan selamat kepadanya. (H.r. al-Bukhari dan Muslim dalam hadis yang panjang tentang kisah Ka’ab bin Malik yang tertinggal dari perang Tabuk).

Tahni’ah Ied

Sebagaimana yang kita maklumi bahwa syariat Iedul Fitri dan Iedul Adha mulai diberlakukan tahun ke-2 H. Bila kita hitung sejak saat itu hingga akhir hayat Nabi tinggal di Madinah, berarti beliau sempat melaksanakan syariat Iedul Fitri dan Iedul Adha sebanyak sembilan kali. Iedul Fitri perdana, hari Senin, 1 Syawal 2 H/26 Maret 624 M. sedangkan iedul Fitri terakhir hari Senin, 1 Syawal 10 H/30 Desember 631 M.

Meskipun demikian, secara periwayatan tentang doa tahniah ied, dari kesembilan kali ied itu, kami hanya menemukan satu riwayat yang menerangkan bentuk doa khusus yang katanya diucapkan oleh Rasulullah saw. ketika bertemu dengan sahabatnya di saat ied. Watsilah bin al-Asqa’ berkata:

لَقِيتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمَ عِيدٍ فَقُلْتُ تَقَبَّلَ الله ُ مِنَّا وَمِنْكَ. فَقَالَ : نَعَمْ تَقَبَّلَ الله مِنَّا وَمِنْكَ

“Aku bertemu dengan Rasulullah saw. pada waktu Ied, aku mengucapkan: taqabbalallah minnaa waminka (Mudah-mudahan Allah menerima ibadah kami dan anda). Beliau menjawab,' Ya, taqabbalallah minnaa waminka (mudah-mudahan Allah menerima ibadah kami dan anda)”. H.r. al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, III:319, No. hadis 6088, dan Ibnu Adi (al-Kamil fi Dhu’afa ar-Rijal, VI:271) dengan redaksi:

يَا رَسُوْلَ اللهِ تَقَبَّلَ الله ُ مِنَّا وَمِنْكَ ، قَالَ : نَعَمْ تَقَبَّلَ الله مِنَّا وَمِنْكَ

“Wahai Rasulullah, taqabbalallah minnaa waminka (Mudah-mudahan Allah menerima ibadah kami dan anda). Beliau menjawab, 'Ya, taqabbalallah minnaa waminka (mudah-mudahan Allah menerima ibadah kami dan anda)”

Kedua redaksi di atas diriwayatkan melalui Muhamad bin Ibrahim asy-Syami, dari Baqiyyah bin al-Walid, dari Tsaur, dari Khalid bin Ma’dan, dari Watsilah bin al-Asqa.

Namun hadis ini daif, bahkan maudhu’ (palsu), karena diriwayatkan oleh seorang pemalsu hadis bernama Muhamad bin Ibrahim asy-Syami. Kata Ibnu Adi, “Dan ini adalah munkar, saya tidak mengetahui yang meriwayatkan hadis itu dari Baqiyyah selain Muhamad bin Ibrahim ini” (al-Kamil fi Dhu’afa ar-Rijal, VI:271). Kata Ibnu Hiban, “Muhamad bin Ibrahim asy-Syami Abu Abdullah seorang kakek, dia berkeliling/tinggal di Irak dan bertetangga dengan ‘abadan, dia memalsu hadis atas nama orang-orang Syam. Tentang dia telah dikabarkan kepada kami oleh Abu Ya’la, al-Hasan bin Sufyan, dan lain-lain: Tidak halal periwayatan darinya kecuali sekedar I’tibar (penelitian). Kata ad-Daraquthni, ‘Dia pendusta’. Kata Abu Nu’aim, “Dia meriwayatkan hadis-hadis palsu dari al-Walid bin Muslim, Syu’aib bin Ishaq, Baqiyyah, dan Suwaid bin Abdul Aziz’. Kata Ibnu ‘Adi, ‘Munkar al-Hadits dan seluruh hadis-hadisnya tidak terpelihara’.” Al-Majruhin, II:301

Dengan demikian, dapat diyakini bahwa tidak ditemukan satu bentuk doa khusus yang diucapkan oleh Rasulullah saw. ketika bertemu dengan para sahabatnya di saat ied.

Demikian pula riwayat yang menyatakan sebaliknya, yaitu saling mengucapkan doa taqabbalallah minnaa waminkum pada hari raya itu adalah perbuatan ahli kitab sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al-Baihaqi (as-Sunan al-Kubra, III:319, No. hadis 6091), Ibnul Jauzi (al-Ilal al-Mutanahiyah, II:548), Ibnu Asakir (Tarikh Dimasyqa, XXXIV:97-98), melalui Nu’aim bin Hammad, dari Abdul Khaliq bin Zaid, dari Makhul, dari Ubadah bin as-Shamith, statusnya daif pula karena tiga sebab:

Pertama, rawi Ni’aim bin Hamad. Kata Ibnu Hajar, “Dia shaduq, banyak keliru” Tahdzib at-Tahdzib, X:462)

Kedua, rawi Abdul Khaliq bin Zaid bin Waqid ad-Dimasyqi. Kata Imam al-Bukhari, “Munkarul Hadits” as-Sunan al-Kubra, III:320)

Ketiga, periwayatan Makhul dari Ubadah bin Shamith inqitha (terputus), karena Makhul tidak pernah menerima hadis dari Ubadah. Jami’ at-Tahshil fi Ahkam al-Marasil, hal. 285

Adapun periwayatan doa tahniah ied yang kami dapati adalah sebagai perbuatan para sahabat, sebagaimana dijelaskan oleh Jubair bin Nufair:

كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذاَ إِلْتَقَوْا يَوْمَ العِيدِ يَقُولُ بَعْضُهَا لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ. قَالَ الحاَفِظُ إِسْناَدُهُ حَسَنٌ.

Adalah para sahabat Rasulullah saw., apabila saling bertemu satu sama lain pada hari raya ied, berkata yang satu pada yang lainnya, Taqabbalallahu minna wa minkum. (Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan engkau). Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan,

رَوَيْنَاهُ فِي الْمَحَامِلِيَاتِ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ

"Kami telah meriwayatkannya dalam al-mahamiliyat dengan sanad hasan." (Fathul Bari, II:446)

Keterangan:

Al-Mahamiliyat atau disebut juga al-ajzaa al-mahamiliyat dan Amali al-Mahamili, berisi riwayat orang-orang Baghdad dan Asbahan, karya Abu Abdullah al-Husen bin Ismail bin Muhamad al-Baghdadi al-Mahamili (w. 630 H). Lihat, Kasyf azh-Zunun, I:588

Dalam riwayat Abul Qasim al-Mustamli dengan redaksi

تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ

Artinya: Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan kalian” Hasyiah at-Thahawi ‘ala al-Maraqi, II:527.

Dalam riwayat lain diterangkan dari Shafwan bin Amr as-Saksaky berkata:

سَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ بِسْرٍ وَعَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ عَائِذٍ وَجُبَيْرَ بْنَ نُفَيْرٍ وَخَالِدَ بْنَ مَعْدَانَ يُقَالُ لَهُمْ فِي أَيَّامِ الأَعْيَادِ : تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ, وَيَقُوْلُوْنَ ذَلِكَ لِغَيْرِهِمْ.

Aku mendengar Abdullah bin Bisr, Abdurahman bin 'Aidz, Jubair bin Nufair dan Khalid bin Ma'dan bahwa pada hari-hari ied dikatakan kepada mereka Taqabbalallahu minna waminkum, dan mereka pun mengucapkan seperti itu kepada yang lainnya.

Kata Imam as-Suyuthi, hadis ini diriwayatkan oleh al-Asbahani dalam at-Targhib wat Tarhib I:251. Lihat, Wushul al-Amani bi Ushul al-Tahani, hal. 66

Demikian pula diterangkan oleh Muhamad bin Ziyad, ia berkata:

كُنْتُ مَعَ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ وَغَيْرِهِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ فَكَانُوْا إِذَا رَجَعُوْا مِنَ الْعِيْدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكَ.

"Aku beserta Abu Umamah al-Bahili dan yang lainnya dari kalangan para sahabat Nabi Saw. mereka itu apabila pulang dari shalat Ied saling mengucapkan "Taqabbalallahu minna waminka". H.r. Ibnu Aqil, al-Fathurrabbani, VI:157

Sedangkan dalam riwayat Zahir bin Thahir dengan redaksi:

رَأَيْتُ أَبَا أُمَامَةَ البَاهِلِيّ يَقُوْلُ فِي الْعِيْدِ لأَصْحَابِهِ تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ

"Aku melihat Abu Umamah al-Bahili di hari ied berkata pada para sahabatnya "Taqabbalallahu minna waminkum". Wushul al-Amani bi Ushul al-Tahani, hal. 66

Amal para sahabat itu diteladani oleh para tabi’in, antara lain sebagai berikut:

Syu'bah bin al-Hajjaj (w. 160 H) berkata:

لَقَيْتُ يُوْنُسَ بْنَ عُبَيْدٍ فَقُلْتُ : تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ فَقَالَ لِي مِثْلَهُ.

Aku bertemu dengan Yunus bin Ubaid (w. 139 H) lalu aku berkata, "Taqabbalallahu minna waminka", maka dia pun berkata seperti itu kepadaku. H.r. at-Thabrani, Wushul al-Amani bi Ushul al-Tahani, hal. 66

Dari berbagai keterangan di atas dapat diambil kesimpulan:

  1. Pengamalan doa tahniah, baik iedul Fithri maupun iedul Adha, berdasarkan amal sahabat
  2. Pengamalan doa ini tidak hanya berlaku hari ied saja (hari itu saja)
  3. Redaksi doa tahniah adalah Taqabbalallahu minna wa minka atauTaqabbalallahu minna wa minkum. Sedangkan tambahan shiyamana wa shiyamakum tidak ditemukan periwayatannya.
  4. Doa ini saling diucapkan antara satu dengan yang lain ketika bertemu, bukan sebagai jawaban. Sedangkan membalas doa ini dengan ucapan aamien tidak ditemukan riwayatnya

http://www.facebook.com/note.php?note_id=149197525111634

Selasa, 16 Agustus 2011

MENGGAPAI LAILATUL QADAR

Oleh: Ibnu Muchtar

Sebagaimana yang kita yakini bahwa bulan Ramadhan memiliki sekian banyak keistimewaan, salah satunya adalah lailatul qadar, suatu malam yang dinilai oleh Alquran sebagai “malam yang lebih baik dari seribu bulan”. Ada apa dengan malam itu sehingga dinilai demikian tinggi oleh Alquran? Sebelum menelaah lebih jauh tentang masalah itu, ada baiknya apabila kita kaji terlebih dahulu kriteria dari malam tersebut.

Pengertian Lailatul qadar

Secara bahasa Lailatul Qadar berarti “Malam Yang Agung”, malam yang besar nilainya. Sedangkan secara istilah Lailatul Qadar adalah nama bagi dua malam:

Pertama: malam diturunkannya Alquran untuk pertama kali secara sekaligus dari Lauhul Mahfuzh ke Baitul Izzah di langit dunia pada bulan Ramadhan, tanggalnya tidak ada yang tahu secara pasti. Lailatul Qadar inilah yang dimaksud oleh ayat-ayat sebagai berikut:

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ # وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَـيْلَةُ القَدْرِ # لَـيْلَةُ القَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْـفِ شَـهْرٍ # تَنَـزَّلُ المَلآئِكَةُ وَالرُّوحُ فِـيهَا بِـإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ # سَلاَمٌ هِيَ حَـتَّى مَطْلَـعِ اْلـفَجْرِ

1. Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan, 2. dan tahukah kamu Apakah malam kemuliaan itu?, 3. malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan, 4. pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan, 5. malam itu (penuh) Kesejahteraan sampai terbit fajar. [1]

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ اْلقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَاْلفُرْقَانِ

Bulan Ramadan yang diturunkan padanya Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia, keterangan-keterangan petunjuk itu, dan pemisah antara yang haq dan yang batal.[2]

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ

Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Quran) pada malam yang diberkahi.[3]

Sehubungan dengan ini Ibnu Abbas pernah ditanya oleh Athiyyah bin al-Aswad:

أَوَقَعَ فِي قَلْبِي الشَّكُ قَوْلُهُ تَعَالَى - شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ اْلقُرْآنُ- وَقَوْلُهُ : إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِيْ لَيْلَةِ القَدْرِ وَهذَا أُنْزِلَ فِي شَوَّالٍِ وَذِي القَعْدَةِ وَذِي الحِجَّةِ وَفِي المُحَرَّمِ وَالصَّفَرِ وَشَهْرِ رَبِيْعٍ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّهُ أُنْزِلَ فِي رَمَضَانَ فِي لَيْلَةِ القَدْرِ جُمْلَةً وَاحِدَةً ثُمَّ أُنْزِلَ عَلَى مَوَاقِعِ النُّجُومِ رَسَلاً فِي الشُّهُورِ وَالأَيَّامِ.

Aku ragu-ragu tentang firman Allah swt.- Syahru Ramadan alladzi unzila fihi al-Quran- dan Firman Allah -Inna anzalnahu fi lailatil qadr- turunnya itu pada bulan Syawal, Dzul qa’dah, Dzul hijjah, Muharam, Shafar, dan Rabi’ ?” Ibnu Abas menjawab, ”Bahwa (al-Quran) itu diturunkan pada bulan Ramadhan pada malam lailatul qadr secara sekaligus, kemudian diturunkan lagi atas kejadian-kejadian bintang-bintang secara berangsur pada bulan-bulan dan hari-harinya.[4]

Perlu diterangkan di sini bahwa proses penurunan Alquran terjadi sebanyak tiga kali: Pertama, Alquran diturunkan dari Allah ke Lauhul Mahfudz, lalu dari Lauhul Mahfudz ke sama ad-dunya (langit dunia) secara sekaligus, dan terakhir dari sama ad-dunya ke dunia ini dengan cara berangsur selama masa kenabian + 23 tahun, 13 tahun di Mekah dan 10 tahun di Madinah.

Lailatul qadar dalam pengertian pertama hanya terjadi satu kali, tidak akan terjadi setiap bulan Ramadhan, karena Alquran telah sempurna dan tidak ada lagi wahyu setelah Nabi Muhamad meninggal.

Kedua: salah satu malam yang terjadi pada setiap bulan Ramadhan. Dalam konteks inilah Rasulullah menganjurkan umatnya untuk mempersiapkan diri menyambut malam yang mulia itu. Memang Rasul tidak menerangkan secara pasti tanggal berapa, hanya ada anjuran agar lebih diperhatikan malam setelah tanggal 20 Ramadhan (lihat, keterangan detailnya di bawah)

Allah sengaja tidak memberitahukan kepada Nabi secara pasti tanggal berapa lailtul qadar itu terjadi, dalam hal ini terkandung nilai tarbiyyah (pendidikan) yang amat mulia, yakni agar tiap malam kaum muslimin mengisi malamnya dengan ibadah dan du’a, terutama pada malam-malam ganjil setelah berlalu 20 Ramadhan. Hal itu tampak jelas dari sikap Rasululah saw. pada sepuluh hari terakhir setiap bulan Ramadan, dengan mengajak keluarganya untuk bangun melaksanakan shalat yang lebih giat dari malam-malam sebelumnya.

Dengan demikian, keagungan lailatul qadar dan kebesaran nilainya tidak ada artinya bagi kaum muslimin bila pada malam itu tidur atau bangun tapi tidak melakukan amal ibadah, sebab pada malam itu Allah memberikan kesempatan bagi kaum muslimin untuk bangun melakukan ibadah. Karena itu, keagungan lailatul qadar akan menemui orang-orang yang mempersiapkan diri dan menyucikan jiwa dalam menyambutnya. Hal itu tak ubahnya tamu agung yang berkunjung ke satu tempat, ia tidak akan datang menemui setiap orang di lokasi itu, walaupun setiap orang di tempat itu mendambakannya. Demikian juga halnya dengan lailatul qadar.

Apabila jiwa telah siap, kesadaran telah mulai bersemi, dan lailatul qadar datang menemuinya, maka malam kehadirannya menjadi saat menentukan bagi perjalanan sejarah hidupnya di masa-masa mendatang. Saat itu, bagi yang bersangkutan adalah titik tolak guna meraih kemuliaan dan kejayaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Dan sejak saat itu malaikat akan turun guna menyertai dan membimbingnya menuju kebaikan sampai terbitnya fajar kehidupannya yang baru kelak di kemudian hari.

Inilah inti dari keagungan lailatul qadar yang akan terjadi setiap bulan Ramadhan. Mudah-mudahan Allah swt senantiasa mencurahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita, sehingga kita menjadi salah seorang yang layak ditemui oleh Tamu Agung Tersebut.

Kapan Lailatul Qadar 2 itu terjadi?

Di dalam hadis-hadis diterangkan bahwa Nabi saw. bersabda:

إِلْتَمِسُوهَا فِي العَشْرِ الأَوَاخِرِ.

Maka carilah oleh kalian pada sepuluh (malam) terakhir”H.r. Muslim dan Abu Daud.[5]

Maksudnya: cari dari tanggal 21 sampai 29/30 Ramadhan. Hadis ini tidak menginformasikan ketentuan harinya, bisa jadi 21, 22, 23, dan seterusnya.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ – البخاري –

Dari Aisyah bahwasannya Nabi saw. bersabda, Carilah lailatul qadar itu pada malam-malam ganjil dari 10 terakhir bulan Ramadhan. H.r. al-Bukhari

Pada hadis ini terdapat qayyid (pembatas), yaitu malam-malam ganjil. Maksudnya, carilah pada tanggal 21, 23, 25, 27, atau 29.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ – مسلم –

Dari Ibnu Umar, dari Nabi saw. beliau bersabda, “Carilah lailatul qadar itu pada 7 terakhir (bulan Ramadhan). H.r. Muslim

Maksudnya: kalau ramadhan 30 hari, carilah dari tanggal 24 hingga 30 = 7 hari. Kalau 29, cari dari 23 hingga 29 = 7 hari

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي تَاسِعَةٍ تَبْقَى فِي سَابِعَةٍ تَبْقَى فِي خَامِسَةٍ تَبْقَى – البخاري –

Dari Ibnu Abas bahwa Nabi saw. bersabda, Carilah dia (lailatul qadar) pada 10 terakhir bulan Ramadhan. Lailatul qadar itu tetap (ada) pada ke 9, malam ke 7, malam ke 5. H.r. al-Bukhari

Yang dimaksud dengan ungkapan yang ke-9 dari 10 akhir itu adalah malam ke-21. Maksud yang ke-7 dari 10 akhir adalah malam ke-23. Maksud yang ke-5 dari 10 akhir adalah malam ke-25. Dengan demikian, maksud hadis itu adalah: “Carilah pada tanggal 21, 23, 25. Keterangan ini tidak bertentangan dengan petunjuk umum, karena tidak membatasi hanya pada tanggal-tanggal tersebut saja yang harus dicari itu.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ مُتَحَرِّيَهَا فَلْيَتَحَرَّهَا لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَقَالَ تَحَرَّوْهَا لَيْلَةَ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ يَعْنِي لَيْلَةَ الْقَدْرِ – أحمد –

Dari Ibnu Umar, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa mencarinya, maka carilah ia (lailatul qadar) pada malam ke-27, dan beliau bersabda, “Carilah ia pada malam ke-27, yakni lailatul qadar. H.r. Ahmad

Hadis ini tidak membatasi bahwa terjadinya lailatul qadar itu hanya pada tanggal 27 saja, namun keterangan ini termasuk salah satu afrad (satuan) dari petunjuk umum.

Mengapa Nabi tidak Menjelaskan Secara detail?

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ (رضه) قَالَ : خَرَجَ نَبِـيُّ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ : خَرَجْتُ ِلأُخْبِرَكُمْ بِلَيْلَةِ القَدْرِ، فَتَلاَحَى رَجُلاَنِ مِنَ اْلمُسْـلِمِينَ فَتَلاَحَى فُلاَنٌ وَفُلاَنٌ فَرُفِعَتْ،وَعَسَى أَنْ يَكُونَ خَيْرًا لَكُمْ فَالتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالخَامِسَةِ. - رواه البخاري -

Dari Ubadah bin Shamit ra, ia mengatakan, “Nabi Allah saw. keluar untuk memberi tahu kami tentang lailatul Qadar, namun dua orang dari muslimin bertengkar. Beliau bersabda,’Saya keluar untuk memberi tahu kalian tentang lailatul qadr, tetapi si fulan dan si fulan bertengkar. Maka diangkatlah dariku, tetapi mudah-mudahan jadi lebih baik bagi kamu. Maka carilah pada malam kesembilan, ketujuh dan kelima". H.r. al-Bukhari.[6]

Lailatul qadr yang dimaksud tidak sempat dijelaskan dengan lebih terperinci oleh Rasulullah saw. sehinggga hal itu senantiasa dipertanyakan. Tetapi yang jelas mengenai fadhilah dan keutamaannya tergambar pada sikap beliau ketika menghadapi sepuluh malam terakhir bulan Ramadan, yang padanya akan terdapat lailatul qadr. Maka dapat disimpulkan bahwa Rasululah saw. sendiri tidak diberi tahu kapan tepatnya terjadi lailatul qadr.

Informasi tentang lailatul qadr diangkat kembali dengan sebab perkelahian antara dua orang laki-laki di hadapan Rasululah saw. Hal ini menunjukkan bahwa lailatul qadr tidak layak hadir di antara orang yang sedang berbuat maksiat. Sehubungan dengan itu, Al-Bukhari menetapkan di dalam kitab shahihnya,”Bab diangkatnya lailatul qadr disebabkan pertengkaran manusia”

Dengan demikian kita dapat mengambil pelajaran bahwa dengan tidak dijelaskannya kepastian waktu terjadi lailatul qadr, Rasulullah saw. berharap bahwa hal itu akan lebih baik untuk kita. Karena itu, marilah kita perhatikan lagi sabda Rasulullah saw.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ (رضه) أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الصِّـيَامُ جُنَّةٌ فَإِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ صَائِماً فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْـهَلْ فَإِنِ امْرُؤٌ قَـاتَلَهُ أَوْشَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمٌ مَرَتَيْنِ. وَالَّذِي نَـفْسُ مُحَمَّدٍ بِـيَدِهِ لَخُلُوفُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ مِنْ رِيحِ اْلمِسْكِ، يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي، اَلصِّياَمُ لىِ وَأَناَ أَجْزِيْ بِهِ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا. -رواه البخارى -

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Saum itu adalah perisai. Bila seseorang sedang saum, maka jangan rafats (kotor dalam kata-kata) dan jangan yajhal (bersikap bodoh), bila ada seseorang yang mau berkelahi atau memarahinya, maka hendaklah ia katakan' Sesungguhnya ‘Saya sedang shaum’ dua kali. Dan demi yang diri Muhammad pada tangan kekuasaan-Nya, pastilah mulut yang saum itu lebih wangi menurut pandangan Allah daripada minyak misk (kasturi), karena ia meninggalkan makanan, minuman, dan syahwatnya karena-Ku. Saum itu untuk-Ku dan Akulah yang memberi pahalanya, dan kebaikan itu (dipahalai) dengan sepuluh kali lipat. H.r. al-Bukhari.[7]

Sikap Rasululah saw. dalam mencari dan mendapatkan lailatul qadr pada sepuluh hari terakhir setiap bulan Ramadan, lebih tampak lagi dengan ajakan beliau kepada keluarganya untuk bangun melaksanakan ibadah yang lebih giat dari malam-malam sebelumnya.

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا دَخَلَ العَشْرُ َشَدَّ مِئْزَرَهُ وأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ - متفق عليه

Dari Aisyah, bahwasanya Rasulullah saw. apabila memasuki sepuluh terakhir Ramadan, beliau tidak tidur dan membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggangnya. Muttafaq Alaih.[8]

Tanda-tanda alam Terjadinya Lailatul qadar

إِنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ يَقُولُا مَنْ قَامَ السَّنَةَ أَصَابَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَقَالَ أُبَيٌّ وَاللَّهِ الَّذِي لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ إِنَّهَا لَفِي رَمَضَانَ يَحْلِفُ مَا يَسْتَثْنِي وَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْلَمُ أَيُّ لَيْلَةٍ هِيَ هِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي أَمَرَنَا بِهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقِيَامِهَا هِيَ لَيْلَةُ صَبِيحَةِ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ وَأَمَارَتُهَا أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فِي صَبِيحَةِ يَوْمِهَا بَيْضَاءَ لَا شُعَاعَ لَهَا -رواه مسلم –

Bahwa Ibnu Masud berkata, Barangsiapa yang beribadah pada tahun ini, ia akan mendapatkan lailatul qadar. Ubay berkata, ‘Demi Allah yang tidak ada tuhan melainkan Dia, bahwa lailatul qadar itu terjadi pada bulan Ramadhan, ia bersumpah dengan sesuatu yang ia sanjung, dan demi Allah sesungguhnya aku tahu malam apakah dia itu? Dia adalah malam yang kita diperintahkan oleh Rasulullah untuk beribadah padanya, yaitu malam ke-27 yang cerah, dan tandanya adalah matahari terbit pada kecerahan harinya, putih tiada bayangan. H.r. Muslim

عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْلَةُ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْبَوَاقِي مَنْ قَامَهُنَّ ابْتِغَاءَ حِسْبَتِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَغْفِرُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ وَهِيَ لَيْلَةُ وِتْرٍ تِسْعٍ أَوْ سَبْعٍ أَوْ خَامِسَةٍ أَوْ ثَالِثَةٍ أَوْ آخِرِ لَيْلَةٍ وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَمَارَةَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ أَنَّهَا صَافِيَةٌ بَلْجَةٌ كَأَنَّ فِيهَا قَمَرًا سَاطِعًا سَاكِنَةٌ سَاجِيَةٌ لَا بَرْدَ فِيهَا وَلَا حَرَّ وَلَا يَحِلُّ لِكَوْكَبٍ أَنْ يُرْمَى بِهِ فِيهَا حَتَّى تُصْبِحَ وَإِنَّ أَمَارَتَهَا أَنَّ الشَّمْسَ صَبِيحَتَهَا تَخْرُجُ مُسْتَوِيَةً لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ مِثْلَ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ وَلَا يَحِلُّ لِلشَّيْطَانِ أَنْ يَخْرُجَ مَعَهَا يَوْمَئِذٍ – رواه أحمد -

Dari Ubadah bin Shamit, bahwa Rasulullah saw. bersabda, Lailatul qadar itu terjadi pada 10 terakhir (Ramadhan). Barang siapa beribadah pada malam-malam itu karena mengharap pahalanya, maka sesungguhnya Allah akan mengampuni dosa yang telah lalu dan dosa terkemudian. Ia adalah malam ganjil (yaitu) malam ke-9 (maksudnya ke-21), 7 (maksudnya ke-23), 5 (maksudnya ke-25), 3 (maksudnya ke-27) atau malam terakhir (bulan Ramadhan, maksudnya ke-29). Dan Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya tanda lailatul qadar adalah langit bersih, terang bagaikan bulan sedang purnama, tidak dingin, dan tidak pula panas, tidak layak bagi bintang dijatuhkan pada malam itu hingga masuk waktu shubuh, dan tandanya (pula) bahwa matahari cerah keluar secara seimbang, tiada bayangan seperti malam bulan purnama, dan tidak layak setan keluar bersamanya ketika itu. H.r. Ahmad

Tanda kehadiran Lailatul qadar adalah keesokan harinya matahari terlihat putih tanpa sinar pada pagi hari.

Salat Lailatul Qadar

Sebagian kalangan meyakini bahwa pada malam Lailatul Qadr disyariatkan salat dengan tatacara sebagai berikut: Jumlah raka’atnya dua raka’at. Setiap raka’at setelah Al-Fatihah membaca al Ikhlas 7 X. Sedangkan berdasarkan perkataan Abu Laits :

Salat Lailatul Qadar itu paling sedikit dua raka’at dan paling banyak 1000 raka’at. Adapun pertengahannya 100 raka’at. Pada setiap raka’at setelah Al-Fatihah, membaca al Zalzalah 1 X dan al Ikhlas 3 X. Setelah salam bersalawat atas Nabi saw. 1000 X.

Namun sangat disayangkan ibadah ini tidak memiliki landasan hukum yang jelas. Karena itu, Ibnu Taimiyyah ketika ditanya tentang shalat lailatul Qadar, beliau menjawab, “Salat ini tidak ada seorang pun di antara imam kaum muslimin yang mensunatkannya, bahkan termasuk bid’ah yang tercela. Alangkah pantasnya untuk ditinggalkan dan dilarang mengerjakannya” [9]



[1] Q.s. Al-Qadr:1-5

[2] Q.s. Al-Baqarah:185

[3] Q.s. Ad-Dukhan:3

[4] H.r. al-Baihaqi dan al-Mardawaih, Lihat, al-Itqan fi Ulum al-Quran, ha. 118.

[5] Lihat, Shahih Muslim, I:523, No. 1165, Sunan Abu Daud, I : 324

[6] Lihat, Fath al-Bari, IV:337, No. 2023. Dan masih ada beberap riwayat al-Bukhari yang menerangkan dihilangkannya rincian keterangan tentang lailatul qadr dari ingatan Nabi saw. antara lain dengan kata-kata sudah diperlihatkan kepadaku kemudian aku dilupakannya, No. 2018.

[7] Lihat, Fath Al-Bari, IV : 130

[8] Lihat, al-Fath al-Rabani, X : 263. No. 318. Fath al-Bari, IV : 338. No. 2024. Shahih Muslim, I : 528. No. 1176

[9] Lihat, as-Sunan wa al-Mubtada’at:108